Posts

Hukumnya Jodoh di Bawah Langit: Law of Love atau Law of Attraction?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35).

Dear love fighter, beberapa waktu lalu aku lihat postingan di tiktok tentang yang namanya law of attraction. Sederhananya, law of attraction berbunyi you attract what you are, atau dengan kata lain kita akan menarik seseorang/sesuatu yang memang adalah diri kita. Dalam aplikasinya jika kita memang adalah orang yang “positif” seperti rajin ngerawat diri, good looking, rajin kerja, dst., kita juga akan menarik orang-orang dengan karakter-karakter demikian. Jika kita punya yang yang negatif, kita juga akan attract orang-orang yang negatif untuk mendekat pada kita. Dalam hal jodoh, orang baik akan berjodoh dengan orang yang baik, dan demikian sebaliknya orang tidak baik dengan orang yang tidak baik juga.

Di dalam merenungkan Law of Attraction, ternyata Law of Love itu GAK SEMENARIK yang kita bayangkan!

To the point aja, aku tidak akan menyanggah jika kamu yang sudah baca judul akan berekspektasi tulisan ini puncaknya adalah “Law of Love” (lihat lagi Yohanes 13:34-35) sesuai ajaran Yesus dan khotbah-khotbah yang sering kita dengar, karena benar demikian jika kita bicara cinta sejati secara “abstrak”. Bahkan aku berani berargumen bahwa relasi kita dengan Tuhan itu akan menentukan bagaimana kita berelasi dengan jodoh/pasangan kita. Aku pun mengamini sebagai orang Kristen DNA, bahkan aku mengaplikasikan “Law of Love” itu di dalam mencari jodoh dan mendekati perempuan yang aku suka. Semasa remaja SMA, selama 2 tahun aku pernah suka dengan seorang perempuan di gereja dan berusaha untuk menarik hatinya. Di mataku, perempuan itu pintar, cemerlang, baik hati, dan dewasa. Aku pun sudah mengerti jelas apa itu “Law of Love” versi Alkitab dan aku pun coba mengaplikasikannya di dalam mengejar cinta. Aku berdoa kepada Tuhan, mengenal dia dan pergumulannya, menemani dia melakukan hobinya pergi ke festival anime Jepang, mengajaknya olahraga pingpong bersama, menjadikannya teman cerita senang dan sulitnya aku. Semua itu kulakukan selama 2 tahun layaknya anak muda yang mau serius mengasihi dan membangun cinta. Akan tetapi kemudian semua itu kandas. “Law of Love” itu seakan-akan dikalahkan dengan “Law of Attraction” di mana dalam waktu singkat yaitu 2 bulan perempuan itu lebih mendekat kepada laki-laki lain yang lebih “dewasa” dan mapan daripada aku.

Jika kita sadar bahwa relasi kita dengan Tuhan menentukan relasi kita dengan calon pasangan atau pasangan kita, kita juga perlu belajar membuka mata akan realita yang Tuhan sudah izinkan terjadi. Dulu aku hanya tahu apa itu “Law of Love”, tapi saat ini aku melihat apa itu “Law of Love”. Ternyata  “Law of Love” adalah ajaran yang tidak menarik jika diaplikasikan dalam mencari jodoh. Mungkin ketika melihat kisah pribadiku, mudah bagi sebagian kita untuk lompat pada asumsi bahwa “aku ini kurang iman, melawan Tuhan”, “perempuan itu belum dewasa rohani”, dunia ini “berdosa”, atau “bukan jodoh”. Waktu itu pun aku marah dan tidak mengerti mengapa “Law of Love” tidak bisa menarik perempuan itu dibandingkan “Law of Attraction”. Ajaran “Law of Love” orang Kristen ternyata tidak semenarik seperti yang kita bayangkan.

Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan secara khusus formula untuk memperoleh jodoh berdasarkan Law of Love. Tidak pernah sama sekali sebenarnya kita boleh cepat-cepat berasumsi bahwa Law of Love adalah senjata ampuh mencari jodoh dari Tuhan, melainkan Law of Love adalah pedoman dasar kehidupan orang Kristen. Pedoman bukan tujuan terakhir kita, tapi sebuah petunjuk di dalam menghidupi iman Kristen. Sederhananya, ketika kita mengasihi, kasih yang diajarkan Kristus bukan kasih yang mengharapkan balasan. Walaupun yang namanya relasi perlu adanya hubungan timbal balik (tidak bertepuk sebelah tangan), kita perlu selalu siap akan penolakan dan kekecewaan. Bersiap untuk ditolak bukan artinya negative thinking, tapi sebuah proses mendewasakan pribadi kita.

Siap ditolak, siap kecewa, siap untuk next stage of love: attach and detach

Hukum cinta yang aku sebut menempel (attach) dan melepas (detach) adalah cinta yang mau menempel pada waktunya kita menjalani relasi yang sehat dan melepas di saat kita harus menghadapi realita bertahan hidup. Dosenku pernah ditanya kenapa dia menikah dan jawabannya sederhana, “untuk bertahan hidup”. Kami tertawa, tapi ternyata beliau benar bahwa urusan mencari jodoh adalah urusan bertahan hidup (survival instinct) manusia dan tidak boleh dicampurkan dengan “Law of Love”. Mencampuradukkan urusan bertahan hidup dan cinta terkadang bisa membawa kita pada asumsi bahwa cinta itu “harus selalu menempel” dan “menang”. Misalnya, ketika kita ditolak oleh orang yang kita kejar, kita akan mudah terjebak pada asumsi bahwa kita “gagal” mengasihi atau kita tidak pantas dikasihi. Kita mudah akhirnya merasa diri insecure karena telah “gagal”. Atau jika kita yang baru saja berpacaran, mudah untuk selalu “menempel” pada pacar baru kita. Selalu sleep call tiap hari, merasa selalu cocok, kemana-mana selalu menempel, hingga suatu saat kita memutuskan menikah dan di titik tertentu kita mengenal konflik. Akhirnya imajinasi tentang “cinta happy ending” akan luntur dan tidak sedikit akhirnya banyak pasangan memutuskan cerai.

Siap mencintai artinya juga siap melepas (detach). Melepas bukan berarti bercerai, tapi melepas harus bersifat spiritual. Sikap melepas (detach) nyatanya punya dasar Firman Tuhan. Realita bahwa “Law of Love” punya aspek “tidak menarik” sebenarnya sudah dikatakan dalam Filipi 2:6-8: Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mengganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan Manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.”

Yesus lahir sebagai seseorang yang “melepas” (detach) dengan segala yang dimiliki-Nya di Surga dan lebih memilih taat kepada Allah. Di dunia pun tujuan Yesus datang dan lahir ke dunia bukan untuk menarik orang untuk mengikuti atau menyanjung-nyanjung Dia, namun semata-mata untuk taat kepada rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sifat melepas (detach) yang dimiliki Yesus menjadikan Yesus begitu ditinggikan Allah. Maka melepas (detach) yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen sifatnya bukan menghancurkan, tapi membawa kita semakin mengenal Allah.

Di dalam hal mencari jodoh atau berpacaran, melepas yang bukan milik kita memang menyakitkan, karena kadangkala kita mengalami penolakan. Siapa yang mau ditolak sama orang yang kita kasihi? Bahkan secara psikologis penolakan punya dampak yang sama dengan patah tulang. Sakit dari penolakan ga bisa dipandang sebelah mata, tapi kita perlu membuka diri akan rencana Tuhan yang bisa memakai penolakan dalam hidup kita untuk menumbuhkan iman kita kepada Dia.

Baik melepas atau menempel, dua-duanya bukan lawan dari kasih. Namun, perjalanan spiritual yang membawa kita merenungkan karya Yesus melalui salib dan kebangkitan-Nya.

Nyatanya, ketika kita merasa dipaksa untuk melepas keinginan kita memperoleh cinta dari orang lain, bisa saja saat itu sebenarnya Tuhan sedang menjaga hati kita dari duri? Atau bisa saja ketika kita terpaksa melepas masa pacaran, itu adalah cara Tuhan menarik kita menjauh dari cinta yang toxic dan yang menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu kita perlu berani untuk melepas. Tidak mudah jika di dalam menjalin relasi, kita diperhadapkan pada bentrokan antara keinginan untuk dicintai atau memiliki jiwa yang sehat. Terkadang sebagian orang punya pasangan yang manipulatif, abusive, atau perilaku tidak sehat lainnya, tapi tidak bisa melepasnya karena perasaan bersalah, diancam atau bahkan sudah diikat oleh pengalaman berhubungan seks di luar nikah. Namun sekali lagi, melepas bukan lawan dari kasih, melainkan jalan yang Tuhan sediakan untuk kamu melihat Kristus yang mengasihi kamu dan ingin kamu pulih.

Melepaskan juga tidak selalu berangkat dari orang lain, melainkan bisa dimulai dari emosi yang kita tidak inginkan. Siapa tahu ketika kita marah dan belajar detach dari perasaan kita dengan berdiam diri sejenak, kita akan belajar mengelola emosi dan mengenal kelemahan kita? Ketika kita belajar melepas diri kita dari ekspektasi bahwa pasangan itu harus selalu memenuhi keinginan kita untuk diperhatikan, dimengerti, sebenarnya kita sedang belajar bahwa pasangan kita juga adalah orang yang penuh kelemahan dan rapuh. Mungkin ketika kita mau melepas sikap overthinking kita dengan menulisnya dalam jurnal, kita sedang melakukan terapi diri dan menjadi kreatif. Melepas diri dari perasaan kita bukan berarti kita akan kebal dari rasa sakit, kekecewaan, marah, atau hal negatif lainnya, tapi sebuah langkah pertumbuhan jiwa, pikiran, dan emosi kita yang mau bertumbuh serupa dengan Kristus Allah kita.

Terlebih lagi jika kamu sedang mengalami pengalaman melepas yang begitu sulit dan tidak bisa mengerti, ingatlah bahwa Kristus mengerti pergumulanmu karena Dia bersamamu dan mau membawamu kembali menempel kepada-Nya. Ini bukan jalan untuk membenarkan diri ketika kita ditolak orang lain, tapi jalan untuk membenarkan jalan Tuhan yang bukan jalan hidup kita. Siapa yang tahu jika kamu sedang mengalami putus, Tuhan sedang memecahkan periuk tanahnya supaya dibentuk lebih indah? Siapa yang tahu kalau kamu ditolak cintanya sama doi, Tuhan ingin upgrade pribadi dan penampilan kamu lewat sakit hati? Siapa yang tahu kalau ketika kamu marah kepada pasanganmu, Tuhan sedang ingin membuka luka lama dari diri kamu dan menyembuhkannya? Apa pun yang saat ini kita alami, yuk kembali belajar menyelami isi hati kita, karena cara kerja Tuhan juga adalah melihat hati. Jika memang Dia sedang menuntun kita ke lembah kekelaman, Dia akan senantiasa beserta kita. Dan jika memang Dia sedang menuntun kita pada padang rumput yang hijau, Dia ingin kita hanya puas jika kita hidup di dalam-Nya. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin kita. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengharap Fairy-Tale dari Dating Apps: Kala Mencari Pasangan jadi Obsesi

Oleh Agustinus Ryanto

Menjadi jomblo di usia 20-an terasa seperti sebuah paradoks. Di satu sisi kamu merasa independen dan bebas, tapi di sisi lain kamu mulai berpikir, kira-kira siapa, kapan, di mana, dan bagaimana ya aku bertemu si dia? Ditambah lagi kamu melihat teman-temanmu satu per satu mulai berpasangan…dan ditambah lagi tekanan sosial, membuatmu merasa kamu harus mencari pasangan…. Segera, sesegera mungkin sebelum umur makin tua. 

Tapi, di manakah tempat terbaik untuk mencari pasangan itu? Buatku sendiri ini adalah pertanyaan sulit. Di gereja? Hanya ada segelintir pemudi lajang di sana, dan aku merasa tidak cocok dengan mereka. Di kampus? Aku telah lulus beberapa tahun lalu dan kurasa tak ada rekan-rekan lama yang ‘klik’. Di tempat kerja atau komunitas lain? Lagi-lagi tak ada lawan jenis yang dengannya aku merasa ‘klik.’

Usul pun tiba dari salah satu temanku yang pada tahun kemarin akhirnya menikah. Dia dan pasangannya bertemu pada aplikasi kencan online. Bermula dari saling match, mengobrol di fitur chat, pindah ke WA dan IG, lalu bertemu di stasiun. Satu tahun setelahnya, mereka pun menikah. Ahhh, terasa indah dan mulus sekali perjalanan cinta mereka walaupun di dalamnya tentu ada drama-drama yang tak muncul ke permukaan. 

“Cobalah pake apps, gapapa kok, siapa tahu dapet,” katanya menepuk pundakku. Dalam hatiku betul juga sih. Tidak ada salahnya masuk ke dalam wahana perjodohan online ini. Toh, ini kan cuma iseng-iseng. Kalau dapat ya syukur, kalau tidak ya sudah. 

Namun, ketika akhirnya aku membenamkan diriku ke dalamnya, apa yang dulu kuawali dengan iseng rupanya berkembang menjadi obsesi yang membuatku kehilangan damai sejahtera dan sukacita dari menjalani hidup sehari-hari.

Celah untuk terjebak pada obsesi

Kisah-kisah romantis dan keberhasilan orang-orang yang bertemu pacarnya dari dating-apps menjadi bumbu yang hadir setiap kali aku melihat rekomendasi profil-profil yang disajikan di layarku. Jika kurasa menarik baik wajah maupun biodata dan deskripsinya, swipe ke kanan. Jika tidak, swipe ke kiri. 

Satu tahun pun berlalu sejak aku mulai membuat akun. Ada banyak orang yang kutemui secara daring. Beberapa berlanjut menjadi pertemuan di dunia nyata. Tetapi, tak ada satu pun yang berlanjut menjadi relasi serius. Ada yang realitanya tak sesuai dengan profil online-nya atau ada pula yang sekadar menyapa lalu lenyap. 

Jujur saja, lama-lama meskipun prinsip “hanya iseng” dan “kalau dapet syukur, nggak ya udah” kupegang teguh, proses ini melelahkan. Aku pun merenungkan sebuah kenyataan bahwa keberhasilan satu atau dua temanku menemukan kekasih di dating apps bukanlah jaminan bahwa semua orang yang main wadah ini akan pasti mendapatkan pacar. Analogi ini serupa dengan jika tokoh A dapat menjadi presiden dan semua orang punya kesempatan untuk mencalonkan diri, tidak berarti semua orang pasti jadi presiden! Ada banyak faktor yang membuat rumus mencari cinta di dating-apps tidak mutlak memberikan hasil yang pasti dan sama. 

Marshall Segal, penulis dari buku Not Yet Married menuliskan demikian pada artikelnya: “Dating-apps adalah cara yang baru dalam berkencan… Pada tahun 2040, 70% orang diprediksi mungkin akan berpacaran lewat dating-apps.” Tapi, meskipun cara ‘mencari cinta’ terkesan lebih mudah dengan hadirnya dating apps, studi menunjukkan bahwa pada masa sekarang orang-orang lebih merasa kesepian dibandingkan masa-masa sebelumnya… dan penelitian lain menunjukkan bahwa lebih dari setengah pengguna dating-apps merasa kesepian setelah swipe kanan dan kiri profil-profil yang muncul di layar ponsel mereka. 

Dating-apps secara praktis memudahkan kita untuk memperbesar circle dengan berjumpa orang-orang asing yang siapa tahu saling cocok dan bisa melanjutkan relasi di dunia nyata. Tapi, pada praktiknya, berselancar lebih jauh pada wadah ini bisa menjadi celah bagi kita untuk terjebak pada obsesi melihat sosok yang kita anggap prospek hanya berdasar tampilan lahiriah saja. Aku sendiri merasa agaknya tidak adil melihat dan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang dia tulis di biodata dan foto apa yang mereka pasang. Dan, secara subjektif aku merasa aktivitas swipe demi swipe ini seolah menganggap sosok-sosok di tiap profil tersebut ibarat sebuah objek belaka. Seperti sebuah produk yang jika suka kita beli, jika tidak kita buang. Padahal kita tahu bahwa setiap manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya memiliki keunikan masing-masing.

Bukan tentang tempat pertemuan, tapi respons setelahnya

Alkitab memang tidak memberi rincian detail tentang di mana kita harus mencari pasangan. Yang dengan jelas Alkitab tuliskan adalah: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.” (2 Korintus 6:14 TB2). Secara biblikal, yang ditegaskan adalah kita harus mendapatkan pasangan yang seimbang, sepadan, yang sama-sama orang percaya. 

John Piper dalam artikelnya berjudul Is Online Dating Good for Christians?menegaskan bahwa berjumpa seseorang dari media online itu baik. Ada orang-orang Kristen dewasa yang berjumpa di sana dan menikah dengan bahagia. Pertanyaan utamanya adalah: apakah kita cukup dewasa untuk bijaksana memilah dan memilih pasangan yang sepadan? Alih-alih kita meluangkan semua energi kita untuk mencari, gunakan energi itu justru untuk membangun diri kita jadi sosok yang sepadan dan dewasa terlebih dulu. 

Ada ungkapan yang berkata bahwa bunga yang mekar dan cantik itulah yang akan memikat lebah. Ungkapan ini mungkin dapat kita analogikan dengan upaya kita membentuk diri jadi sosok yang sepadan. Bukan berarti kita harus memoles diri sedemikian rupa supaya ‘laku’, bukan begitu, tetapi kita berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita yang telah ditebus oleh pengorbanan Kristus. Pengorbanan-Nya memampukan kita untuk hidup tidak lagi dipimpin oleh ego kita sendiri, melainkan oleh Roh sehingga lewat hidup kita tumbuhlah buah-buah Roh. 

Memang tidak salah menetapkan kriteria khusus kepada calon pasangan dan menjadikan kriteria itu sebagai patokan. Tetapi, tidaklah adil dan realistis bila seseorang dengan kualitas diri buruk mengharapkan pasangan yang berkualitas tinggi. Sekalipun pada akhirnya dua orang ini bisa bertemu, tetapi ketidaksepadanan itu pasti akan membuat relasi menjadi jomplang dan tak akan bertahan lama. Sembari mencari sosok yang sesuai kriteria, kita pun bisa melatih diri untuk memenuhi ‘kriteria’ tersebut bagi diri kita sendiri. 

Secara praktis, upaya untuk menjadi sepadan itu bisa kita lakukan dengan belajar kecerdasan emosional, berlatih diri untuk berargumen dengan rendah hati, membangun karier yang stabil, atau pun belajar manajemen finansial. Melalui cara-cara praktis yang dibarengi dengan doa inilah akan tumbuh “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri” (Galatia 5:22-23). Ending dari ayat 23 berkata tegas, “Tidak ada hukum yang menentang hal-hal [buah-buah Roh] itu.” Jika kuinterpretasikan secara bebas, tentunya tak ada orang yang menolak buah-buah Roh itu. Bayangkanlah jika kita dan pasangan kita saling memiliki buah-buah Roh dalam hidup masing-masing, sungguhlah kehidupan berpasangan kita kelak akan membawa kemuliaan bagi Allah.

Kisah-kisah bahagia yang dialami temanku dan juga banyak orang lainnya yang menjemput pernikahan dari pertemuan di dating-apps adalah kisah bahagia yang layak untuk kita turut bersukacita. Meskipun tak semua kisah perkencanan online akan berujung seperti mereka, kita bisa belajar bahwa dating apps bisa jadi tempat pertemuan. Yang paling penting bukan sekadar tempat itu, tetapi bagaimana kita menanggapi pertemuan tersebut.

***

Dating apps adalah media yang baik, tetapi aku tidak akan membiarkan natur keberdosaanku menjeratku untuk mengerdilkan bagaimana Tuhan kelak akan berkarya dalam hidupku. Dating apps bisa jadi salah satu jalan untukku bertemu kelak dengan si dia, tetapi bukan satu-satunya jalan yang tersedia. Sembari hadir di dating-apps, aku bisa tetap membangun circle pertemanan di dunia nyata juga. Ikut komunitas-komunitas, entah itu yang komunitas gereja ataupun komunitas lain yang berlandaskan hobi-hobi tertentu. 

Tuhan kita yang kaya dengan rahmat, rindu bahwa dalam upaya pencarian kita akan pasangan hidup, kita tidak berangkat dari rasa insecure, melainkan dengan iman bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Tuhan selalu cukup bagi kita. 

Pada waktu yang tepat bagi kita, Tuhan akan membuat kita tersenyum seperti yang pemazmur katakan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersykur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:12 TB).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menikah atau Selibat? Pilihan Hidup yang Perlu Kita Doakan dengan Sungguh

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Kita punya banyak pertanyaan terkait masa depan. Salah satunya mungkin kita bertanya-tanya dengan siapa, kapan, dan bagaimana kita akan menikah. Namun, konsep tentang pernikahan sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama. Contohnya, di negara-negara maju, pernikahan umumnya dianggap sebagai keputusan pribadi dan bersifat privasi, sedangkan di Indonesia pernikahan dianggap sebagai keharusan. Jadi, kalau ada orang yang sudah masuk usia ‘matang’ tapi tak kunjung punya pasangan, pertanyaan ‘kapan nih nikah?’ bukan jadi hal yang asing.

Aku sendiri punya pengalaman terkait keputusanku untuk menikah. Sewaktu aku menyelesaikan studi sarjana strata satuku (S-1), banyak orang yang bertanya-tanya kepadaku soal kapan aku mau menikah dengan wanita yang jadi pacarku saat itu (yang kini jadi istriku). Bukannya menjawab sesegera mungkin, aku malah menjawab bahwa aku akan melanjutkan studi strata duaku (S-2), dan setelah itu barulah aku akan menikah. Mendengar jawabanku tersebut, seketika juga ekspektasi banyak orang bahwa aku akan segera menikah menjadi gugur. Namun, setelah aku berpikir kembali bahwa keputusan menikah atau tidak terutama adalah terkait dengan kehendak Tuhan, maka aku seharusnya tidak perlu merasa bersalah, sebab pernikahan memang adalah sebuah karunia, sakramen, dan perjalanan bersama Tuhan.

Dari pengalamanku itulah ada 3 hal yang ingin kubagikan:

1. Pernikahan bukanlah suatu keniscayaan

Apabila kita melihat kembali ke dalam Alkitab, baik menikah maupun tidak menikah (selibat), keduanya adalah karunia Allah. Artinya jelas, pernikahan bukanlah satu-satunya karunia Allah. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus, Paulus menegaskan adanya dua karunia tersebut dengan mengatakan: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu” (1 Kor. 7:7).

Bagi Paulus, orang yang tidak menikah seperti dirinya adalah baik karena selibat adalah karunia dari Allah. Namun, Paulus juga tidak menutup kemungkinan bahwa Allah memberikan karunia kepada sebagian umat-Nya untuk menikah. Lebih lagi, Paulus bahkan mengajarkan bahwa saling memenuhi kewajiban sebagai pasangan suami istri bukanlah dosa (1 Kor. 7:3). Yang salah ialah jika kita memutlakkan bahwa semua orang Kristen harus menikah, atau sebaliknya, semua orang Kristen seharusnya tidak menikah (asketisme dan gnostisisme). Untuk mengetahui lebih jauh soal ini, kamu bisa melihat artikel yang dipublikasikan di sini.

2. Tujuan utama dari pernikahan bukanlah kebahagiaan, tetapi pengudusan

Di dalam bukunya yang berjudul “Sacred Marriage,” Gary Thomas mengajukan sebuah pertanyaan, sekaligus yang menjadi tesis utama tulisannya bahwa, “bagaimana seandainya Tuhan merancang pernikahan lebih untuk menguduskan kita daripada untuk menyenangkan kita?” Artinya, bagi Thomas, sekalipun kita dapat menikmati kebahagiaan dalam pernikahan, tetapi itu bukanlah tujuan utamanya, sebab tujuan utama Tuhan merancang pernikahan adalah supaya kita dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan-Nya.

Secara sederhana, kita bisa mengartikan hidup yang kudus di sini sebagai bagaimana kita hidup seperti yang Tuhan kehendaki. Berkaitan dengan pengudusan, pernikahan adalah salah satu cara (sakramen) Tuhan membentuk kita supaya dapat memiliki hidup yang kudus dengan belajar untuk saling menerima, mengampuni, dan mencintai satu sama lain. Kita bisa menambahkan daftar mata pelajaran yang lain untuk menjadi kudus dalam hubungan pernikahan. Namun, yang salah adalah jika kita mengira kebahagiaan adalah tujuan utama dari pernikahan, apalagi kebahagiaan yang kita maksudkan sebatas perasaan senang.

Meski demikian, perlu juga kita ingat bahwa pengudusan hidup tidak hanya ditemukan di dalam pernikahan. Sebab ketika kita diselamatkan oleh Allah di dalam karya Kristus, maka kita juga dikuduskan secara personal (1 Kor. 1:30; 1 Pet. 1:2). Ini artinya, hidup sebagai orang percaya yang melajang pun dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan Tuhan, tidak hanya bagi mereka yang mendapatkan karunia untuk menikah. Asalkan kita tetap hidup berdampingan dengan orang lain, baik keluarga, teman, atau rekan kerja kita. Ini karena penerimaan, pengampunan, mencintai, dan lain seterusnya hanya bisa terjadi jika kita hidup berdampingan dengan orang lain, bukan hidup seorang diri (individualistis).

3. Pernikahan dimulai dengan keutuhan, bukan kekosongan jiwa

Pernikahan dimulai dengan sebuah keutuhan diri di hadapan Tuhan, yang sekalipun belum selesai, tetapi sudah dimulai (already, but not yet) oleh karya Kristus yang mengutuhkan diri kita melalui berdamai kembali dengan Allah (2 Kor. 5:19). C.S. Lewis pernah berkata, “The fact that our heart yearns for something Earth can’t supply is proof that Heaven must be our home,” yang berarti, “Fakta bahwa hati kita merindukan sesuatu yang tidak dapat disediakan di Bumi (termasuk mengenai pasangan hidup) adalah bukti bahwa surga (maksud Lewis di sini ialah Allah) harus menjadi rumah kita.”

Janganlah kita mencari pasangan hidup dan kemudian memutuskan untuk menikah hanya karena merasa kosong di dalam jiwa kita, sebab itu hanya akan dapat melukai pasangan kita, termasuk juga diri kita di kemudian hari. Ibaratnya seperti memberi makan monster yang tak pernah kenyang. Begitu pula, jika kita memulai pernikahan dengan sebuah kekosongan, maka pasangan kita juga tidak akan pernah cukup untuk menutup lubang di dalam hati atau jiwa kita yang terdalam, yang hanya bisa ditutup pertama-tama oleh kasih Allah di dalam Kristus.

Selain itu, ketika kita mundur ke belakang, dalam kisah Penciptaan ketika Tuhan Allah menciptakan Adam, keutuhan diri Adam sebagai manusia sudah dimulai, meskipun belum selesai (Kej. 2:7). Karena Adam tak baik jika sendirian. Jadi, ketika Adam mengambil Hawa sebagai pasangan hidupnya, itu tidak dimulai dari sebuah kekosongan jiwa, tetapi dari keutuhan diri Adam sebagai manusia, yang kemudian mengekstensikan kasih Allah kepada Hawa, seorang manusia yang lain (Kej. 2:23).

Kiranya tiga hal yang perlu kita pikirkan kembali sebelum memutuskan untuk menikah di atas dapat mencerahkan kita yang sedang bergumul untuk menikah atau tidak menikah. Terakhir, saranku adalah jangan pernah memikirkan hal-hal ini sendirian. Carilah sahabat dalam Kristus untuk menemanimu dan memberikan nasihat, serta masukan mengenai pergumulanmu soal status kehidupanmu. Itulah juga yang aku lakukan bersama pasanganku dalam perjalanan kamu sebelum menikah. Kami mencari mentor kami masing-masing, dan bahkan menjalani pelayanan konseling bersama dengan beberapa hamba Tuhan untuk mempersiapkan setiap kami untuk menjadi satu kelak.

Jika kamu punya pertanyaan dan ingin berdiskusi, kamu bisa tuliskan di kolom komentar.

Tuhan Yesus memberkati.

Cerpen: Kapan Nikah?

Oleh Meili Ainun, Jakarta

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah. Dari teman kantor, teman gereja, sampai mantan pacar, menikah! Belum lagi kalau ada saudara yang married. Aku bisa gila!”

Lilis memegang kepala Ririn. ”Ya, memang panas. Sepertinya kamu memang sudah gila.”

Sebuah bantal melayang. ”Aduh, Lis. Aku lagi serius, nih. Kamu malah bercanda.”

”Rin, aku juga serius. Kamu memang bisa gila kalau kamu stres seperti itu.”

”Lis, bagaimana tidak stres? Kamu dengar, kan? Tadi aku cerita sama kamu kalau dalam waktu 2 minggu ini saja, aku sudah terima 6 undangan pernikahan. Enam, Lis!”

”Iya. Lalu, kenapa? Aku tidak mengerti mengapa kamu menjadi stres. Harusnya kamu senang. Kamu diundang berarti kamu masih diingat. Masih dihargai.”

”Aku akan senang terima undangan mereka kalau aku sendiri sudah married. Tetapi aku kan masih single. Pacar saja aku belum punya!”

Lilis mengerutkan dahinya jika sedang berpikir. ”Aku benar-benar tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan status kamu.”

Muka Ririn cemberut. ”Jelas saja ada hubungannya. Aku belum punya pacar. Aku belum menikah. Sampai di sini, jelas?”

Lilis mengangguk kepalanya berkali-kali. ”Jelas sekali, bu. Bagian itu semua orang sudah tahu.”

Ririn melempar bantal kembali. ”Karena aku belum menikah, maka di setiap undangan pernikahan nanti, aku akan ditanya kapan aku menikah. Tahun ini ada 6 pernikahan. Minimal 6 kali aku akan ditanya. Itu pun kalau yang tanya hanya 1 orang. Tetapi aku yakin pasti lebih dari 1 orang. Misalnya saja ada 5 orang, berarti aku akan ditanya 30 kali dalam tahun ini. Makanya aku stresssssssssss!”

”Ha…ha…ha….”

Ririn memalingkan wajahnya dengan kesal.

Lilis memeluk sahabatnya dengan erat. ”Aku minta maaf. Sekarang tenang dulu. Kita akan coba membicarakan masalah ini.”

Perlahan-lahan tangis Ririn mereda. ”Lis, kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sedih sekali. Semua orang memandang kamu dengan aneh. Seakan-akan kamu berasal dari planet lain. Kamu kelihatan berbeda. Dianggap tidak laku. Perawan tua.”

Ririn kembali menangis.

”Sst…sst… tenang, Rin. Siapa yang menganggap kamu seperti itu?”

”Mereka semua, Lis. Pandangan orang-orang. Belum lagi jika orang tua tanya. Kapan kamu nikah? Si A sudah, si B juga sudah. Bahkan si C sudah punya anak. Mana pacar kamu? Kenapa tidak dikenalkan?”

Lilis terdiam memikirkan apa yang harus dia katakan.

Ririn kembali bicara. ”Lis, aku udah kepala 3. Sudah tidak muda lagi. Tetapi aku bisa apa? Aku memang belum punya pacar.”

Lilis memegang bahu Ririn. ”Kamu stres karena membayangkan kamu akan ditanya oleh orang-orang mengenai kapan kamu akan menikah, benar?”

Ririn mengangguk.

”OK, kamu tidak bisa mengubah status kamu. Paling tidak untuk saat ini. Kamu memang belum punya pacar, jadi memang belum bisa menikah dalam waktu dekat ini. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah orang-orang bertanya tentang statusmu. Yang bisa kamu ubah adalah respons kamu terhadap pertanyaan orang-orang itu.”

Lilis melanjutkan setelah diam sejenak.

”Kamu pasti pernah dengar, kan? Kadang hidup kita menjadi berantakan karena kita salah meresponnya. Jadi yang harus kamu ubah adalah pandangan kamu. Pikiran kamu. Kita tidak bisa menyuruh mereka berhenti bertanya. Itu hak mereka. Tetapi… kamu bisa mengubah cara berpikir kamu. Kalau mereka bertanya begitu, itu memang wajar. Anggap mereka perhatian sama kamu. Jadi, jangan marah. Jawab saja yang sebenarnya. Kamu bisa bilang kalau kamu memang belum punya pacar. Minta mereka carikan saja. He…he…he… Atau kamu memang lagi sibuk bekerja, belum terpikir ke sana.”

Ririn tersenyum kecil. Mulai ada kelegaan di hatinya.

”Jadi, Ririn manis. Jangan stress. Kamu tidak bisa lari dari semua ini. Hadapi dengan tenang. Berdoa. Kalau memang Tuhan ingin kamu menikah, Dia pasti memberikan. Kalau tidak, pastilah ada rencana lain buat kamu. Benar, tidak?”

Ririn mengangguk. Dia teringat ayat Alkitab yang dibacanya tadi pagi. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri (Amsal 3:5).

“Lis, kamu benar. Aku akan semakin mempercayai Tuhan dalam menjalani hidupku. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Karena Dia mengasihiku dan tahu apa yang paling baik bagi hidupku.”

Lilis tersenyum dan memeluk Ririn dengan hangat.

Baca Juga:

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa? Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalahnya?

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things To Focus On When You’re Single

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Mungkin kamu sudah berdoa cukup lama untuk kehadiran pasangan hidup, dan kamu pun merasa masa-masa single ini terasa berat dan menyakitkan. Mungkin juga kamu baru saja menjadi single, atau bahkan belum berkeinginan untuk berpacaran. Bagaimanapun keadaannya, inilah sejumlah hal yang sebaiknya kamu lakukan di masa single:

1. Fokuskan dirimu membangun relasi dengan Tuhan

Dari firman Tuhan, kita tahu bahwa hal terpenting yang bisa kita lakukan dengan waktu yang kita miliki adalah mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Tuhan Yesus memberi perintah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).

Ketika kita masih single, jadwal kegiatan kita tentunya lebih fleksibel. Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk fokus mengasihi Tuhan dengan cara-cara yang kreatif, yang mungkin tidak dapat kita lakukan dengan leluasa di fase kehidupan yang lain.

Tanyakan pada dirimu, apakah ada cara-cara unik yang dapat dilakukan untuk meluangkan waktu bersama Tuhan? Mungkin kamu bisa mengosongkan waktumu dari kesibukan minggu ini untuk mencari Tuhan di tempat yang tenang. Coba evaluasi kembali jadwalmu, lalu luangkan waktu di satu hari untuk menghabiskan waktu bersama Tuhan meskipun kamu harus menunda pekerjaanmu. Lebih menarik lagi, kamu bahkan bisa mengambil kelas Alkitab online yang disediakan banyak lembaga Kristen!

Lihat ke sekelilingmu dan cobalah melakukan hal yang tidak biasa untuk meluangkan waktu bersama Tuhan.

2. Fokuskan dirimu mengulurkan bantuan kepada orang lain

KIta semua adalah anggota dari keluarga Allah, baik orang Yahudi atau Yunani, hamba ataupun orang merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bahkan kita bisa menambahkan single maupun berpacaran! (Galatia 3:28). Apapun status kita saat ini, Tuhan sudah memanggil kita ke dalam keluarga-Nya.

Kebanyakan kita tidak kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Tetapi, anggota keluarga Allah juga meliputi para lansia, keluarga muda, orang tua yang baru saja berpisah dengan anak-anaknya yang merantau untuk berkuliah, dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita turut meluangkan waktu kita untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka (Galatia 6:10)?

Dapatkah kita membantu pasangan muda untuk menjaga anak mereka selama beberapa jam untuk memberi mereka waktu beristirahat? Atau mungkin membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang lansia sambil mendengarkan kesaksiannya tentang pekerjaan Tuhan yang luar biasa?

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajak sepasang suami istri yang merindukan anaknya untuk makan malam bersama, sambil berbincang tentang tantangan-tantangan yang tengah kita alami di dunia pekerjaan kita. Mungkin juga masa single ini menjadi periode waktu yang baik untuk belajar dari pasangan lain, bahkan mendorong mereka untuk bertumbuh dalam hubungan yang mengejar keserupaan dengan Kristus.

Memang, butuh sedikit keberanian untuk mendekatkan diri pada seseorang yang tidak begitu akrab dengan kita di gereja. Bisa jadi, kita baru mendapatkan respon yang kita harapkan setelah undangan kedua atau ketiga. Tetapi, Tuhan sudah memberkati kita dengan keluarga besar yang beragam untuk suatu tujuan! Yuk, mulai menjangkau mereka!

3. Fokuskan dirimu menikmati musim kehidupan ini

Menjadi single dapat terasa memberatkan jika kita amat mendambakan kehadiran pasangan, dan tentunya, pernikahan. Tetapi, daripada memfokuskan diri pada hal-hal yang belum kita peroleh, ada baiknya kita memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang membawa kebahagiaan di musim kehidupan yang tengah kita hadapi.

Kita dapat mengejar karier yang kita sukai. Mungkin ada kesempatan-kesempatan berhaga yang bisa kita lakukan sebagai persembahan di gereja. Mungkin kita terberkati dengan kehadiran sahabat-sahabat yang menemani kita menjalani kehidupan. Kita juga bisa mencoba melakukan hobi-hobi baru.

Penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Dapatkah kamu menemukan tiga hal yang kamu nikmati dari hidupmu saat ini? Bersyukurlah kepada Tuhan untuk berkat yang sudah disediakan-Nya bagi kita. Tuliskan, dan lihat kembali di minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun mendatang!

Kita tidak tahu berapa lama musim ini akan berlangsung dan apa yang menanti kita di masa depan. Namun, kita dapat mencari cara untuk menikmati musim ini. Rayakanlah kebaikan Tuhan yang sudah kita alami dari dahulu sampai sekarang!

Baca Juga:

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Kita mungkin tidak asing dengan istilah KKR yang biasanya menjadi acara besar suatu gereja. Tetapi, pernahkah kita berpikir, bagaimana caranya agar kita mengalami kebangkitan rohani setiap hari?

Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar. Usiaku saat ini memasuki 25 tahun, usia yang bagi beberapa orang dianggap sudah pantas untuk berkeluarga. Aku tidak marah atau kesal dengan hujaman pertanyaan itu, sebaliknya, aku justru benar-benar berpikir serius mengenai pertanyaan itu.

The idea of having boyfriend

Sesungguhnya, pertanyaan yang diajukan oleh saudara-saudaraku adalah pertanyaan yang juga sering aku ajukan kepada Tuhan. Dua puluh lima tahun menjomblo bukanlah waktu yang singkat. Mustahil jika tidak pernah ada masa di mana aku mulai merasa geram dan kesepian dengan kesendirianku. Ketika aku berumur 23 tahun, aku bahkan pernah berdoa sambil menangis ketika bertanya kepada Tuhan mengapa hingga saat itu Tuhan belum menunjukkan kepadaku pasangan hidupku. Waktu itu aku baru lulus kuliah dan masuk dunia kerja, dan aku mulai merasakan kesepian karena kehilangan sosok sahabat-sahabatku di masa kuliah yang sebelumnya sering melewatkan waktu bersamaku. Aku juga mulai iri melihat teman-temanku yang datang ke acara persekutuan bersama pacarnya atau menghabiskan waktu bersama. Rasa kesepian itu begitu menguasaiku hingga aku berpikir bahwa memiliki pasangan adalah jawaban yang tepat untuk mengatasinya.

Sebenarnya dari masa kuliah, aku sudah belajar mengenai “teori-teori dalam menantikan pasangan hidup” (yang banyak dipengaruhi oleh buku “Lady in Waiting” yang ditulis oleh Jackie Kendall dan Debby Jones). Aku tahu bahwa selama masa menanti si dia yang dari Tuhan, seharusnya aku berfokus kepada Dia, yang akan memberikanku si dia. Aku juga merasa sudah paham kalau aku harus merasa puas (content) dengan kehadiran Tuhan, dan merasa cukup dengan Allah. Aku juga sudah belajar kalau masa-masa sendiri atau single haruslah aku isi dengan menikmati relasiku dengan Tuhan sebaik-baiknya dan giat melayani Dia, karena dalam masa inilah aku memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya.

Namun, ketika rasa kesepian melandaku dengan hebat, aku seperti amnesia dengan “teori-teori” yang kurasa aku sudah kuasai. Rasa kesepian membuatku menjadi egois dan berpikir bagaimana caranya untuk memuaskan keinginan pribadiku, dan hal itu sangat self-centered. Rasa kesepian membuatku terjerembab dalam lubang self-centered-ness ketika seharusnya aku menjalani masa penantian pasangan hidup secara God-centered. Ketika aku berdiam dan merenung, aku menemukan kelemahanku dalam pergumulan pasangan hidup. Selama ini, yang aku idamkan bukanlah pasangan hidup yang memiliki citra Kristus, melainkan the idea of having a boyfriend. Yang aku idam-idamkan adalah bayangan kalau aku akan memiliki pasangan yang akan menemaniku datang ke acara persekutuan atau menungguiku pulang rapat atau sekadar teman jalan-jalan. Aku gagal melihat kedalaman alasan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, karena aku terlalu sibuk mencari perhatian untuk diriku sendiri. Memang tidak salah memiliki pasangan untuk datang ke acara persekutuan bersama, tapi Tuhan tidak memberikan kita pasangan hidup hanya untuk datang ke acara persekutuan bersama, kan?

Teman (berbagi) hidup

Dalam perenungan itu pula aku teringat cerita tentang Molly Kecil di bab 11 buku “Sacred Search” karya Gary Thomas. Gary menceritakan suatu keluarga yang sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka. Namun, ternyata terdapat kelainan dalam tubuh bayi kecil itu (yang mereka panggil sebagai Molly Kecil), yang membuat Molly Kecil tidak bisa bertahan hidup lebih lama. Tapi, sungguh bersyukur, Molly Kecil punya orang tua yang sangat mengasihi Tuhan. Lebih lagi, Molly Kecil punya kakek dan nenek yang juga sangat mengasihi Tuhan. Di waktu-waktu terakhir hidup Molly Kecil, mereka berkumpul, menyanyikan lagu pujian, berdoa, dan menyampaikan pesan terakhir bagi Molly Kecil. Keteguhan hati kakek, nenek, dan orang tua Molly Kecil dalam cerita itu membuatku terkagum. Sungguh cerita yang sangat kuat untuk menunjukkan betapa pentingnya memilih pasangan hidup yang tepat, karena pilihan itu akan berdampak langsung kepada anak-anak, cucu-cucu, dan generasi di bawah kita. Ketika ayahku meninggal, beliau tidak meninggalkan harta kekayaan yang berlimpah, tapi warisan iman dan kisah ketaatan yang sangat aku syukuri dan teladani. Pilihan yang salah akan mewariskan hal yang tidak baik, tetapi sebaliknya pilihan yang tepat akan mewariskan kekayaan iman yang luar biasa.

Mencari pasangan hidup bukan sekadar mencari orang yang akan hidup bersama kita, berbagi biaya kebutuhan hidup, atau bersih-bersih rumah bersama. Kita sedang mencari partner membangun Kerajaan Allah, teman menangis bersama melihat kondisi dunia yang sedang menuju kesudahannya, dan sahabat berdoa selamanya. Dan, mencari “teman hidup” ini tentu bukanlah proses asal-asalan. Pencarian yang bijaksana pasti akan menghasilkan temuan yang lebih berharga.

Bukan kutukan

Pelajaran berharga lainya yang aku peroleh dalam pergumulan itu adalah kesendirian, atau singleness bukanlah kutukan. Tidak salah jika kita ingin memiliki pasangan, tapi tidak seharusnya kita melihat pacaran atau pernikahan sebagai solusi akan rasa kesepian. Di luar sana, banyak orang yang memiliki pasangan tapi tetap merasa kesepian. Mengapa? Karena bukan pasangan yang akan membuat kita tidak merasa kesepian. Hanya satu Pribadi yang dapat mengisi rasa sepi dan kosong dalam hati setiap manusia: Yesus Kristus.

Bahkan, justru kesendirian atau singleness adalah pemberian (gift) dari Allah bagi kita yang saat ini masih sendiri.

If you are single today, the portion assigned to you for today is singleness. It is God’s gift. Singleness ought not to be viewed as a problem, nor marriage as a right. God in his wisdom and love grants either as a gift.

Terjemahan bebas: “Jika saat ini kamu masih sendiri, bagian yang Tuhan berikan kepadamu hari ini adalah kesendirian. Hal ini merupakan pemberian dari Allah. Kesendirian tidak seharusnya dilihat sebagai masalah, atau pernikahan sebagai hak. Allah dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya memberikan kedua-duanya sebagai pemberian.”

(dalam buku berjudul “Quest for Love” oleh Elisabeth Elliot sebagaimana dikutip oleh Stacy Reaoch dalam artikel berjudul “Singleness Is Not a Problem to Be Solved”).

Kebanyakan dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kita pasti akan menikah. Mungkin kita berpikir, “aku ingin memiliki pasangan, jadi Tuhan harus memberikannya kepadaku”. Kita menganggap bahwa memilki pasangan hidup adalah keharusan, dan menjadi kewajiban Tuhan untuk memberikannya kepada kita. Memang benar dalam Kejadian 2:18, Allah sendiri berfirman bahwa tidak baik bahwa manusia seorang diri saja. Namun hal ini tidak menjadi dasar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah keharusan dan Tuhan berkewajiban memberikan pasangan kepada kita semua. Bahkan dalam Matius 19:12, Tuhan Yesus sendiri berkata: “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Selain itu, Rasul Paulus sendiri tidak menikah (1 Korintus 7:8). Jadi jelas bahwa kesendirian/singleness (baik karena belum menikah maupun karena tidak menikah) bukanlah kutukan. Sebaliknya, kesendirian/singleness adalah pemberian yang baik dari Allah karena: “TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela” (Mazmur 84:12).

Mungkin hal ini sulit untuk diterima dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang menjadikan pernikahan dan keluarga sebagai bukti “keberhasilan”. Namun aku, dan kita semua, juga harus belajar menerima bahwa kondisi apapun yang Allah berikan bagi kita adalah pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Grace Rankin dalam artikel yang ditulisnya berjudul “Valentine’s Day for Single Christians”, menulis:

Think of this: even if we remain single for the rest of our lives here on earth, it is only a fraction of time compared to the eternity we will spend rejoicing in the presence of Christ, who we will know more fully through our pain and loneliness than we ever would have otherwise.

Terjemahan bebas: Coba bayangkan: bahkan jika kita tetap sendiri hingga akhir hidup kita di bumi, hal ini hanyalah bagian kecil dibandingkan dengan kekekalan yang akan kita lalui dengan bersukacita dalam hadirat Kristus, yang kita kenal lebih dalam melalui rasa sakit dan kesepian kita daripada yang pernah kita miliki sebelumnya.

Pada akhirnya, waktu kesendirian/singleness ini menjadi terasa terlalu kecil untuk kita permasalahkan dibandingkan dengan Cerita Besar Allah (God’s Great Story) yang sudah Dia persiapkan bagi setiap kita dengan begitu indahnya. Daripada kita menghabiskan masa kesendirian ini untuk meratapi kesepian, kita bisa menggunakannya untuk mengejar hadirat Sang Pencipta, menjalani hubungan pribadi dengan Tuhan yang lebih dalam, lebih memuaskan, dan lebih memuliakan Dia hari demi hari.

Kebahagiaan bukan diperoleh dengan menemukan pasangan hidup, melainkan menemukan kepuasan di dalam Juruselamat yang memanggil kita sebagai milik kepunyaan-Nya dan menjadikan kita anak Raja yang dikasihi.

“Ten thousand years from now, your marriage may be just a sweet, but short sticky notes in the massive filing cabinet of our happy marriage with Jesus. After centuries without any confusion or fear or sadness, how will you reflect on your days of heartache and loneliness here? The painful desires and waiting will still have been very real, but now small and insignificant compared with the perfect, seamless love and happiness we will enjoy forever.”

Terjemahan bebas: “Sepuluh ribu tahun dari sekarang, pernikahanmu mungkin terasa manis, namun hanyalah memo kecil dalam lemari arsip besar dari pernikahan bahagia kita dengan Yesus. Setelah berabad-abad tanpa kebingungan atau kekhawatiran atau kesedihan, bagaimana kita akan berkaca kembali pada masa-masa sakit hati dan kesepian kita saat ini? Rasa mengingini dan penantian yang menyakitkan akan tetap terasa begitu nyata, namun sekarang terasa begitu kecil dan tidak berarti dibandingkan dengan dengan cinta dan kebahagiaan yang sempurna dan tanpa batas yang akan kita nikmati selamanya.”

(Dalam Artikel “You Don’t Have to Get Married to Be Happy” oleh Marshall Segal)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Aku pernah tidak suka dengan rekan sepersekutuanku. Aku lalu membicarakannya ke temanku yang lain, hingga akhirnya aku sadar bahwa tindakan itu tidaklah sejalan dengan imanku.

Kepada Semua Pemuda Kristen yang Masih Lajang

Oleh Jeffrey Siauw

Tidak ada yang salah dengan menjadi seorang pemuda lajang. Ya, kamu tidak salah baca: Tidak ada yang salah bila kamu tidak menikah, belum punya pacar, atau bahkan bila kamu belum pernah berpacaran sama sekali.

Benar bahwa Allah menciptakan kita dengan kebutuhan akan relasi dan kemampuan untuk tertarik pada lawan jenis. Sebab itu, sangatlah wajar kalau di samping relasi keluarga dan pertemanan, kita juga menginginkan relasi pernikahan (dan pacaran yang menuju ke pernikahan). Tetapi, nilai hidup kita sama sekali tidak berkurang atau bertambah dengan status hubungan yang kita miliki!

Salah satu pergumulan terbesar yang dihadapi para lajang adalah masalah kesepian (ini juga pergumulan saya saat masih lajang). Sebagian orang mencoba menghadapi kesepian dengan menenggelamkan diri dalam kesibukan—berpikir bahwa dengan begitu ia bisa melupakan kesepiannya. Sebagian lainnya menghadapi kesepian dengan berbelanja banyak barang dan mencari banyak hiburan—berpikir bahwa ia bisa menemukan kepuasan hidup di dalamnya. Sebagian lagi membiarkan diri jatuh dalam dosa seksual, dari pornografi sampai pelacuran, dan berpikir bahwa keintiman palsu itu akan mengobati kesepiannya.

Banyak pemuda yang masih lajang memilih hidup dengan pola pikir “kalau saja”. Kalau saja saya punya pacar … Kalau saja saya menikah … pasti saya tidak akan kesepian! Atau, pola pikir “sudah seharusnya”. Sudah seharusnya setiap orang (paling tidak saya) punya pacar, menikah, punya anak, dan seterusnya. Sungguh tidak adil bila saya tidak mendapatkan semua itu!

Memelihara pola pikir yang demikian hanya akan menghasilkan kepahitan. Mengapa? Karena ketika kita hanya berfokus pada apa yang tidak kita miliki, kita tidak lagi bisa melihat kebaikan Tuhan di dalam hidup kita. Yang kita lihat hanyalah apa yang kurang dalam hidup kita, bukan apa yang menjadi tujuan Tuhan di dalam hidup kita. Kita menutup mata pada pekerjaan Tuhan yang justru bisa dilakukan karena status lajang kita. Padahal, Rasul Paulus sendiri menuliskan tentang sisi positif tidak menikah, mengingatkan jemaat bahwa orang-orang yang tidak menikah dapat dengan bebas memberi diri sepenuhnya untuk Tuhan dan pekerjaan-pekerjaan-Nya (1 Korintus 7:32-35). Kita menunda untuk bahagia karena merasa bahwa kita hanya bisa bahagia kalau punya pacar dan menikah. Yang paling celaka adalah jika kita membiarkan dosa akhirnya menguasai hidup kita. Dosa bukan saja akan menghancurkan hidup kita sekarang, tetapi juga akan ikut menghancurkan relasi dengan pasangan kita kelak, jikalau suatu saat Tuhan memberikannya.

Saya ingin berseru kepada semua pemuda Kristen yang masih lajang: mari isi masa lajangmu dengan cara yang berbeda. Jangan biarkan kesepian menguasai hidupmu dan kepahitan mengakar di dalam hatimu. Ingatlah bahwa kesepian itu bukan akibat kamu tidak punya pacar atau istri. Kesepian adalah masalah yang dihadapi semua orang, baik menikah atau tidak. Bahkan Yesus pun mengalami kesepian ketika murid-murid-Nya tidak berjaga-jaga dengan Dia di saat paling genting (Matius 26:36-40). Tetapi, kesepian adalah pencobaan, bukan dosa. Kesepian hanya akan menjadi dosa ketika kita membiarkan hidup kita dikuasai olehnya.

Ketika kesepian datang kembali, jadikanlah perasaan itu sebagai “pengingat” untuk membangun relasi dengan keluarga dan teman-teman. Pergunakanlah masa lajangmu untuk mengejar kekudusan. Kekudusan bukan sekadar menjauhi dosa (itu pasti salah satunya), tetapi juga membangun kehidupan yang diinginkan Tuhan. Belajarlah untuk percaya bahwa anugerah Tuhan itu selalu cukup bagimu dengan atau tanpa pasangan. Mintalah Tuhan mengubahmu menjadi seorang pria yang sepenuh hati mengasihi Dia dan mengasihi sesama.

Bila kelak kamu punya pasangan, kamu akan melihat dengan jelas bahwa belajar mengasihi Tuhan dan sesama semasa lajang akan menolongmu untuk mengasihi pasanganmu setelah kamu menikah. Saya sendiri menemukan bahwa ketika saya belajar mengasihi sesama sebagaimana yang dikehendaki Tuhan, saya bisa lebih mengasihi istri saya apa adanya, sebagaimana Kristus mengasihi jemaat-Nya.

Bila kamu tidak punya pasangan pun, ingatlah bahwa hidupmu dapat tetap indah dan berarti di mata Tuhan dan semua orang yang melihatmu.

Baca juga: Kepada Semua Pemudi Kristen yang Masih Lajang

Single? Be Max – Be You!

Oleh: Lauren Fransisca

Be Max Be U

Memasuki usia yang sudah “cukup”, sama seperti kebanyakan orang, aku juga ingin sekali memiliki pasangan. Aku adalah tipe orang yang punya banyak banget perencanaan. Sejak kecil aku bahkan telah merencanakan umur berapa aku ingin menikah dan dengan tipe pria seperti apa. Kebayang dong bagaimana galaunya aku ketika target waktu yang kutentukan sendiri hampir lewat dan aku masih saja berstatus jomblo. Apalagi, melihat orang-orang di sekitarku satu per satu memiliki pasangan. Bersyukur bahwa Tuhan menjaga hatiku untuk tetap memercayai waktu-Nya, sehingga kegalauanku gak sampai membuatku jadi asal “comot” pacar untuk menikah.

Pandangan populer memberitahu kita bahwa memiliki pasangan menjadikan hidup kita lebih lengkap. Benarkah demikian? Seorang teman bahkan pernah memberiku ide yang menurutku agak gila: “menikah saja dulu, toh kalo tidak cocok kan bisa cerai, daripada kamu ketuaan dan gak laku lagi…” Sepertinya pernikahan adalah segala-galanya, tujuan utama dari hidup ini. Aku balik bertanya: “kalau hanya untuk cerai, mengapa harus menikah?”

Apakah status kita yang single menjadikan diri kita lebih buruk dari orang lain? Tidak juga. Apakah kita yang single lebih tidak bahagia dibanding mereka yang sudah menikah? Tidak juga. Banyak orang yang pernikahannya bermasalah, karena memang punya pasangan itu tidak menjamin kita bahagia. Malah status single sebenarnya memberi kita banyak keleluasaan untuk bergaul, belajar hal-hal yang baru, mengenal banyak orang, melakukan berbagai hal yang kita sukai, bahkan mewujudkan impian-impian kita tanpa harus terbebani dengan urusan rumah tangga.

Aku suka membayangkan menjalani masa-masa sendiri itu seperti mendaki gunung. Adakalanya kita merasa lelah, capek, dan ingin menyerah, karena puncak gunung itu tak kunjung terlihat dan tidak ada orang yang memberi kita semangat. Adakalanya kita merasa kesepian dan iri dengan orang-orang lain yang hidup bersama di lembah-lembah. Namun, sebenarnya perjalanan itu membuat otot-otot kaki kita menjadi jauh lebih kuat, kita makin tegar dan tidak mudah menyerah. Lebih dari itu, kita dapat melihat pemandangan dari puncak yang tak dapat dilihat oleh orang-orang yang tinggal di lembah. Tuhan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktu-Nya. Jangan berusaha “mempercepat” waktu Tuhan dan sok mencoba “membantu”-Nya. Kita perlu bertanya, apa yang Tuhan ingin kita pelajari dan lakukan dalam masa-masa sendiri. Mungkin ada karakter yang perlu diperbaiki, ada ketrampilan baru yang perlu kita latih, ada pelayanan yang perlu kita kerjakan. Dan masa yang tepat untuk itu adalah ketika kita belum berumah tangga. Masa single bukanlah masa untuk mengasihani diri sendiri, tetapi masa untuk kita menjadi maksimal.

Seorang pendeta pernah berkata, “Jika kita tidak merasa utuh saat kita masih single, jangan pernah berpikir kita akan menjadi utuh saat kita berpasangan, karena hanya Kristus sendirilah yang dapat membuat kita menjadi utuh dan penuh.” Aku pikir itu benar sekali. Banyak pernikahan bermasalah karena orang berharap pasangannya dapat memenuhi semua kebutuhannya, membuatnya menjadi utuh dan penuh. Secara tidak langsung mereka berharap pasangannya menjadi “Kristus” bagi mereka. Lalu mereka kecewa, karena pasangannya ternyata hanya seorang manusia berdosa yang sama seperti dirinya. Pernikahan tidak pernah dimaksudkan Tuhan menjadi pusat hidup manusia. Ingat saja bahwa Adam pun tidak pernah meminta calon pasangan pada Tuhan, ia enjoy hidup dengan Tuhan. Tuhan sendirilah yang berinisiatif memberikan pasangan bagi Adam, untuk memenuhi tujuan-tujuan-Nya dalam dunia ini. Pernikahan dipakai Tuhan untuk menggambarkan hubungan antara Tuhan dengan umat-Nya. Tuhan-lah yang seharusnya menjadi pusat segala sesuatu. Kita dapat menjadi pribadi yang utuh ketika kita menjalani hidup bersama Kristus.

Bila kamu juga adalah seorang yang masih single, daripada galau mikirin pasangan yang belum jelas, mending kita giat mengejar hidup yang maksimal di dalam Tuhan. Bertumbuh menjadi makin serupa Kristus. Kita bahkan bisa mendoakan juga “calon pasangan” kita, ──jika Tuhan mau kita menikah nanti──agar ia juga memiliki karakter yang sesuai dengan sifat-sifat Kristus.

Kadang aku pikir kita seperti anak kecil yang memegang kuat-kuat boneka kumal kesayangannya ketika diminta oleh sang ayah untuk diganti dengan yang baru. Kita suka memegang kuat-kuat rasa galau, takut, dan cemas, padahal Tuhan ingin kita menyerahkan semua itu di tangan-Nya untuk Dia gantikan dengan kedamaian, ketenteraman, dan sukacita. Bapa kita tahu kerinduan kita untuk memiliki pasangan, namun lebih dari itu, Dia juga tahu apa yang terbaik bagi kita.

So, still single? No problem. Kita bisa tetep happy selama kita hidup di dalam Kristus. Jadikanlah Tuhan sebagai pusat utama hidup kita, hal-hal yang lain akan menempati posisi yang semestinya. Jangan cemas dan galau hanya karena umur; bukankah lebih baik tidak menikah dibandingkan salah menikah? Bawalah semua perasaan galau kita kepada Tuhan dan biarkan Tuhan memulihkan hati kita. Bawalah kerinduan kita untuk memiliki pasangan kepada Bapa kita di surga. Dia mengerti dan senang ketika kita meminta kepada-Nya, karena kita adalah anak-anak-Nya. Namun, ingatlah bahwa Bapa juga tidak akan sembarangan memberikan apa yang kita minta, apalagi ketika kita belum siap, karena Dia yang lebih tahu apa yang terbaik bagi kita. Trust God, trust His time … Pakailah masa-masa single untuk bertumbuh maksimal di dalam Kristus, dibentuk menjadi pribadi yang memancarkan keindahan-Nya.