Posts

Kamu Diutus Jadi Saksi bukan Hakim

Oleh Joshua Effendy, Semarang

Kita tidak dipanggil menjadi Hakim, kita dipanggil untuk menjadi saksi.

Kalimat ini aku dengar ketika mendengar khotbah dari rohaniwan di gerejaku. Sebuah kalimat yang menyadarkan dan mencelikkan kembali mata imanku yang mulai terpejam. Memang pada saat itu aku sedang ragu-ragu untuk memilih: bersaksi tentang Tuhan kepada temanku yang beragama lain dengan risiko pertemanan yang merenggang atau tidak bersaksi dan pertemanan ini berjalan tanpa embel-embel iman. Selama ini, aku merasa bahwa pertemanan seharusnya murni tanpa ada motivasi-motivasi untuk ‘Kristenisasi’, tetapi aku selalu punya dorongan dan keinginan untuk mendoakannya secara langsung, bahkan mengajaknya ke gereja. Aku diingatkan kembali, “bukankah setiap orang adalah gambar dan rupa Allah yang seharusnya menjadi cerminan Allah di dunia ciptaan-Nya?” Artinya, kehadiran kita harusnya menjadi cerminan bagaimana kasih sayang Allah hadir bagi mereka yang belum percaya juga, sehingga mereka rindu mengenal Allah.

Singkat cerita, akhirnya aku memberanikan diri untuk mendoakan dia di saat ada masalah, bahkan mengundangnya untuk datang persekutuan pemuda di gerejaku dalam event-event khusus. Puji Tuhan, yang aku takutkan justru tidak terjadi. Bahkan, sampai saat ini kami sering bertukar kabar, membagikan ayat Alkitab dan saling mendoakan.

Dari peristiwa itu, aku memahami bahwa sejak manusia diciptakan, manusia dipilih untuk menjadi ‘wakil-wakil Allah’.  Artinya, kita dipanggil untuk menjadi ‘rekan kerja Allah’, untuk mengatur dan mengelola dunia ciptaan-Nya. Kejatuhan dalam dosa membuat manusia tidak lagi mencerminkan Allah, tetapi mencerminkan egonya masing-masing. 

Aku meyakini, bahwa banyak orang yang dipanggil Tuhan untuk menerima panggilan menjadi orang percaya, tetapi sedikit yang dipilih untuk menikmati anugerah ini. Mereka yang dipilih Tuhan, pastinya menerima panggilan itu dengan sukacita, tetapi mereka yang tidak dipilih, menghidupi panggilan itu dengan setengah hati. Sebagaimana Firman Tuhan menyatakan bahwa ‘banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih’ (Mat. 22:14), menunjukkan secara jelas bahwa ada orang-orang yang menerima panggilan Tuhan namun tidak sungguh-sungguh mengerjakan panggilan itu, tetapi ada juga orang-orang pilihan Allah yang dengan sepenuh hati mengerjakan panggilan sebagai orang percaya. Bagiku, ada perbandingan lurus antara orang yang dipilih dengan yang tidak: seseorang yang sepenuh hati mengikut Tuhan, pasti mengerjakan panggilannya dengan sepenuh hati, sedangkan seseorang yang setengah hati mengerjakan panggilan itu, maka juga tidak mungkin mengikut Tuhan sepenuh hati pula. Motivasi hati di dalam menjalani panggilan itu bukan soal baiknya, pintarnya, cakapnya kita, melainkan hanya kasih karunia Tuhan semata yang memanggil dan memilih setiap kita untuk menjadi saksi-Nya.

Jadi, panggilan berbicara mengenai kehendak bebas manusia, sedangkan pilihan berbicara tentang kedaulatan Tuhan yang memilih suatu kelompok untuk menerima panggilan itu. Seseorang yang terpanggil, belum tentu mau menundukkan dirinya menjadi orang pilihan Allah untuk bersaksi. Semuanya murni adalah kasih karunia Allah dan karya Roh Kudus. Melalui penebusan Yesus, panggilan sebagai umat Allah pun dipulihkan juga, yaitu menjadi imamat rajani [religious leaders – terjemahan NLV] (1 Petrus 2:9). Dalam kehendak bebasnya, orang percaya tetap beroleh kebebasan untuk memilih: mengikuti atau mengabaikan panggilan Tuhan.

Panggilan Tuhan bagi orang percaya adalah agar kita menjadi imam-imam (spiritual leaders) yang membawa orang lain untuk mengenal Dia dengan mewartakan berbagai perbuatan-Nya, atau jika aku sederhanakan yaitu menjadi saksi-saksi Tuhan. Bukankah panggilan untuk menjadi terang dan garam dunia berbicara tentang menjadi saksi yang memberikan dampak lewat kehidupan kita?

Tapi, coba kita lihat kehidupan kita saat ini: lebih sering menjadi saksi, atau justru menjadi hakim? Tanpa aku sadari, aku pun cenderung menjadi hakim bagi sesamaku. Julid, gossip, melontarkan komentar-komentar buruk, bahkan merendahkan adalah wujudnyata bagaimana aku yang seharusnya menjadi saksi justru menghakimi. Ada banyak alasan kita lebih mudah menghakimi orang lain daripada menjadi saksi: salah satunya adalah harga diri. Jika kita meletakkan harga diri pada hal-hal tertentu, maka kita akan merasa berhak untuk menghakimi orang lain yang tidak mencapai ‘standar’ kita. Oleh sebab itulah, ketika kita menghakimi orang lain, kita selalu menempatkan posisi kita (harga diri) di atas orang yang kita hakimi itu. Seolah-olah ‘si aku’ adalah si paling benar dalam perkara itu. Perenunganku beberapa hari ini membawaku kepada satu kesimpulan: sebagai seorang saksi sudah saatnya untuk kita bersaksi!

Sebenarnya, menjalani panggilan Tuhan sebagai saksi-saksi-Nya tidak seberat dan sesulit yang kita bayangkan. Kita keburu overthinking yang berujung takut sehingga tidak berani menjadi saksi-saksi-Nya. Padahal, jika kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, maka tidak ada rasa takut yang membuat kita kesulitan untuk bersaksi tentang-Nya (1 Yoh.4:13-18).

Jadi, bagaimana cara kita menjadi saksi-saksi Tuhan di zaman now?

1. Tuhan dulu, saya kemudian.

Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.

(Yohanes 3:30)

Ketika Yohanes diberitahu para muridnya bahwa ada seorang bernama Yesus yang membuat banyak pengikut Yohanes pindah haluan, responnya adalah teladan bagi setiap kita: ‘Ia harus makin dikenal, tetapi aku harus makin kecil’. Sanggupkah kita berkata demikian ketika kita dihujani pujian, sanjungan, dan hormat pada momen puncak kita?

Aku pun memiliki kecenderungan untuk jatuh dalam tinggi hati dan mengambil semua pujian dan hormat orang untukku sendiri. Menjadi saksi Tuhan mengingatkan kita bahwa tugas kita adalah menceritakan tentang Tuhan yang kita saksikan, bukan tentang kehebatan kita sebagai saksi-Nya. Kalaupun Tuhan memakai kesaksian kita untuk menggerakkan orang menjadi percaya, itu semua adalah karena-Nya, bukan karena kita.

Tinggi hati mendahului kehancuran (Ams. 18:12), banyak tokoh-tokoh Alkitab yang berusaha membuktikan dirinya sendiri dan menomorduakan Tuhan justru berujung pada kehancuran. Bahkan Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa ketika mereka ingin menjadi seperti Allah. Setiap orang yang menggantikan Allah sebagai yang nomor satu dalam hatinya pasti berujung kepada penyesalan dan terikat dengan hal sia-sia. 

Tujuan kita bersaksi bukanlah agar banyak orang mengenal diri kita, melainkan agar banyak orang boleh mengenal pribadi Tuhan melalui kehidupan kita. Jangan kejar ketenaran dan pujian manusia, kejarlah perkenanan Tuhan. ‘It is better to have God’s approved, than world’s applaud’.

2. Nikmati Tuhan, Nikmati Panggilan

“Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun” (Mazmur 89:2).

Mengapa kita tidak pernah menikmati panggilan Tuhan untuk bersaksi? Karena kita tidak terlebih dahulu menikmati Dia sebagai Pribadi yang akan kita ceritakan kepada orang lain. Aku pasti kesulitan ketika mau bercerita tentang enaknya masakan Mbok Inem jika tidak mencobanya terlebih dahulu, beda cerita jika aku pernah bahkan sering menikmati enaknya masakan Mbok Inem. Pasti dengan mudahnya aku bisa menceritakan bahkan sampai hafal secara detil rasa bahkan menu yang dimasaknya.

Kita seringkali kesulitan bersaksi dan bingung ‘mau cerita dari mana’, karena kita tidak menikmati Tuhan terlebih dahulu. Menjadi seorang saksi berarti menceritakan hal-hal yang dilihat, dialami, dirasakannya sehingga ceritanya otentik tanpa perlu dibumbui apapun. Pemazmur hendak menyaksikan kasih setia Tuhan dari generasi ke generasi oleh karena ia sendiri mengalami dan menikmati Tuhan.

Seringkali kita tidak menikmati panggilan sebagai saksi bahkan menganggapnya sebagai beban, karena kita sendiri belum mencicipi kasihnya Tuhan. Aku yakin, sekali kita mencicipi kasih Tuhan, mulut kita tidak akan pernah berhenti menceritakan tentang-Nya. Kita akan berusaha menceritakan bagaimana Tuhan bekerja dan apa yang Tuhan buat dalam hidup kita kepada orang lain.

Panggilan Tuhan untuk menjadi seorang saksi bukanlah panggilan yang mengekang kebahagiaan diri kita, membuat kita terbeban dan kesulitan, tetapi adalah panggilan yang sudah disetel sejak kita dipilih bahkan dikenal-Nya sebelum kita diciptakan. Bagiku, ketika kita menghidupi panggilan itu, sekalipun kita disalah pahami, dicela, dianggap sok suci, mengalami sakit hati, dan hal tidak mengenakkan lainnya, hati kita tetap memiliki sukacita yang membuat kita terus menyaksikan Tuhan – lewat perkataan ataupun sikap hidup kita.

3. Beraksi tanpa tunggu instruksi

“Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar” (Kisah Para Rasul 22:15).

Perjalanan 1000km diawali dengan sebuah langkah pertama, dan langkah pertama itulah yang paling sulit untuk dilakukan. Aku pun cenderung overthinking sebelum bersaksi ‘What if’. ‘bagaimana jika aku ditolak, bagaimana jika aku dipermalukan, dijauhi, dimusuhi, bahkan ditindas karena bersaksi tentang Tuhan? Bagaimana jika aku tidak mengerti apa yang harus dijawab ketika mereka menanyakan tentang pokok Kekristenan?’ dan berbagai pikiran lainnya.

Semua alasan-alasan itu adalah cara kita untuk menunda bersaksi bagi Tuhan. Padahal, bersaksi tidak perlu menunggu instruksi melainkan intuisi (kepekaan). Di saat ada momen yang Tuhan sediakan dan ada kegerakan, disitulah kita bercerita tentang Tuhan.

Bersaksi juga tidak harus selalu dengan cara-cara yang selama ini terpikir: menginjili orang lain sampai percaya. Bersaksi dapat kita lakukan dengan membagikan renungan dari pembacaan Alkitab kita di medsos, membagikan ayat-ayat Alkitab, membagikan konten-konten rohani, atau berusaha hidup seturut Firman. Namun, bukan berarti ketika kita menemukan renungan yang pas dan menegur kita bagikan itu secara sengaja agar orang lain tertegur dan kita justru menghakimi mereka dengan ayat-ayat atau renungan yang kita bagikan. Itu adalah cara menghakimi yang terselubung. Bahkan, bukan berarti kita terjatuh dalam oversharing yang membanjiri timeline ataupun story dengan berbagai hal rohani – entah agar dilihat sebagai seorang yang rohani, ataupun asal share tanpa merenungkan bahkan menyaring dengan baik apa yang kita bagikan. Ingat: Saring sebelum sharing, dan motivasi hati kita adalah untuk membagikan berkat Tuhan, bukan menampilkan ‘si aku’ di atas segala-galanya, dan hanya ‘nampak rohani’ di media sosial saja.

Perenungan terhadap firman Tuhan harus terlebih dahulu mengena pada ‘si aku’, sehingga kita mengalami perubahan hidup untuk semakin diperlengkapi menjadi saksi-saksi Tuhan. Sesederhana itu cara bersaksi, namun Tuhan dapat memakai cara-cara yang sederhana itu untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Kita tidak perlu takut dan khawatir, ketika kita bersaksi tentang Tuhan, maka Ia sendiri yang akan menjaga dan mengurapi kita untuk dapat memberitakan perbuatan besar dari-Nya.

***

Sekaranglah waktunya bagi kita orang percaya untuk beraksi menjadi saksi Tuhan. Melalui kehadiran kita yang menjadi saksi, maka akan banyak jiwa-jiwa yang diselamatkan. Ketika kita mau meresponi panggilan Tuhan atas hidup kita, Tuhan pun akan menolong dan memampukan kita untuk menjalani panggilan itu. Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya. (1 Tesalonika 5:24). Tuhan Memberkati.

Soli Deo Gloria.

Mengatasi Dehidrasi Rohani

Oleh Joshua Effendy, Semarang

Sebagian besar dari kita mungkin sudah menjadi Kristen sejak bayi (papa-mama, kakek-nenek, bahkan buyut kita sudah Kristen) sehingga ‘mau tidak mau’ kita menjadi orang Kristen warisan. Namun, mungkin ada sebagian dari kita yang mengenal dan memutuskan untuk percaya pada Kristus di usia-usia tertentu setelah mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Ini semua bukan berbicara mana yang lebih baik—Kristen warisan atau menjadi Kristen di usia tertentu. Aku sendiri jadi orang Kristen karena warisan, meskipun dulu mamaku sebelum menikah bukan orang yang percaya Tuhan.

Mamaku memutuskan untuk percaya dan menerima Yesus ketika akan menikah dengan papa. Ia beranggapan bahwa sudah seharusnya istri yang mengikut suami, bukan sebaliknya. Karena mama bukan dibesarkan dalam keluarga orang percaya, dan papa bukanlah orang yang aktif bergereja, aku pun kurang diajarkan bagaimana menghayati iman Kristen. Aku hanya diajarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang Kristen. Selama ini orang tuaku hanya menyarankan untuk ke gereja, berdoa, aktif terlibat pelayanan, menanamkan pentingnya memberi persembahan tanpa ada paksaan sedikitpun—artinya, kalau aku tidak mau ke gereja karena malas, tidak ingin memberi persembahan, tidak mau terlibat pelayanan, mereka tidak ambil pusing. Menurut mereka, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan rohani adalah urusan pribadi, mereka tidak punya hak untuk memaksaku, karena mereka pun tidak disiplin dan menghayati berbagai kegiatan itu. Walaupun demikian, aku berusaha untuk terus taat mendengarkan yang mereka sarankan bagi pertumbuhan rohaniku. Tapi, ketika aku makin aktif terlibat pelayanan, dan menjalankan ‘rutinitas rohani’ yang diajarkan, aku makin merasa kering, bukannya bertumbuh.

‘Daripada malam mingguan ndak jelas di jalan, mending malam mingguan di gereja, beribadah dengan sesama orang Kristen’,

‘Daripada hari minggu bangun siang, mendingan bangun pagi untuk pergi ke gereja dan dengar firman’,

‘Daripada rebahan terus di rumah, mending aktif pelayanan’.

Kalimat mendang-mending inilah yang membuatku melakukan berbagai aktivitas rohani sebagai rutinitas saja. Aku menyadari kekeringan rohani ini semakin menjadi-jadi ketika aktif pelayanan, berdoa, memberi persembahan, dan rajin beribadah hanyalah sebagai ‘kebiasaan-kebiasaan’ yang dilakukan untuk mengisi kegiatanku yang kosong. Lama kelamaan aku mengalami burn-out dan mulai mundur secara kerohanian, serta terbelenggu oleh dosa yang makin menjauhkan aku dari Tuhan. Aku merasa melayani Tuhan, membaca Alkitab, beribadah, dan berbagai kegiatan rohani lainnya sebagai beban yang memberatkanku, ditambah dengan sibuknya kegiatan OSIS waktu itu. Aku lebih sering berada di gereja ataupun sekolah daripada di rumah. Aku lelah secara fisik, kering secara rohani.

Ketika aku berada di titik terendahku, aku kembali kepada Tuhan dengan membaca Alkitab. Waktu itu yang aku lakukan hanyalah membuka Alkitab untuk menemukan ayat secara acak untuk aku baca. Hebatnya, Tuhan pakai itu sebagai titik balik kerohanianku. Aku makin mengimani Kekristenan (menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat) ketika mengalami perjumpaan dengan Firman. Efesus 2:8-10 menjadi ayat yang aku baca secara acak pada saat itu, dan terus mendorongku untuk haus akan firman hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke seminari. Jika sebelumnya, kerohanianku diwarnai dengan kekeringan dan sekadar melakukan tugas-tugas pelayanan dan rutinitas rohani belaka, di saat aku berusaha untuk berkomitmen mau membaca Firman dan merenungkannya Firman, maka Firman itu sungguh-sungguh hidup, menjadi relate, dan menguatkanku.

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Yohanes 15:4 untuk tinggal di dalam-Nya untuk bisa berbuah, maka ketika aku menjadikan aktivitas rohani sebagai kebutuhan rohani, aku selalu merasa kurang dan haus akan firman, selalu merasa rindu untuk mendengar Tuhan berbicara kepadaku melalui firman, dan ini membawa kepada pertumbuhan rohani. Ada gerakan yang membuatku gelisah ketika aku mulai jauh dari firman, mulai menjadikan doa sebagai rutinitas belaka. Aku yakin gerakan ini adalah dorongan Roh Kudus.

Bukan berarti aku menyalahkan didikan iman yang diberikan oleh orangtuaku, aku sungguh bersyukur terlahir dalam keluarga percaya yang menjadi jalan untukku menerima Tuhan bahkan melayani-Nya penuh waktu saat ini. Satu hal yang menurutku perlu untuk kita renungkan dan pikirkan secara pribadi: Sudahkah aku sungguh-sungguh menghidupi iman Kristen?

Menghidupi iman Kristen bukan berbicara soal rajin ke gereja dan baca firman saja, tetapi bagaimana kita punya relasi yang sungguh dengan Allah, memiliki kegairahan untuk mengenal Tuhan, sehingga kerohanian dan iman kita semakin bertumbuh. Timotius adalah seorang pelayan Tuhan yang masih sangat muda, dan imannya adalah warisan dari ibu dan neneknya (2 Tim 1:5). Namun, hal ini bukan membuat Timotius menjadi ‘orang Kristen Warisan’ yang lantas menjalani imannya tanpa sungguh-sungguh berjumpa dengan Tuhan. Paulus mengingatkan agar Timotius tetap setia untuk menghidupi imannya, merasakan kasih karunia Tuhan, dan bersaksi tentang semua itu (2 Tim 6-8).

Secara pribadi ini mengingatkanku sebagai seorang Kristen dan pelayan Tuhan yang telah mewarisi iman dari generasi-generasi sebelumku, untuk sungguh-sungguh merasakan dan berjumpa dengan kasih karunia Tuhan sehingga menggerakkanku untuk bersaksi dan memberitakan Injil Tuhan kepada orang lain.

Bagiku, bagaimana aku mau bercerita kalau bakso A sungguh-sungguh enak, kalau aku belum pernah mencobanya? Bagaimana aku mau bersaksi tentang kasih dan kebaikan Tuhan, jika aku tidak pernah secara pribadi sungguh-sungguh bertemu dan merasakan kasih dan kebaikan Tuhan terlebih dahulu?

Iman dan pengalaman pribadi bersama Tuhan harus kita wariskan dan teruskan kepada generasi-generasi setelah kita dan orang-orang di sekitar kita, tetapi penting untuk kita terlebih dahulu mengalami dan menghidupi iman Kristen. Aku yakin, jika kita sungguh-sungguh mengalami dan merasakan kasih karunia Tuhan, maka kita tidak akan tahan untuk tidak menceritakan pengalaman iman bersama Tuhan.

So, Jangan Berhenti di Kamu! Ceritakan tentang pengalaman imanmu dan perjumpaan pribadimu dengan-Nya kepada orang lain ya!

SOLI DEO GLORIA!