Posts

3 Tips untuk Tetap Menyembah Tuhan di Masa Sulit

Oleh Julian Panga, India
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Can I Worship God Through Tough Times?

Memuji dan menyembah Tuhan terasa mudah ketika segalanya baik-baik saja. Namun, ketika kesulitan melanda, kita merasa Tuhan seolah jauh, atau sepertinya Dia tidak peduli. Sulit pula bagi kita untuk mengasihi, menghormati, dan mengakui Tuhan atas pribadi-Nya, apa yang Dia telah lakukan, dan yang sanggup Dia lakukan.

Aku pernah melalui momen-momen itu ketika rekan sekerjaku terlalu menuntutku hingga banyak area dalam hidupku pun terpengaruh, termasuk saat teduhku. Aku frustrasi dengan iklim pekerjaanku—aku merasa disisihkan, tidak puas, dan marah. Hasilnya, aku mengisolasi diriku dari rekan-rekan sekerjaku, dan bahkan dari Tuhan. Aku tidak bisa melihat ada tujuan dalam hidupku, dan simpelnya: aku ingin menyerah.

Emosi kita sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan. Jika kita mendasarkan penyembahan kita kepada Tuhan pada emosi kita, itu bisa jadi sesuatu yang melelahkan dan menipu. Di saat emosi kita berubah-ubah, Tuhan sejatinya tidak pernah berubah—belas kasih dan anugerah-Nya tetap buat kita, di masa sulit sekalipun. Ketika kita berfokus pada hal tersebut, kita bisa menyembah-Nya dalam keadaan apa pun.

Melalui berbagai tantangan dalam hidupku, aku menyadari ada satu cara yang pasti yang dapat mematahkan belenggu keputusasaan dan kekecewaan, yaitu menyembah Tuhan dengan sepenuh hati. Melingkupi diriku dengan orang-orang yang mengasihi dan menghormati Tuhan adalah hal yang juga penting, aku dapat dikuatkan dan termotivasi untuk menyembah Tuhan meskipun kehidupan menjadi sulit.

Inilah tiga hal yang selalu kuingatkan pada diriku sendiri untuk menyembah Tuhan, terkhusus dalam masa-masa sulit. Tiga hal ini menolongku mendekat pada Tuhan dan menyiapkan hati pada penyembahan kepada-Nya:

1. Ingatlah kebaikan Tuhan di masa lalu

Suatu ketika dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berada dalam satu kereta dengan sekelompok orang yang berusaha mencuri sesuatu dariku. Kesempatan lainnya, ketika aku dan keluargaku naik mobil, kami hampir tabrakan karena ada pengendara lain yang mabuk. Kala itu yang bisa kulakukan hanyalah mengucap, “Tuhan, aku mengasihi-Mu; tolonglah aku Tuhan!”

Aku mengingat kebaikan-kebaikan Tuhan yang telah menolongku di masa lalu. Semua ingatan akan kesetiaan Tuhan dan perlindungan dari-Nya meneguhkanku bahwa Tuhan adalah menara yang kokoh dan benteng perlindungan di kala kesulitan melanda (Mazmur 31:3, 62:6, 91:2). Aku dapat berlari pada-Nya dan menemukan perlindungan, keamanan, dan kenyamanan.

Tuhan memelihara janji-Nya kepada anak-anak-Nya, dan Dia telah membuktikannya sepanjang sejarah, juga dalam hidup kita. Ketika aku mengingat kembali kebaikan Tuhan dan pertolongan-pertolongan-Nya, aku dapat terus menyembah-Nya karena aku tahu dalam segala keadaan, kesetiaan dan kebajikan Tuhan tidak pernah berubah.

2. Mintalah pertolongan Roh Kudus

Tuhan meyakinkan kita dalam Alkitab bahwa penyertaan-Nya selalu beserta kita. Ketika kita menerima Tuhan Yesus dan lahir baru, kita memiliki penasihat, pendamping, dan pembimbing yang selalu ada bersama kita—Roh Kudus (Yohanes 14:17, 26; 15:26). Ketika menyembah Tuhan dalam situasi sulit, aku mendapatkan penghiburan bahwa Roh Kudus ada dalamku, memimpin, dan membimbingku. Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran menolongku untuk mengerti firman Tuhan, dan aku dapat merespons kepada Tuhan melalui Roh Kudus (Yohanes 16:13; Roma 8:26-27).

Berada di persimpangan jalan hidup bisa memusingkan. Di satu titik, aku dihadapkan pada keputusan untuk menjadi pelayan Tuhan sepenuh waktu. Aku ingin mengambil keputusan itu dan aku merasa inilah panggilanku. Namun, ada beberapa tantangan di depan yang aku tak tahu bagaimana menghadapinya. Selama masa itu, aku diingatkan bahwa sebagai orang percaya, aku telah dikaruniakan Roh Kudus. Aku bisa mengandalkan-Nya. Seiring aku memikirkan masa depanku, aku yakin bahwa Tuhan yang telah memanggilku akan memenuhi kebutuhanku dengan setia, yang perlu kulakukan hanyalah menyerahkan diriku kepada-Nya dengan taat.

Ketika aku berserah, beban-bebanku seoalah terangkat, dan aku yakin itu adalah pekerjaan Roh Kudus yang tak pernah berhenti memimpin dan membimbingku sampai di titik ini.

Ketika menghadapi masalah, aku mengingatkan diriku bahwa Roh Kudus terus mendorongku, dan meyakinkanku akan kehadiran Tuhan yang membimbingku maju. Aku dapat bersandar dan percaya kepada Tuhan di masa sulit, dan aku bisa menyembah-Nya karena aku tahu Roh-Nya selalu ada besertaku, menguatkanku, bekerja di luar dan di dalamku untuk memenuhi tujuan-Nya (Amsal 3:5-6, Filipi 2:13).

3. Yakinkan dirimu akan kasih Tuhan yang abadi

Firman Tuhan meyakinkanku akan kasih-Nya kepadaku, dan doa-doa menolongku selalu terhubung dengan-Nya. Kasih Tuhan yang sejati tidaklah seperti kasih manusia. Kasih Tuhan itu tidak bersyarat, berlangsung selamanya dari generasi ke generasi (Mazmur 100:5). Kebenaran akan Tuhan inilah yang menghibur hatiku serta pikiranku yang penuh ketakutan. Filipi 1:6 mengatakan Tuhan yang memulai pekerjaan yang baik di dalamku, dan Dia akan meneruskannya sampai hari-Nya tiba.

Aku bisa menyerahkan setiap masalahku kepada Tuhan, memercayai Dia kelak akan memberiku kemenangan. Meskipun bebas dari kekhawatiran tidaklah mudah, mengetahui dan mengalami kasih Tuhan menolongku untuk fokus kembali kepada-Nya.

Terakhir, ketika kesulitan hidup terasa sulit dihadapi, semuanya adalah sementara. Paulus mengatakan dalam 2 Korintus 4:16-17: meskipun manusia lahiriah kita semakin merosot, namun manusia batiniah kita dibaharui dari hari ke hari. Dan, penderitaan ringan yang kita jalani sekarang akan mendatangkan kemuliaan kekal kelak. Jadi, janganlah tawar hati!

Menyembah Tuhan membawa kita masuk dalam hadirat-Nya di mana ada kedamaian dan ketenangan hati. Dan itulah yang sungguh kita perlukan di masa-masa sulit. Menyembah Tuhan menolong kita untuk mampu mengatasi masa-masa sulit dan memberi kita harapan akan kekekalan—di mana tidak ada lagi tangisan, kematian, penderitaan, maupun rasa sakit (Wahyu 21:4). Ayo kita menyembah Tuhan!

Baca Juga:

Menjaga Toleransi di Tengah-Tengah Masyarakat yang Majemuk

Mengelola perbedaan dengan sikap toleransi bisa jadi merupakan sebuah tantangan. Berangkat dari pengalamanku, setidaknya ada tiga hal yang dapat diterapkan untuk hidup di tengah keberagaman.

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

aku-ingin-hidup-nyaman

Oleh Julian Panga, India
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Want a Comfortable Life—Anything Wrong?

Apakah hidup yang nyaman itu? Apakah itu hanya sekadar hidup cukup, sedikit lebih dari cukup, atau berkelimpahan?

Pengertian tentang arti hidup nyaman telah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Bagi generasi yang lebih tua, hidup nyaman mungkin berarti ada makanan yang tersaji di atas meja, segala kebutuhan terpenuhi, dan punya sedikit tabungan untuk masa-masa sulit. Namun, bagi generasi sekarang ini, segala hal itu mungkin telah dianggap sebagai kebutuhan dasar.

Aku ingat masa-masa ketika orangtuaku hanya mampu membeli sebuah sepeda motor—yang digunakan oleh kebanyakan keluarga kecil di India untuk kebutuhan transportasi mereka. Beberapa tahun lalu, aku memutuskan untuk membelikan mereka sebuah mobil-bekas-pakai dari tabunganku. Namun mereka merasa tidak membutuhkan mobil itu, dan menganggap mobil itu sebagai sebuah barang mewah yang tidak mereka butuhkan. Dalam pikiran mereka, tabungan seharusnya disimpan untuk hal-hal yang penting. Tapi, dalam pikiranku, sebuah mobil adalah sebuah kebutuhan yang harus ada.

Pengalamanku itu mungkin menggambarkan keadaan dunia saat ini. Kini, adalah sebuah hal yang umum atau bahkan telah menjadi kebutuhan untuk memiliki rumah atau mobil yang lebih besar dan lebih baik, memakai ponsel model terbaru, atau menghabiskan banyak uang untuk berlibur. Jika kamu berjalan-jalan di kota-kota metropolitan India (kota-kota dengan jumlah pemuda berusia 10-24 tahun terbanyak di dunia), kamu akan banyak mendengar orang-orang yang berkata, “Aku sekarang sudah dewasa dan bekerja, jadi aku bisa mempunyai gaya hidup yang lebih baik,” atau, “Apa salahnya menikmati hidup nyaman? Itu pilihan pribadiku dan aku toh tidak merugikan siapa-siapa.” Para pemuda India, bersama dengan para pemuda di seluruh dunia, kini mengadopsi sebuah gaya hidup yang menuntut sesuatu yang lebih—lebih banyak uang, lebih nyaman, dan lebih mewah.

Ironisnya, dalam pengamatanku, mereka yang memiliki lebih dari yang mereka butuhkan tidak pernah terlihat benar-benar bahagia. Di sisi lain, mereka yang tampaknya memiliki lebih sedikit—seperti sebuah keluarga yang terdiri dari enam orang kurus yang mendekam di sebuah gubuk di Johannesburg, atau keluarga yang berjuang keras untuk bisa makan dalam gubuk kecil di Bangalore, India—memiliki senyum yang lebih lebar daripada mereka yang memiliki lebih. Bagiku, hal ini membuatku semakin yakin bahwa kekayaan dan kenyamanan tidak dapat membeli kebahagiaan yang sejati.

Meskipun demikian, pengamatan ini mungkin tidak mematahkan semangat kita—bahkan juga orang-orang Kristen—untuk mencari hal yang lebih banyak dalam hidup ini. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab: adakah yang salah dengan menginginkan hidup nyaman?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada lima pertanyaan lain yang dapat kita renungkan.

1. Siapa yang kita andalkan?

Mari kita mulai dengan melihat dua pemahaman yang populer tentang hidup nyaman. Pemahaman yang pertama, hidup nyaman berarti terpenuhinya kebutuhan kita. Sedangkan pemahaman yang kedua, hidup nyaman berarti hidup dalam kemewahan. Meskipun Alkitab tidak menentang kita untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup kita seperti sandang, pangan, dan papan, kita juga perlu mengingat bahwa Yesus mengatakan agar kita tidak khawatir akan segala hal tersebut, karena Bapa kita yang di surga tahu, bahwa kita memerlukan semuanya itu dan akan memberikannya kepada kita ketika kita meminta kepada-Nya (Matius 6:25-34; 7:7-11). Doa Bapa Kami menyatakannya dengan jelas: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Pelajaran yang dapat kita ambil di sini adalah untuk mengandalkan Tuhan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan kita.

Apa yang sesungguhnya ditentang Alkitab adalah cinta akan uang dan mengejar kekayaan semata. Keinginan untuk memiliki kehidupan yang mewah dapat membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mengejar kekayaan. Obsesi ini mempunyai konsekuensi, seperti yang dikatakan Yesus tentang lebih mudahnya seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (Lukas 18:24-25).

Hidup nyaman itu sendiri bukanlah hal yang berdosa. Namun, jika hidup nyaman membuat kita mengandalkan diri kita sendiri lebih daripada Tuhan dan membuat kita menjadi sombong, kita perlu menjauhi hal itu.

2. Apa yang menjadi misi kita?

Dalam Lukas 9:58, Yesus mengatakan bahwa serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Bahkan kebutuhan dasar Yesus pun tidak terpenuhi. Namun, hal itu tidak membuat Dia enggan untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit, membantu orang miskin, dan memberikan semangat kepada mereka yang kekurangan, dikucilkan, dan putus asa. Dia melakukan apa yang menjadi misi Bapa-Nya dan menjalani prosesnya yang tidak nyaman.

Bukankan kita juga terlibat dalam misi Allah? Itu adalah sebuah misi seumur hidup yang mengharuskan kita untuk memberikan perhatian dan komitmen sepenuh hati kita. Jadi, jika kenyamanan dunia mengganggu atau menghalangi kita dalam melakukan misi Allah di dunia, kita perlu berhenti sejenak, melakukan refleksi dan menyesuaikan kembali hidup kita kepada Allah. Menjaga misi Allah menjadi pusat dari kehidupan kita akan membantu kita untuk lebih berfokus kepada upah yang bersifat kekal daripada kenyamanan duniawi yang sementara.

3. Kepada siapa kita mengabdi?

Dalam kisah tentang seorang muda yang kaya (Markus 10:17-27), ada seorang pemuda yang bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal. Pemuda itu bahkan mengatakan bahwa dia telah menuruti segala perintah Allah sejak masa mudanya. Yesus kemudian menunjukkan kepadanya bahwa meskipun pemuda itu mungkin telah menuruti segala perintah Allah tentang menjaga hubungan dengan sesama manusia, dia telah mengabaikan perintah Allah tentang menjaga hubungan dengan Allah. Singkatnya, kecintaannya kepada hartanya yang melebihi kecintaannya kepada Allah telah mempengaruhi hubungannya dengan Allah secara drastis. Masalah utamanya adalah tentang hati pemuda tersebut, dan kalau kita melanjutkan membaca kisahnya, pemuda itu pergi dengan sedih. Dia tidak rela memberikan hartanya yang banyak itu.

Dalam Matius 6:24, Yesus juga berkata bahwa tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Orang itu akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau dia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Jadi, jika hidup nyaman membuat kita berfokus kepada uang dan menghalangi kita untuk mengenal dan mengalami Tuhan dengan lebih baik, kita sebenarnya sedang mempertaruhkan hubungan kita dengan-Nya. Tuhan layak menerima pengabdian yang penuh dari kita.

4. Sudahkah kita melayani mereka di sekitar kita?

Yesus tidak perlu berpikir panjang untuk menanggalkan jubah-Nya, mengikatkan kain lenan pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-17). Dia menunjukkan apa artinya kerendahan hati yang sejati dan bagaimana kita perlu memperhatikan orang lain selain diri kita sendiri. Seperti Yesus, sikap yang kita tunjukkan haruslah sikap yang menghormati Yesus dengan sepenuh hati kita, tidak egois, dan memberi dengan murah hati.

Jadi, daripada menimbun harta atau kenyamanan untuk diri sendiri, mengapa kita tidak memanfaatkan kesempatan yang ada di sekitar kita untuk menunjukkan kasih dan melayani mereka yang kurang beruntung? Bagaimanapun, itu adalah tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita untuk memperhatikan orang-orang miskin, tertindas, terpinggirkan, para yatim dan janda di antara kita. Iman yang ditunjukkan melalui pelayanan yang kita lakukan menjaga fokus hidup kita tidak terpecah dan juga menjaga hati kita untuk tetap rindu untuk dipakai oleh Tuhan.

5. Apakah kita merasa cukup?

Di masa sekarang ini, sulit sekali bagi kita untuk merasa cukup di dalam dunia yang menawarkan kepuasan instan. Raja Salomo, dalam Pengkhotbah 5:10, berkata bahwa siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Namun seperti Rasul Paulus belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan (Filipi 4:11), kita juga dapat belajar mencukupkan diri jika kita belajar untuk mensyukuri berkat-berkat Tuhan. Daripada khawatir akan apa yang tidak kita miliki, marilah kita mencukupkan diri kita dengan apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.

* * *

Setelah 12 tahun tinggal di Australia, di mana aku mempunyai sebuah pekerjaan yang memberikanku banyak penghasilan dan hidup nyaman, aku meninggalkan semua itu sebagai jawabanku akan panggilan Tuhan. Aku kembali ke India dan melayani dalam sebuah lembaga pelayanan Kristen. Seringkali aku ditanya: Mengapa aku membuat keputusan dan “mengambil langkah mundur”—begitulah istilah yang digunakan oleh beberapa orang.

Itu karena aku menyadari bahwa segala hal yang ada di dunia ini takkan dapat memuaskan kita. Semua hal itu hanya membuat kita menginginkan lebih, dan pada akhirnya menjatuhkan kita ke dalam kekecewaan dan kehancuran. Aku sadar bahwa aku hanya dapat memperoleh kepuasan dan mencapai tujuan hidupku yang sejati ketika aku mengarahkan pandanganku kepada Tuhan—sumber dari segala hal yang aku miliki.

Jadi, pada akhirnya pertanyaannya bukanlah apakah kita dapat hidup nyaman, tapi apakah hidup kita sungguh menghormati dan menyenangkan Tuhan dalam segala hal yang kita lakukan.

Baca Juga:

Apa yang Kamu Berikan di Hari Natal?

Sejatinya, Natal adalah tentang memberi. Allah telah memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai jalan keselamatan bagi kita (Yohanes 3:16). Lalu, sebagai anak-anak-Nya yang telah ditebus oleh-Nya, apa yang sudah kita berikan bagi Yesus?