Posts

Apakah Ia Benar Jodohku? Kehendak Tuhan vs. Kehendak Manusia, Why Not Both?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

Dear single fighter maupun muda-mudi yang sedang pacaran, ada yang notice-kah dengan berita yang sedang trending akhir-akhir ini? Wakil Presiden kita, Pak Ma’ruf Amin, mengimbau anak-anak muda (yang termasuk Generasi Z) untuk tidak menunda nikah. Beliau melandaskan imbauannya pada laporan adanya pengurangan jumlah kelahiran di Indonesia. Reaksi warganet pun beragam, salah satunya adalah komentar di Instagram Story pacarku mengenai isu tersebut, “Ya, gapapa, sih, Pak asal sama orang yang bener.” Mungkin sebagian kita yang masih single akan mengangguk-angguk dengan pernyataan warganet itu. Bahkan ketika membaca komentarnya, kita (dan aku) yang sedang berpacaran mungkin juga memikirkan kembali, “Apakah benar pacarku yang sekarang ini memang adalah pasangan yang benar?” Toh siapa yang mau punya pasangan yang “salah”?

Terlepas dari faktor-faktor seperti kesiapan finansial, mental, kesehatan, keluarga, dan lain-lain, banyak di antara kita mendambakan pasangan yang “benar” atau “tepat”. Oke, deh, mungkin ideal ini tidaklah sama dengan spesifikasi tampang artis Korea dan tingkat spiritualitas pendeta, tetapi setidaknya dia mau sama-sama berjuang dan tidak punya ciri-ciri red flag

Omong-omong, ciri-ciri calon pasangan yang tidak red flag itu apa, sih?

Secara garis besar, ciri-ciri tersebut tampak pada orang-orang yang mau peduli dengan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas. Di antaranya adalah peduli dan bersedia mempersiapkan diri secara finansial, mental, kesehatan, serta keluarga asalnya maupun pasangannya. Mungkin kita sudah memahami prinsip ini, tetapi kenyataannya tidak jarang kita bisa meragukan “kelayakan” orang lain menjadi pasangan kita, atau bahkan ragu apakah kita “layak” menjadi pasangan baginya.

Fenomena ini membawaku merenungkan tentang pelayan Abraham yang mencari jodoh untuk Ishak (Kejadian 24). Secara kasat mata, mungkin kebanyakan anak muda akan alergi dengan yang namanya perjodohan oleh orang tua. Akan tetapi, jika memang kita pernah berdoa dijodohkan Tuhan, perikop ini tetap relevan bagi kita dengan satu pesan, yaitu mencari pasangan itu bukan adu-aduan antara kehendak Allah dan manusia, melainkan cerminan relasimu dengan Tuhan. Berikut adalah doa sang pelayan ketika memohon bimbingan Tuhan dalam memilih istri bagi Ishak, anak dari bapa segala bangsa itu:

Lalu berkatalah ia: “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum—dialah kiranya yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.” (Kejadian 24:12-14 (TB 1974)).

Secara sepintas, doa pelayan ini begitu sederhana, tetapi aku justru melihat imannya kepada Allah di tengah-tengah kebingungan yang dialaminya. Jika mau sedikit berempati, kita akan melihat bahwa pelayan ini takut akan pilihannya yang tidak sesuai dengan keinginan tuannya—yaitu Abraham—dan Ishak. Ketika mengutus sang pelayan, Abraham hanya berpesan untuk mencari perempuan bukan Kanaan. Ya, hanya kriteria itu yang dicatat di Alkitab. Kita tahu bahwa Kanaan adalah bangsa penyembah berhala, sehingga secara tersirat Abraham tidak ingin Ishak justru mengikuti penyembahan berhala. Namun, apakah Ishak tidak punya kriteria sendiri? Bukankah salah satu anak Ishak yang bernama Yakub punya kriteria pasangan dan bisa memilih Rahel dibandingkan Lea, padahal kedua perempuan itu adalah kakak-beradik (Kejadian 29:18)? Jika demikian, tentu wajar bagi pelayan Abraham untuk meminta Ishak ikut bersamanya dalam pencarian istri. Sayangnya, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Abraham. Tidak heran jika pelayan itu merasa khawatir dan takut untuk membawa pulang calon pasangan yang tidak sesuai bagi Ishak.

Di dalam kelelahan dan kekhawatirannya, pelayan itu berdoa kepada Tuhan. Jika kita mau mundur ke pembukaan doa sang pelayan itu, sesungguhnya kita dapat menemukan bahwa dia melihat jelas betapa hidupnya relasi antara Abraham dan Tuhan:

“TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.

Ungkapan ini bukanlah pembukaan doa semata, melainkan sebuah pernyataan iman atas kedaulatan Tuhan di dalam hidup Abraham. Sangat mungkin jika kita melihat pelayan ini menyaksikan hidup Abraham yang bergaul erat dengan Tuhan, sehingga ia pun bisa berdoa seperti yang dilakukan tuannya. Tidak hanya kebiasaan berdoa, pelayan ini juga mengenal Allah Abraham sebagai Allah yang penuh kasih dan—mungkin juga—mengenal janji Allah kepada Abraham yang akan memberkati keturunannya. Ungkapan pelayan ini mencerminkan relasi pribadi antara manusia dengan Allah yang autentik dan erat, sehingga dirinya mengenal siapa Allah yang mengutusnya mencari pasangan bagi Ishak.

Di samping pengenalan akan Tuhan yang begitu baik, pelayan ini juga mengenal dirinya sendiri. Seperti ungkapan seorang teolog bernama John Calvin, Without knowledge of self, there is no knowledge of God (tanpa pengenalan akan diri, tidak ada pengenalan akan Allah),” pelayan ini tahu apa yang dia butuhkan untuk memenuhi mandat tuannya. Selain berdoa, pelayan itu mengenal kebutuhannya, bahkan rela untuk menjadi rapuh dengan meminta air dari perempuan—yang tidak lain adalah Ribka—pada saat itu. Iya, perjalanan yang sangat jauh tentu menguras tenaga sang pelayan, bukan?

Mengenal diri dan menjadi rapuh adalah poin yang penting di dalam proses pengenalan diri, tetapi tentunya memerlukan waktu bagi kita untuk mencernanya dan melalui proses pendewasaan yang tidak mudah. Tuhan mengizinkan kita untuk menguji-Nya di dalam ketaatan (lihat Maleakhi 3:10, Efesus 5:10, 1 Tesalonika 5:2), tetapi kita juga perlu rendah hati untuk diuji Tuhan (lihat Mazmur 26:2; 139:23). Di satu sisi, kita diajarkan bahwa Tuhan ingin kita mencari pasangan yang sepadan dengan kita, seperti Adam dan Hawa. Di sisi lain, kita juga perlu sadar bahwa Tuhan membiarkan Adam untuk bekerja dan mencari terlebih dahulu di antara ciptaan-ciptaan-Nya, sehingga dia sadar bahwa tidak ada yang sepadan dengannya sampai Allah menyediakan Hawa baginya (lihat Kejadian 2:20).Bagi sebagian kita, pengalaman mencari pasangan mungkin adalah pengalaman yang penuh perasaan menggebu-gebu. Perasaan seperti ini tidak terhindarkan, tetapi kita perlu mewaspadainya dengan membuka mata maupun telinga lebar-lebar untuk mengenal dan dikenal pasangan. Lalu, bagaimana dengan yang sudah “pesimis” terhadap kata-kata cinta karena pernah dikecewakan dan menelan rasa pahit? Pikiran pesimistis itu pun tidak terhindarkan saking menyakitkannya jika terulang lagi. Namun, momen-momen pahit itu juga dapat menjadi tanda kita untuk kembali berefleksi dan berdiam diri di hadapan Sang Pencipta yang senantiasa menerima segala kelemahan dan kerapuhan kita.

Pengalaman mengenal orang lain sesungguhnya tidak pernah lepas dari pengalaman kita mengenal Tuhan dan diri. Sebagai laki-laki, aku berpikir bahwa secara tanpa sadar, sering kali kriteria pasangan ditentukan oleh bagaimana sang laki-laki berelasi dengan ibunya (wahai kaum laki-laki, bagaimana menurut kalian?). Sebagai contoh, aku mendambakan perempuan yang mindful, ramah, dan detail dalam mengurus berbagai hal. Ternyata, aku tidak menyadari bahwa sifat-sifat tersebut telah ditunjukkan terlebih dahulu oleh ibuku. Sebagai konsekuensi, sering kali aku perlu menerima komentar detail dari pasanganku, misalnya tentang tata bahasa tulisan. Dikritik itu tidak mudah, dan sering kali aku memerlukan kerendahan hati sebagai laki-laki. Di sisi lain, aku juga bisa merasa terganggu jika pasangan tidak punya kerapian dalam berpakaian, berpenampilan, dan mengurus barang. Dari mana asal ketidaknyamanan itu? Dari orang tua tentunya. Apakah aku terganggu? Iya, tetapi melaluinya aku mengenal diri dan sifatku, serta belajar menerima pasangan yang memang Tuhan sudah berikan bagiku saat ini.

Jadi, apakah ada pasangan yang adalah pasangan yang benar? Hanya Tuhan yang tahu persis skenario kisah cinta anak-anak-Nya, dan biarlah Dia yang menguji tiap relasi yang terjalin. Bagian kita adalah terus mengenal siapa Tuhan, diri sendiri, dan dia yang berelasi dengan kita. Sesungguhnya, musuh dari relasi bukan sekedar kebencian, melainkan keangkuhan hati yang membuat kita berasumsi sudah mengenal pasangan “sepenuhnya”. Ingatlah, setiap manusia—siapa pun itu—pasti menyimpan kerapuhan dan kelemahan yang tidak mudah diterima. Ketika menikahi seseorang kelak, kita tidak hanya “menikahi” kecantikan dan kebaikannya, melainkan juga kelemahan, keberdosaan, kerapuhan, dan ketidaksempurnaannya.

Pada akhirnya, mencari pasangan bukanlah tentang permasalahan cocok-cocokan, melainkan sebuah cerminan relasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Aku pernah mendengar curhat dari seorang perempuan bahwa menurutnya laki-laki di gereja itu adalah laki-laki yang “lempeng-lempeng (mudah ikut arus) aja hidupnya”, sehingga dirinya tidak memiliki tujuan hidup. Bagaimana jika anggapan ini benar-benar menggambarkan semua laki-laki yang mengaku percaya kepada Kristus, Sang Kepala Gereja yang mengasihi umat-Nya dan menjadi teladan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mengasihi dalam sebuah relasi? Bagaimana jika semua perempuan beranggapan serupa, sehingga mereka memilih untuk mencari laki-laki yang lebih “membawa gairah”—bahkan meskipun itu berarti mencarinya di luar persekutuan orang percaya? (lihat 2 Korintus 6:14).

Hai, laki-laki, angkat kepalamu, arahkan matamu kepada Tuhan yang memberikan mandat untuk mengelola hidupmu dan sesamamu. Kasihilah perempuan seperti Kristus mengasihi umat-Nya, yaitu tidak dengan paksaan—melainkan dengan kerelaan.

Hai, perempuan, terima kasih sudah menjadi penolong yang sepadan bagi kami. Kiranya hidupmu senantiasa terang berkilau seperti mahkota raja yang selalu membawa kami melihat Sang Raja dan Sahabat kami, yaitu Yesus Kristus.

Kiranya Tuhan senantiasa menyertai kita di dalam perjalanan mencari pasangan dan membangun rumah tangga Allah. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dari Kisah “Letter in the Wallet”, Aku Belajar Suatu Hal tentang Cinta

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pada bulan September 1985, Readers Digest memuat sebuah cerita berjudul “Letter in the Wallet” yang dikisahkan oleh Arnold Fine. Fine menceritakan tentang suatu momen ketika ia menemukan sebuah dompet di jalan. Di dalam dompet itu, terdapat uang tiga dolar bersama sepucuk surat usang yang tertulis tanggal enam puluh tahun lalu.

“Michael yang terhormat.” Begitulah suratnya dimulai. Lalu dilanjutkan dengan kata demi kata yang menyesakkan dada karena hubungan yang harus diakhiri atas desakan orang tua si pemudi. Dan beginilah suratnya ditutup, “Aku akan selalu mencintaimu, Michael.” Lalu disertai tanda tangan, “Milikmu, Hannah.”

Setelah membacanya, Arnold Fine terdorong untuk menemukan pemilik dompet itu. Hal yang sama yang akan kulakukan juga jika aku penemunya. Fine beruntung, alamat pengirim suratnya, Hannah, masih terbaca jelas dalam surat itu. Dengan upayanya, Fine mendapatkan sebuah nomor telepon dan segera menghubunginya. Namun, ia menjadi kecewa mendengar informasi bahwa Hannah beserta keluarganya sudah cukup lama pindah dari rumah itu. Akan tetapi keberuntungan masih memihak Fine, karena ia mendapatkan informasi sebuah tempat di panti jompo, di mana kemungkinan Hannah tinggal sekarang. Fine bergegas dan setibanya di sana, ia diberitahu bahwa Hannah sedang menonton TV di lantai tiga. Segeralah ia naik, bertemu dengan Hannah yang sudah tidak muda lagi, dan memperkenalkan dirinya. Akhirnya, ia pun menanyai siapa penulis surat itu.

Tidak mengejutkan, Hannah mengaku dialah yang menulis surat itu dan melanjutkan, “Aku mengirimkan surat ini kepada Michael karena aku baru berusia enam belas tahun dan ibuku tidak mengizinkan kami bertemu lagi. Dia sangat tampan, Anda tahu, seperti Sean Connery.” Fine bisa melihat pancaran kebahagiaan dari mata Hannah ketika ia membahas si pemilik dompet itu. “Ya, Michael Goldstein adalah namanya. Jika anda menemukannya, beri tahu dia bahwa aku sering memikirkannya dan tidak pernah menikah dengan siapa pun. Tidak ada yang pernah cocok denganku”. Fine berterima kasih, lalu pergi.

Ketika Fine akan meninggalkan tempat itu, seorang perawat di sana bertanya tujuan kedatangan Fine. Ia lalu menceritakan apa yang sudah terjadi dan berkata, “Setidaknya aku bisa mendapatkan nama belakang darinya. Namanya, Michael Goldstein.”

“Goldstein?” tanya perawat itu. “Ada Michael Goldstein yang tinggal di sini di lantai delapan.”

Cepat-cepat Fine kembali ke dalam dan menuju lantai delapan sambil ditemani sang perawat. Pada saat berhadapan dengan Michael Goldstein, perawat itu membuka percakapan, “Pria ini menemukan sebuah dompet dan mungkin Andalah pemilknya. Fine lalu menyerahkan dompet itu dan saat Michael memandangnya, dia tersenyum lega.

“Oh, ya, aku kehilangannya saat aku keluar jalan-jalan beberapa hari yang lalu,” jawab Michael.

Michael sangat bahagia dan berterima kasih, sampai akhirnya Fine mengaku telah membaca surat di dalam dompetnya bahkan tahu tempat tinggal pengirim surat itu, Hannah.

“Bisakah kau memberitahuku di mana dia? Aku ingin sekali meneleponnya. Kamu tahu, ketika surat itu datang kepadaku, hidupku rasanya berakhir. Aku belum pernah menikah. Aku tidak pernah berhenti mencintainya.”

Fine memegang tangan Michael dan membawanya turun ke lantai tiga, sebuah tempat yang dapat melelehkan hati sekeras baja.

“Hannah, apakah kamu kenal pria ini?” tanya perawat yang menemani Fine dan Michael.

Hannah menyesuaikan kacamata yang dipakainya, menatap Michael, dan menggali kembali ingatannya, sampai akhirnya Michael membuka mulutnya, “Hannah, ini Michael.”

Hannah langsung terkesiap dan berseru, “Michael! Michaelku! Sungguhkah itu kamu?”

Mereka berpelukan, berpegangan, duduk, bercerita dan menangis.

Beberapa minggu setelahnya, Arnold Fine menerima sebuah undangan pernikahan. Hannah yang berusia tujuh puluh enam tahun, dengan Michael, tujuh puluh delapan.

Kisah ini ditutup Fine dengan kalimat, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan.”

Mungkin kamu sejenak menahan nafas dan menyeka air mata di pipimu setelah membaca kisah itu. Namun, percayalah padaku, dengan segala rasa hormatku pada Fine, Michael, dan Hannah, kisah itu tidak akan mampu menandingi sebuah kisah tentang seorang “Pangeran Langit” yang mencintai segerombolan penjahat. Ia datang jauh-jauh meninggalkan sorga yang mulia dan melayani dunia bercela. Ia memulainya dari Betlehem, pada sebuah palungan di kandang domba. Sebenarnya Ia tidak punya kesulitan apapun untuk datang dengan kemegahan diiringi terompet para Malaikat. Namun, Ia memilih rahim seorang wanita sederhana yang telah bertunangan dengan seorang pria yang juga sederhana, bahkan mungkin oleh sebagian orang dianggap hina.

Sebagai taruk Ia tumbuh di hadapan Tuhan dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semarak-Nya pun tidak. Ia benar-benar tidak cukup mempesona bagi para penguasa Romawi dan dianggap tidak lolos kualifikasi bagi para Saduki dan Farisi.

Sebenarnya Ia telah membangkitkan orang mati yang dikasihi-Nya, dan itu berarti Ia mampu mematikan para pembenci-Nya hanya dengan sekejap mata.

Tetapi, Ia memilih salib, yang bagi sebagian orang adalah batu sandungan, dan bagi sebagian lainnya adalah kebodohan. Ia dihina dan dihindari orang. Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan.

Seharusnya Ia duduk di atas takhta megah dan layak mengenakan mahkota emas bersama jubah paling mahal, tetapi Ia malah membiarkan diri-Nya “ditelanjangi” dan mengenakan mahkota duri, lalu digantung di atas salib sebagai tontonan memalukan.

Melihat itu, ada yang menangis, ada yang ketakutan, dan ada yang puas. Namun banyak yang tidak tahu, bahwa penyakit kitalah yang ditanggung-Nya dan kesengsaraan kitalah yang dipikul-Nya. “Pangeran Langit” ini tertikam oleh pemberontakan kita dan diremukkan oleh kejahatan kita. Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya. Oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan.

Pasang telinga baik-baik dan dengarkan kenyataan ini:

“Kamu dan akulah gerombolan penjahat itu dan Yesus Kristus “Pangeran Langitnya”!

Beberapa dari kita mungkin saja duduk termenung, dan bertanya, “Mengapa Ia melakukannya?”

Jawabannya adalah: Kasih.

Kasih yang jauh lebih besar dari kasih Hannah pada Michael juga kasih Michael pada Hannah.

Dalam kasih-Nya, ada pengorbanan yang jauh lebih agung daripada pengorbanan Arnold Fine.

Tidak salah jika kita mengagumi kisah Michael dan Hannah, sama halnya kita kagum dengan Romeo dan Juliet. Namun, sekarang kita harus ingat, kita bukan lagi sekadar penonton.

Tepat di tempat kamu membaca tulisan ini, “Pangeran Langit” yang pernah mati bagimu itu sedang memandang dengan penuh cinta dan berjanji akan menemanimu selama-lamanya. Yohanes 3:16 adalah yang dikirimkan-Nya untukmu.

Sekali lagi, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan!”

Artspace: Lelaki dan Perempuan Bersahabat, Beneran Sahabat atau PDKT?

“Gak ada yang namanya laki-laki dan perempuan bisa bersahabat. Kalau ga saling jatuh cinta, ya salah satunya pasti cinta dalam diam.

Menurut KaMu, bagaimana kamu memandang persahabatan lawan jenis? Kalau kamu pernah punya cerita tentangnya, yuk share di komentar.

Artspace ini dibuat oleh Ivana Laurencia dan Shania Vebyta.

Yuk Belajar dari 5 Pasangan di dalam Alkitab yang Takut akan Allah

Oleh M. Tiong, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 从圣经中的5对夫妇看上帝的感情观(有声中文)

Dulu, aku pikir oke-oke saja untuk berpacaran selama aku merasa cinta. Aku tidak sadar bahwa sebelum aku berpacaran, seharusnya aku mendoakannya terlebih dahulu kepada Allah.

Dulu, aku pikir ketika perasaan cinta itu pudar, maka itulah saatnya untuk putus. Aku tidak sadar bahwa sebuah hubungan itu perlu dipelihara.

Mulai dari cinta monyet semasa sekolah, berpacaran semasa kuliah, hingga kembali jomblo setelah lulus, aku telah merasakan perjalanan emosional yang berliku-liku. Aku sampai pada sebuah titik di mana aku merasa sepertinya Allah sudah tidak lagi mengasihiku. Mengapa orang lain bisa berhasil dalam membangun hubungan mereka, sedangkan aku terus gagal? Dan mengapa akhirnya bukan hanya aku yang sakit hati, tapi aku juga membuat mantan-mantan pasanganku sakit hati? Padahal, aku sudah serius dalam menjalin hubungan.

Setelah sekian lama, aku baru sadar bahwa selama ini aku hanya memandang hubungan itu dari kacamataku sendiri. Ketika aku merasa cinta dengan seseorang, tanpa pikir panjang aku langsung berpacaran dengannya, karena aku menyangka perasaan itu berasal dari “Roh Kudus”. Namun, tanpa pikir panjang pula aku akhiri hubunganku ketika berbagai masalah membuatku lelah secara jasmani dan rohani. Dengan seenaknya sendiri aku menganggap bahwa berbagai masalah itu adalah tanda bahwa kami harus putus. Begitulah aku akhirnya putus dengan mantan-mantan pacarku.

Berbagai film dan tayangan televisi mengajak kita untuk mengandalkan perasaan kita sendiri. Kita diajak untuk mengejar hubungan-hubungan yang romantis, menyenangkan, dan luar biasa. Lalu, ketika segala perasaan cinta ini sirna, mereka mengatakan bahwa itulah saatnya untuk mengakhiri hubungan. Tapi, benarkah itu? Apa kata Alkitab tentang hal ini?

Suatu hari, sebuah pikiran terlintas di kepalaku: Mengapa kita tidak belajar dari pernikahan-pernikahan kudus di dalam Alkitab untuk mencari tahu pemikiran Allah?

Izinkanlah aku membagikan apa yang aku pelajari dari lima pasangan yang ada di dalam Alkitab berikut ini.

1. Ishak dan Ribka:
· Doakanlah pernikahanmu.
· Cinta bukanlah hanya sebuah perasaan, tapi juga sebuah komitmen yang penting.

Ribka adalah seorang perempuan yang berasal dari suku yang sama dengan Abraham. Dia dipilih oleh hamba Abraham untuk menjadi istri bagi Ishak (putra Abraham) setelah sang hamba menanyakannya kepada Allah di dalam doa. Di sini aku melihat sebuah prinsip yang sangat penting untuk sebuah hubungan: pilihlah seorang pasangan di antara orang-orang percaya. Memilih pasangan itu bukan secara acak ataupun hanya berdasarkan perasaan saja, tapi haruslah berdasarkan doa yang dilakukan dengan setia. Apabila kita memilih bersama dengan orang-orang yang belum percaya, kita akan menghadapi perbedaan prinsip dan kepercayaan, atau lebih parahnya lagi, bisa saja kita jadi mengikuti tradisi kepercayaan mereka dan meninggalkan Allah dan ajaran-Nya.

Hal kedua yang aku pelajari dari hubungan Ishak dan Ribka adalah ini: cinta adalah sebuah keputusan. Meskipun Ishak dan Ribka belum pernah bertemu sebelumnya, mereka dapat saling mencintai sepanjang hidup mereka. Pada zaman itu, cukup umum bagi laki-laki untuk memiliki lebih dari seorang istri. Tapi, Ishak memilih untuk menghabiskan hidupnya hanya dengan Ribka seorang. Hubungan pernikahan mereka menunjukkan pada kita bahwa saat kamu memutuskan untuk mencintai seseorang dan mengikatnya dengan janji suci, kita dapat percaya bahwa Allah akan terus memampukan kita untuk terus mencintai satu sama lain hingga pada akhirnya, bahkan ketika berbagai kesulitan muncul di dalam pernikahan.

2. Boas dan Rut:
· Dengarlah nasihat orang-orang yang lebih dewasa.
· Bagaimanapun masa lalumu, percayalah bahwa Allah selalu menerimamu.

Rut adalah seorang asing di antara bangsa Yahudi, dan juga seorang janda. Meskipun demikian, dia mengasihi ibu mertuanya, Naomi. Rut menaati nasihat Naomi untuk mendekati Boas. Lalu, seperti yang kita tahu, pada akhirnya kisah Rut, Boas, dan Naomi berakhir dengan bahagia. Dari kisah ini, aku belajar bahwa Allah tidak memandang rendah seseorang, apapun latar belakangnya. Yang Allah pedulikan adalah hati kita. Rut memilih untuk percaya kepada Allah—Allah yang sama yang kepada-Nya ibu mertuanya percaya. Dia juga taat kepada ibu mertuanya yang lebih dewasa ini, sehingga pada akhirnya Rut menjadi seorang yang diberkati Allah, dan bahkan namanya pun tercantum dalam silsilah Yesus.

Dulu, aku berpikir bahwa Allah hanya memberkati hubungan mereka yang menikah dengan pacar pertama mereka. Namun ternyata tidak demikian. Allah menerima kita, tidak peduli seperti apa masa lalu kita. Menariknya lagi, dari kisah Rut dan Boas aku belajar bahwa tidak selalu perempuan harus menunggu laki-laki untuk memulai suatu hubungan. Kadang, perempuan juga dapat memberikan tanda-tanda (yang pantas dan di waktu yang tepat) kepada laki-laki yang “lebih pasif”. Tentunya dengan catatan bahwa segala tindakan itu sesuai dengan kehendak Allah. Bagi laki-laki, mereka harus memikirkan matang-matang dan juga meminta nasihat saudara seiman yang lebih dewasa sebelum mendekati seorang perempuan.

3. Yusuf dan Maria:
· Cinta harus dibuktikan dengan tindakan.
· Kita dapat menyelesaikan pekerjaan Allah bersama-sama dengan cara menaati-Nya dan takut akan Dia.

Ketika Maria mengandung Yesus dari Roh Kudus, Yusuf menghindari untuk menceraikan Maria secara terang-terangan demi menjaga nama baik dan keselamatan Maria. Pada masa itu, apabila seorang perempuan melakukan zina dengan laki-laki lain yang bukan pasangannya, pasangannya itu berhak untuk menceraikan dia secara terang-terangan dan sang perempuan akan dirajam sampai mati. Namun, Yusuf tidak melakukan hal itu karena dia mencintai Maria dan takut akan Allah. Maria juga adalah seorang perempuan yang takut akan Allah, dan bersedia menanggung risiko dari mengandung Yesus.

Mencintai seseorang harus dibuktikan dengan tindakan. Yusuf membuktikan cintanya kepada Maria dengan cara menghormati, melindungi, dan menikahinya. Ketika orang-orang jahat mencari-cari mereka untuk membunuh bayi Yesus, mereka saling menopang melewati segala tantangan. Yusuf dan Maria adalah contoh pasangan yang takut akan Allah, yang bersama melewati masa-masa suka dan duka. Semuanya itu mereka lakukan bagi Allah. Betapa indahnya memiliki pasangan yang seiman dan yang dapat menjaga komitmennya terhadap Kristus dan terhadap pasangannya.

4. Akwila dan Priskila:
· Jadilah pasangan yang berkomitmen kepada Kristus.
· Bangunlah keluarga dengan Kristus sebagai kepalanya, dan berikan segala yang kamu miliki bagi Kerajaan Allah.

Meskipun pasangan ini tidak seterkenal pasangan-pasangan lain yang telah kita bahas sebelumnya, aku sungguh mengagumi komitmen mereka kepada Allah. Meskipun mereka sibuk bekerja, mereka selalu dengan hangat menyambut pelayan-pelayan Allah seperti Paulus dan Apolos (Kisah Para Rasul 18). Mereka membuka pintu rumah mereka untuk dipakai menjadi tempat pertemuan (1 Korintus 16) dan secara aktif mengejar segala kesempatan untuk memperluas Kerajaan Allah.

Allah tidak hanya ingin keluarga-keluarga diselamatkan, tapi juga melayani-Nya. Memberikan rumah kita untuk dijadikan tempat pertemuan tidak hanya membutuhkan uang, tapi juga waktu dan tenaga. Di sini kita melihat sebuah contoh pelayanan yang dilakukan oleh keluarga awam, yang merupakan wujud nyata dari ayat Alkitab berikut ini: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37), dan “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15).

Selain itu, dua lebih baik daripada satu. Selain dapat saling berbagi suka-duka kehidupan, sebuah pasangan dapat saling mendoakan, melayani Allah, dan melayani sesama bersama-sama. Ini adalah sebuah gambaran yang sangat indah. Ketika aku menyaksikan sendiri bagaimana tidak enaknya melihat pasangan yang tidak sepadan—yang seorang antusias melayani Allah, namun yang seorang lagi tidak—aku jadi semakin sadar akan betapa pentingnya doa dalam proses mencari seorang pasangan yang sepadan dengan kita. Hanya pasangan yang sepadan saja yang dapat membangun sebuah keluarga dengan Kristus sebagai kepalanya.

5. Zakharia dan Elisabet:
· Setialah berdoa dan sabarlah menunggu waktu Allah.
· Berserahlah penuh kepada kehendak Allah dengan penuh kerendahan hati.

Menurut Lukas 1, Zakharia dan Elisabet adalah pasangan yang tetap setia melayani Allah meskipun usia mereka telah lanjut. Secara khusus, aku mengingat kisah ketika Zakharia menjabat sebagai imam dan malaikat Allah datang kepadanya dan memberitahunya bahwa doanya sudah dijawab: Allah akan mengaruniakannya seorang anak. Kisah ini mengingatkanku bahwa Allah selalu mendengar doa-doa kita. Namun, bagaimana Allah menjawabnya adalah tergantung kepada kehendak-Nya.

Dalam kisah ini, kita juga melihat kelemahan Zakharia dan Elisabet. Zakharia menjadi bisu untuk sementara waktu karena kurang percaya, dan Elisabet juga takut untuk menceritakan kepada orang lain tentang kehamilannya. Namun, meskipun mereka memiliki kelemahan, itu tidak menjadi hambatan bagi Allah untuk memakai mereka untuk menggenapi rencana-Nya. Ketika bayi mereka lahir, mereka menaati Allah dan menamai bayi itu Yohanes. Setelah berdoa bertahun-tahun untuk memiliki anak, Zakharia dan Elisabet rela memberikan anak mereka bagi pekerjaan Allah, dan taat kepada Allah dalam memberikan nama bagi anak mereka. Penyerahan diri seperti itulah yang perlu aku pelajari.

* * *

Kelima pasangan ini memiliki kelemahan mereka masing-masing, namun ada satu persamaan yang mereka miliki: masing-masing dari mereka takut akan Allah dan taat kepada Allah. Teladan Akwila dan Priskila secara khusus mengingatkanku untuk terus melayani Allah kapan saja dan di mana saja.

Alkitab memiliki banyak contoh lain yang dapat mengajari kita tentang sebuah hubungan. Lima pasangan yang aku sebutkan di atas hanyalah beberapa saja dari sekian banyak itu, tapi kelima pasangan inilah yang begitu menyentuhku secara pribadi. Lewat mempelajari kisah-kisah kehidupan mereka, aku dapat menjadi lebih baik dalam menghadapi perasaan tidak aman yang diakibatkan hubungan-hubunganku di masa lalu. Kelima pasangan ini juga yang menginspirasiku untuk membangun hubungan yang berkenan kepada Allah dan membantuku untuk memfokuskan kembali pandanganku kepada Allah. Aku harap apa yang aku pelajari tentang hubungan dari kelima pasangan ini juga dapat bermanfaat bagimu dalam menjalin hubunganmu.

Baca Juga:

Ketika Malam Tirakatan Mengajariku Cara untuk Mencintai Indonesia

Satu hari menjelang peringatan hari kemerdekaan, lingkungan tempat tinggalku selalu mengadakan acara tirakatan—sebuah acara untuk merenungkan dan merefleksikan kembali makna kemerdekaan Indonesia. Di acara malam tirakatan, seluruh warga, tak peduli apapun latar belakangnya bersatu padu mensyukuri dan merayakan kemerdekaan Indonesia.

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

4-pertanyaan-yang-perlu-dijawab-jika-kamu-jatuh-cinta-pada-yang-berbeda-iman

Oleh Noni Elina Kristiani, Surabaya
Ilustrasi gambar oleh Lily Elserisa

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.

Dulu aku beranggapan bahwa tidak salah untuk jatuh cinta dengan mereka yang tidak mengenal Kristus. Karena bukan salahku jika aku tumbuh besar di lingkungan seperti itu, kan? Aku tumbuh menjadi seorang remaja yang ingin menikmati rasanya dicintai dan mencintai. Tidak ada yang bisa menghalangiku saat itu.

Hingga ketika aku berusia 17 tahun, aku mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Aku mengikuti sebuah retret yang akhirnya mengubah pola pikirku tentang bagaimana seharusnya aku hidup. Namun aku masih memiliki hubungan yang spesial dengan seseorang yang tidak mengenal Kristus.

Hubungan itu terus berlanjut selama 2 tahun. Tidak mudah untuk melepaskan seseorang yang waktu itu kuanggap sebagai cinta pertamaku. Namun seiring berjalannya waktu, Tuhan membentuk karakterku sedemikian rupa hingga membuatku mengerti bahwa hubungan itu tidak dapat berlanjut.

Aku mengerti bagaimana perasaan ketika jatuh cinta dengan mereka yang berbeda iman dan bagaimana sulitnya melupakan mereka. Perasaan itu sungguh nyata, namun aku sadar bahwa itu tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan.

Pertanyaan-pertanyaan di bawah inilah yang membantuku untuk merenung dan mengambil keputusan ketika diperhadapkan pada hubungan yang rumit dengan mantan pacarku yang berbeda iman. Jika kamu juga mengalami apa yang dulu pernah aku alami, semoga pertanyaan-pertanyaan ini dapat membantumu juga.

1. Apakah dia dapat membawaku lebih dekat kepada Tuhan?

Salah satu ciri orang yang tepat adalah orang itu dapat membawamu semakin dekat kepada Tuhan. Bagaimana mungkin dia dapat membawamu semakin bertumbuh di dalam iman jika dia tidak mempercayai Yesus sebagai Sang Pemberi pertumbuhan? Tuhan tidak ingin kita berada dalam sebuah hubungan yang membawa kita menjauh dari Dia.

Ketika aku mulai belajar memiliki saat teduh setiap hari, aku ingin sekali mendiskusikannya dengan orang lain. Tapi aku tidak bisa mendiskusikannya dengan pacarku yang berbeda iman waktu itu. Ketika aku semakin memiliki waktu untuk Tuhan, aku kemudian menyadari bahwa hubungan itu tidak membawaku mendekat kepada-Nya.

2. Apakah aku memiliki waktu untuk melayani Tuhan?

Tuhan mengingatkan kita dalam Ibrani 10:25 supaya kita tidak menjauhi diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita. Bahkan Tuhan ingin kita terlibat dalam membangun gereja-Nya (Efesus 4:16). Apakah hubunganmu dengan dia membuatmu undur dalam pelayanan? Hal ini tentu saja tidak akan menjadi kesaksian yang baik bagi orang yang kita layani. Kita akan menjadi batu sandungan ketika kesaksian hidup kita tidak sesuai dengan pelayanan yang kita lakukan.

3. Seberapa besar kasihku pada anak-anakku kelak?

Apakah kamu cukup peduli dengan anak-anakmu di masa depan, ketika memilih calon Ibu/Ayah bagi mereka? Bagaimana kamu ingin mereka dibesarkan? Iman seperti apa yang ingin kamu tanamkan kepada mereka? Bagaimana mereka dapat mengenal Sang Juruselamat? Semua hal ini tidak bisa kita lakukan seorang diri saja. Hal inilah yang membuat kita memerlukan seorang pasangan yang memiliki iman yang sama dengan kita, untuk membangun sebuah keluarga yang takut akan Allah bersama-sama.

4. Apakah aku sungguh-sungguh mengasihi Tuhan?

Ketika aku merendahkan hati untuk datang kepada Tuhan dengan berdoa dan merenungkan firman-Nya, Tuhan menyatakan bahwa dia bukanlah yang terbaik bagiku. Firman-Nya sangat jelas dalam 2 Korintus 6:14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang tidak percaya.” Pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan itu. Bukan dengan terpaksa, tapi karena aku ingin taat kepada Tuhan. Karena aku mengasihi-Nya.

Markus 12:30 mengatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Aku mengakui tidak mudah untuk melupakan mantan pacarku yang berbeda iman, namun aku diingatkan untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan kekuatanku. Aku ingin mengasihi-Nya melebihi apapun meski harus mengorbankan perasaan cintaku. Pada akhirnya, aku boleh dipulihkan dari perasaan cinta itu dan dibawa kepada pengertian yang benar tentang kasih yang sejati.

* * *

Kita tidak bisa memberi apa yang tidak kita miliki. Kita tidak bisa mengasihi jika kita tidak memiliki kasih yang sejati. Tuhan Yesuslah kasih yang sejati itu. Kasih Tuhanlah yang membuatku menyadari bahwa rencana-Nya indah dalam hidupku. Dia rindu memberikan pasangan hidup yang terbaik bagiku, tetapi pertama-tama aku harus melepaskan apa yang selama ini aku genggam, yaitu perasaanku pada dia yang berbeda iman denganku. Karena itulah, aku rela melepaskan apa yang tidak dikehendaki-Nya, dan memberikan seluruh hatiku untuk mengasihi-Nya.

Baca Juga:

Mengapa Aku Memutuskan untuk Mengendalikan Lidahku

Seringkali aku kehilangan kendali atas emosiku sehingga aku terjebak dalam kekhawatiran dan rasa depresi. Kata-kata yang kuucapkan telah menyakitiku dan juga orang lain. Aku menegur diriku kembali. Aku merasa tidak layak menjadi seorang Kristen. Bahkan aku merasa sangat malu untuk menghadap Tuhan.

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

Sungguhkah-Menikah-Seindah-di-Film-Inilah-Pengalamanku-Setelah-5-Bulan-Menikah

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

“And they live happily ever after.”

Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku.

Aku ingin menikah di usia muda

Ketika aku masih SMA, aku berikhtiar untuk menikah muda. Alasanku saat itu sederhana saja, aku merasa jika usiaku dan usia anak-anakku tidak terpaut jauh, aku bisa menjadi sahabat bagi mereka, sama seperti ibuku yang menjadi sahabat bagiku. Selain itu, sejak kecil film-film animasi Disney favoritku membuatku membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan. Pernikahan menjadi sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan.
Namun, ketika akhirnya kesempatan untuk menikah itu datang saat aku berusia 24 tahun, aku baru menyadari bahwa mengambil keputusan untuk menikah dan menjalankan pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah.

Pergumulanku sebelum pernikahan

Pernikahan adalah hal yang sangat penting dan sakral karena hanya dilakukan sekali seumur hidup. Artinya, siapa pun yang menjadi pasangan hidupku haruslah orang yang benar-benar tepat. Tidak boleh ada kata-kata “aku telah menyesal memilih dia”, atau “aku telah salah memilih pasangan hidup”.

Pikiran itulah yang menjadi kekhawatiranku ketika aku perlu mengambil keputusan untuk menikah. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apakah sungguh dia orang yang tepat? Apakah dia dari Tuhan? Apakah aku yakin bisa hidup bersamanya? Apakah aku orang yang tepat untuknya? Apakah aku bisa menjadi penolong untuknya? Terlalu banyak pertanyaan “apakah” yang ada dalam pikiranku kala itu.

Kala pertanyaan-pertanyaan itu membuatku galau, aku diingatkan akan alasan mengapa aku mau berpacaran dengan pasanganku itu. Bagiku, kita harus selektif dalam memilih pacar, karena sesungguhnya pacar adalah calon pasangan hidup kita. Oleh karena itu, sebelum kami berpacaran, aku telah menanyakan berbagai pertanyaan dasar kepada calon pasanganku. Apakah dia orang yang takut akan Tuhan? Apakah dia orang yang bertanggung jawab? Bagaimana jika hubungan ini berlanjut ke pernikahan? Ketika aku mengingat kembali alasan aku mau berpacaran dengannya, dan juga setelah mengenal dia lebih baik lagi selama kami berpacaran, aku akhirnya setuju untuk menikah dengannya.

Pergumulanku setelah pernikahan

Setelah melewati masa galau saat aku memutuskan untuk menikah, aku mengalami masa galau lainnya setelah aku masuk ke dalam pernikahan. Aku menjadi mengerti, pernikahan bukanlah tentang sebuah pesta. Pernikahan adalah tentang kehidupan setelah pesta berakhir.
Kehidupan pernikahan adalah sebuah kehidupan di mana dua manusia dengan latar belakang yang berbeda mencoba untuk hidup bersama. Sulit? Kurasa “sulit” bukan kata yang tepat. “Menantang” adalah kata yang lebih cocok menggambarkannya.

Ada beberapa perbedaan yang kurasakan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, kami hanya ketemu sesekali saja, sehingga perbedaan kami tidaklah terlalu mengganggu kami. Namun, setelah pernikahan kami hidup bersama-sama. Tiba-tiba, perbedaan yang ada menjadi semakin mencolok.

Aku suka makanan bercita rasa asin, tapi suamiku suka makanan bercita rasa manis. Hal itu menjadi begitu merepotkan karena kini kami sering makan bersama. Saat kami keluar mencari makan, kami harus mempertimbangkan selera masing-masing orang. Ketika masak di rumah pun, aku harus membuat dua menu yang berbeda, yang memenuhi selera masing-masing. Saat pacaran, lebih mudah untuk bertoleransi karena kami hanya sekali-sekali makan bersama. Tapi setelah kami menikah, perbedaan ini menjadi hal yang harus kami hadapi seumur hidup.

Contoh lainnya adalah mengenai waktu tidur. Aku adalah ibarat “ayam jago” yang energinya keluar di waktu pagi. Jadi, aku tidur lebih awal, dan bangun lebih pagi untuk beraktivitas. Berbeda dengan suamiku, dia adalah ibarat “kelelawar malam” yang banyak beraktivitas di malam hari. Hal ini menjadi masalah karena kami tidur sekamar. Tengah malam, suamiku masih menyalakan lampu dan melakukan aktivitasnya. Kadang itu membuatku menaruh guling menutupi telingaku dan berseru kepadanya, “Matikan lampunya, aku mau tidur!”

Hal-hal yang kutemui di masa awal pernikahanku ini mungkin terlihat seperti permasalahan yang sepele. Tapi jika kita tidak dapat menyelesaikannya dengan baik, hal itu bisa berakibat fatal.

Inspirasi yang menjawab pergumulanku

Suatu hari, aku menemukan sebuah doa yang pernah dicetuskan oleh seorang teolog Amerika Reinhold Niebuhr. Doa itu begitu indah dan memberiku pencerahan untuk menyikapi permasalahan yang ada dalam pernikahanku dengan bijak. Berikut adalah isi doanya:

Tuhan, berikan aku damai sejahtera untuk menerima hal yang tak dapat kuubah,
berikan aku keberanian untuk mengubah yang dapat kuubah,
dan berikan aku hikmat untuk mengetahui perbedaan dari kedua hal itu.

Membaca doa di atas mengingatkanku bahwa ada hal-hal yang tak dapat kita ubah, dan untuk hal-hal semacam itu, kita perlu beradaptasi dan menerimanya. Aku tak dapat mengubah suamiku yang merupakan “orang malam”. Yang dapat kulakukan adalah beradaptasi dan menerimanya. Aku pun membiasakan diri untuk tidur dengan lampu yang menyala.

Selain itu, aku juga diingatkan oleh sebuah ayat Alkitab berikut ini:

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Ayat itu mengingatkanku bahwa untuk hidup dalam perdamaian, usahakanlah itu. Kadang hal itu menjadi sebuah tantangan ketika keinginanku berbeda dengan keinginan suamiku. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa dalam beberapa hal, jika itu hanya menyangkut keinginanku, aku perlu berkompromi. Berkompromi berarti kita akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, karena hal itu penting bagi pasangan kita. Agar perdamaian itu dapat terwujud, perlu ada setidaknya salah satu yang mengalah.

Ketika memasak, aku merelakan diri untuk lebih repot dengan dua kali memasak untuk memastikan kebutuhan cita rasa suamiku dan diriku yang berbeda dapat terpenuhi. Begitu pula dengan masalah lampu kamar. Ketika aku perlu tidur cepat dan mematikan lampu, suamiku mengalah dengan beraktivitas di luar kamar. Ketika kami saling berkompromi, itu sangat membantu kami untuk menciptakan sebuah pernikahan yang harmonis. Perbedaan-perbedaan yang ada pun tidak terasa terlalu mengganggu lagi.

Pernikahan bukan untuk mengejar kebahagiaan

Aku mengingat sebelum menikah aku sempat membaca sebuah buku karangan Gary Thomas yang berjudul “Sacred Marriage”. Dalam buku itu, Gary Thomas berkata bahwa tujuan pernikahan bukanlah untuk mengejar kebahagiaan. Pernikahan adalah suatu sarana yang diciptakan Allah untuk menguduskan manusia agar semakin serupa dengan-Nya.
Jika seseorang ingin menikah, dia harus siap untuk melalui proses pemurnian dan pembentukan Allah. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan bonus yang diberikan Allah ketika kita melalui proses-Nya.

Itulah yang kualami dalam lima bulan pertama dalam pernikahanku. Aku merasa Tuhan sedang menguduskanku dan membentukku menjadi pribadi yang lebih baik melalui setiap masa suka dan duka yang kualami dengan suamiku. Meski ada riak-riak perbedaan karakter dan kebiasaan yang muncul setiap hari, aku dapat menjalaninya dengan sukacita, karena aku percaya itu adalah proses pemurnian dan pengudusan Tuhan bagiku dan pasanganku.

Jadi, apakah menikah itu indah? Jawabannya adalah ya. Tetapi bukan indah dalam pengertian tidak ada masalah, hidup damai, dan semua senang seperti yang dipertontonkan di film-film. Melainkan, indah karena iman dan pengenalanku akan Tuhan boleh semakin bertumbuh, dan karakterku diproses dari hari ke hari.

Aku sungguh berharap bahwa pernikahan yang kami bangun ini diperkenan Tuhan untuk menjadi berkat bagi anak-anakku kelak dan pasangan-pasangan lain. Kiranya keluarga yang kami bangun ini menjadi keluarga yang takut akan Allah, dan kiranya kelak anak-anak kami dapat menjadi pewaris kerajaan Allah.

Baca Juga:

Mengapa Aku Masih Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

Dia Melengkapiku (adalah sebuah kebohongan)

Oleh: Mark Stromenberg
(artikel asli dalam Bahasa Inggris: She Completes Me (Is A Lie))

depression

Aku melihat gambar ini suatu pagi di salah satu media sosialku, dan aku merasa terganggu (jika kamu juga mengunggah gambar yang sama, tulisan ini tidak bermaksud menyerangmu; aku hanya ingin membagikan pemikiranku tentang pesan yang disampaikan gambar ini). Gambar ini menarik dan menyentuh hati. Gambar ini memberitahu kita bahwa: “dia” membuat segalanya lebih baik. Si “dia” menyingkirkan semua pikiran dan suara negatif di dalam diriku. Pada dasarnya, si “dia” adalah sang penyelamat.

Gagasan serupa yang juga diangkat dalam film A Walk To Remember. Lagi-lagi, ini adalah sebuah tayangan yang menarik. Tetapi, sama seperti banyak tontonan lainnya, film ini membombardir kita dengan pandangan yang kelihatannya ideal tentang hubungan, tetapi sebenarnya merusak (sampai di sini aku sadar bahwa pernyataanku mungkin bikin banyak orang merasa tidak nyaman). Film itu, sama seperti gambar di atas, membuat aku naik darah. Mengapa? Karena sangatlah egois dan jahat bila kamu membebani orang yang kamu kasihi dengan harapan bahwa ia harus menjadi penyelamat hidupmu.

Banyak orang yang belum menikah, memuja hubungan cinta. Hidup mereka adalah untuk mendapatkan cinta. Aku melihat fenomena ini terjadi setiap hari di tempat kerjaku. Kita punya harapan yang besar dari sebuah hubungan cinta. Kita mengharapkan pasangan kita mencintai kita, menghargai kita, tidak pernah meninggalkan kita, tidak pernah mencelakakan kita, melayani kita, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita. “Dia melengkapi hidupku!” demikian angan-angan kita, adakalanya tanpa pertimbangan akal sehat. Kita berusaha sekuat tenaga mencari “jodoh” kita, orang yang akan membuat hidup kita penuh arti dan keberadaan kita dihargai.

Gagasan tentang “jodoh” bahkan cukup populer di kalangan orang Kristen. “Temukan pasangan yang sudah disediakan Tuhan untukmu!” kurang lebih begitulah slogan dari sebuah situs web perjodohan, Christian Mingle. Konsep jodoh ini sebenarnya tidak alkitabiah (meski sebagian orang berusaha membuktikan sebaliknya). Konsep ini berasal dari ajaran Plato yang berkembang di Yunani, yang mengatakan bahwa manusia dulunya adalah makhluk yang sempurna, namun kemudian terbelah menjadi dua. Sebab itu, sepanjang hidup manusia terus mencari belahan jiwanya. Sebuah konsep yang buruk. Mengapa? Karena jika kamu belum menikah, mungkin sekali kamu percaya—sampai taraf tertentu—bahwa hidupmu tidaklah lengkap tanpa belahan jiwamu, dan kamu tidak berusaha menata hidupmu sendiri sebelum menemukan orang itu. Jika kamu sedang berpacaran, mungkin kamu terus-menerus tidak yakin apakah pacarmu adalah orang yang tepat, dan kamu tidak berusaha memperbaiki kualitas hubunganmu. Ketika kamu menikah dan pernikahanmu bermasalah, hal pertama yang melintas dalam pikiranmu adalah, “Mungkinkah pasanganku ini sebenarnya bukan belahan jiwaku?”

Sebagai seorang pemuda yang sudah punya pacar dan sempat bergumul dengan depresi selama bertahun-tahun, aku merasa konsep ini sangatlah mengganggu.

Memang benar, sewaktu aku masih jomblo, aku pernah berpikir bahwa seandainya aku memiliki seorang pacar yang mencintai aku, maka semua depresi, kegelisahan, rasa tidak aman, dan ketakutanku, tentu akan sirna. Sesungguhnya, aku sedang menjadikan hubungan cinta sebagai “Tuhan” dan penyelamat hidupku. Jika aku menemukan “dia”, hidupku akan lengkap, aku akan pulih, aku tidak akan lagi bergumul dengan depresi. Aku menjadikan pacarku sebagai berhala, mengharapkannya menjadi seperti Tuhan. Jelas itu sebuah peran yang mustahil dipenuhinya. Pacarku bukan Tuhan. Benar bahwa dia seringkali menguatkan, mendorongku berjuang, melengkapi, dan membuat hidupku terasa berarti. Tetapi, bukan dia yang menentukan hidupku. Dia tidak mengubah hakikat diriku. Dia tidak bisa mengendalikan sepenuhnya keseimbangan kimia di otakku. Dan, dia tidak bisa menjadi sumber rasa berharga dan tujuan hidupku.

Bayangkan identitas diri dan kepribadianmu seperti sebuah koper. Kamu mengisi hidupmu dan kopermu dengan hal-hal yang penting bagimu. Begitu juga dengan semua orang lainnya. Namun, ketika aku menjadikan orang lain sebagai dasar identitas dan pengharapanku, itu sama seperti meminta mereka membawakan koperku; menyuruh mereka berhenti mengurus hal-hal yang penting bagi mereka, dan hanya mengurus apa yang penting bagiku. Tidakkah hubungan cinta semacam itu jauh dari indah?

Pada intinya, menaruh pengharapan yang tidak realistis kepada orang yang katanya kamu kasihi itu sangatlah egois dan membebani.

Sebab itu, aku tidak berharap hubungan cintaku akan “memperbaiki” depresiku. Seorang sahabat, pacar, atau pasangan mungkin bisa membantuku menghadapi masalah, tetapi mereka tidak bisa memulihkanku. Hanya Yesus yang bisa. Jawaban bagi suara-suara negatif dalam diri bukanlah dukungan dan sikap manis dari orang lain; tetapi kebenaran yang disampaikan dalam kasih, dari Allah sendiri, Sang Pemilik Hidup kita.

Tentang Cinta dan Pernikahan: Siapakah “Jodohku”?

Oleh: Kezia Lewis
(artikel asli dalam bahasa Inggris: Of Love And Marriage: Who Is “The One”?)

Of-Love-and-Marriage--Who's-the-One-

 
Aku baru menikah selama 4 tahun dari 34 tahun usiaku, jadi jelas aku bukan seorang pakar tentang cinta dan pernikahan. Namun, karena aku sudah menikah, aku sering ditanyai oleh banyak teman yang masih lajang: “Bagaimana kamu tahu bahwa Jason, suamimu, adalah ‘jodohmu’?”

Jadi, bagaimana aku tahu?

Dulu aku juga suka menanyakan hal yang sama. Aku sangat percaya bahwa Tuhan menyediakan seorang pria tertentu bagiku. Aku ada dalam sebuah perjalanan panjang untuk menemukan jodohku itu. Tetapi, pada saat yang sama aku pun bertanya-tanya: ”Bagaimana aku bisa mengenali siapa jodohku, orang yang tepat untukku?”

Aku bergumul cukup lama dengan pertanyaan ini. Bagaimana gerangan aku bisa tahu apakah pria di depanku adalah orang yang seharusnya kunikahi? Perasaan seperti apa yang seharusnya aku punya? Tanda apa yang harus aku cari?

Aku terus berusaha mencari jawabannya hingga akhirnya aku menemukan betapa cacatnya gagasanku tentang cinta dan pernikahan. Pada akhirnya aku menyadari bahwa yang namanya “jodoh” itu sebenarnya tidak ada.

Jika Allah telah menentukan satu orang tertentu menjadi jodohmu, itu artinya pilihanmu sangat sempit dan sulit ditemukan. Siapa gerangan orangnya? Allah tidak pernah memberikan detail yang spesifik dalam Alkitab tentang seperti apa orang itu. Aku percaya bahwa jika kamu memiliki hubungan yang selaras dengan Tuhan, dan hidup menurut jalan-Nya, Dia akan memimpinmu kepada beberapa orang yang mungkin dapat menjadi pasanganmu. Ya, benar. Beberapa. Tidak hanya satu, tetapi banyak. Seorang pria atau wanita yang adalah seorang pengikut Kristus sejati dapat saja menjadi suami atau isterimu karena kalian berdua sudah memiliki Kristus sebagai fondasi yang sama untuk membangun hubungan. Yang membuat orang itu memenuhi syarat untuk menjadi pasanganmu adalah hubungan yang sungguh-sungguh dimilikinya dengan Yesus. Hubungan tersebut dapat terlihat dengan cara yang berbeda-beda dalam hidup tiap-tiap orang. Namun, itulah yang mendasar. Hal-hal lainnya adalah pelengkap, ibarat hiasan gula di atas sebuah kue.

Kemudian, Tuhan mau kamu membuat sebuah pilihan. Kamu bertanya kepada Tuhan apakah pria atau wanita ini adalah “jodohmu”, sebaliknya Tuhan juga meminta kamu memilih apakah pria atau wanita ini adalah orang yang tepat buatmu. Inilah salah satu keindahan menjadi anak Tuhan: Dia memberimu kebebasan untuk membuat pilihan. Dia bukanlah seorang diktator yang memberi perintah, dan kamu hanya mengikuti. Tuhan memberimu kapasitas untuk berpikir dan menginginkan. Jadi, aku berani berkata: Pilihlah seseorang. Pilihlah untuk mencintai dan untuk menjanjikan cinta. Janganlah pemikiran untuk menemukan “jodoh” membuatmu hidup penuh keraguan untuk melangkah.

Aku tidak menikahi “jodohku”. Tetapi, karena aku memilih suamiku, ia pun menjadi “jodohku.” Aku menikahi seorang pria yang dibawa Tuhan ke dalam perjalanan hidupku, orang yang kupilih untuk kucintai, orang yang kulihat dapat melayani dan bertumbuh bersamaku.

Aku mendorongmu untuk mendoakan seorang pasangan hidup, untuk memohon hikmat dari Tuhan saat kamu membuat keputusan. Tuhan mau kita berdoa dalam menemukan pasangan hidup. Tetapi, yang lebih penting lagi, kita seharusnya berdoa agar kita semakin memahami bahwa pernikahan itu bukan tentang seorang yang kita nikahi atau tentang pemenuhan kebahagiaan kita (bukan berarti Tuhan tidak menghendaki kita bahagia). Pernikahan itu pada akhirnya adalah tentang apa yang Allah inginkan kita lakukan dalam hidup agar dapat mencerminkan kemuliaan-Nya. Pernikahan adalah tentang Allah yang menunjukkan kasih yang tidak berkesudahan bagi kita dan bagi gereja/umat-Nya (Efesus 5:21-33).

Meskipun menantikan “orang yang tepat” atau “jodoh” dari Tuhan kedengaran romantis, baik, dan bahkan mungkin alkitabiah, kamu sungguh tak perlu menunggu. “Pribadi yang tepat”, yang sungguh kita butuhkan dan yang dapat memuaskan hasrat hati kita sepenuhnya, sudah ada bersama dengan kita 一Yesus. Di dalam Dia, kita sudah menjadi pribadi yang utuh.