Posts

5 Bulan Jadi Ibu, Aku Semakin Mengenal 3 Sifat Bapa di Sorga Ini

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

14 Juni 2017. Tepat hari itu perjalananku menjadi seorang ibu dimulai. Aku tak pernah tahu apa rasanya menjadi seorang ibu sebelumnya. Ada perasaan berdebar yang kurasakan. “Apakah aku siap untuk menjadi seorang mama?” tanyaku pada diriku sendiri. Namun, di sisi lain aku juga bersemangat ketika melihat bayi perempuanku yang akan memanggilku “mama” ini.

Aku pun memulai babak baru dalam hidupku. Setelah 5 bulan berlalu, ada banyak hal yang berubah dalam hidupku. Salah satunya, pengalamanku sebagai seorang ibu membuatku lebih mengenal hati Bapa di sorga. Setidaknya ada 3 hal berikut yang aku pelajari.

1. Bapa di sorga akan menyediakan kebutuhan anak-anak-Nya

Sebagai seorang ibu, aku ingin sekali memberikan yang terbaik untuk putri kecilku. Sejak dalam kandungan, aku dan suamiku sudah mempersiapkan segala hal yang ia perlukan: mulai dari nama yang menjadi doa kami untuknya, perlengkapan yang kira-kira ia perlukan, sampai dengan tabungan untuk sekolahnya kelak. Semua telah kami persiapkan dengan saksama, dan kami ingin memberikan yang terbaik untuknya.

Suatu hari, aku memperhatikan putri kecilku ketika sedang tertidur lelap. Wajahnya begitu damai. Ia sama sekali tidak perlu khawatir akan hari esok. Ketika ia lapar, aku sudah mempersiapkan makanan untuknya. Ketika ia mulai kedinginan, aku langsung memakaikan pakaian yang lebih hangat untuknya. Ketika kelak ia harus masuk sekolah, aku sudah mempersiapkan dana yang ia perlukan. Tiba-tiba aku terhenyak. Jika aku yang adalah seorang manusia yang penuh kelemahan ini bisa memikirkan sampai sebegitunya untuk putri kecilku, apalagi Bapa di sorga yang begitu setia, sempurna, dan penuh kasih. Tentu Ia telah memikirkan, merencanakan, dan menyediakan semua yang terbaik yang dibutuhkan anak-anak yang dikasihi-Nya. Sama seperti putri kecilku yang tidak perlu khawatir akan hari esok, aku juga tidak perlu khawatir, karena ada Bapa di sorga yang menyediakan kebutuhanku.

“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberi yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Matius 7:11).

2. Bapa di sorga kadang mengizinkan kita melewati masa-masa yang tidak nyaman, agar kita bisa belajar dan bertumbuh maksimal

Sebagai seorang ibu, aku tentu ingin putriku mencapai kemampuan maksimalnya. Ketika ia berumur 2 bulan, aku pun memulai latihan otot “tummy time” atau latihan tengkurap. Tummy time ini berfungsi untuk melatih ototnya agar kelak dapat menjadi kuat dan ia mampu merangkak serta berjalan.

Namun, latihan yang sebenarnya baik ini ternyata tidak disukai oleh putriku. Setiap kali aku melatihnya, ia pasti menangis. Mungkin latihan ini tidak nyaman baginya. Ketika melihatnya menangis, aku harus menahan diri untuk tidak mengangkatnya. Aku harus membuat diriku “tega”. Tujuannya tentu agar ia dapat belajar. Jika aku menurutinya dan menghentikan latihan, ia takkan pernah belajar dan proses pertumbuhannya pun akan berjalan lambat dan tidak maksimal.

Pengalaman itu kembali membuatku merenung. Mungkin ada kalanya, Tuhan juga ingin melatih kita dengan mengizinkan hal-hal yang kurang nyaman terjadi dalam hidup kita. Ia ingin kita bisa mencapai pertumbuhan yang maksimal.

Seperti putriku yang menangis ketika latihan, mungkin kita juga mengeluh ketika Tuhan sedang melatih kita. Tetapi Tuhan tetap melanjutkan latihan itu, karena Ia tahu kita sanggup melewatinya (1 Korintus 10:13), dan tanpa latihan itu kita tak dapat belajar dan bertumbuh.

Sekarang, setelah rajin berlatih, putriku tidak menangis lagi ketika tummy time. Sebaliknya, ia malah sudah menguasai kemampuan baru hasil dari latihan tummy time itu, yaitu berguling. Otot kepalanya pun sudah sangat kuat. Pada akhirnya, latihan yang awalnya tidak nyaman itu, menghasilkan buah yang baik ketika kita dengan tekun menjalaninya.

“Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.” (Yakobus 1:2-4)

3. Bapa di sorga akan tetap mengasihi kita, karena kita adalah anak-anak-Nya

Putriku seringkali rewel. Kadang aku tidak tahu mengapa ia menangis. Kadang ia bisa begitu sulit untuk dimengerti. Namun, seberapa pun rewelnya putriku, aku tidak bisa tidak mengasihinya. Aku percaya, begitu pula kasih Bapa kita yang di sorga kepada kita. Tak peduli seberapa nakalnya kita di masa lalu, Ia tetap mengasihi kita, karena kita adalah anak-anak-Nya. Ketika kita datang kepada-Nya dan mengakui dosa kita, Ia akan mengampuni segala dosa kita (1 Yohanes 1:9).

“Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” (Yesaya 49:15)

* * *

Aku percaya, segala kesempatan yang Allah berikan, termasuk juga pengalaman menjadi orangtua, dapat membuat kita semakin mengenal-Nya. Dengan menjadi seorang ibu, aku jadi semakin mengenal sifat Allah dan semakin mengerti kasih-Nya. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan akan kesempatan yang Ia berikan untukku menjadi seorang ibu bagi putri kecilku: Joanna.

Baca Juga:

3 Hal Tentang Bersyukur yang Harus Kamu Ketahui

Bersyukur adalah hal sederhana yang untuk mempraktikkannya tak semudah mengucapkannya. Namun, di bulan ini maukah kamu bergabung denganku untuk mengucap syukur kepada Allah atas hal-hal yang berbeda setiap harinya?

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

Sungguhkah-Menikah-Seindah-di-Film-Inilah-Pengalamanku-Setelah-5-Bulan-Menikah

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

“And they live happily ever after.”

Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku.

Aku ingin menikah di usia muda

Ketika aku masih SMA, aku berikhtiar untuk menikah muda. Alasanku saat itu sederhana saja, aku merasa jika usiaku dan usia anak-anakku tidak terpaut jauh, aku bisa menjadi sahabat bagi mereka, sama seperti ibuku yang menjadi sahabat bagiku. Selain itu, sejak kecil film-film animasi Disney favoritku membuatku membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan. Pernikahan menjadi sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan.
Namun, ketika akhirnya kesempatan untuk menikah itu datang saat aku berusia 24 tahun, aku baru menyadari bahwa mengambil keputusan untuk menikah dan menjalankan pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah.

Pergumulanku sebelum pernikahan

Pernikahan adalah hal yang sangat penting dan sakral karena hanya dilakukan sekali seumur hidup. Artinya, siapa pun yang menjadi pasangan hidupku haruslah orang yang benar-benar tepat. Tidak boleh ada kata-kata “aku telah menyesal memilih dia”, atau “aku telah salah memilih pasangan hidup”.

Pikiran itulah yang menjadi kekhawatiranku ketika aku perlu mengambil keputusan untuk menikah. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apakah sungguh dia orang yang tepat? Apakah dia dari Tuhan? Apakah aku yakin bisa hidup bersamanya? Apakah aku orang yang tepat untuknya? Apakah aku bisa menjadi penolong untuknya? Terlalu banyak pertanyaan “apakah” yang ada dalam pikiranku kala itu.

Kala pertanyaan-pertanyaan itu membuatku galau, aku diingatkan akan alasan mengapa aku mau berpacaran dengan pasanganku itu. Bagiku, kita harus selektif dalam memilih pacar, karena sesungguhnya pacar adalah calon pasangan hidup kita. Oleh karena itu, sebelum kami berpacaran, aku telah menanyakan berbagai pertanyaan dasar kepada calon pasanganku. Apakah dia orang yang takut akan Tuhan? Apakah dia orang yang bertanggung jawab? Bagaimana jika hubungan ini berlanjut ke pernikahan? Ketika aku mengingat kembali alasan aku mau berpacaran dengannya, dan juga setelah mengenal dia lebih baik lagi selama kami berpacaran, aku akhirnya setuju untuk menikah dengannya.

Pergumulanku setelah pernikahan

Setelah melewati masa galau saat aku memutuskan untuk menikah, aku mengalami masa galau lainnya setelah aku masuk ke dalam pernikahan. Aku menjadi mengerti, pernikahan bukanlah tentang sebuah pesta. Pernikahan adalah tentang kehidupan setelah pesta berakhir.
Kehidupan pernikahan adalah sebuah kehidupan di mana dua manusia dengan latar belakang yang berbeda mencoba untuk hidup bersama. Sulit? Kurasa “sulit” bukan kata yang tepat. “Menantang” adalah kata yang lebih cocok menggambarkannya.

Ada beberapa perbedaan yang kurasakan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, kami hanya ketemu sesekali saja, sehingga perbedaan kami tidaklah terlalu mengganggu kami. Namun, setelah pernikahan kami hidup bersama-sama. Tiba-tiba, perbedaan yang ada menjadi semakin mencolok.

Aku suka makanan bercita rasa asin, tapi suamiku suka makanan bercita rasa manis. Hal itu menjadi begitu merepotkan karena kini kami sering makan bersama. Saat kami keluar mencari makan, kami harus mempertimbangkan selera masing-masing orang. Ketika masak di rumah pun, aku harus membuat dua menu yang berbeda, yang memenuhi selera masing-masing. Saat pacaran, lebih mudah untuk bertoleransi karena kami hanya sekali-sekali makan bersama. Tapi setelah kami menikah, perbedaan ini menjadi hal yang harus kami hadapi seumur hidup.

Contoh lainnya adalah mengenai waktu tidur. Aku adalah ibarat “ayam jago” yang energinya keluar di waktu pagi. Jadi, aku tidur lebih awal, dan bangun lebih pagi untuk beraktivitas. Berbeda dengan suamiku, dia adalah ibarat “kelelawar malam” yang banyak beraktivitas di malam hari. Hal ini menjadi masalah karena kami tidur sekamar. Tengah malam, suamiku masih menyalakan lampu dan melakukan aktivitasnya. Kadang itu membuatku menaruh guling menutupi telingaku dan berseru kepadanya, “Matikan lampunya, aku mau tidur!”

Hal-hal yang kutemui di masa awal pernikahanku ini mungkin terlihat seperti permasalahan yang sepele. Tapi jika kita tidak dapat menyelesaikannya dengan baik, hal itu bisa berakibat fatal.

Inspirasi yang menjawab pergumulanku

Suatu hari, aku menemukan sebuah doa yang pernah dicetuskan oleh seorang teolog Amerika Reinhold Niebuhr. Doa itu begitu indah dan memberiku pencerahan untuk menyikapi permasalahan yang ada dalam pernikahanku dengan bijak. Berikut adalah isi doanya:

Tuhan, berikan aku damai sejahtera untuk menerima hal yang tak dapat kuubah,
berikan aku keberanian untuk mengubah yang dapat kuubah,
dan berikan aku hikmat untuk mengetahui perbedaan dari kedua hal itu.

Membaca doa di atas mengingatkanku bahwa ada hal-hal yang tak dapat kita ubah, dan untuk hal-hal semacam itu, kita perlu beradaptasi dan menerimanya. Aku tak dapat mengubah suamiku yang merupakan “orang malam”. Yang dapat kulakukan adalah beradaptasi dan menerimanya. Aku pun membiasakan diri untuk tidur dengan lampu yang menyala.

Selain itu, aku juga diingatkan oleh sebuah ayat Alkitab berikut ini:

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Ayat itu mengingatkanku bahwa untuk hidup dalam perdamaian, usahakanlah itu. Kadang hal itu menjadi sebuah tantangan ketika keinginanku berbeda dengan keinginan suamiku. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa dalam beberapa hal, jika itu hanya menyangkut keinginanku, aku perlu berkompromi. Berkompromi berarti kita akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, karena hal itu penting bagi pasangan kita. Agar perdamaian itu dapat terwujud, perlu ada setidaknya salah satu yang mengalah.

Ketika memasak, aku merelakan diri untuk lebih repot dengan dua kali memasak untuk memastikan kebutuhan cita rasa suamiku dan diriku yang berbeda dapat terpenuhi. Begitu pula dengan masalah lampu kamar. Ketika aku perlu tidur cepat dan mematikan lampu, suamiku mengalah dengan beraktivitas di luar kamar. Ketika kami saling berkompromi, itu sangat membantu kami untuk menciptakan sebuah pernikahan yang harmonis. Perbedaan-perbedaan yang ada pun tidak terasa terlalu mengganggu lagi.

Pernikahan bukan untuk mengejar kebahagiaan

Aku mengingat sebelum menikah aku sempat membaca sebuah buku karangan Gary Thomas yang berjudul “Sacred Marriage”. Dalam buku itu, Gary Thomas berkata bahwa tujuan pernikahan bukanlah untuk mengejar kebahagiaan. Pernikahan adalah suatu sarana yang diciptakan Allah untuk menguduskan manusia agar semakin serupa dengan-Nya.
Jika seseorang ingin menikah, dia harus siap untuk melalui proses pemurnian dan pembentukan Allah. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan bonus yang diberikan Allah ketika kita melalui proses-Nya.

Itulah yang kualami dalam lima bulan pertama dalam pernikahanku. Aku merasa Tuhan sedang menguduskanku dan membentukku menjadi pribadi yang lebih baik melalui setiap masa suka dan duka yang kualami dengan suamiku. Meski ada riak-riak perbedaan karakter dan kebiasaan yang muncul setiap hari, aku dapat menjalaninya dengan sukacita, karena aku percaya itu adalah proses pemurnian dan pengudusan Tuhan bagiku dan pasanganku.

Jadi, apakah menikah itu indah? Jawabannya adalah ya. Tetapi bukan indah dalam pengertian tidak ada masalah, hidup damai, dan semua senang seperti yang dipertontonkan di film-film. Melainkan, indah karena iman dan pengenalanku akan Tuhan boleh semakin bertumbuh, dan karakterku diproses dari hari ke hari.

Aku sungguh berharap bahwa pernikahan yang kami bangun ini diperkenan Tuhan untuk menjadi berkat bagi anak-anakku kelak dan pasangan-pasangan lain. Kiranya keluarga yang kami bangun ini menjadi keluarga yang takut akan Allah, dan kiranya kelak anak-anak kami dapat menjadi pewaris kerajaan Allah.

Baca Juga:

Mengapa Aku Masih Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.