Posts

Kehilangannya, tapi Menemukan-Mu

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Rintik hujan sore itu mengingatkanku akan kejadian tepat satu minggu lalu. Rasanya seakan baru kemarin kejadian itu berlangsung. Sangat cepat, dan tanpa basa-basi. Aku duduk di bingkai jendela kamar kosku. Titik-titik hujan di kaca jendela terasa menenangkan. Di luar hujan deras dan orang-orang tampak berlarian di jalanan meskipun mereka memegang payung di tangan.

Aku menghembuskan napas. Menyisakan kabut tipis di kaca jendela.

Seminggu lalu, aku berhenti bekerja. Maksudku, aku diberhentikan dari pekerjaanku. Yahh, aku sekarang pengangguran.

Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup besar di kota ini. Aku belum terlalu lama bekerja di tempat ini namun aku bersyukur mendapat posisi yang cukup baik di tim audit perusahaan ini. Aku mendapat rekan kerja yang ramah dan dapat diandalkan, serta gaji yang cukup besar. Namun setelah beberapa waktu, aku kemudian mulai mengerti banyak hal yang seharusnya tidak begitu.

Kali pertama—setelah beberapa waktu, aku bertugas menyusun laporan keuangan. Aku menyadari terdapat perbedaan nominal pada laporan keuangan yang aku susun dengan laporan keuangan yang kami bahas dalam rapat akhir bulan, tapi aku mengira aku yang mungkin salah dalam membuatnya dan Kepala Tim berbaik hati memperbaikinya.

Kali berikutnya kami diminta menambahkan sesuatu ke dalam daftar uang keluar, yang sebenarnya kami semua tahu kami tidak pernah mengeluarkan dana untuk sesuatu itu.

Hal itu terjadi berulang kali hingga suatu waktu aku merasa perlu untuk mengonfirmasinya pada ketua tim.

Dan, tebak apa yang dikatakan padaku?

“Andini, kinerja kamu selama ini saya perhatikan cukup bagus, kamu tidak begitu banyak bicara tapi laporan yang kamu buat teliti dan akurat. Jadi tugas kamu adalah tetap melakukan apa yang sudah kamu lakukan selama ini. Setiap laporan yang telah saya terima adalah tanggung jawab saya untuk mengelolanya. Saya senang memiliki kamu di tim ini, mungkin tahun depan kamu sudah bisa mendapat promosi.” Katanya dengan lembut dan senyuman yang manis. Hatiku mencelos, lalu dengan kikuk keluar dari ruangannya.

Itu bukan kali pertama aku melakukannya. Beberapa waktu kemudian aku melakukannya lagi dan mulutku langsung ditutup dengan beberapa kalimat yang menyuruhku untuk segera keluar.

Suatu waktu ketika makan siang bersama dengan rekan kerja yang lain, aku menyampaikan hal itu kepada mereka. Dan apa yang kudengar dari mereka tidak begitu berbeda.

“Itu hal yang lumrahlah di lingkungan kerja seperti kita ini, Din! Kita tahu sama tahu saja. Yang penting kan tidak merugikan kita, gaji kita lancar, kerjaan kelar, bonus besar. Simple kan?”

Aku terdiam mendengarnya. Sementara yang lain mengangguk-angguk setuju.

Aku menghembuskan napas berat. Tampaknya aku sendirian.

Beberapa waktu aku membiarkan hal itu terus terjadi dan aku mulai mengikuti arus yang ada. Aku lelah berkoar-koar tentang hal itu sementara yang lain tampak tidak terusik sama sekali. Aku berusaha menjalani hari-hari kerja dengan menutup mata dan telingaku akan hal-hal seperti itu. Aku hampir nyaman menjalaninya dan memang menyenangkan ketika hidup ini berjalan dengan mulus.

Malam hari di hari Rabu minggu lalu, aku pulang dengan perasaan tidak nyaman. Aku benar-benar gelisah. Aku tahu sesuatu sedang tidak beres dalam caraku menjalani pekerjaanku dalam beberapa waktu terakhir ini tapi aku berpura-pura dan mengabaikannya. Aku tahu Tuhan memerintahkan aku menyatakan kebenaran tapi aku terlalu takut. Besok akan ada rapat akhir bulan seperti biasa dan harusnya ini kesempatan yang baik untukku mencoba menyampaikannya. Aku mulai menyusun skenario-skenario di kepalaku, beserta kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

Aku menghembuskan napas, lalu mengambil suatu keputusan.

Keesokan paginya, aku pun mengangkat tangan dan mengutarakan semuanya. Dan, cepat saja. Tidak perlu waktu lama dan basa-basi semuanya terjadi.

Aku pulang siang itu dan aku terduduk di ujung tempat tidur, tertegun, dan aku mulai menangis.

Mengapa aku harus berada di lingkungan kerja yang seperti ini? Megapa aku harus menyatakan kebenaran sementara orang lain tampak menikmatinya? Selama ini aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan pekerjaan ini dan aku memang takut kehilangannya. Aku takut tidak akan mendapatkan pekerjaan seperti ini lagi. Aku ragu untuk menjalani hidup tanpa kepastian akan pekerjaan dan penghasilan yang baik. Aku menginginkan hidup aman dan mulus. Sekarang bagaimana aku akan menjalani hidup? Aku.. tampaknya aku ragu akan pemeliharaan-Mu.

Tapi malam itu aku mulai tersadar.

Kalau hidup selalu berjalan mulus, kapan aku belajar bergantung pada-Mu?

Kalau aku selalu berada di lingkungan yang baik-baik saja, kapan aku punya kesempatan untuk menyaksikan-Mu?

Kapan aku punya kesempatan untuk mengakui eksistensi-Mu dalam setiap musim hidupku?

Kapan lagi aku belajar untuk tetap berpengharapan sekalipun rasanya tidak ada lagi harapan?

Aku akhirnya tersenyum dan merasa lega. Kehilangan pekerjaan memang menyakitkan, tapi tidak sebanding dengan sukacita karena menemukan wajah-Nya yang penuh kasih.

Dan, di sinilah aku. Yahh satu minggu ini di cukup menyenangkan juga, satu minggu untuk melakukan hal-hal yang disukai, mencoba hal-hal baru, beristirahat. Sebelum esok harus mulai berburu lowongan pekerjaan lagi.

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatila dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).

Pentingnya Jujur pada Diri Sendiri

Oleh Still Ricardo Peea

Bulan Oktober lalu diperingati sebagai bulan kesadaran kesehatan mental sedunia. Di bulan itu pula, ada satu kejadian yang menegur dan mengingatkanku lagi tentang kesehatan mental di tengah pelayananku di pedalaman Papua.

Ada seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sebelum meninggal, dia mengisi celananya dengan uang dari hasil kerjanya. Menurut sahabat terdekatnya, almarhumah sering dirundung oleh beberapa tetangga dan kepada sahabatnya itu dia berkata bahwa dia akan pergi ke kampung halamannya. Namun, yang terjadi malah dia pergi untuk selamanya. Kakak perawat yang bertugas bersamaku juga berkata kalau tahun sebelumnya juga ada warga yang bunuh diri dengan cara yang sama.

Dua kejadian itu menggerakkanku untuk mencari tahu lebih jauh data-data terkait kesehatan mental. Namun, kusadari bahwa tanpa perlu menjelajahi penelitian dari seluruh dunia, isu kesehatan mental adalah sesuatu yang terus kita gumulkan dalam diri. Aku pun teringat akan kitab Mazmur, kitab yang kalau kata teolog John Calvin, adalah “anatomi dari keseluruhan bagian jiwa.”

Kadang aku suka membukanya dan membaca ayat-ayat yang kutemukan secara acak entah sebelum ke sekolah atau kuliah, saat bosan atau sedang ingin saja. Selalu saja ada bagian yang bisa kunyanyikan dalam hati atau renungkan tatkala aku merasa galau, gelisah, overthinking, cemas, insecure, bertanya-tanya, suka atau duka, meratap atau mengeluh, hari berat, hari biasa, saat Tuhan terasa jauh atau dekat. Mazmur menjadi curahan ekspresi jiwa para pemazmur dalam berbagai situasi yang terjadi di masa mereka, bagaimana mereka bergumul dan berproses dengan jiwanya dan apa yang akhirnya menjadi keputusan mereka.

Mungkin Mazmur 42 salah satu yang cukup mainstream buat kita karena sering dinyanyikan lagunya. Bagian awalnya tertulis, “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Namun, muncul pertanyaan buatku: apakah yang bisa kurenungkan hanya hanya sebatas analogi diriku seperti rusa yang haus? Atau, seperti tanah gersang yang menanti air, apakah itu juga adalah kerinduan terbesar hatiku?

Di tengah banyaknya perspektif tentang kesehatan mental, seperti “insecure dan anxiety itu perlu biar kita stayin alive” dan lain sebagainya. Mazmur ini mengajakku untuk merenungkan kembali, mencoba memahami dan bertanya pada jiwaku, diriku sendiri apa yang menjadi kegelisahanku. Ya, Mazmur ini terasa seperti mengajakku untuk berseru, bersukacita, menangis, meratap atau berkeluh kesah, berinteraksi dan menegur diri sendiri, jujur akan kelemahan diri sendiri dan pada akhirnya berharap pada Pencipta kita yang paham betul ketidaksempurnaan kita. Dengan keadilan dan kasih-Nya yang sempurna Ia memulihkan kita.

Saat ini, banyak hal yang bisa jadi pemicu kegelisahan diri, entah saat merasa buntu atau tersesat, banyaknya pilihan yang ditawarkan dan dipamerkan dunia lewat media sosial ataupun lingkungan kita. Kadang hal-hal tersebut terasa seperti mengolok-ngolok kekurangan diri dan menuntunku bertanya apakah Allah benar-benar ada dan mencukupiku? Apakah kelegaan dan kepastian yang selama ini kudambakan benar-benar nyata atau hanya fiktif? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Dan berbagai pertanyaan yang menyerang diri sendiri setiap saat membuatku tidak baik-baik saja dan doa terasa tak berguna.

Mazmur 42 mengajakku bertanya dan mencoba jujur dengan diri sendiri. Aku tidak perlu ragu untuk bertanya dan jujur tentang apa yang aku rasakan meski kadang aku juga bingung dengan perasaan yang terus saja menggelisahkan diri. Setelah bercerita ke orang yang dipercaya, hasilnya kadang membuatku lega, tapi kadang juga tidak. Orang yang mendengarkanku pun kadang menanggapi tidak sesuai harapanku. Selain itu aku pun merasa lelah dengan beragam peristiwa di seluruh dunia seperti, serangan di Ukraina, bayi-bayi yang harus dievakuasi, korban di sana sini. Apakah Tuhan menutup mata dengan hal ini? Dan segudang pertanyaan lainnya.

Aku percaya bahwa Roh Kudus memampukanku berseru, mengeluh dan berharap dengan Tuhan, jujur akan kelemahan dan natur berdosaku. Roh Kudus juga menyadarkan dan mengingatkanku akan kesetiaan Tuhan yang terus menuntunku dalam segala masa, seperti dalam masa pelayanan sebagai perawat Covid, di mana aku merasa lelah karena berhadapan dengan kematian yang terasa sungguh dekat dengan ambang pintu. Baru semalam kudoakan pasienku, besoknya malah sudah tidak bernyawa. Namun, Tuhanlah yang memampukanku melayani sampai lulus. Dalam masa penantian untuk ke tempat penempatanku sekarang hingga aku positif COVID, Tuhan selalu menyanggupkanku.

Daud dalam seruannya di Mazmur 51 dan Tuhan Yesus dalam kisahnya di Matius 26:36-46, jadi contoh dari Alkitab yang menegurku untuk jujur akan perasaan dan berserah lebih lagi pada Tuhan. Tuhan Yesus mengajakku untuk datang pada-Nya dengan segala beban yang ada padaku (Matius 11:25-30), untuk belajar dari pada-Nya sang firman dan air hidup yang mampu melegakan kita (Mazmur 94:18-19). Dia mengajak kita untuk memikul beban yang Dia percayakan, belajar dan berpaut pada-Nya. Bukan kepada dunia yang hanya menggelisahkan dan memberikan kepuasan palsu.

Ke mana dan sejauh mana pikiran dan perasaanku mengembara akan menentukan sejauh mana aku akan berharap dan bertahan, atau keputusasaan akan melemahkanku.

Aku belajar untuk selalu menyanyikan dan mengingatkan jiwaku sampai aku tertegur dan sadar. Ingat dan hitunglah terus kasih setia Tuhan yang sudah kita alami. Tidak mengapa bila kita lemah, tak sempurna dan lelah, bawa semua itu pada-Nya dan jangan pikul apa yang tidak dipercayakan pada kita. Isi pikiran dan jiwa kita dengan memikirkan apa yang baik sebagaimana yang diingatkan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Filipi 4:8-9).

Aku menantang setiap kita untuk lakukan 3 hal berikut ini dalam 7 hari:

  1. Buatlah satu kertas atau catatan untuk menuliskan pertanyaan pada diri sendiri dan Tuhan akan segala keresahan, kegelisahan, kebimbangan atau perasaan apapun yang dirasakan di hari itu
  2. Satu hari tulislah satu ayat atau lebih yang dirasa bentuk kejujuran pada diri sendiri dan Tuhan, mengingatkan atau menegur atau mengajak kita untuk berharap dan berbalik sama Tuhan kita. Buatlah dalam satu kertas.
  3. Di 3 hari dalam 7 hari itu, lihatlah ke langit dan sekeliling kita sebentar, lalu lihat ke bawah, ke tangan dan kaki kita, lalu ingatkan diri sendiri “Hey, (nama), sejauh inilah Tuhan sudah menuntunmu melampaui segala suka dan dukamu, sakit dan senangmu. Mengapa tertekan dan resah? Ayo, (nama), berharap dan bersyukur pada penolong dan Bapa kita!

    Kiranya Tuhan memberkati dan senantiasa memelihara jiwa kita, untuk terus berpegang dan berharap pada-Nya.

3 Alasanku Berhenti Berbuat Curang

3 alasanku berhenti berbuat curang

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Mari kuceritakan kisah yang lucu tapi juga memalukan. Saat duduk di kelas X dan sedang diadakan ulangan harian, aku yang duduk di bangku paling depan berusaha untuk mencontek. Waktu itu, aku benci pelajaran kimia karena bagiku pelajaran itu terlalu rumit dan harus banyak menghafal. Sebenarnya, tak hanya di pelajaran kimia, di mata pelajaran lainnya pun aku sudah terbiasa mencontek.

Tepat di depanku, guruku sedang duduk. Melihat soal-soal yang memusingkan, aku pun tak berdaya dan akhirnya memilih untuk diam-diam membuka buku catatanku di bawah meja. Kemudian, ada suara yang menegurku. “Apa itu? Berani-beraninya kamu mencontek, padahal ada guru di depan sini. Cepat tutup buku itu!” Guru kimia itu memergokiku dan saat itu juga aku merasa seolah jantungku berhenti berdetak. Suara tawa dari teman-temanku memenuhi ruangan kelas. Aku merasa amat malu karena ketahuan mencontek. Saking malunya, aku merasa seperti ingin mengubur diriku sendiri saja. Sepulang sekolah, teman-teman meledekku. Kata mereka, aku perlu latihan supaya bisa mencontek lebih baik.

Saat ulangan itu berlangsung, sebenarnya ada banyak anak-anak lain yang mencontek juga tapi hanya aku yang ketahuan. Walaupun aku sudah mencontek, tapi tetap saja ketika hasil ulangan dibagikan, nilaiku tetap jelek. Sudah mencontek, gagal pula. Kejadian itu membuatku malu dan akhirnya bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama. Aku tidak mau mencontek lagi seumur hidupku.

Itu adalah kisah pertamaku tentang mencontek. Setelah kejadian itu, aku memang tidak lagi mencontek. Sebelum ujian dilangsungkan, aku berlatih untuk mendisiplinkan diri dengan membaca buku, mengulang kembali pelajaran-pelajaran di kelas, dan tak lupa aku juga berdoa supaya Tuhan menolongku untuk memahami setiap pelajaran yang kubaca. Tapi, masih ada satu hal lainnya yang belum bisa aku lepaskan, yaitu memberi contekan.

Kisah kedua terjadi ketika aku duduk di kelas XI. Teman sebangkuku adalah sahabat terdekatku. Ketika ulangan berlangsung, dia memohon kepadaku untuk diberikan satu saja jawaban dari soal yang paling sulit. Aku merasa kasihan dan ingin berbuat baik kepadanya, jadi kuberikan saja jawaban itu. Tapi, coba tebak. Ketika nilai ulangan dibagikan, aku sangat kaget. Aku mendapatkan nilai 80, sedangkan temanku yang kuberikan contekan malah mendapat nilai 90. Aku jadi kesal dan jengkel karena orang yang kuberikan contekan malah nilainya lebih tinggi dariku. Saat itulah akhirnya aku berjanji untuk tidak mencontek dan tidak akan memberi contekan lagi untuk seterusnya.

Usahaku untuk berhenti dari kebiasaan mencontek itu tidak mudah. Kadang, aku masih tergoda untuk mencontek karena aku tidak puas dengan nilai-nilaiku. Ketika kuliah, godaan lainnya datang dari teman-teman yang menganggapku tidak bisa diajak kerjasama kalau tidak mau mencontek. Aku pernah dikucilkan oleh mereka karena prinsipku ini, tapi lambat-laun mereka bisa menghargai keputusanku dan mau bergaul kembali denganku.

Jika aku mengingat kembali kejadian memalukan saat guru kimia memergokiku, aku mengucap syukur kepada Tuhan. Lewat kejadian itu, Tuhan sedang menegurku, meski sebenarnya aku berharap ditegur dengan cara yang lain, bukan dengan cara yang memalukan.

Ketika aku berjuang untuk menjaga diriku dari berbuat curang, ada 3 hal yang membuatku menyadari bahwa kebiasaan mencontek itu tidak patut dilakukan bagi pengikut Kristus.

1. Tuhan mengetahui segala sesuatu

Mencontek, apapun cara caranya adalah tindakan berbohong dan curang. Sebenarnya, setiap soal ujian yang diberikan itu baik untuk menilai kemampuan kita. Itulah sebabnya mengapa kita harus mengerjakannya dengan jujur sesuai dengan kemampuan diri kita sendiri. Ketika kita mencontek, kita bukan hanya sedang menipu guru kita, tapi kita juga sedang berusaha menipu Allah, padahal tidak ada satu pun yang tersembunyi di hadapan-Nya. “Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (Ibrani 4:13).

Kebiasaan-kebiasaan kecil kelak akan membentuk hidup kita. Tanpa kita sadari, apabila kita melestarikan kebiasaan contek-mencontek, kelak kita bisa saja akan jatuh kepada kebohongan yang lebih besar lagi, seperti praktik korupsi. Jika kita mengakui diri sebagai pengikut Kristus, kita pasti menyadari bahwa Tuhan mengetahui apa pun yang kita kerjakan, dan tentu kita tidak ingin mengecewakan Dia.

2. Kita sudah lahir baru

Aku baru bertobat dan mengalami lahir baru ketika duduk di kelas XI. Saat itu, aku mengalami kasih mula-mula yang begitu indah bersama Tuhan. Ketika aku mulai terbiasa melakukan saat teduh dan berdoa, lambat laun aku mulai tidak menyukai hal-hal yang tidak berkenan kepada Allah, salah satunya adalah mencontek.

Sebagai seorang Kristen, kita tidak hanya dipanggil untuk diselamatkan oleh Allah, tapi kita juga dipanggil untuk menjadi serupa dengan-Nya. “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48).

3. Kita hidup untuk menyenangkan Tuhan, bukan manusia

Ketika kita belajar taat, mungkin saja teman-teman kita akan menganggap kita sebagai orang yang ‘sok rohani’. Waktu aku berusaha berhenti mencontek, ada teman-temanku yang mengejekku demikian. Tapi, aku berusaha menanggapinya dengan tenang. Aku membalas olokan mereka dengan senyuman dan berkata bahwa apapun hasilnya, aku bahagia dengan kerja kerasku sendiri.

Jika kita membuka kembali Alkitab kita, ada orang-orang yang awalnya dianggap remeh karena pilihan mereka menaati Tuhan. Tapi, pada akhirnya ketaatan mereka tidak hanya menyelamatkan diri mereka sendiri, tapi juga banyak bangsa. Ketika Nuh diperintahkan Tuhan untuk membangun bahtera di atas gunung, orang-orang banyak mengejeknya. Tapi, Nuh tetap taat mengerjakan bahtera itu hingga akhirnya air bah datang dan Nuh beserta keluarganya selamat.

Tidak perlu malu ketika kita berbeda dengan orang banyak karena kita memilih untuk menaati Tuhan. Kita hidup untuk menyenangkan Tuhan, bukan manusia. Segala sesuatu yang kita lakukan, kelak akan kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Mendengarkan Musik Sekuler?

Kita hidup di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Oleh karenanya, kita tidak perlu heran ketika menemukan musik-musik, buku-buku, maupun tontonan yang tidak sesuai dengan standar Alkitab. Lalu, apakah itu berarti kita hanya boleh mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu rohani saja? Apakah semua musik yang kita labeli sebagai musik sekuler akan membawa kita ke dalam dosa?

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur, Meski Harus Kehilangan Impianku

ketika-aku-berjuang-untuk-jujur-meski-harus-kehilangan-impianku

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Ketika memasuki dunia perkuliahan dulu, aku bersyukur karena bisa melaluinya dengan baik. Di semester pertama aku mendapat nilai A untuk semua mata kuliah sehingga aku meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 4.00. Di semester-semester selanjutnya aku sempat mengalami penurunan IPK, tetapi puji Tuhan karena aku masih boleh mendapatkan IPK di atas 3.50.

Semua berjalan dengan lancar dan tidak ada satu pun mata kuliah yang harus aku ulang. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan psikologi, tugas akhir yang harus kuselesaikan itu terdiri dari dua tahapan. Pertama adalah usulan penelitian, kedua adalah skripsi. Di tahap pertama aku harus menyusun bab 1 sampai 3, sedangkan di tahapan skripsi aku harus menyusun bab 4 dan 5.

Di tahap pertama aku mengalami kesulitan. Seharusnya tahap pertama ini selesai dalam waktu satu semester saja, tetapi aku butuh waktu empat semester! Sekitar dua tahun kuhabiskan hanya untuk berkutat di bab satu sampai tiga.

Berulang kali aku harus merombak isi bab pertamaku karena ternyata masalah yang ada di lapangan itu tidak relevan dengan judul penelitan yang aku ambil. Sulit bagiku untuk memahami apa yang diinginkan oleh dosen pembimbing, sehingga ini juga menjadi salah satu hambatan di balik lamanya proses bab satu itu. Lalu, waktuku pun terbatas karena aku melakukan penelitian ini di sebuah sekolah. Kalau sekolah itu sedang libur atau ujian, tentu penelitian itu tidak bisa kulakukan.

Setelah berkutat selama empat semester, akhirnya aku bisa melanjutkan ke tahap kedua, yaitu skripsi.

Saat aku merasa putus asa

Ternyata proses penyusunan skripsi ini juga tidak selalu berjalan mulus. Ada saja hal yang membuatku merasa putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Aku pikir skripsi ini akan lebih mudah karena tinggal menyusun hasil temuan data. Tapi, ternyata hasil temuan dataku bermasalah.

Metode penelitian yang kugunakan ternyata kurang lengkap sehingga aku tidak mendapatkan data yang maksimal. Lambat laun aku mulai merasa jenuh karena proses skripsi ini tidak kunjung selesai. Aku harus pergi bolak-balik menemui dosen pembimbingku yang lokasi rumahnya cukup jauh, bahkan sering juga dosenku itu lupa kalau ada jadwal pertemuan denganku.

Aku bertambah bingung ketika teman-temanku sering berkomentar, “Kok lama amat sih ga beres-beres, padahal IPK kamu kan lumayan.” Aku hanya bisa tertawa ketika teman-teman berkata seperti itu walau di dalam hatiku komentar itu terasa “menusuk”. Di tengah frustrasiku, ayahku bahkan sempat memintaku untuk “memberi amplop” pada dosen pembimbingku supaya proses skripsiku bisa dipermudah. Namun aku menolak usulan ayahku itu.

Di tengah kebingungan itu teman-temanku memberi saran untuk memanipulasi data. Si A dan si B juga dimanipulasi sedikit datanya supaya bisa cepat lulus. “Udahlah, zaman sekarang mah gak usah terlalu suci, susah kalau gitu mah, ya diubah sedikit hasil penelitiannya mah ga apa-apa dong,” kata teman-temanku.

Aku merasa malu, aku merasa percuma saja mendapatkan IPK tinggi tetapi tidak bisa lulus tepat waktu dan mendapatkan predikat cum laude. Aku menganggap cum laude itu sebagai sesuatu yang nantinya bisa aku banggakan. Aku senang jika ada orang-orang yang memujiku dan menganggapku hebat. Walaupun ketika dipuji aku tetap berusaha rendah hati, tapi harus kuakui kalau ada perasaan bangga dan aku ingin supaya orang-orang menilaiku sebagai orang yang berprestasi.

Hal-hal itulah yang membuatku berpikir kalau dengan meraih predikat cum laude maka aku akan “terkenal”, apalagi saat wisuda nanti ada ribuan orang yang hadir, termasuk juga para orang tua mahasiswa. Aku ingin mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sekitarku kalau aku adalah mahasiswa berprestasi.

Tantangan untuk berlaku jujur

Sejujurnya, perkataan teman-temanku itu sempat membuatku berpikir. “Apa iya aku harus sedikit curang supaya bisa lulus?” Aku merasa sangat bingung waktu itu, apalagi untuk mendapatkan predikat cum laude itu pun ada batasan masa kuliahnya. Aku benar-benar menghadapi dilema saat itu.

Ketika menghadapi dilema ini aku hanya bisa terus berdoa. Aku menceritakan segala keluh kesahku kepada Tuhan dan meminta hikmat tentang apa yang harus aku lakukan. Aku juga bersyukur karena mempunyai teman yang selalu mendukung dan menguatkan aku. Dia cukup sering memantau kemajuan tugas akhirku dan berusaha menyemangatiku.

Salah satu ayat yang menguatkan aku adalah “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5 : 37). Ayat ini menantang aku sekaligus mengingatkan aku untuk tetap berlaku jujur dan setia. Tuhan tidak berjanji kalau jalan yang harus kita lalui adalah jalan yang mulus, tetapi Tuhan menjanjikan kekuatan bagi orang-orang yang berharap padaNya.

Aku bersyukur walaupun dengan perjuangan yang berat sampai kadang aku pun menangis, Tuhan masih menjagaku sehingga aku bisa tetap jujur dalam menyusun skripsiku. Aku mencoba untuk menikmati proses penyelesaian skripsi itu. Sekalipun predikat cum laude gagal aku raih karena aku butuh waktu lebih lama, tapi aku mengucap syukur karena aku bisa lulus dengan jujur dan tanpa memanipulasi data.

Memang waktu studi yang harus kutempuh tidak sebentar. Total enam tahun harus kutempuh untuk mendapatkan gelar sebagai sarjana psikologi. Kadang aku merasa sedih, kecewa, kesal, merasa percuma saja punya IPK tinggi tapi tidak berhasil meraih cum laude hanya karena terhambat di tugas akhir. Tapi, lewat proses ini aku merasa Tuhan tidak ingin aku menyombongkan diri lewat semua nilai yang sudah kuperoleh.

Tuhan ingin mengasah kesetiaanku untuk tetap hidup benar di hadapan-Nya walaupun jalan yang kulalui seringkali banyak kerikil-kerikil yang menghambat.

Baca Juga:

Haruskah Aku Pindah Gereja?

Aku pernah bergumul tentang di gereja mana seharusnya aku bertumbuh dan melayani. Sekalipun aku sudah memiliki gereja tetap, tetapi aku merasa lebih bertumbuh di gereja sahabatku. Aku berada dalam sebuah dilema.

Melakukan Yang Benar

Rabu, 9 Januari 2013

Melakukan Yang Benar

Baca: Lukas 19:1-10

“. . . dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” —Lukas 19:8

Hari itu merupakan hari yang tepat untuk mengobral barang-barang dari rumah kami—suatu hari yang cerah dan sejuk. Orang berdatangan untuk melihat-lihat beragam pakaian, buku, dan barang pecah-belah. Saya memperhatikan seorang wanita sedang mengagumi seuntai kalung manik-manik putih. Beberapa menit kemudian, kalung itu hilang bersama wanita tersebut. Saya melihatnya di jalan, lalu berlari untuk mengejarnya, dan menemukan perhiasan itu ada dalam genggaman wanita tersebut. Ketika kami berpapasan dan tahu apa yang telah terjadi, wanita tersebut secara sukarela membayar barang yang dicurinya itu.

Zakheus, si pemungut cukai yang naik ke atas pohon, bertemu dengan Yesus dan diubahkan. Ia berjanji untuk membayar kembali empat kali lipat jumlah uang yang ia peras dari orang lain (Luk. 19:8). Pada masa itu, para pemungut cukai sering menarik uang pajak dari para penduduk lebih dari yang sepantasnya dan menyimpan sendiri kelebihan uangnya. Tekad Zakheus untuk membayar kembali dan menyumbangkan sebagian dari miliknya kepada fakir miskin menunjukkan suatu perubahan hati yang luar biasa. Sebelumnya ia adalah seorang perampas, tetapi setelah bertemu Yesus ia bertekad untuk mengembalikan rampasannya dan menjadi seorang pemberi.

Teladan Zakheus dapat mengilhami kita untuk melakukan perubahan yang sama. Ketika Allah mengingatkan kita tentang hal-hal yang kita rampas, pajak yang belum dibayar, atau tindakan lain yang melukai sesama, kita dapat menghormati-Nya dengan cara melakukan yang benar. —JBS

Tolong aku, Tuhan, untuk bersikap jujur dan benar
Dalam semua yang kukatakan dan kulakukan;
Beriku keberanian untuk berbuat apa yang benar
Untuk membawa sekilas terang-Mu ke dunia. —Fasick

Tak ada kata terlambat bagi orang jujur untuk membayar utang yang belum dibayar.