Posts

Tuhan Lebih Tahu Sedalam-dalamnya Kita

Oleh Josua Martua Sitorus, Palembang

“Hidup ini adalah pilihan.”

Kita mungkin familiar dan paham makna dari kutipan di atas. Mulai dari lahir, mengalami masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, ada begitu banyak pilihan di hadapan kita, dan dalam waktu tertentu kita ‘dipaksa’ untuk memilih satu di antaranya.

Kilas balik kehidupanku tujuh tahun silam merupakan momen penentu yang punya andil besar dalam menentukan masa depanku. Seperti anak-anak kelas XII SMA lainnya, aku menghadapi banyak pilihan: ikut bimbel atau tidak, ingin lanjut kuliah di mana, seleksinya lewat jalur apa, hingga kampus mana dan jurusan apa yang perlu kuambil. Aku sempat bimbang. Kucari tahu apa kehendak Tuhan lewat perenungan-perenungan dan doa yang kupanjatkan. Aku juga banyak bertanya kepada keluargaku dan abang alumni, sampai akhirnya aku menentukan ke mana aku harus melangkah.

Supaya aku bisa lolos di SNMPTN, aku menyiapkan diri sebaik mungkin. Setiap hari aku bangun pukul setengah lima pagi, belajar materi dan membahas soal, lanjut ikut bimbel dari jam tujuh pagi sampai tujuh malam. Sampai di rumah aku masih lanjut belajar sampai kira-kira jam sembilan. Semua itu kulakukan hampir tiap hari, masa-masa yang menurutku begitu produktif. Namun, rupanya Tuhan menghendaki yang lain. Aku gagal di SNMPTN.

Ada satu ayat yang menguatkanku, “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yakobus 2:17). Ayat ini mengajariku bahwa hanya berdoa dan memohon saja tidak cukup jika tidak disertai usaha. Mungkin upayaku belajar terkesan ambisius, tapi itulah caraku menunjukkan keseriusanku pada Tuhan. Dia senantiasa menguatkanku, bahkan memberiku orang-orang yang bersedia mendukungku saat itu.

Aku pun ikut ujian kembali, kali ini di kota Medan. Saat itu aku belum hafal denah kota ini. Aku sempat nyasar, tapi bukan suatu kebetulan saat aku turun dari angkot, aku malah bertemu seorang teman akrabku tepat di trotoar tempat angkotku berhenti. Dia yang memang orang Medan langsung mengantarku ke tempat ujian. Kulari ke ruang ujian di lantai dua, dan semenit kemudian ujian langsung dimulai. Nyaris saja aku terlambat jika aku harus mencari-cari jalan sendiri ke tempat ujian. Ada banyak sekali hal yang patut disyukuri dari Tuhan.

Singkat cerita, hari pengumuman SBMPTN pun tiba. Tuhan menganugerahkanku kesempatan untuk kuliah di salah satu PTN di kota Bandung. Syukur begitu dalam kuhaturkan pada-Nya. Namun, di tengah rasa syukurku tetap ada yang mengganjal di hati. Aku tetap saja gagal meraih kampus yang sebenarnya paling kuimpikan.

Kembali aku ingat penggalan ayat Alkitab yang berkata, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (Amsal 16:9).

Aku berangkat ke Bandung dengan tekad kuat untuk menjalani kehendak-Nya dalam hidupku. Pertanyaan tentang mengapa aku gagal meraih impianku sedikit demi sedikit mulai hilang. Mamaku berulang kali menasihatiku supaya jangan lupa bersyukur pada Tuhan karena aku sudah diberikan kesempatan untuk berkuliah.

Proses selama kuliah adalah masa-masa yang indah. Aku belajar memilih, melawan godaan duniawi dan pergaulan tak sehat, dan Tuhan memberkati tiap langkahku. Tugas kuliah, praktikum, jadwal ujian yang padat, serta tanggung jawab di kepanitiaan, semuanya terasa berat tetapi Tuhan menguatkanku sehingga semuanya terasa ringan. Dan, di masa-masa kuliah inilah aku bertumbuh melalui pengenalku akan firman-Nya. Aku ikut komunitas rohani.

Sampai hari kelulusanku tiba, aku benar-benar merasakan Tuhan terus bekerja atas hidupku. Aku melihat hasil karya tangan-Nya yang begitu nyata. Beberapa pertanyaanku di awal perkuliahan mulai terjawab melalui apa yang kurasakan.

Mungkin jika aku berhasil masuk ke kampus impianku, aku tidak dapat bersaing dengan teman-temanku yang lain. Mungkin juga aku tidak bisa lulus lebih cepat dari yang seharusnya dan menjadi lulusan tercepat kedua. Aku juga merasakan hal-hal yang tidak ada di bayanganku sebelumnya seperti hidup di kota Bandung yang sejuk dan asri, mendapat komunitas ideal tempatku bertumbuh, mengikuti kegiatan yang bermanfaat yang dapat mengasah kemampuanku, serta hal-hal lain yang begitu banyak Tuhan izinkan untuk terjadi. Satu waktu aku sampai terdiam dan menangis karena mengingat akan kebaikan Tuhan atas hidupku. Tuhan begitu baik, sangat-sangat baik. Kadang aku menyesal untuk kurang bersyukur pada Tuhan.

Memilih berjalan bersama Tuhan dan mengikuti semua kehendak-Nya adalah pilihan yang harus kita ambil. Kadang kita tidak tahu apa rencana Tuhan atas hidup kita, padahal sebenarnya yang lebih tahu sedalam-dalamnya hidup kita adalah Tuhan, bukan diri kita sendiri. Tuhan adalah penulis skenario terbaik dalam hidup kita. Banyak rancangan-Nya yang begitu indah, tinggal bagaimana respons kita dalam menjalaninya. Kemuliaan hanya bagi Tuhan!

Di akhir ceritaku, aku ingin membagikan satu lirik lagu yang menurutku sangat baik untuk kita hayati bersama. Lagu ini ditulis oleh Adelaide A. Pollard yang terinspirasi dari Yesaya 64:8. Begini liriknya:

Have Thine Own Way, Lord

Have thine own way, Lord, have thine own way!
Thou art the Potter; I am the clay,
Mould me and make me, After thy will,
While I am waiting, Yielded and still.
Have thine own way,
Lord, have thine own way!
Search me and try me, Master, today!
Whiter than snow, Lord, Wash me just now,
As in thy presence Humbly I bow.
Have thine own way, Lord, have thine own way!
Wounded and weary, Help me I pray!
Power, all power, Surely is thine!
Touch me and heal me, Saviour divine!

Atau dalam terjemahan bebas, kira-kira seperti ini liriknya:

Jadilah kehendak-Mu ya Tuhan,
Engkaulah penjunan, aku tanah liat
Bentuklah aku seturut kehendak-Mu
Dengan tenang aku menantikan-Mu

Jadilah kehendak-Mu ya Tuhan
Cari dan ujilah aku aku, Tuhan
Basuhlah aku agar aku lebih putih dari salju
Di hadapan hadirat-Mu, aku merendahkan diri
Jadilah kehendak-Mu Tuhan
Aku terluka dan lemah, tolonglah Tuhan
Segala kekuatan adalah milik-Mu
Jamah dan sembuhkanku, Juruselamat.

“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau , dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yeremia 1:5).

Baca Juga:

Teruntuk Kamu yang Merayakan Ulang Tahun Sendirian

Hari ulang tahun mengingatkanku akan kesetiaan Allah. Dia senantiasa hadir dalam tiap langkah perjalanan hidup kita.

Jika hari ulang tahunmu jatuh pada hari-hari ini dan orang-orang terdekatmu tak dapat hadir secara fisik, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun buatmu.

Menjaga Toleransi di Tengah-Tengah Masyarakat yang Majemuk

Oleh Josua Martua Sitorus, Palembang

Aku sangat bersyukur sekaligus bangga diciptakan Tuhan sebagai orang Indonesia, bangsa yang kaya akan keberagaman suku, agama, ras, dan budaya. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam membuatku belajar untuk memahami bahwa pola pikir setiap orang berbeda-beda karena terbentuk dari latar belakang yang berbeda pula. Indahnya hidup toleransi di tengah keberagaman ini kurasakan ketika memasuki dunia perkuliahan.

Merantau ke kota Bandung, aku bertemu dengan teman-teman baru yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia, tentunya dengan latar belakang mereka yang beragam. Pengalaman ini terbilang baru bagiku karena selama bersekolah di Sumatera Utara, hampir semua teman-temanku memiliki latar belakang budaya dan agama yang sama denganku. Dalam lingkungan pergaulanku yang dilingkupi sikap toleransi, aku belum pernah menemui masalah yang berarti meskipun aku tergolong minoritas. Kami saling membantu dalam menyelesaikan tanggung jawab perkuliahan sampai akhirnya berhasil lulus bersama-sama. Perbedaan tidaklah menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin persahabatan yang saling membangun.

Ayat Alkitab yang selalu menjadi peganganku untuk menjalani kehidupan yang toleran adalah Matius 22:37-39, yaitu tentang kasih.

Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Ayat ini mengingatkanku bahwa mengasihi sesama manusia sama nilainya dengan mengasihi Tuhan Allah. Mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi yang akan memampukan kita untuk mengasihi sesama. Jika kita mengasihi Tuhan, kita pasti ingin menyenangkan hati Tuhan dengan melakukan kehendak-Nya dan meneladani kebaikan-Nya. Sama seperti Allah yang tidak memandang bulu (Roma 2:11, Ulangan 10:17), bersikap toleran sudah sepatutnya kita lakukan sebagai anak-anak-Nya.

Mengelola perbedaan dengan sikap toleransi bisa jadi merupakan sebuah tantangan. Berangkat dari pengalamanku, setidaknya ada tiga hal yang dapat diterapkan untuk hidup di tengah keberagaman.

Menerima Perbedaan

Aku mempunyai sahabat yang berasal dari Jayapura. Berhasil memperoleh beasiswa, ia berkuliah di tempat yang sama denganku. Ia banyak bercerita tentang betapa berbedanya kehidupan di Jayapura dan kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan di sana dengan dunia perkuliahan di Bandung. Bukan hanya budaya, bahasa, dan pergaulan saja yang harus ia terima, sistem pendidikan yang baru pun harus ia jalankan. Namun, ia tidak pernah mengeluh. Ia belajar untuk menerima keadaan yang baru secara positif dan percaya bahwa Tuhan akan menolongnya sampai akhir.

Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. – 2 Timotius 3:17

Tuhan menciptakan setiap manusia secara unik, dengan segala karakteristik, potensi, dan bakat masing-masing. Toleransi tidak hanya bersinggungan dengan agama dan budaya, tetapi juga perihal menghargai keunikan setiap individu! Kita perlu memaknai maksud Allah yang mulia dalam menghadirkan perbedaan, yaitu agar kita semua dapat saling melengkapi dalam melakukan pekerjaan Tuhan di dunia sesuai dengan panggilan masing-masing.

Menyesuaikan Diri

Sikap toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, melainkan juga soal bagaimana kita mampu menyesuaikan diri. Seperti kata pepatah “di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung”, kita harus bisa beradaptasi dengan budaya di mana kita berada.

Setiap budaya tentunya memiliki perbedaan norma. Aku yang lahir dan besar di Sumatera Utara yang sudah terbiasa berbicara dengan suara yang keras, belajar menyesuaikan diri dengan budaya Sunda yang ketika berbicara dengan cenderung menggunakan suara yang pelan dan halus agar suasana lebih kondusif dan dapat diterima.

Dalam 3 Yohanes 1:5, Tuhan mengingatkan kita untuk senantiasa mencerminkan diri sebagai orang percaya terhadap siapapun dengan latar belakang apapun, “…sekalipun mereka adalah orang-orang asing”. Dengan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, kita dapat diterima dimanapun Tuhan menempatkan kita.

Menjadi Berkat

Di manapun, kapanpun, dan terhadap siapapun, hendaklah motivasi kita dalam bertindak adalah untuk membagikan kasih Yesus yang sudah kita nikmati setiap hari sehingga dapat menjadi berkat bagi sesama. Sikap toleransi membuat kita dapat membantu dan mendukung sesama kita ketika mereka sedang dalam kesusahan, tanpa memandang perbedaan yang ada. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk tidak lagi menjadi kendala ketika hidup kita dipimpin oleh Tuhan, yang adalah kasih itu sendiri.

Kita semua dianugerahi kesempatan berharga menjadi Warga Negara Indonesia untuk menjadi garam dan terang bagi bangsa ini tanpa terkecuali. Dengan belajar menerapkan sikap toleransi, kiranya semakin banyak orang yang dapat merasakan kasih Kristus melalui sikap hidup kita! Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Dalam Yesus, Ada Harapan bagi Keluargaku

Seisi keluargaku telah menerima Tuhan Yesus, namun ayahku belum. Aku sempat pesimis jika Tuhan akan menjamah hati ayahku untuk mau menerima-Nya, tetapi Tuhan telah bekerja, dan Tuhan mengasihi ayahku.

Jatuh Bangun Mencari Pekerjaan, Ada Rencana Tuhan Di Balik Setiap Kegagalan

Oleh Josua Martua Sitorus, Palembang

Siang itu, aku tengah menunggu giliran wawancara user di salah satu perusahaan ritel swasta terkemuka. Di saat yang sama jiwaku bergejolak karena sudah tidak sabar menunggu pengumuman akhir di sebuah perusahaan BUMN besar di negeri ini, untuk menempati posisi staf akuntansi dan keuangan. Aku sibuk mengecek kotak masuk emailku melalui HP sambil berdoa di dalam hati. Aku sangat berharap bisa masuk ke perusahaan itu, apalagi setelah melalui delapan tahap seleksi masuk yang cukup berat. Orang tuaku juga sangat mendukungku, bahkan memiliki firasat bahwa aku akan lolos ke perusahaan itu.

Sekitar pukul sebelas, email yang kutunggu-tunggu pun masuk. Jantungku berdegup kencang dan jari-jariku dengan segera membuka lampiran email yang tercantum. Aku melihat satu per satu nama yang berhak lolos untuk tanda tangan kontrak. Halaman demi halaman terlewati, tetapi aku tak kunjung menemukan namaku. Aku mulai gusar, lalu mencoba memeriksa kembali dari awal. Namun, hasilnya tetap sama. Namaku tidak tercantum dalam daftar tersebut.

Mataku sontak berair, tetapi berusaha kututupi karena malu dengan pelamar lain yang ada bersama denganku saat itu. Aku diam sejenak, pandanganku gelap seketika. Hatiku meronta-ronta, tidak percaya akan hasil yang baru saja kuterima. Serangkaian tahapan rekrutmen yang kulalui dengan usaha keras seakan terbuang sia-sia. Namun, di saat yang sama, aku teringat pada Tuhan dan kebaikan-Nya padaku dalam setiap langkah kecil di kehidupanku. Beberapa kali Tuhan tidak mengabulkan apa yang aku harapkan dalam pengalaman-pengalaman sebelumnya, tetapi Tuhan selalu memberi apa yang sesuai dengan porsiku. Aku merasakan Tuhan sedang memelukku saat itu dan berusaha menghilangkan kedukaanku. “God is good all the time, God is good all the time”, bisikku dalam hati.

Sepuluh menit kemudian, namaku dipanggil untuk masuk ke ruang wawancara. Aku sudah tidak fokus, langkahku sedikit goyah. Ingin rasanya aku pulang dan meninggalkan proses wawancara. Tetapi, hati kecilku bicara agar aku tetap maju karena sesungguhnya tidak ada usaha yang sia-sia. Aku melewati proses wawancara dengan tidak lupa untuk berdoa sebelumnya. Sepanjang perjalanan kembali ke koss, aku terus dihinggapi pikiran tentang kegagalan yang harus kuhadapi.

Di kamar, aku langsung berdoa pada Tuhan sambil menangis. Aku menceritakan seluruh isi hatiku pada-Nya dan berusaha meneguhkan hatiku bahwa kegagalanku untuk lolos ke perusahaan itu tidak luput dari rancangan Tuhan. Aku meminta Tuhan untuk memberikanku jalan yang terbaik dan menguatkanku agar tidak patah semangat. Setelah itu, aku langsung menelepon orang tuaku. Mereka memberiku semangat agar pantang menyerah dalam mencari pekerjaan. Puji Tuhan!

Aku bersyukur Tuhan langsung memulihkan semangatku. Malam itu juga, aku memberanikan diri untuk mendaftar ke beberapa perusahaan BUMN yang masih membuka kesempatan. Ada yang sudah mencapai hari terakhir pendaftaran, sehingga aku segera melengkapi seluruh berkas yang diminta.

“Ku tak akan menyerah
Pada apapun juga
Sebelum ku coba
Semua yang ku bisa
Tetapi kuberserah
Kepada kehendakMu
Hatiku percaya
Tuhan punya rencana”

Lagu Angel Pieters dan Jeffry S. Tjandra ini menjadi backsound-ku malam itu yang memberiku kekuatan untuk menantikan janji Tuhan yang sempurna.

Hari-hari selanjutnya kuhabiskan dengan melamar ke berbagai perusahaan serta mengikuti rangkaian demi rangkaian tahap rekrutmen. Puji Tuhan, hampir semua perusahaan yang kulamar memberikanku kesempatan untuk mengikuti proses rekrutmen. Tak kusangka, perusahaan BUMN yang kulamar tepat di hari terakhirnya juga memanggilku untuk tes di Jakarta. Aku menumpang di kos temanku selama proses rekrutmen.

Doa dan usaha mengiringi langkahku dalam melewati tahapan demi tahapan di perusahaan tersebut selama tujuh hari berturut-turut. Aku berhasil lolos hingga tahap ketujuh, dan pelamar-pelamar yang lolos sampai tahap ini akan dikabari dalam waktu satu minggu lolos atau tidaknya ke tahap akhir, yakni wawancara dengan direktur.

Sesuai waktu yang dijanjikan, aku mendapatkan telepon yang menyatakan bahwa aku lolos ke tahap akhir. Tuhan memberikanku kesempatan lagi. Peluang di depan mata tentu tidak akan kusia-siakan. Aku mempelajari mata kuliah akuntansi dengan lebih sungguh serta mempelajari sikap wawancara yang baik. Kucoba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sebelumnya. Aku juga berdoa puasa dua hari sebelum tes dan meminta dukungan doa dari orang tua.

Ketika tiba saatnya untuk wawancara, aku berusaha sedapatnya untuk menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan oleh Bapak Direktur di hadapanku. Setelah selesai, aku masih kurang puas karena ada pertanyaan yang tidak kujawab dengan tepat karena sesungguhnya aku tidak tahu jawabannya. Aku merasa terpuruk dan berpikir bahwa aku akan kembali gagal masuk ke perusahaan BUMN impianku.

Dalam perjalanan pulang ke Bandung, aku mendengarkan lagu-lagu rohani sembari terus berdoa dalam hati agar diberikan ketenangan dan damai sejahtera dari Tuhan. Aku sudah mengerahkan usaha yang terbaik dari diriku, aku hanya perlu percaya bahwa Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik, tidak pernah tidak.

Dua hari setelahnya, aku dinyatakan lolos menjadi pegawai di BUMN tersebut. Aku amat bersyukur kepada Tuhan! Aku sampai berteriak kegirangan dan langsung mengabari orang tuaku untuk menyampaikan kabar baik ini.

Tuhan memperhitungkan setiap perjuangan dan jerih lelah yang kulakukan dan menganugerahiku buah yang manis tepat satu bulan setelah kegagalan yang kualami. Aku mengucap syukur pada Tuhan atas kasih setia-Nya yang tak henti-hentinya dalam hidupku. Sejak saat itu, aku berjanji untuk menjadi pegawai yang berkinerja baik dan disiplin, serta senantiasa rindu untuk dipakai Tuhan menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarku.

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan” (Matius 7:7-11).

Baca Juga:

Keluargaku, Ladang Pelayananku

Memiliki kampung halaman yang jauh sering menggodaku untuk tidak pulang. “Kirimkan saja uang untuk orang tua di rumah, itu cukup,” begitu pikirku. Tapi, apakah itu sungguh-sungguh pelayanan yang bisa kuberikan buat keluargaku?