Posts

Dusta dan Dosa di Antara Kita: Memahami Cara Kerja Iblis dari Buku The Screwtape Letters

Oleh Jovita Hutanto

“Yang Terkasih Wormwood,

Pasienmu itu tentu saja sudah mengetahui bahwa dia harus sabar menaati kehendak Sang Musuh. Maksud Sang Musuh dalam hal ini supaya pasien sabar menerima semua penderitaan yang terjadi padanya. Untuk hal inilah pasien seharusnya mengatakan ‘jadilah kehendak-Mu.’ Tugas kamu, Wormwood, adalah mengalihkan perhatiannya dari Sang Musuh ke pikirannya sendiri. Berikan ejekan atau sesosok tubuh wanita untuk menarik perhatiannya pada hal-hal duniawi, supaya dia tidak berjumpa dengan Sang Musuh.”

Teman-teman, penggalan surat di atas adalah tulisan dari Screwtape, sesosok Iblis senior kepada Wormwood, keponakannya. Kisah dua tokoh ini dituliskan oleh C.S Lewis dalam buku klasik karangannya yang berjudul “The Screwtape Letters”. Walaupun usia buku ini telah lebih dari 80 dekade sejak ditulis, tapi pesannya tetap relevan bagi kita yang hidup di zaman sekarang.

Dikisahkan lebih lanjut, Screwtape adalah iblis senior, berpangkat tinggi dalam birokrasi neraka. Dia sedang mengajarkan Wormwood strategi untuk mendapatkan jiwa “pasien” atau si pemuda Kristen. Sang Musuh yang dimaksudkan oleh Screwtape adalah Bapa Surgawi. Buatku, buku ini sangat menarik karena surat-surat dari Screwtape secara lengkap menggambarkan pergumulan yang mungkin pernah atau akan kita alami dalam hidup. Di sinilah aku mulai mengerti bahwa seringkali pikiran kita merupakan pikiran yang diinginkan dan diarahkan oleh iblis.

Lewat tulisan ini, aku mau mengajakmu untuk melihat beberapa penggalan-penggalan lain dari surat si iblis senior.

“Yang Terkasih Wormwood,

Di dalam surat terakhirmu, kau nyatakan cara-cara hina, contohnya kerakusan, sebagai sarana untuk menangkap jiwa-jiwa. Ini semua upaya kita yang telah memusatkan kerakusan pasien kita pada makanan lezat. Seluruh hidupnya telah diperbudak oleh kenikmatan dari jenis hawa nafsu ini, yang cukup terselubung dan pada taraf yang masih ringan. Di sini kita bisa menggunakan perut dan cita rasa lidah pasien untuk menghasilkan omelan, ketidaksabaran, pelit hati, dan pementingan diri sendiri.”

Penggalan ini menarik! Mungkin banyak dari kita berpikir bahwa pertarungan spiritual terjadi di saat kita menghadapi pencobaan besar seperti kejatuhan finansial, penyakit kritis, konflik keluarga, dan sebagainya. Namun, pertarungan spiritual sejatinya tidak hanya terjadi pada area eksternal, tapi juga di dalam pergumulan yang sifatnya internal seperti penyangkalan diri melawan keegoisan, menahan amarah, dan hawa nafsu. Kita mungkin terdorong untuk menganggap remeh dosa-dosa yang tampaknya sepele, atau bahkan tidak lagi dianggap seperti dosa karena sifatnya yang ditolerir masyarakat. Dalam kasus ini, C.S Lewis memberikan contoh dosa ketamakan saat makan.

Dalam keseharian kita, banyak contoh dosa ‘sepele’ lainnya yang kita terus lakukan seperti bergosip, malas-malasan, berbohong, dan lainnya. Dosa-dosa ini memang dapat dimaklumi oleh masyarakat, namun tidak mengubah fakta bahwa semuanya itu tetaplah tindakan dosa. Malah, yang justru paling membahayakan adalah dosa-dosa yang tidak kelihatan seperti kedengkian, iri hati, kesombongan. Sekecil apa pun tantangan dosa kita, iblis akan terus berusaha menggoda dan mencuci otak kita.

“Yang Terkasih Wormwood,

Jadi engkau sangat mengharapkan fase keagamaan pasienmu menjadi sekarat? Ingat bahwa manusia adalah makhluk amfibi (setengah roh dan setengah binatang). Sebagai roh mereka adalah milik dunia kekekalan, dan sebagai binatang mereka mendiami waktu. Artinya, ketika roh mereka bisa diarahkan pada suatu objek yang abadi- tubuh, nafsu, dan imajinasi- mereka tetap terus menerus mengalami perubahan.

Kau perhatikan juga, Sang Musuh memang sungguh-sungguh ingin mengisi alam semesta ini dengan banyak makhluk kecil tiruan diri-Nya yang menjijikan itu. Dia ingin mereka memiliki kualitas yang sama seperti kehidupan-Nya, bukan karena Dia menyerap manusia tetapi karena kehendak bebas mereka untuk menyesuaikan diri dengan kehendak-Nya.”

C.S Lewis mengingatkan kita juga bahwa pertarungan spiritual tidak akan selesai selama kita masih bernafas. Selama kita masih mengenakan tubuh yang naturnya sudah berdosa, godaan akan terus datang. Tapi, kita jangan salah kaprah. Bukan berarti Tuhan tidak berkuasa mengalahkan kuasa iblis, namun Dia memberikan kita kehendak bebas untuk memilih dan berekspresi pada pihak mana kita ingin menyerahkan jiwa kita.

Kemenangan atau kekalahan kita dalam menghadapi peperangan spiritual ada di tangan kita dan belas kasih Tuhan. Ada dua personil dalam perjuangan ini: kita dan Tuhan. Peperangan ini adalah peperangan kita menanggalkan keberdosaan kita, tetapi karena Tuhan memberikan kita anugerah, Dia dengan sukarela menolong kita dalam pertarungan ini. Maut telah dikalahkan, tetapi seperti yang kutuliskan di atas, selama kita masih hidup di dunia, kita akan terus melakukan peperangan ini.

Rasul Paulus mengatakan, “Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan … dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah … Berdoalah setiap waktu di dalam Roh…” (Efesus 6:14-18). Kalimat ini sungguh solid. Sebagai seorang yang memperlengkapi dirinya untuk berperang, begitulah selayaknya kita mempersiapkan diri kita dalam pertarungan spiritual kita.

Paulus menyebutkan 3 kata kunci penting: “iman,” “firman Allah,” dan “doa.” Se-tak-berwujud itu 3 kunci kemenangan peperangan sengit ini, karena memang ini bukan pertarungan kelas manusia yang bisa dilihat dengan kasat mata, sehingga yang bisa mengalahkan kuasa iblis hanyalah kuasa Tuhan dalam diri kita. Pertarungan rohani ini pertama-tama memerlukan iman, yaitu keyakinan kita pada kemenangan dalam Kristus. Iman yang menjadi tameng kita di kala sedang bergumul sembari tetap percaya. Yang kedua, Firman Allah dibutuhkan sebagai pedoman hidup orang percaya agar kita tahu bagaimana seharusnya kita bertindak; dan yang ketiga adalah doa. Doa merupakan sarana komunikasi kita dengan Allah, sekaligus menjadi waktu QT (quality time) kita dengan Tuhan. Aku yakin kita semua sudah bosan mendengar tiga kewajiban ini, tapi tak peduli seberapa bosan pun, inilah tiga senjata yang kita perlukan. Dengan ketiganya, mata hati kita akan dibukakan pada peperangan yang tidak kelihatan ini.

Kita memiliki pertarungan rohani masing-masing, sehingga tidak ada ilmu eksak dalam memenangkan pertarungan ini. Setiap orang memiliki story-nya sendiri-sendiri, sehingga fase iman setiap manusia bisa berbeda-beda.

Aku lebih suka menyimpulkan 3 kunci kemenangan ini (iman, firman, doa) dalam satu kata, yaitu “relasi.” Relasi kedekatan kita pada Tuhanlah yang akan memberikan kita kepekaan dan kekuatan dalam bertarung melawan musuh kita masing-masing. Jangan bandingkan jalan hidup kita dengan orang lain; jalankanlah sesuai dengan standar yang diberikan Tuhan pada diri kita masing-masing.

Jadi, standar Tuhan untukku itu seperti apa? Ya itulah pr yang harus selalu kukerjakan seumur hidupku.

“Wormwood yang sangat terkasih,

Engkau sudah membiarkan sebuah nyawa terlepas dari genggamanmu. Para penggoda yang tak becus seperti dirimu adalah kegagalan departemen inteligensi kita. Ini membuatku marah.

Pamanmu yang semakin kelaparan,
Screwtape”

Kita semua punya gelar sarjana yang sama, “manusia berdosa”. Tapi, setelah kita memenangkan peperangan rohani, kita akan memperoleh gelar magister, “menang dalam Tuhan”!

Semangat buat terus berjuang untuk meraih gelar kedua kita ya teman-teman!

Boleh “Bucin” Asal…

Oleh Jovita Hutanto

Dulu waktu masih sekolah, mamaku suka bilang begini, “Cinta itu buta. Eek pun bisa jadi serasa coklat!” Lain mamaku, lain temanku. Mereka sering berkata, “Dasar, bucin lo!” buat teman-teman yang rela melakukan apa saja demi ‘cinta’.

Jika kita cermati, rasa cinta itu memanglah luar biasa. Bukan saja dapat mengubah rasa pahit jadi manis, kita bahkan rela melakukan apa pun untuk sosok yang kita cintai. Jika kita ingat masa-masa awal berpacaran, pasti maunya nempel terus. Tapi, seiring waktu, lama-kelamaan bunga dan warna pelangi cinta di mata kita pun memudar. Buatku pribadi yang sudah cukup lama memelihara masa lajang, mungkin aku hampir lupa rasanya mencintai dan dicintai. Yang kuingat seperti makan permen nano-nano, banyak rasa.

Namun, cinta yang tampaknya luar biasa itu pada realitanya seringkali bersifat menuntut. Contoh kasusnya, saat kita siap berpacaran, kita tentu sudah memikirkan kriteria lelaki atau perempuan seperti apa yang ingin kita pacari. Apakah itu yang baik, ganteng, kaya, beriman. Atau, malah semuanya harus ada dalam satu pribadi? Kurasa yang ‘sempurna’ seperti ini cuma ada di drama Korea dan film-film Disney ya. Semua kriteria yang kita tetapkan jika mau jujur ujung-ujungnya adalah untuk ‘aku’.

Jadi, bagaimana sih selayaknya kita berelasi sebagai manusia yang terbatas dan berdosa?

1. Kasih bertahan karena komitmen yang mendasarinya

Berantem itu wajar. Beda pendapat itu lumrah. Kita ini manusia berdosa; relasi yang terjalin juga sudah pasti penuh dengan cacat cela. Semakin kita dekat dan kenal dengan orang tersebut, semakin banyak masalah yang akan timbul. Kalau kata orang, “mulai keliatan deh tuh karakter aslinya.” Menurutku, ini sangat dapat dimaklumi… mengapa? Semakin kita yakin dan nyaman dengan orang-orang pilihan kita, semakin kita terbuka pada mereka. Dengan seiring berjalannya waktu juga kita tidak dapat lagi menyembunyikan tabiat asli kita. Begitu juga dengan lawan relasi kita. Namun, setelah tahu warna asli mereka yang sesungguhnya, apakah kita akan mempertahankan relasi kita dengannya? Di sinilah peran penting komitmen mengasihi yang membuat kita bertahan dengan orang tersebut.

Aku sering mendengar cerita pasangan yang baru menikah dan tinggal serumah. Mereka kaget dengan perilaku pasangannya. “Ihh, kok ternyata berantakan,” atau “tidurnya ngorok gede banget.” Ya! Skakmat deh tuh! Komitmen di dalam berelasi itu sama dengan langkah skakmat alias tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri. Yang namanya sudah komit di hadapan Tuhan untuk sehidup dan semati, apapun keadaannya, tetap harus dijalankan dan diperjuangkan. Terdengar berat ya, dan memang kenyataannya berat, berdasarkan orang-orang yang sudah lebih berpengalaman menjalaninya lho ya, bukan kataku sendiri.

Nah… supaya yang berat itu tidak terasa berat, komitmen ini perlu didampingi dengan kasih. Kasih akan memampukan seseorang untuk melakukanna dengan rela, yang tentunya akan membuat seseorang merasa lebih enteng menjalaninya.

Kehidupan orang Kristen itu erat hubungannya dengan kasih karena Allah itu kasih, dan Ia memberikan perintah agar setiap orang yang percaya untuk mengasihi. Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, “You shall love your neighbor.” Perhatikan kata “shall” yang artinya harus; mengasihi sudah merupakan kewajiban orang Kristen. Lalu, kepada siapa kita harus mengasihi? Tuhan Yesus tidak menggunakan kata teman atau pasangan maupun keluarga; Tuhan menggunakan kata “sesamamu.” Dengan kata lain kasih kepada “sesamamu” tidak terbatas pada orang yang kamu kenal, namun kepada siapapun yang kamu temui.

2. Kita mengasihi dalam kerangka konsep Kristus

Untuk melengkapi ilmu tentang kasih, perlu kita ketahui bahwa ada 4 tipe kasih dalam Alkitab (terjemahan bahasa Yunani): Storge adalah kasih yang hadir di antara orang tua dan anak; Filia merupakan kasih persaudaraan atau persahabatan, seperti kita dengan sahabat kita; Eros mengacu pada cinta yang seksual atau romantis, layaknya pasangan suami dan istri; dan yang terakhir adalah Agape, cinta yang sempurna, abadi, dan tanpa syarat, tidak ada kasih agape di dunia ini selain kasih Kristus.

Jadi… dalam mengasihi pasangan, keluarga, maupun teman kita, apapun bentuk kasih yang kita miliki, seluruhnya harus didampingi oleh kasih agape. Dikarenakan kasih agape ini tidak ada dalam manusia yang berdosa, filsuf Kierkegaard menciptakan istilah baru, yaitu “Christian love.” Kierkegaard menjelaskan bahwa Christian love adalah wujud kasih Kristus yang hidup dalam hati para pengikutnya lalu dibagikan kepada sesamanya. Christian love ini tidak sempurna seperti kasih Kristus, namun statusnya lebih tinggi dari bentuk-bentuk kasih manusia lainnya. Karena tanpa Christian love ini, kasih antar manusia sifatnya sementara yang menyebabkan adanya perceraian suami istri dan pertikaian pertemanan dan keluarga.

Sifat kasih eros dan filia bergantung pada aspek yang dimiliki objek yang dikasihinya. Seperti, “aku mencintai dia karena dia cantik,” jadi kalau dia jelek, maka aku tidak cinta lagi. Sebaliknya, Kierkegaard (dalam terjemahanku) menjelaskan bahwa Christian love mengandung unsur kemurnian dan ketulusan hati, tanpa syarat dan tuntutan, ikhlas memberi tak harap kembali. Christian love tidak bergantung pada objek yang dikasihi. Tidak peduli latar belakang ataupun karakter seperti apa yang mereka miliki, apapun kendala yang akan kita hadapi bersama mereka, sudah menjadi kewajiban orang percaya untuk tetap mengasihi mereka.

Menurut aku, Christian love itu bucin (budak cinta) yang sesungguhnya. Budak cinta itu tidak dipengaruhi oleh sifat lawan relasimu. Apapun wujud asli mereka, kita tetap cinta, namanya juga budak cinta, ya budaknya si cinta bukan budaknya si Asep (atau Betty). Boleh disimpulkan bahwa Christian love ini kunci dari awetnya sebuah relasi karena sifatnya longlasting (panjang umur bahagia sentosa), baik dalam relasi suami istri, keluarga, maupun pertemanan.

3. Christian Love harus diaplikasikan

Aku suka merasa lucu kalau bertanya ke mereka-mereka yang sudah berpacaran lebih dari 7 tahun.

“Jadi apa nih kunci benteng pertahanannya?” Lalu jawaban para lelaki, “sabar-sabar aja, sering-sering lah minta maaf,” atau ada juga yang bilang, “semuanya perlu komunikasi yang baik.”

Pada dasarnya semua jawabannya mengindikasikan adanya masalah yang perlu diselesaikan. Belum pernah aku temukan jawaban seputar, “soalnya aku sudah jatuh cinta,” karena tidak ada lagi tuh ya cinta-cintaan lewat 1 atau 2 tahun. Menurutku ini normal dan tidak jadi masalah, dan sama seperti yang dikatakan Alkitab bahwa kasih itu banyak wujudnya (1 Korintus 13:4-8). “Kasih itu sabar,” “kasih itu murah hati,” termasuk kasih itu juga banyak-banyak minta maaf.

Kasih itu tidak terikat pada satu buah perilaku positif, namun seluruh perilaku positif. Kasih atau Christian love atau bucin itu adalah kebebasan ekspresi dari setiap orang yang sudah menerima kasih Kristus. Apapun bentuknya, asalkan didasari dengan ketulusan hati, maka selamat! Anda telah bergabung di dalam komunitas bucin yang sesungguhnya!

Membongkar Ulang Makna Sukses

Oleh Jovita Hutanto

Bulan Januari buatku adalah bulan yang terasa intens. Teman-teman di sekitarku sudah pasang ancang-ancang membuat ini itu untuk capai target sepanjang tahun. Seram rasanya buatku.

Tapi, kurasa tak cuma teman-temanku. Banyak dari kita pun mulai memikirkan goals dan resolusi supaya hidup kita makin dengan dengan kesuksesan. Atau, pada ekstrem yang lain, ada pula orang yang memosisikan diri di kubu ‘bohwat’. Istilah ini sering digunakan oleh teman-teman etnis Tionghoa yang berarti keadaan ketika seseorang sudah bingung mau berbuat apa lagi.

Terlepas dari di kubu mana kita berada, jika bicara soal sukses kurasa semua orang ingin sukses. Itu mimpi semua orang. Tapi, sebelum kita bergerak mengejar sukses, izinkan aku mengkaji ulang definisi dan standar dari sebuah kesuksesan.

Apa sih arti sukses buat kamu? Apakah itu banyak uang? Jadi terkenal? Punya gelar pendidikan tinggi? Punya usaha? Bisa mengubah dunia? Apa pun yang jadi dambaan kita, setiap kita punya standar hidup sukses yang berbeda. Namun, apakah kita bisa yakin bahwa yang kita inginkan itu adalah sukses yang sesungguhnya? Untuk menemukan jawaban yang benar, kita harus kembali pada Alkitab dan melakukan sedikit riset mengenai definisi sukses dari point of view Alkitab, alias dari sudut pandang Allah sendiri.

Aku mengambil satu contoh dari tokoh yang kisahnya pasti familiar kita dengar. Tokoh ini bernama Yusuf. Dalam Perjanjian Lama, dia dikisahkan menderita kemalangan bertubi-tubi. Dari seorang anak kesayangan ayahnya, dia dibuang dan dijual oleh saudara-saudaranya yang iri kepadanya. Tetapi, menariknya, pada teks Kejadian 39:2, tertulis demikian: “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Jika kita tilik ayat ini dari terjemahan bahasa Inggris versi ESV, tertulis: “The LORD was with Joseph, and he became a succesful man…” Terjemahan ESV secara gamblang menggunakan kata success.

Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa kalimat yang digunakan bukanlah kalimat sebab-akibat. Bukan “sebab Tuhan menyertai Yusuf”, akibatnya “ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa penyertaan Tuhan akan selalu diikuti oleh keberhasilan Yusuf. Penggunaan kata “tetapi” menjadi kalimat penghubung yang mengkontraskan kalimat sebelum dan sesudahnya.

Isi ayat sebelumnya berkata, “Adapun Yusuf telah dibawa ke Mesir; dan Potifar, seorang Mesir, pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja, membeli dia dari tangan orang Ismael yang telah membawa dia ke situ” (Kejadian 39:1). Penggunaan kata “tetapi” pada ayat selanjutnya memperkuat konsep penyertaan Tuhan yang sifatnya independen (atau mandiri), tidak bergantung pada malangnya latar belakang hidup Yusuf dan Yusuf pun tetap berhasil dalam setiap pekerjaannya.

Ada hal lain lagi yang menarik buatku dari ayat ini, yaitu terdapat kata “selalu”. Tidak seperti manusia yang tidak pasti dan tidak bisa diandalkan, dari kisah Yusuf kita yakin bahwa penyertaan Tuhanlah yang selalu mendatangkan kesuksesan. Inilah kunci keberhasilan yang paling jitu.

Nah, apa sih hidup yang disertai Tuhan?

Kata “serta” mengandung unsur partisipasi aktif dari pihak yang menyertai, yaitu “Tuhan”. Artinya, sebagai umat Kristen sudah sepatutnya kita melibatkan Dia dalam setiap langkah kita, bahkan menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada Tuhan. Cukup abstrak ya konsep melibatkan Tuhan ini kalau kita pikir-pikir. Tapi, yuk kita kembali lagi ke cerita Yusuf.

Di ayat-ayat berikutnya, saat Yusuf digodai untuk meniduri istri Potifar, Yusuf menolak. Yusuf mengatakan, “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:9).

Coba perhatikan. Yusuf tidak berkata bahwa dosa tersebut akan menjadi pertanggungjawaban dia terhadap Potifar, tetapi pada Allah. Yusuf menunjukkan jelas bahwa hidupnya tertuju pada Tuhan, meskipun konteksnya dia berada di Mesir dan di istana Potifar

Sampai di sini, kita bisa simpulkan bahwa hidup di dalam penyertaan Tuhan adalah hidup yang menjadikan Tuhan Yesus tuan atas setiap aspek hidup kita.

Lantas, apa sih indikator sukses itu?

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa kesuksesan Yusuf merupakan status dan harta yang diberikan Potifar kepadanya. Aku kira ini merupakan asumsi yang salah besar. Jangan kita salah kaprahkan ya bonus dari Tuhan dengan arti kesuksesan yang Tuhan maksud.

Coba kita baca baik-baik, pada Kejadian 39:2, yang tertulis adalah “berhasil dalam pekerjaannya”, bukan berhasil mendapatkan uang atau harta. “Berhasil dalam pekerjaannya” dalam pengertian lain adalah Yusuf telah menggenapi kehendak dan panggilan-Nya. Bahkan, Alkitab menyatakan bahwa Yusuf tetap berhasil saat dia dipenjarakan Potifar tanpa status dan harta (Kejadian 39:20-23). Dalam situasi apa pun kita ditempatkan, jika kita hidup dalam penyertaan Tuhan, maka Dia akan memberikan kebijaksanaan-Nya kepada kita agar kita dapat mensukses pekerjaan yang telah Dia titipkan. Status dan harta yang Yusuf terima pada akhirnya hanyalah bonus semata yang Tuhan berikan karena dia telah berhasil menggenapi pekerjaan Tuhan.

Jadi, cukuplah jelas di sini bahwa standar hidup sukses itu adalah pemenuhan target Tuhan, bukan target kita sendiri.

Hidup di dalam penyertaan Tuhan itu merupakan relasi dua arah, antara kita dengan Tuhan, dan titik fokusnya kepada Tuhan. Kalau bahasa yang lebih mendaratnya itu, berjalan dan berjuang bersama Tuhan dan untuk Tuhan. Tapi, di sinilah pr beratnya buat kita. Tuhan tidak terlihat wujudnya, maka bentuk perjalan dan perjuangan bersama Tuhan itu memerlukan skill “melek jiwa”, atau bahasa kerennya “mindfulness”.

Penyertaan Tuhan itu senantiasa, tetapi seringkali kasusnya bukan Tuhan yang tidak mau menyertai, tetapi kitanya yang tidak mau disertai atau kerap kali kita malah melupakan Tuhan di dalam keseharian kita. Kalau mau dipikir-pikir, seberapa banyak dari kita yang melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yang kita ambil? Seberapa sering kita menggumulkan firman-Nya? Memang terdengar klise dan mungkin sudah banyak dari kita yang rajin berdoa dan baca Alkitab. Tapi, jujur aja nih. Apakah kita memaknai aktivitas tersebut? Susah loh untuk membentuk sebuah habit yang penuh arti. Jujur, aku pun sering lupa kalau sudah doa makan atau belum saking aku sudah terbiasa dan kurang memaknai artinya lagi. Bahkan, kurasa kita ini sering loh seperti zombie, yang gak sadar hari-hari lewat begitu saja. (Hayoo, ngaku yang sering nanya hari ini hari apa, gak taunya sudah Jumat lagi aja.) Mungkin jika aku berimajinasi Tuhan itu seperti anak gaul, mungkin Dia akan berkata, “sadar woy, sadar.”

Tentunya skill mindfullness alias melek jiwa ini adalah proses yang panjang dan sulit karena dibutuhkan disiplin, konsistensi, dan anugerah Tuhan. Disiplin berdoa dan bergumul. Konsisten bertanya apakah aku melakukan ini untuk diriku atau Tuhanku; dan tidak lupa memohon anugerah Tuhan supaya kita sering-sering dibuat melek dan yang paling penting supaya kita bisa diatur karena kita sendiri adalah orang-orang keras kepala.

Tips jitu yang agak guyon dariku ialah kita bisa setting wallpaper HP kita diganti jadi kalimat yang mengingatkan kita sama Tuhan. Semisal kita tulis, “Inget Tuhan!” Setiap pagi kebanyakan kita mengawali aktivitas dengan…. Buka HP! Betul sekali! Jadi, pas pagi-pagi kita membuka HP dan lihat tulisan “inget Tuhan”, cepat-cepatlah kita berdoa. Kalau lagi kesel dan buka HP, lihat tulisan “inget Tuhan”, eits gak boleh marah-marah. Mesti sabar. Mau tidur, main HP dong pastinya, lihat lagi tulisan “inget Tuhan”, lalu coba refleksikan hari ini kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan.”

Capek tapi kan ya diingetin terus? Buatku ya capek sih. Tapi, kalau ingat inilah jurus jitu hidup sukses, harusnya kita nggak akan capek lagi dong ya hehehe.

Goals-goals yang kita bilang kesuksesan itu bukanlah tuntutan karena Tuhan sebenarnya tidak pernah menuntut kita untuk mencapai impian-impian tersebut. Kalau kita bilang itu tuntutan masyarakat, yuk kita sama-sama saling mengingatkan bahwa yang pegang kunci surga sudah pasti bukan teman atau keluarga kita hehe. Jangan salah pahamkan tuntutan yang kita buat sendiri dengan tuntutan yang memang dari Tuhan karena keduanya bagaikan langit dan bumi.

Ekspektasi sukses kita seringkali sifatnya fana dan tidak sesuai dengan maunya Tuhan. Ingat, Dia adalah Tuhan loh! Kalau Dia ingin berikan, maka sekejap maka saja kita akan mendapatkannya. Apa yang Tuhan utamakan adalah proses dan perjalanan keseharian kita bersama Dia.

Resolusiku di tahun ini sesuai dengan pesan yang sudah kusampaikan kepada kita semua, yaitu lebih setia, melek jiwa, dan berjalan bersama Tuhan. Bukan berarti kita hidup tanpa goals ya. Maksudku, kita tidak perlu menjadikan goals kita sebagai standar patokan arti kesuksesan.

Fokus kita hidup seharusnya tertuju pada proses kita berjalan dan berjuang dengan Tuhan Yesus setiap harinya, supaya bisa berhasil memenuhi panggilan-Nya. Kalau memang ternyata semua goals tercapai, aku menganggap semuanya itu bonus dari Tuhan.

Buat tim ‘bohwat’, gak ada salahnya kok dengan ide “just surviving”, yang penting ditambah jadi “just surviving with God.”

Tahun 2023 kita bisa fokuskan resolusi kita pada satu yang pokok: setia berjalan bersama Tuhan semaksimal mungkin.

Ilmu Teologi: Bukan Cuma untuk Pendeta, Ini Ilmu Tentang Hidup yang Berfokus pada Tuhan

Oleh Jovita Hutanto

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya apakah tujuan hidupmu, atau merenungkan bagaimana hidup setelah kematian? Apakah kamu juga yakin bahwa Tuhan kitalah satu-satunya yang benar dan hidup?

Pada suatu momen dalam hidup, kita semua pasti pernah berpikir tentang pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, tak semua mendapat jawaban yang pasti dan memuaskan. Bagi kebanyakan orang, hidup selalu menyajikan ruang-ruang kosong, pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab.

Merenungkan hal ini, aku ingat bahwa filsuf Agustinus pernah berkata, “My heart is restless until it rests in You”. Jika diterjemahkan, artinya, “hatiku gelisah sampai aku menemukan peristirahatan di dalam-Mu.” Perkataan Agustinus menggemakan kembali suatu kenyataan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan satu ruang kosong di hatinya, di mana ruang tersebut hanya bisa diisi dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan. Namun, seringkali manusia mencari pemenuhan atas ruang kosong itu dengan mengejar kesenangan dan kepuasaan sesaat tanpa sungguh-sungguh mencari tahu apa yang jadi esensi dari kehidupan.

Ada beberapa pertanyaan sederhana yang bisa kita tanyakan ke diri sendiri. Apa yang membuat kita semangat bangun di pagi hari untuk menjalankan tugas dan kewajiban kita? Lalu, apa motivasi kita dalam melakukan hal tersebut?

Pertanyaan ini terkesan remeh, tapi sebenarnya ini menyangkut fondasi kehidupan kita yang seharusnya kita ketahui dan pahami. Jawaban yang tepat dapat kita temukan dari Alkitab.

Mempelajari Teologi, bukan sekadar membaca Alkitab

Semasa sekolah, aku banyak bergumul akan ujung dari hidup ini. Jujur, aku murid yang cukup rajin belajar, sampai di satu titik aku muak dengan rutinatis yang sifatnya fana. Memang para senior dan guru banyak mengingatkan agar kita belajar dengan baik agar kelak dapat pekerjaan yang baik dan meraih mimpi kita. Namun, setelah mendapatkan pekerjaan yang baik dan seluruh mimpi tercapai, apa yang akan jadi finish line-nya?

Kematian.

Walaupun aku diajarkan oleh guru sekolah minggu tentang adanya new creation (ciptaan baru setelah kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya), aku tidak mengerti cara menikmati prosesnya bersama Tuhan di luar gereja. Di situlah timbulnya sebuah kerinduan untuk memaknai rutinitas hidup yang fana ini. Aku sadar aku perlu mencari Tuhan dalam keseharianku dan merenungkan teks Alkitab dengan lebih sungguh-sungguh. Akhirnya aku bertekad lebih rajin membaca Alkitab dan buku-buku kekrsitenan lainnya dan aku mulai menjumpai banyak topik kontroversial di dalam Alkitab bermunculan. Salah satu contoh topiknya adalah konsep predestinasi (mengapa Tuhan hanya memilih sebagian?) atau mengapa kematian Tuhan Yesus harus di atas kayu salib? Bahkan tulisan Alkitab itu sendiri sering menimbulkan pertanyaan, layaknya cerita pemanggilan arwah Samuel, atau percakapan antara Tuhan dengan Iblis di kitab Ayub. Pertanyaan berat seperti ini mulai menumpuk seiring aku banyak membaca, sampai di satu titik saya mulai meragukan imanku sendiri. Keraguan ini menimbulkan gejolak ketidaktenangan hatiku akan sosok satu-satunya yang bisa diandalkan, yaitu Tuhan Yesus. Tuhan menanamkan dalam hati rasa haus dan kerinduan untuk menjawab seluruh pertanyaan ini dan aku memutuskan untuk mempelajari ilmu teologi.

Ketika Alkitab menyajikan jawaban atas beragam pertanyaan dalam hidup, hal yang sepatutnya kita lakukan bukanlah sekadar membacanya sambil lalu. Alkitab diberikan Tuhan untuk kita pelajari, tetapi banyak orang berpikir bahwa mempelajari Alkitab atau ilmu teologi itu hanya tugas dari hamba Tuhan. Padahal, mempelajari teologi adalah kewajiban orang Kristen. Alkitab itu bagaikan buku manual bagi orang-orang percaya, buku panduan hidup yang lengkap karena isinya bukan hanya memberikan cerita nyata yang baik dan benar saja, namun juga menyatakan sisi buruk dari realita kehidupan manusia berdosa. Apapun yang kita hadapi di muka bumi ini bukanlah hal yang baru lagi; prinsipnya sama, hanya alur cerita nya saja yang berbeda.

Alkitab bersifat kontekstual bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi umat yang percaya. Belajar ilmu ketuhanan tidak hanya diperuntukan mereka yang terpanggil menjadi pendeta, namun untuk kita semua yang ingin mempertanggung-jawabkan iman kita di hadapan Tuhan. Kamu dan aku, sebagai umat percaya tentu ingin mempertanggung jawabkan siapa dan apa yang kita percayai, betul kan? Oleh sebab itu aku lebih senang menggunakan parafrase “ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus” daripada “ilmu teologi” yang terdengar dan terkesan lebih tabu, bahkan untuk kalangan komunitas Kristen sendiri.

Dengan mempelajari ilmu teologi, kita menjadi lebih memahami penulisan Alkitab di dalam konteks yang benar. Alkitab tidak ditujukan secara eksklusif agar dapat dimengerti oleh segelintir orang yang mempelajarinya. Dengan pertolongan Roh Kudus, pesan firman Tuhan yang terkandung di Alkitab dapat kita mengerti dengan membacanya. Namun, untuk mendapatkan pengertian yang lebih utuh kita perlu menyingkap banyak hal terselubung dalam Alkitab, yang tentu kita bisa pahami lebih detail dan jelas lagi jika kita mempelajari di dalam konteks yang benar, baik konteks geografis, sejarah, maupun kultur di zaman tersebut. Bukan hanya menerima ilmu mentahnya saja, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus’ juga mengajarkan kita cara membaca dan menganalisis teks Alkitab. Tujuannya adalah supaya kita dapat mengerti maksud dan alasan dari si penulis menuliskan surat/teks tersebut. Setelah mengerti keseluruhan dari pasal atau kitab tersebut, barulah kita dapat merenungkan dan merefleksikan apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada diri kita masing-masing melalui pembacaan tersebut.

Pengertian akan Alkitab yang benar akan mengonfirmasi iman kita kepada Tuhan. Dengan pengertian yang lebih menyeluruh ini, pemahaman kita akan siapa diri kita dan panggilan pribadi kita akan lebih diperluas dan diperjelas. Secara tidak sadar, ilmu yang kita pelajari akan mempengaruhi cara pandang kita dalam kehidupan keseharian kita. Dengan perlahan, perspektif kita akan dibentuk menjadi lebih sesuai dengan kehidupan Kristiani yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kamu dan aku dibuat menjadi lebih peka akan Dia dan mengetahui beban apa yang Tuhan telah titipkan dalam hidup kita.

Ingat bahwa Tuhan adalah pencipta kita, pengenalan akan Tuhan itu erat hubungannya dengan pengenalan akan diri. Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mengenal diri lebih baik lagi. Semakin kita mengenal diri lebih baik lagi, semakin kita tahu apa yang harus kita lakukan di dalam hidup. Pengetahuan akan Tuhan itu kunci kehidupan pribadi kita semua.

Dari pengalaman pribadiku, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan’ ini mengubah perspektif dan cara hidupku. Setelah mempelajari kesinambungan Alkitab dengan realita kehidupan, tentu imanku kepada Tuhan Yesus lebih diyakinkan. Aku pun menjadi lebih mengerti dengan arti hidup yang sesungguhnya, lebih semangat menjalani hari-hariku karena aku tahu jelas tujuan hidupku.

Di kala pergumulan dan kesusahan datang melanda, ilmu yang telah kupelajari membantu memperlengkapi imanku. Selain itu, ilmu yang telah aku pelajari juga sangat membantuku dalam keseharianku membaca alkitab, khususnya dalam cara menganalisis teks-teksnya. Jika membandingkan buku refleksi renunganku pada saat aku masih bersekolah dengan yang sekarang (sudah bekerja), aku melihat banyak perubahan dari segi analisis teks dan refleksi ke kehidupan pribadiku. Meski memang umur mempengaruhi cara pikir dan daya tangkapku, namun aku percaya ilmu yang aku telah pelajari juga menambah pengetahuan Alkitabku dan meningkatkan kemampuanku dalam menganalisis teks demi teks yang tertulis di Alkitab. Aku menjadi lebih paham dan berpikir lebih kritis untuk setiap pembacaan, sehingga respons penerapan ke kehidupan pribadiku pun menjadi lebih konkrit dan terjalani.

Saat ini, walau aku bekerja di bidang usaha yang tentunya sangat tidak berkaitan dengan gelar ilmu yang aku pelajari (psikologi dan teologi), aku dapat mengintegrasikan prinsip kekristenanku dalam menjalani bisnis kecil keluargaku, sehingga hari-hariku menjadi lebih spesial dan bermakna.

Di dalam bisnis, persaingan sengit kadang membuat kita menghalakan segala cara untuk mencapai goal dan profit. Namun, aku terus diingatkan untuk mengaplikasikan prinsip Kristus dalam usahaku (Christ-centered business). Mottoaku adalah serving while earning profit. Bisnis memang bertujuan meraih profit, tapi aku juga mengutamakan pelayanan kepada manusianya, baik itu client maupun karyawanku. Aku berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dan bertanggung-jawab atas produk-produk yang aku jual. Pada beberapa kesempatan, aku juga memperlakukan karyawanku sebagai seorang teman sehingga terbentuk relasi yang baik. Memang awalnya konsep melayani dalam dunia bisnis ini terasa aneh, namun setelah 3 tahun menjalaninya, melayani para client dan karyawanku juga merupakan pelayanan yang nyata sebagaimana aku melayani di gereja.

Bagaimana denganmu? Apa yang akan kamu lakukan untuk semakin memperdalam pengenalan imanmu?