Posts

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Oleh Joanna Hor
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Respond When A Friend Confess Their Sin

Jam 1 dini hari. Seorang temanku mengirim chat panjang, meminta didoakan karena dia sedang bergumul dengan ketertarikan fisik dengan rekan kerjanya, padahal dia sendiri sudah terikat dalam relasi yang serius.

Beberapa minggu sebelumnya, seorang temanku yang lain bercerita dengan sedih tentang rasa bersalahnya pada Tuhan setelah dia melampaui batasan fisik yang wajar dalam relasi dengan pacarnya. Sebelum itu, temanku yang lainnya lagi juga bercerita tentang kurangnya sikap disiplin dan semangat untuk hadir ke gereja dan kelas Alkitab.

Mungkin kamu pun pernah menerima pesan berisikan pengakuan dan curhatan seperti di atas. Kita semua bergumul dengan pencobaan dan dosa setiap hari (Roma 3:23), dan kita tahu hal apa yang benar untuk dilakukan—mengakui dosa kita (1 Yoh 1:9), mematikan hal-hal duniawi, dan berpaling pada Allah (Yakobus 4:8). Tapi, mengucapkan itu semua lebih mudah daripada melakukannya. Seringkali, kita bergulat dengan dosa-dosa kita untuk waktu yang lama, menganggapnya enteng atau tidak mempermasalahkannya sama sekali. Mengakui dosa kita kepada orang lain mungkin jadi hal terakhir yang ada di pikiran.

Jadi, ketika kita seorang teman membagikan kisah dosanya pada kita, bisa jadi kita merasa gamang untuk merespons. Kita mungkin tidak merasa kompeten untuk menolongnya, apalagi kalau kita sendiri juga bergumul dengan dosa yang sama (Mat 7:3-5). Atau mungkin, kita memilih untuk pura-pura menutup mata karena kita tidak ingin terlihat benar sendiri, sombong, atau terlalu terlibat dalam kekacauan hidup orang lain.

Ibrani 3:12-13 dengan jelas mengatakan kita punya tanggung jawab sebagai komunitas untuk ‘menasihati seorang akan yang lain, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa’. Yakobus 5:19-20 juga mendorong kita semua untuk berperan aktif untuk ‘membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat’ karena tindakan itu ‘akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa’.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menghidupi instruksi dari ayat ini, ketika kita sendiri pun adalah orang berdosa?

1. Jangan merasa benar sendiri dan menghakimi

Mungkin naluri alami kita merespons teman yang terjatuh ke dalam dosa—terkhusus jika itu adalah dosa perzinahan, pembunuhan, atau pencurian—adalah mundur dan menghakimi mereka dalam diri kita sendiri. Alih-alih meratapi dosa dan menjangkau mereka, kita menarik diri, masuk ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan teman-teman kita, lalu membicarakan si pendosa yang dari luar tampak baik tapi ternyata melakukan hal-hal buruk.

Aku sendiri pernah bersikap seperti itu pada beberapa kesempatan.

Salah satu cara yang baik untuk mengetahui apakah kita telah bersikap menghakimi atau sok benar sendiri adalah melihat bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa. Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalah ini? Atau, apakah kita berpaling pada Allah, berdoa memohon belas kasih dan anugerah-Nya—bukan cuma bagi orang itu, tapi bagi umat manusia, termasuk diri kita sendiri?

Sebelum kita jadi orang pertama yang melempar batu, ingatlah bahwa kita semua berdosa (Yoh 8:7). Upayakanlah untuk memberi sesuatu daripada menghakimi dan menghukum mereka (Lukas 6:37-38).

Satu cara yang baik untuk memulai adalah dengan mengajukan pertanyaan pada teman kita yang bisa menolong kita untuk mengerti bagaimana kisah mereka, dan alasan mengapa mereka melakukan itu. Pertanyaannya bisa berupa: ‘Bagaimana perasaanmu selama ini?’, ‘Bagaimana perjuanganmu untuk mengatasinya?’, ‘Apa yang membuatmu berpikir untuk melakukan itu?’

2. Marah dan sedihlah terhadap dosa

Kecenderungan lain yang muncul adalah aku mudah bersimpati kepada teman ketika mereka bercerita tentang pergumulan dosa—terkhusus apabila pergumulan itu mirip-mirip denganku (kesombongan dan ketamakan). Di saat seperti itu, aku mungkin meremehkan dampak buruk dosa dengan berpikir, “Ya, setidaknya semua orang bergumul dengan itu, dan dosa itu tidak lebih buruk daripada dosa yang [dosa-dosa lain].”

Ketika hal itu terjadi, aku tanpa sadar menilai dosa berdasarkan standar kesalahanku sendiri tentang benar dan salah daripada melihat dosa itu dari kacamata Tuhan.

Namun, dosa adalah dosa—tidak ada tingkatan di dalamnya—dan setiap dosa membangkitkan murka Allah. Jika kita mendapati diri kita pernah mengesampingkan dan meremehkan dosa, berdoalah pada Roh Kudus untuk menegur hati kita kembali dengan mengingat harga mahal yang Yesus bayarkan di atas kayu salib (Yesaya 53:5-6). Mari kita kembali pada Alkitab dan baca kembali ayat-ayat yang menyingkapkan tentang sifat-sifat dosa (Roma 6:23, Galatia 5:19-21, 1 Kor 6:9-10).

Hanya ketika kita menyadari apa itu dosa: ketidaktaatan kepada Allah (Roma 5:19), barulah kita mampu meratap dengan benar atasnya, dan menolong teman kita dengan cara yang benar pula agar mereka mampu bangkit dari keterpurukan dosanya.

3. Saling mendukung satu sama lain untuk bertobat

Ketika aku lebih muda, aku membayangkan Allah itu kaku, pemimpin totaliter yang segera menghukumku setiap kali aku tersandung. Pemahaman itu membuatku mengakui dosa setiap malam sebelum tidur (takut kalau-kalau aku mati saat tidur dan lupa mengakui dosa membuatku tidak bisa masuk surga). Syukurlah, pemahaman itu pudar seiring aku mengenal Dia semakin dalam dan mengerti tentang kecukupan anugerah Kristus dan kasih Allah.

Melihat ke belakang, aku pun menyadari bahwa ‘doa pengakuan dosaku’ dulu tidak berisi langkah nyata untuk berbalik dari dosa. Ketika kita mengakui dosa, mengakui apa yang kita lakukan adalah salah, kita didorong untuk bertobat (1 Yoh 1:9, Yak 5:19). Pertobatan inilah yang akan menghasilkan perubahan pada hati dan tindakan kita (Kis 26:20).

Mazmur 32:1-2 mengatakan orang yang dosanya diampuni sebagai orang yang ‘berbahagia’. Tim Chester, seorang pendeta dan penulis dari Inggris menyelidiki kata ‘berbahagia’ itu disematkan kepada orang yang telah bertobat, bukan untuk orang yang terbebas dari dosa, karena orang seperti itu tidaklah eksis. Dan, ini menjadi penting, karena seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Enjoying God, itu berarti “kamu tidak perlu menanti sampai kamu mencapai level kesalehan yang lebih tinggi supaya bisa menikmati berkat Ilahi”.

Marilah saling mendorong satu sama lain untuk tidak cuma mengakui dosa, tapi juga berpaling dari dosa itu. Inilah gerbang menuju berkat Ilahi. Seorang profesor teologi Amerika, Stephen Wellum menyimpulkan dengan indah pada sebuah artikel, “Ketika kita berdosa, kita kehilangan kesadaran akan pengampunan dan damai sejahtera Allah. Jadi, ketika kita mengakui dosa kita, dengan pertolongan Roh, kita disadarkan kembali pada apa yang Kristus telah lakukan bagi kita, dan Allah membangkitkan kepercayaan kita pada jaminan keselamatan-Nya.”

4. Berdoa untuk dan dengan teman kita

Alkitab mendesak kita untuk saling mengaku dosa (Yak 5:16). Kita sering berpikir ayat ini berbicara dalam konteks penyembuhan fisik, tapi ini juga berbicara tentang kesembuhan rohani dari dosa.

Ketika teman kita membagikan kisah dosanya, kita perlu berdoa seperti Yesus berdoa bagi para murid—agar Allah melindungi kita dari yang jahat (Yoh 17:15). Kita harus berdoa seperti ini baik saat teman kita hadir, atau pun dalam saat teduh pribadi kita. Kita bahkan bisa mengetik teks doa di chat lalu mengirimkannya pada mereka. Aku ingat betapa aku ditolong ketika aku tahu kalau keluarga dan teman-temanku mendoakanku setiap kali aku jatuh dalam dosa yang aku telah berkomitmen untuk lepas darinya.

Peperangan melawan dosa adalah pertempuran spiritual, jadi datanglah selalu pada Tuhan untuk mengakui perjuangan yang kita hadapi dan mohonlah kekuatan dari-Nya.

5. Arahkan satu sama lain kepada Kristus

Mungkin satu hal terpenting yang harus dilakukan ketika kita berdosa adalah membawa kembali diri kita kepada hati Kristus. Dane Ortlund, pendeta dan penulis Amerika mengingatkan kita dalam bukunya yang berjudul Gently and Lowly bahwa Yesus adalah kawan bagi para pendosa. Artinya, dalam ‘Yesus Kristus, kita diberikan seorang kawan yang selalu menikmati kehadiran kita daripada menolaknya.’

Bagi siapa pun kita yang (seperti aku pada waktu lebih muda) cenderung melihat Allah sebagai sosok yang kaku dan otoriter, yang selalu marah atau kecewa, penghiburan sejati kita terdapat pada kebenaran bahwa tak peduli seberapa banyak kita telah berdosa dan gagal, Yesus selalu siap menerima dan memulihkan kita jika kita berpaling pada-Nya.

Selama kita hidup di bumi, kita akan terus bergulat dengan dosa dan pencobaan setiap hari. Jangan pernah berpikir kalau kita telah menang atas dosa untuk selamanya. Alih-alih, marilah kita saling mendoakan, saling bertanggung jawab, dan menjadikan titik pertobatan kita saat ini untuk selalu mengingat Yesus.

Baca Juga:

Bolehkah Aku Mengakui Sesuatu?

Membuka diri untuk mengakui dosa memalukan yang pernah diperbuat itu susah. Ada rasa takut, juga malu. Bagaimana jika orang-orang malah jadi memandang rendah kita?

Dear #SongSongCouple: Mengapa Senandung Cinta Kalian Berakhir?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Dear #SongSongCouple: Why Has Your Lovesong Ended?
Gambar diambil dari akun Instagram Song Hye-Kyo

Dear #SongSongCouple,

Rasanya belum lama kalian mengabarkan berita tentang pernikahan kalian kepada dunia, setelah kesuksesan serial drama Korea “Descendants of the Sun” (DOTS) di mana kalian berdua berperan sebagai pasangan di sana.

Satu setengah tahun berselang mengarungi pernikahan, mengapa kalian memutuskan untuk berpisah begitu saja?

Aku tidak menganggap diriku sebagai fans berat drama Korea, tetapi aku adalah salah satu dari jutaan penonton yang tercengang oleh kisah romantis dalam balutan militer yang mulai disiarkan di Februari 2016. Dalam tiga bulan aku telah menyelesaikan 16 episodenya (bahkan aku menonton ulang beberapa episodenya berkali-kali), mendengarkan soundtrack-nya, belajar memainkan lagu “You Are My Everything” di piano, dan bahkan menuliskan sebuah artikel tentang tips-tips relasi berdasar drama tersebut.

Aku begitu gembira (seperti penonton yang lain juga) ketika berita tentang kisah cinta kalian dalam drama itu berubah menjadi kisah cinta yang nyata. Tampaknya untuk sekali saja, kisah pengorbanan, romatisme, dan kemurnian cinta yang biasanya menjadi bumbu dalam drama Korea sungguh-sungguh terwujud dalam kenyataan. Jadi, seperti banyak orang lainnya, aku mengikuti berita tentang pernikahan kalian, dan turut bersukacita saat kalian berdua akhirnya resmi menikah di Oktober 2017. Aku dan teman-temanku bahkan berencana untuk membuat pesta perayaan untuk turut bergembira atas kisah dongeng kalian yang menjadi nyata yang sepertinya berlangsung bahagia selamanya.

Atau, setidaknya, itulah yang kami pikirkan bagaimana relasi kalian akan berakhir kelak.

Tetapi, banyak rumor mulai muncul ke permukaan di awal pernikahan kalian ketika Song Hye-kyo kedapatan tampil tanpa mengenakan cincin pernikahannya. Dan meskipun Song Joong-ki berusaha menghilangkan ketakutannya dengan mengatakan bahwa dia lebih “stabil secara emosional” setelah menikah hanya satu bulan yang lalu, ternyata itu tidak cukup untuk menjaga pernikahan kalian bersama.

Pada akhirnya, kisah cinta yang sempurna sekalipun tidak menjamin akan pernikahan yang sempurna. Aku telah mempelajarinya dari kisah Bradd Pitt dan Angelina Jolie. Tapi, kupikir apa yang paling mengguncangku adalah betapa singkatnya waktu pernikahan kalian.

Agensimu telah memberi keterangan bahwa kalian ingin berpisah karena “perbedaan kepribadian” dan meminta kepada media dan publik untuk tidak menulis artikel ataupun komentar yang sensasional dan spekulatif. Tapi, spekulasi pun bertebaran, bahkan di antara teman-temanku. Ada yang mengatakan kalau pernikahan dan perceraian kalian sebagai cara untuk mencari ketenaran, sementara yang lain mengatakan perceraian kalian karena ada perselingkuhan.

Sebagai fans kalian, aku berharap kalian berdua bisa memberikan kesempatan kedua untuk pernikahan ini, atau setidaknya mencoba menyelesaikan masalah kalian dan mempertahankan bahtera ini lebih lama lagi. Atau, mungkin jika kalian telah belajar tentang bagaimana memberi dan menerima seperti karakter yang kalian perankan dulu, mungkin semua ini akan berakhir berbeda?

Kalian mungkin berpikir: Apa sih yang kalian tahu? Pemikiran itu tidaklah salah; semua yang kutahu hanyalah apa yang media beritahukan. Di suatu hari nanti, hanya kalian berdua yang tahu alasan paling utama di balik keputusan untuk mengakhiri bahtera pernikahan kalian. Menjadi individu yang seluruh kehidupannya tak luput dari sorotan media, aku tahu bahwa menjalani hari-hari kalian tidaklah mudah.

Tetapi, suatu hari nanti pula, pemberitaan dari media-media akan usai, dan perhatian dunia akan beralih kepada pasangan lain yang menghadapi kisah yang sama seperti kalian, meratap sekali lagi seraya mengatakan “cinta sudah mati”.

Jadi, kalau bukan karena apapun, inilah satu hal yang kupikir kita semua bisa pelajari: tidak ada seorang pun di dunia ini yang kebal terhadap relasi yang gagal dan dikecewakan oleh orang lain. Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa menjamin bahwa cinta kita kepada pasangan kita akan tetap konsisten dan tidak berakhir.

Lantas, haruskah kita kecewa dan menyerah karena seolah tidak ada “cinta sejati”? Tidak. Cinta kasih yang sesungguhnya tidak akan pernah berakhir, selama kita memalingkan diri kita kepada sumber yang sejati—bukan kepada diri kita sendiri atau sesama manusia. Cinta Sejati itu adalah Yesus. Dialah mempelai yang sejati, dan Dia telah menunjukkan betapa besar kasih-Nya hingga mati di kayu salib bagi kita (Efesus 5:25).

Ketika kalian bersiap untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing, aku berharap kebenaran ini menguatkanmu. Cinta masih sangat hidup, di dalam Pribadi bernama Yesus Kristus. Dan karena cinta kasih-Nya, kita sekarang dapat mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:19).

4 Tanda Bahwa Tuhan Bukanlah Fokus Pertamamu

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Signs That God Isn’t Your First Love

Aku sudah lama menjadi orang Kristen, namun itu tidak membuat hidupku jadi lebih mudah. Dan, kuakui kalau aku masih jadi orang yang egois dan sombong. Kadang, sifat burukku itu membuatku merasa bersalah. Tapi, aku seringkali mengabaikannya dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidaklah seburuk apa yang kupikirkan.

Setiap hari aku bergumul untuk menempatkan Tuhan di posisi pertama di hidupku meskipun aku sudah tahu bahwa Dia mengasihiku (Roma 8:31-39), Dia setia kepadaku sekalipun aku berdosa (Hosea 2:14-15), dan Dia pun menjadikanku sebagai anak-Nya (Yohanes 1:12-13).

Meski begitu, tentu ada beberapa momen dalam hidupku ketika aku mencoba menjadikan hidupku “lebih berfokus kepada Tuhan daripada diriku sendiri”. Biasanya itu terjadi setelah aku merasa ditegur saat mempelajari Alkitab. Namun, momen-momen itu tidak bertahan lama; aku kembali mengendalikan diriku sendiri dan menempatkan Tuhan di belakang.

Dari pengalaman yang tidak aku banggakan ini, aku ingin membagikan kepadamu empat tanda apabila kita tidak menempatkan Tuhan pada posisi yang seharusnya. Dan aku juga mengundangmu untuk mengevaluasi diri apakah kamu secara sadar atau tidak telah melakukan hal yang sama.

1. Kamu mengikuti apa kata Alkitab… tapi kamu lebih taat pada kata dunia

Setiap hari kita dihadapkan dengan banyak keputusan—dari yang sederhana seperti baju apa yang akan kita pakai kerja, sampai kepada yang mengubah hidup seperti dengan siapa kita akan menikah. Meskipun kita tahu bahwa kita perlu melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Korintus 10:31), kita mengizinkan hidup kita diatur oleh pertimbangan-pertimbangan yang dunia berikan: apakah jurusan ini nantinya bisa memberiku pekerjaan yang baik? Akankah menikahi orang ini menjamin kehidupan finansialku? Apakah bersama orang ini bisa membuat karierku menanjak? Karena pertanyaan-pertanyaan itu, kita pada akhirnya memilih keputusan yang cenderung berpusat pada diri kita sendiri, sesuatu yang lumrah dilakukan dalam nilai-nilai dunia.

Namun, apabila kita sungguh mengerti Injil, kita melihat gambaran yang sangat berbeda tentang apa dan siapa yang dianggap penting oleh Tuhan. Dunia menyanjung mereka yang kaya, terkenal, berkuasa, dan mereka yang selalu bisa meraih posisi pertama. Namun, Tuhan memberkati orang yang miskin, orang yang terbuang. Tuhan peduli pada yang lemah, meninggikan yang rendah hati, dan menghargai mereka yang terbelakang. Injil memutarbalikkan segala yang kita ketahui.

Jika kita sungguh percaya kepada Yesus yang nilai-nilai-Nya berbanding terbalik dengan nilai-nilai dunia, cara hidup kita tentu berbeda dari cara yang dunia ajarkan. Maukah kita membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang Tuhan ajarkan? Maukah kita memberi dengan murah hati kepada yang miskin, menjangkau yang terpinggirkan, menolong yang sakit dan berkekurangan, dan menghargai mereka yang terbelakang—bahkan jika itu merugikan kita secara finansial, emosional, dan fisik?

2. Kamu peduli dengan apa yang dipikiran Tuhan… tapi tidak sebanyak apa yang dipikirkan orang lain

Beberapa tahun pertama di pekerjaanku, aku bekerja keras, dan aku merasa senang ketika pekerjaanku diapresiasi oleh bosku atau rekan sekerjaku. Aku tidak peduli jam kerja yang panjang, tapi aku sangat terganggu jika pekerjaanku tidak diapresiasi atau bosku merasa tidak senang kepadaku. Rasa frustrasi dan meragukan diri sendiri menghantuiku, bahkan setelah jam kerja berakhir dan aku tidak dapat memikirkan hal lainnya.

Meskipun aku tahu kalau aku seharusnya aku bekerja untuk Tuhan (Kolose 3:22-25), hatiku jauh lebih peduli untuk mendapatkan pengakuan dari tuanku di dunia. Bagi beberapa dari kita, mungkin itu bukanlah bos di tempat kerja yang berusaha kita senangkan, tuan duniawi kita bisa jadi pasangan kita, pacar kita, atau bahkan teman kita. Siapapun “tuan duniawi” kita, marilah kita mengingat dengan jelas bahwa yang terpenting adalah apa yang Tuhan pikirkan. Bagaimanapun, Tuhanlah pemilik hidup kita; Dia menciptakan kita, mengasihi kita, menyelamatkan kita, dan pada akhirnya nanti, juga menghakimi kita.

Baru-baru ini aku membaca sebuah buku berjudul “Not Yet Married” yang ditulis oleh Marshall Segal, penulis dan editor di DesiringGod.org. Dia menantangku untuk membingkai ulang perspektifku tentang pekerjaan. Dari delapan saran yang dia berikan, poin pertamanya adalah kita harus “bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan”. Alih-alih mencari pengakuan dan penerimaan dari tuan duniawi kita, kita harus lebih berfokus kepada apa yang membuat Tuhan semakin dimuliakan (1 Korintus 10:31, Matius 5:16).

Dan, itu semua berarti kita perlu memikirkan kembali apa artinya bekerja (atau kehidupan yang kita jalani) dan kesuksesan. Lalu, bagaimana jika kita tidak mendapatkan pengakuan atau apresiasi yang kita harapkan dari kerja keras kita? Jika kita mendapatkan kesempatan untuk menolong orang lain datang kepada Kristus di dalam aktivitas harian yang kita lakukan, kita telah mencapai prestasi yang jauh lebih bernilai.

3. Kamu peduli dengan sesamamu… tapi lebih mementingkan dirimu sendiri

Setelah hari kerja yang panjang, kita mungkin punya kecenderungan untuk melakukan “me-time”. Karena aku sudah bekerja sangat keras hari ini, aku ingin memanjakan diriku. Bagi beberapa dari kita, me time bisa berupa menonton film terbaru, pergi ke gym untuk berolahraga, atau sekadar duduk di bangku sambil menjelajah media sosial kita.

Kita tahu bahwa membaca Alkitab adalah kunci yang menolong kita mengenal Tuhan lebih dekat dan kita dipanggil untuk melayani gereja dan mengasihi mereka yang membutuhkan (Matius 25:31-40). Tapi, kita memberitahu diri kita bahwa semua hal itu baru bisa dilakukan setelah kita memenuhi semua kebutuhan diri kita dahulu. Hati kita sedih bukan karena ketidakadilan yang terjadi di dunia ini, tetapi karena seseorang yang telah mengganggu ruang pribadi kita dan membuat kita merasa tidak nyaman.

Aku merasa bersalah karena aku membatalkan janji pertemuan dengan teman-temanku yang sedang mengalami masa sulit karena aku tahu kalau itu akan memakan waktuku dan menguras emosiku. Aku tidak ingin menolong mereka pada saat itu.

Namun, Tuhan Yesus melalui perkataan dan perbuatan-Nya dengan jelas menunjukkan bahwa hidup kita bukanlah tentang diri kita sendiri. Salah satu bukti bahwa kita adalah pengikut Kristus yaitu kita bersedia untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti-Nya (Matius 16:24-26). Kita dipanggil untuk berkorban, menghargai orang lain di atas diri kita sendiri, tidak mencari kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain (Filipi 2:1-4). Lagipula, kasih Tuhan memampukan kita untuk mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:7). Dan jika kita hidup dalam kebenaran, aku berani mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi khawatir akan kebutuhan kita sendiri.

4. Kamu peduli akan dosa-dosa… tapi bukan dosamu sendiri

Sejak awal tahun ini, kelompok studi Alkitabku sedang mempelajari Kitab Hosea dan kami mendapati bahwa ketidaktaatan kepada Tuhan itu nilainya setara dengan perzinahan. Tapi, sejujurnya, kita biasanya tidak berpikir seperti itu. Maksudku, bagaimana mungkin sifat serakah sama nilainya dengan perselingkuhan? Apa kaitannya jika dibandingkan dengan tidur dengan pasangan orang lain? Namun, salah satu bahaya yang kita hadapi sebagai orang Kristen adalah kita berpikir bahwa diri kita lebih benar, atau kita berpikir bahwa kita lebih layak diselamatkan daripada teman-teman kita yang bukan Kristen.

Aku pernah beberapa kali tidak menyukai tindakan seseorang, atau kaget dan marah karena berita kejahatan yang kubaca di koran, atau bahkan aku pernah menyebut orang lain sebagai orang yang tidak punya harapan. Saat itu, aku menghakimi orang lain berdasarkan standarku sendiri. Aku lupa kalau aku pun orang berdosa yang sama-sama membutuhkan anugerah dan belas kasihan. Aku lupa bahwa Tuhanlah hakim yang utama dan setiap kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, aku bersyukur ketika ada keluarga atau temanku yang punya maksud baik, yang mau meluangkan waktunya untuk menunjukkan ketidakkonsistenan serta dosa-dosa dalam hidupku. Meski tidak menyenangkan, mereka meningatkanku bahwa aku membutuhkan Juruselamat, dan betapa baiknya tuhan yang telah memberikan anak-Nya untuk orang sepertiku.

Menuliskan keempat poin di atas telah menolongku menyadari bahwa solusi untuk masalahku adalah bukan dengan menyelesaikannya dengan kekuatanku sendiri. Aku butuh berdoa dan meminta Tuhan untuk menolongku bertumbuh dalam memahami keindahan, rahmat, dan kebenaran-Nya. Tuhanlah yang telah membuatku melihat (Yohanes 6:65) dan hanya ketika aku melihat betapa mulianya Tuhan, segala sesuatu di sekitarku akan tampak pudar. Aku pun berdoa hal yang sama untukmu.

Baca Juga:

Langkah-langkah Memulai Masa Pacaran

Setelah mendengar banyak cerita “gosip-seputar-pdkt-dan-pacaran”, aku merasa ada yang kurang pas. Maka, kuharap tulisan pendek yang kubagikan ini dapat menolong mereka yang sedang bergumul untuk bergumul dengan benar.

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I Was Captivated By The Thai Cave Rescue
Foto diambil dari Facebook Video

Seperti banyak orang lain di seluruh dunia, kemarin malam aku bersorak ketika membaca berita bahwa 12 anak lelaki Thailand dan pelatih sepak bola mereka yang berusia 25 tahun akhirnya bisa diselamatkan dari dalam gua di utara Thailand. Mereka sudah terperangkap di dalam sana selama dua minggu!

Sejak membaca berita tentang bagaimana mereka menghilang pada 23 Juni lalu, aku terpaku pada layar ponselku. Aku mencari tahu berita-berita lanjutan tentang penyelamatan mereka.

Hatiku tertuju kepada keluarga dan teman-teman mereka saat aku membaca kalau mereka sudah menghilang selama lebih dari seminggu. Padahal seharusnya perjalanan mereka ke Gua Tham Luang itu hanya berlangsung setengah hari. Dan, hatiku tergerak saat membaca kalau 1.000 orang (dari seluruh dunia, termasuk Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang, dan Tiongkok) turut memberikan pertolongan dalam pencarian besar-besaran untuk menemukan mereka.

Ketika mereka ditemukan sembilan hari kemudian (3 Juli) di lokasi yang berjarak 4 kilometer dari mulut gua oleh sepasang penyelam Inggris, aku pun gembira. Tapi, sukacita itu dengan cepat berubah jadi kepedihan saat muncul berita tentang Saman Gunan, mantan Angkatan Laut Thailand yang berusia 38 tahun kehilangan kesadaran dan meninggal dunia Jumat lalu setelah menempatkan tangki-tangki cadangan di sepanjang rute evakuasi.

Misi penyelamatan yang dramatis dan berbahaya ini, yang dimulai pada Minggu pagi, membuatku duduk di kursi sambil merasa was-was, dan setiap notifikasi berita yang aku terima tentang anak lelaki lain yang bisa diselamatkan dari gua yang penuh air itu membuatku merasa lega dan bersukacita.

Aku tidak mengenal anak-anak lelaki itu, pun juga para penyelamat secara pribadi, tapi perasaanku tersentuh sejak dari awal berita ini muncul. Aku pernah mengunjungi sebuah gua di Korea Selatan beberapa bulan lalu. Kunjungan ke gua itu menolongku untuk berempati dan membayangkan seperti apa rasanya berada di dalam lingkungan yang dingin, basah, gelap, berbatu, dan suram seperti yang anak-anak Thailand itu rasakan.

Tapi, seperti yang lain, apa yang kemudian membuatku terperangah adalah cerita-cerita tentang pengorbanan dan tidak mementingkan diri sendiri yang dilakukan oleh banyak orang yang menolong proses evakuasi—mereka menolong atas kemauan dan biaya sendiri. Dari para tentara, insinyur, paramedis, penyelam, koki, dan bahkan relawan-relawan yang mencuci seragam para tim penyelamat itu, jelaslah bahwa penderitaan anak-anak itu tidak hanya menyita perhatian dunia, tapi menggugah komunitas internasional untuk bertindak.

Bahkan di dalam gua, kisah tidak mementingkan diri sendiri itu berlanjut. Asisten pelatih dilaporkan memberikan beberapa bagian dari pasokan makanannya yang sangat sedikit kepada anak-anak itu selama 10 hari. Ketika ditemukan oleh penyelam Inggris, anak-anak itu berada dalam kondisi yang sangat lemah. Juga terungkap bahwa seorang dokter dan tiga Angkatan Laut Thailand telah tinggal bersama anak-anak itu sejak kali pertama mereka ditemukan lebih dari seminggu lalu.

Tapi, mungkin pengorbanan terbesar yang memberi dampak terkuat adalah berita bahwa mantan penyelam Angkatan Laut Thailand, Saman Gunan yang meninggal dunia dalam usahanya menyelamatkan 12 anak dan pelatihnya.

Meskipun tahu bahwa operasi penyelamatan ini sangat berbahaya dan berisiko, itu tidak menghalangi Gunan untuk mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan anak-anak itu. Beberapa hari sebelum kematiannya, dia bahkan merekam video mengharukan yang menunjukkan kalau dia sedang berdiri di dekat anak tangga pesawat dan bersumpah untuk “membawa anak-anak pulang”. Pola pikirnya mungkin mencerminkan apa yang juga dikatakan oleh seorang penyelam Belgia dalam cuplikan berita lain. “Jika kamu adalah seorang angkatan laut, ya, kamu akan mengorbankan dirimu.” Sebuah laporan dari BBC kemudian menyimpulkan kematian Gunan dengan pedih, “Dia mati supaya mereka mungkin hidup.”

Apa yang dikatakan itu terbukti jadi nyata. Tiga belas orang yang terperangkap itu akhirnya berhasil diselamatkan dalam upaya evakuasi yang melelahkan selama tiga hari dan melibatkan 13 penyelam internasional dan 5 Angkatan Laut Thailand. Kematian Gunan tidak hanya menyingkap betapa berbahayanya evakuasi ini, tapi pada akhirnya berkontribusi besar untuk memastikan tindakan keselamatan apa yang perlu diambil supaya tidak ada lagi nyawa yang hilang.

Pengorbanan seperti inilah yang membuat air mata kita menetes, karena melalui inilah kita dapat melihat dua hal: nilai kehidupan dan kemanusiaan yang terbaik—ditunjukkan dalam bentuk cinta dan pengorbanan. Seperti yang Alkitab katakan dalam Yohanes 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Aku tidak bisa memungkiri bahwa ada banyak kesamaan antara penyelamatan anak-anak di gua Thailand ini dengan rencana keselamatan Tuhan untuk umat manusia. Seperti 12 anak lelaki dan pelatihnya yang terperangkap dalam gua, tidak dapat menyelamatkan diri sendiri dari keadaan yang sulit, kita juga terjerembap dalam dosa-dosa kita, tidak berdaya sama sekali dan tidak mampu untuk menyelamatkan diri kita sendiri. Dalam kedua kasus ini, satu-satunya hasil yang menanti kita adalah kematian.

Bantuan harus datang dari luar. Bantuan itu datang melalui penyelam-penyelam ahli yang sudah siap mengambil risiko nyawa dan menyelam ke dalam gua yang dipenuhi air di mana jarak pandang hampir mendekati nol demi menyelamatkan 13 orang. Sama seperti itu, Yesus Kristus harus masuk ke dalam dunia kita yang telah jatuh, tinggal di antara kita, kemudian mati untuk kita di kayu salib. Meski Dia tahu bahwa Dia harus mengorbankan segalanya, itu tidak menghentikannya, karena itulah satu-satunya cara supaya kita dapat hidup.

Jadi, saat kita bertepuk tangan dan mengenali para pahlawan yang telah mengorbankan waktu, usaha, sumber daya, dan bahkan hidup mereka, kiranya ini juga mengingatkan kita sekali lagi tentang pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia: Yesus memberikan hidup-Nya bagi kita bukan hanya ketika masih menjadi orang asing, tapi ketika kita masih jadi seteru-Nya (Roma 5:8-10).

Marilah kita tidak berhenti hanya di ucapan syukur dan perasaan kagum. Seperti yang dikatakan oleh penulis CNN, Jay Parini, “Dan semua orang berutang budi pada Saman Gunan, penyelam Thailand yang kehilangan nyawanya beberapa hari lalu saat keluar dari kompleks Gua Tham Luang.” Sama seperti anak-anak lelaki yang akan selamanya berutang budi kepada Gunan dan yang hidupnya akan berubah selamanya setelah kejadian ini, demikianlah hidup kita pun harus berubah karena apa yang Kristus telah lakukan untuk kita.

“Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Korintus 5:15).

Baca Juga:

Papa Mama, Terima Kasih untuk Teladan Kalian

Kalau aku melihat kembali kisahku ke belakang, kusadari hidup itu tidak mudah. Tapi, aku bersyukur karena papa dan mamaku memberikan teladan yang baik, yang karenanya aku dapat percaya sepenuh hati kepada Tuhan.

Apakah Orang Kristen Tidak Boleh Kaya?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can We Be Rich and Godly At The Same Time?

Komisi pemuda di gereja kami baru saja memulai pendalaman Alkitab tentang khotbah di bukit. Ketika kami sedang mencoba memahami maksud dari perkataan Yesus dalam Lukas 6:20, salah seorang pemuda bertanya, “Apakah ayat ini hendak mengatakan bahwa orang Kristen tidak boleh kaya?”

Sangat wajar jika pertanyaan ini muncul, karena pernyataan Yesus memang sepertinya mengarahkan orang untuk berpikir demikian. Jika orang miskinlah yang akan mendapatkan Kerajaan Allah, apakah itu berarti orang Kristen harus dengan sengaja hidup miskin? Haruskah orang Kristen menghindari kelimpahan materi?

Jika kita membaca keseluruhan Alkitab, aku pikir kita akan menemukan bahwa jawabannya jelas “tidak”. Orang “miskin” yang disebutkan pada bagian ini bukanlah sembarang orang miskin. Mereka tidak hidup dalam kelimpahan materi karena iman mereka. Alkitab sendiri mencatat banyak orang yang melayani Tuhan sekaligus memiliki banyak harta. Allah memberkati mereka dan memuji sikap hidup mereka. Abraham, Ayub, dan Daud adalah contoh orang-orang kaya yang dekat kepada Allah.

Mungkin pertanyaan yang lebih besar di balik pertanyaan tadi adalah: apakah kita bisa menjadi kaya dan sekaligus menjadi orang yang mengutamakan Allah dalam hidup ini? Bagaimana bila kita adalah orang yang sudah diberkati dengan kekayaan karena latar belakang orangtua atau pekerjaan kita? Salahkah jika kita kaya, atau ingin menjadi kaya? Bagaimana orang Kristen harus melihat kekayan?

Setidaknya, ada tiga prinsip yang bisa kita pegang:

1. Kita tidak boleh terobsesi untuk menjadi kaya (atau lebih kaya)

“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1 Timotius 6:10).

Jika kita berusaha mencari-cari argumen yang dapat membenarkan keinginan kita untuk mengejar Tuhan sekaligus mengejar kekayaan materi, kita akan kecewa. Aku akan menjadi orang pertama yangmengakui bahwa aku bergumul dengan dua hal tersebut. Sudah berulang kali aku berkeinginan untuk mengejar kekayaan materi, namun berulang kali pula Tuhan mengingatkan aku melalui firman-Nya dan sesama bahwa itu bukan sikap yang seharusnya aku miliki.

Uang pada dasarnya tidak jahat. Masalahnya bukan bukan terletak pada apakah kita memiliki banyak uang atau tidak, tapi pada keinginan untuk menjadi kaya dan cinta pada uang. Bagian Alkitab ini menunjukkan pada kita, bahwa sekali kita terjerat pada godaan untuk mencintai uang, kita tidak akan pernah merasa cukup dan makin lama makin menjauh dari Tuhan. Tidak heran, Yesus mengingatkan murid-murid-Nya dalam Matius 6:24, bahwa tidak mungkin seseorang bisa menjadi hamba Tuhan sekaligus hamba uang. “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”

Jadi, jika tujuan utama kita adalah hidup dekat dengan Tuhan, akan bijaksana bila kita menjauhkan diri dari godaan untuk mengejar kekayaan materi. Salah satu bagian firman Tuhan yang baik untuk direnungkan dalam konteks ini adalah Ibrani 13:5, “‘Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.’”

2. Kita tidak boleh menumpuk harta di dunia

“Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ jua hatimu berada” (Matius 6:19-21). Ayat ini memberi gambaran tentang apa yang fana. Kekayaan materi di bumi ini tidak akan bertahan selamanya—semua bisa rusak dan pada akhirnya tidak ada lagi. Yang akan bertahan selamanya adalah apa yang kita lakukan bagi kemuliaan Tuhan; itu yang akan memberi kita harta abadi. Sebab itu, harta yang seharusnya kita inginkan adalah upah yang dijanjikan Tuhan kepada umat yang setia kepada-Nya—orang-orang yang mencari dan melakukan kehendak Tuhan dengan segenap hati, akal budi, jiwa, dan kekuatan.

Jika tujuan hidup dan yang membuat kita sibuk adalah upaya mengumpulkan banyak uang untuk membeli rumah yang besar, mobil yang bagus, pakaian yang mahal, serta untuk sekadar menikmati hidup yang mudah dan nyaman, kita tidak ada bedanya dengan orang kaya yang bodoh dalam perumpamaan Yesus. Orang kaya itu berpikir bahwa yang paling penting dalam hidup adalah menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia tidak menyadari bahwa ada kehidupan setelah kematian dan kekayaannya di dunia tidak dapat dibawa ke sana (Lukas 12:13-21).

Mentalitas yang hanya mencari kesenangan diri sendiri bukan saja tidak alkitabiah, tetapi, Yesus menyebutnya sebagai suatu kebodohan.

3. Kita harus siap berpisah dengan kekayaan yang kita miliki

“Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: ‘Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.’ Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya. Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: ‘Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah’” (Markus 10:21-23).

Jika saat ini kita memiliki banyak harta—baik itu hasil kerja keras kita atau warisan keluarga kita—kita diingatkan untuk tidak menggenggam kekayaan itu terlalu erat. Jika kita memegangnya terlalu erat, bisa jadi kita lebih mengandalkan harta kita daripada mengandalkan Allah.

Alkitab juga secara konsisten memanggl kita untuk menolong mereka yang membutuhkan. Salah satu aplikasinya adalah memberikan uang kepada orang-orang yang berkekurangan. Dalam Injil Lukas, Yohanes Pembaptis mendorong orang banyak untuk membagikan pakaian dan makanan yang mereka miliki kepada sesama yang tidak punya (Lukas 3:11). Beberapa orang Kristen yang kukenal tidak punya banyak uang, tetapi selalu menjadi orang-orang yang pertama memberikan apa yang mereka punya ketika ada sesama yang membutuhkan.

Kita yang berkelebihan dipanggil untuk memberi kepada mereka yang berkekurangan. Ini adalah sebuah tanggung jawab yang diberikan Allah kepada kita bersama berkat-berkat yang diberikan-Nya. Tanggung jawab ini sesuai dengan perintah untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri.

Jadi, salahkah bila orang Kristen menjadi kaya? Alkitab menunjukkan bahwa yang bermasalah itu bukanlah banyaknya kekayaan yang kita miliki, tetapi hati yang selalu mengejar dan melekat pada kekayaan. Tidak salah menjadi kaya atau bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan yang baik, selama kita tidak terjebak untuk mencari uang lebih daripada mencari Allah.

Bila hati kita dikuasai keinginan untuk mengumpulkan kekayaan di dunia, mari kita melepaskannya. Mari berjuang mengumpulkan harta di sorga dan menggunakan apa yang telah dikaruniakan Allah untuk memberkati sesama.

Baca Juga:

3 Tanda Aku Menggunakan Ponsel dengan Berlebihan

Aku sangat sering menggunakan ponsel. Begitu seringnya, sampai-sampai aku selalu merasa ada yang kurang apabila tidak tanganku tidak memegang ponsel. Apa yang kualami ini mungkin adalah bagian dari nomophobia (no-mobile-phobia): rasa takut akan kehilangan kontak dengan ponsel.

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Mendengar Injil Kembali

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Reasons Why Christian Need To Be Hearing The Gospel—Again

“Selamat pagi! Silakan ambil traktat Injil ini cuma-cuma,” ucap seorang pria paruh baya sambil menyodorkan sebuah traktat yang berjudul “Seandainya” kepada seorang wanita yang berjalan di depanku.

Wanita itu menolak dengan menggelengkan kepalanya. Kemudian, pria itu mendekatiku dan menawariku sebuah traktat yang sama. Aku menjawabnya dengan senyuman tipis, menggelengkan kepala, dan mempercepat langkahku. “Traktat itu kan untuk orang-orang yang bukan Kristen. Aku sudah jadi orang Kristen, aku tahu apa yang ada di dalam traktat itu dan aku tidak membutuhkannya,” gumamku kepada diri sendiri.

Tapi, tiba-tiba ada pertanyaan yang muncul dalam diriku. “Apa salahnya menerima traktat dan membaca kembali Injil? Kapan terakhir kali aku mendengar Injil itu? Apa aku sudah benar-benar mengerti Injil itu?” Aku menjadi malu dengan diriku sendiri dan berjanji akan mengambil traktat itu jika aku bertemu dengan orang yang menawarkannya lagi.

Beberapa minggu telah berlalu sejak kejadian itu, dan menjelang hari Jumat Agung, ada sebuah pertanyaan yang kurenungkan: Apakah Injil itu hanya untuk orang-orang yang belum Kristen?

Jawaban sederhanaku adalah: Tidak. Pada kenyataannya, jika kita sebagai orang Kristen berpikir kalau kita baik-baik saja, itu berarti kita semakin butuh untuk mendengar Injil. Inilah tiga alasannya.

1. Dunia seringkali membuat kita bingung.

Menerima Yesus masuk ke dalam hidup kita dan menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan tidak serta merta membuat masalah kehidupan kita akan hilang. Perjuangan kita melawan dosa, rasa frustrasi karena atasan kerja atau teman yang jahat, dan kekecewaan kepada anggota keluarga kita akan tetap ada. Bencana alam dan sakit penyakit juga masih tetap akan terjadi.

Selain tantangan-tantangan dari luar, kita juga seringali harus menghadapi suara-suara yang berusaha menjatuhkan kita. “Kamu gagal,” suara itu berkata ketika aku masih saja terjatuh dalam dosa. “Jangan mengubah dirimu, kamu sudah sempurna,” kata dunia kepada kita. Ketika rasa kecanduan dan perasaan bersalah memburu kita, kita mendengar suara-suara itu lagi, “Kamu itu tidak cukup baik.” Suara-suara itu akan terus-menerus muncul untuk membuat kita menyerah.

Dunia ini sedang mengalami perubahan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, kita perlu terus-menerus mendengar Injil yang tidak pernah berubah. Kita perlu untuk selalu diingatkan kalau Tuhan menilai kita bukan karena penampilan kita, kemampuan kita, atau latar belakang keluarga kita, tapi semata-mata karena Dia menciptakan kita (Mazmur 139:13-16). Kita perlu untuk selalu diingatkan kalau Tuhan itu mengasihi kita tanpa mempedulikan seberapa buruknya kita, dan Dia menunjukkan kasih itu dengan Yesus yang mati untuk kita (Roma 5:8). Kita butuh untuk selalu diingatkan bahwa segala sesuatu yang kita hadapi saat ini hanya bersifat sementara, dan ada harapan mulia yang menanti kita di depan (Roma 8:18).

Mengerti Injil dengan baik memberi kita dasar hidup yang teguh.

2. Kita mudah untuk lupa dan hilang fokus.

Sayang sekali, lupa adalah sifat manusia. Memang, ada kalanya kita diliputi perasaan yang begitu berapi-api untuk berlutut dan menyesali setiap perbuatan kita, atau juga mengucap syukur atas kasih dan anugerah Tuhan. Perasaan berapi-api itu juga membuat kita seolah ingin memperbaharui kembali hidup kita, berjanji untuk berhenti menyia-nyiakan hidup dan mempersembahkan waktu, tenaga, dan uang kepada Tuhan. Kemudian, tanpa berpikir panjang kita mengartikan perasaan-perasaan itu sebagai panggilan untuk melayani Tuhan.

Tapi, ketika semangat kita sedang berapi-api, Iblis datang dan bekerja keras mencari celah untuk menjauhkan kita dari Tuhan. Ada dua jurus yang Iblis gunakan, yaitu: membuat kita putus asa dan mengalihkan perhatian kita. Banyak hal mungkin tidak terjadi sesuai rencana, masalah sehari-hari mungkin tetap ada, atau orang-orang yang kita hargai malah mengecewakan kita, dan kita menjadi tawar hati. Atau, keluarga dan pekerjaan terlalu menuntut kita hingga kita kehilangan fokus.

Kenyatannya, waktu-waktu seperti itu akan datang. Yesus sendiri mengatakan kalau pengikut-Nya akan diserang rupa-rupa pencobaan. Bagaimana kita dapat bertahan dan tetap hidup bagi Yesus? Jawabannya adalah dengan membiasakan diri dengan Injil. Bacalah Injil itu lagi dan lagi supaya kita dapat melekat dengan kebenaran Tuhan ketika waktu-waktu sulit datang. Ketika kita mengerti kemuliaan yang Yesus janjikan kelak, kita menemukan kekuatan untuk tekun menghadapi tantangan yang ada saat ini.

Menjadi terbiasa dengan Injil bukanlah hal yang buruk. Kenyataannya, semakin kita mengenal dan akrab dengan Injil, semakin kita dikuatkan dan mampu untuk menghadapi godaan iblis dan tantangan dunia (Efesus 6:10-17).
Mengenal Injil dengan baik akan menjaga kita tetap berfokus kepada Allah.

3. Kita masih bisa jatuh ke dalam dosa.

Sekalipun Adam dan Hawa menikmati relasi dengan Tuhan, mereka masih dicobai oleh hal-hal duniawi (Kejadian 3:6). Bukankah itu cukup jelas kalau tidak ada satupun manusia yang kebal terhadap pencobaan?

Sebagai manusia, kita memiliki hawa nafsu dan jika kita tidak menjaga panca indra kita—rasa, sentuhan, bau, pendengaran, dan pandangan—kita akan jatuh terpikat ke dalam dosa. Aku tahu kalau diriku mudah jatuh kepada dosa iri hati dan memberhalakan sesuatu. Aku tahu kalau diriku mudah sekali merasa tidak puas dan iri terhadap mereka yang tampak lebih baik, terlihat lebih mampu dan sukses. Sekalipun aku tahu benar kalau hal-hal yang aku inginkan itu tidaklah terlalu penting, aku malah mengambil waktu dan berusaha untuk mengejar itu semua daripada mengembangkan hubunganku dengan Tuhan. Ironisnya, semua pengejaran itu malah membuatku semakin kosong dan kekurangan.

Tapi, bisa juga kita melakukan hal yang ekstrem lainnya. Bisa saja kita membaca Alkitab setiap hari, berdoa setiap hari, dan melayani dengan berapi-api—dan berpikir kalau kita baik-baik saja karena kita tidak punya dosa “besar” dalam hidup kita. Bahkan kita mungkin juga berpikir kalau kebaikan-kebaikan yang kita buat itulah yang menyelamatkan kita. Mungkin juga kita berpikir kalau kita lebih baik dari orang lain, kemudian kita menghakimi mereka karena kita tidak menganggap mereka setia seperti kita. Mungkin inilah alasan mengapa Yesus menggunakan banyak waktu di hidupnya menegur orang-orang Farisi yang merasa diri mereka benar.

Tidak ada orang Kristen yang sempurna. Hanya ketika kita membenamkan diri kita ke dalam Injil, kita akan ingat kalau semuanya bukan tentang apa yang dapat kita kerjakan, tapi apa yang Tuhan sudah lakukan dalam hidup kita. Kolose 2:6-7 mengingatkan kita kalau menjadi Kristen itu bukan hanya sekadar menerima Yesus ke dalam hidup kita, tapi juga tentang menumbuhkan relasi bersama-Nya.

Mengenal Injil dengan baik menjaga kita untuk berlaku kudus, karena kita mau menyenangkan Tuhan Yesus.

Jadi, bagaimana jika kita memberi diri untuk mendengarkan berita Injil secara rutin? Khotbahkan berita Injil itu kepada diri kita sendiri! Paul Tripp, seorang pendeta dari Amerika pernah berkata, “Tidak ada seorangpun yang lebih berpengaruh dalam hidupmu selain dirimu sendiri. Karena, tidak ada seorangpun yang berbicara kepadamu melebihi yang kamu lakukan.”

Di hari-hari menjelang Paskah ini, akankah kamu mewartakan Kabar Baik ini lagi kepada dirimu?

Baca Juga:

Ketika Tuhan Menolak Proposal Hidupku

Selama bertahun-tahun aku memohon supaya Tuhan mengabulkan semua impianku, seolah-olah aku sedang mengajukan sebuah proposal kepada Tuhan. Namun, ternyata tidak satupun proposal hidupku itu yang berjalan sesuai rencanaku. Aku sempat mengalami kecewa, tapi kemudian Tuhan mengajarkanku satu hal berharga.

Ketika Temanku Menjadi Tersangka Kasus Pembunuhan

ketika-temanku-menjadi-tersangka-kasus-pembunuhan

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend is Suspected of Rape and Murder

6 Maret 2016

Aku baru akan pergi tidur; waktu menunjukkan hampir jam 11 malam. Seperti biasa, aku memeriksa ponselku untuk terakhir kalinya sebelum tidur. Teman baikku, Linda, baru saja mengirimiku serentetan pesan.

Apa yang akan kubaca adalah sesuatu yang mengerikan dan menghancurkan hati.

Pesan itu berbunyi: “Jo … sebuah kasus besar baru saja terjadi di Siem Reap dan foto laki-laki itu mirip Kosal … Kosal terlibat dalam sebuah kasus pemerkosaan…”

Kosal. Pemerkosaan. Kedua kata itu begitu tidak masuk akal ketika digabungkan. Aku pun membaca lagi pesan yang dikirimkan Linda tentang bagaimana dia melihat sebuah posting di Facebook yang dibagikan oleh beberapa pemuda Kambodia yang kami kenal ketika kami mengadakan perjalanan misi ke negara itu beberapa waktu lalu. Posting itu dilengkapi dengan sebuah foto seorang laki-laki berusia 25 tahun, seorang yang telah kami kenal selama 6 tahun.

Ketika Linda memasukkan tulisan dalam bahasa Khmer tersebut ke dalam Google Translate, terdapat beberapa kata yang muncul dari hasil terjemahannya: “pemerkosaan”, “pembunuhan”, “gadis berusia 11 tahun”, dan “Kosal”. Dia kemudian mengkonfirmasikan hal itu dengan seorang pemimpin gereja lokal, dan mendapati bahwa Kosal telah dituduh memerkosa dan membunuh seorang gadis berusia 11 tahun.

Itu bagaikan aku menerima kabar dukacita dari temanku. Atau bahkan lebih buruk. Perutku terasa sakit dan jantungku berdegup kencang ketika aku memikirkan apa yang baru saja kubaca. Kosal? Tidak mungkin. Wajahnya yang sedang tersenyum langsung melintas di pikiranku.

Kami baru bertemu Kosal dalam perjalanan misi terbaru kami ke Siem Reap, Kambodia. Itu adalah perjalananku yang kelima, dan perjalanan Linda yang ketujuh. Segalanya baik-baik saja saat itu. Hal apa yang membuat segalanya menjadi begitu buruk hanya dalam waktu empat bulan? Apa yang membuatnya melakukan tindakan yang mengerikan itu? Bagaimana keluarganya menanggapi berita ini? Berbagai pertanyaan memenuhi pikiranku, namun tak ada jawaban yang kutemukan. Aku ingin menanyakan teman-temanku di Kambodia namun saat itu sudah terlalu malam. Aku merasa tidak berdaya dan tidak berguna.

Aku tidak dapat tidur nyenyak malam itu. Aku hanya tidak dapat percaya bagaimana seorang yang lemah lembut seperti Kosal dapat terlibat dalam kasus pembunuhan yang begitu keji.

Aku bertemu Kosal enam tahun lalu—ketika aku pertama kali pergi ke Kambodia—dalam sebuah sesi Pendalaman Alkitab yang diadakan oleh tim perjalanan misi gerejaku di Singapura untuk para pemuda di desa Pouk di Siem Reap. Pemalu, sopan, dan sederhana, Kosal diperkenalkan kepada kami sebagai seorang kerabat dari seorang pemimpin gereja lokal dalam komunitas tersebut.

Kosal yang saat itu berusia 18 tahun adalah salah satu dari beberapa orang non-Kristen yang hadir dalam sesi malam itu. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika salah satu rekanku membagikan Injil kepadanya melalui seorang penerjemah. Malam itu, dia menanyakan banyak pertanyaan yang dijawab dengan sabar oleh temanku. Beberapa bulan kemudian, kami mendapat kabar bahwa Kosal menerima Tuhan dan mengikuti kelas bahasa Inggris secara rutin.

Berikutnya, kami bertemu Kosal setiap kali kami melakukan kunjungan balik dan mengadakan program-program untuk para pemuda dan anak-anak. Dia telah menjadi seorang guru bahasa Inggris di sebuah sekolah di desanya dan melayani secara aktif dan rutin di gereja. Karena dia kini semakin mengerti bahasa Inggris, kami dapat berkomunikasi lebih banyak dengannya. Dia masih pemalu, namun dia kini sudah bisa bercanda dan mengolok kami ketika kami mencoba berbicara dalam bahasa Khmer.

Bertemu dia kembali dalam perjalanan misi kami yang terakhir adalah bagikan bertemu seorang teman lama. Pertemuan itu menghangatkan hati kami. Kami begitu senang melihat pertumbuhannya. Dia telah menjadi salah satu pemimpin kunci dari para pemuda di desa Pouk dan sangat terkenal dan dipandang baik oleh komunitas di sana. Selama dia mengajar, murid-muridnya akan berpartisipasi secara aktif. Setelah kelas selesai, mereka akan berkumpul mengitarinya untuk bermain. Itu adalah bukti bagaimana dia begitu peduli dengan mereka dan bagaimana mereka menikmati kehadiran Kosal.

Itulah yang membuat berita ini menjadi begitu mengagetkan. Mengapa Kosal melakukan pemerkosaan dan pembunuhan—apalagi korbannya adalah muridnya sendiri, seperti yang kemudian kami ketahui? Kosal berulang kali menyatakan bahwa dia tidak bersalah, namun para pemimpin gereja lokal, yang mengabari kami secara rutin, memberitahu kami bahwa polisi mempunyai bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa dia adalah pelakunya.

Beberapa hari berikutnya, kami mengetahui bahwa Kosal, yang merupakan tetangga gadis tersebut, menjadi seorang tersangka karena dia berada di tempat kejadian perkara saat itu. Hari itu, bibi gadis itu baru saja kembali dari pasar dan menemukan diri gadis itu tergantung di jendela dengan kabel televisi, terlihat seperti sebuah bunuh diri. Kosal, yang mendengar teriakan minta tolong sang bibi, berlari untuk membantu memotong kabel tersebut. Polisi tiba di TKP tak lama kemudian. Setelah memeriksa tubuh gadis itu, mereka menyimpulkan bahwa korban telah diperkosa dan kemudian dibunuh. Tidak ada hal detail yang dibagikan pada saat tersebut. Tidak dijelaskan juga bagaimana polisi menentukan Kosal sebagai pelaku perbuatan tersebut.

Yang kami tahu hanyalah dia ditangkap di tempat dan tes DNA kemudian dilakukan untuk menentukan apakah dia bersalah atau tidak. Kami diberitahu bahwa hasilnya akan keluar dalam waktu 10 hari. Jika dia terbukti bersalah, kemungkinan besar dia akan dipenjara seumur hidup.

Kami pun menunggu. Tapi bukan 10 hari. Kami harus menunggu sekitar 10 minggu sampai akhirnya kami mengetahui kebenaran di balik kasus ini.

Selama waktu tersebut, Kosal ditahan di penjara dan kami tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan meminta kabar terbaru dari para pemimpin. Aku memikirkan betapa Kosal mungkin merasa kesepian dan ketakutan, dan para pemimpin juga merasa kecewa karena harus menghadapi fakta bahwa salah satu anggota mereka menjadi tersangka kasus pemerkosaan dan pembunuhan. Begitu menyakitkan bagi kami mengetahui bahwa kami tidak dapat menawarkan bantuan apa-apa selain kata-kata penguatan dan berjanji kepada mereka bahwa kami juga turut mendoakan Kosal.

21 April 2016

Ketika segala hal terlihat begitu gelap, secercah harapan muncul. Hasil tes DNA akhirnya keluar dan hasilnya negatif! Kosal tidak bersalah. Dia terlibat dalam kasus ini hanya karena dia berada di tempat yang salah pada waktu yang salah.

Rasa sukacita dan lega memenuhi hatiku ketika salah seorang pemimpin gereja lokal memberitahu kami tentang hasil tes tersebut. Pada saat yang sama, aku merasa kesal—karena Kosal telah diperlakukan dengan tidak adil—dan simpati yang dalam terhadapnya ketika aku memikirkan tentang penderitaan emosi dan psikologis yang dihadapinya dalam beberapa bulan terakhir. Namun, aku juga bersemangat karena mengetahui bahwa penderitaan Kosal akan segera berakhir.

Sayangnya, sukacita kami tidak bertahan lama.

Kami diberitahu bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Kosal tidak akan dilepaskan dari penjara karena hakim menolak permintaan ditutupnya kasus itu. Kecuali para pemimpin gereja lokal bersedia membayar suap, Kosal akan tetap ditahan di penjara setidaknya untuk setahun ke depan untuk kejahatan yang tidak dia lakukan.

Itu menjadi sebuah pukulan bagi para pemimpin gereja lokal, yang telah bekerja tanpa mengenal lelah untuk membuktikan bahwa Kosal tidak bersalah. Mereka menjadi sangat marah dan tidak terima. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa itu sama saja dengan “menculik secara legal dan meminta tebusan”. Namun di tengah situasi yang sepertinya mustahil, mereka menolak untuk menggunakan cara yang tidak benar. Mereka memutuskan untuk berjuang untuk melepaskan Kosal dengan cara-cara yang benar.

Selama beberapa bulan berikutnya, para pemimpin itu berusaha keras untuk mengajukan banding kepada pengadilan yang lebih tinggi, meskipun mereka telah diberitahu bahwa hal itu sia-sia saja. Gereja lokal juga bersatu dalam solidaritas untuk berdoa bagi Kosal dan keluarganya. Dan Tuhan menjawab doa mereka dengan cara yang tidak terbayangkan: Di tengah tragedi yang tidak masuk akal ini, kedua orang tua Kosal dan dua adik perempuannya mulai pergi ke gereja.

Jelas sekali bahwa Tuhan tidak melupakan Kosal dan keluarganya. Dan itu baru awalnya saja.

2 September 2016

4 bulan kemudian, kami mendengar kabar yang telah lama kami nanti-nantikan. Pada tanggal 2 September, Kosal akhirnya dibebaskan dari penjara. Setelah melalui 6 bulan penderitaan di dalam penjara untuk kejahatan yang tidak dilakukannya, dia akhirnya bebas.

Sore itu juga ketika Kosal dibebaskan, aku melihat sebuah foto di Facebook yang menunjukkan Kosal yang sedang makan malam bersama dengan beberapa pemimpin gereja lokal. Dia tersenyum dan keadaannya terlihat baik. Itu adalah sebuah foto yang indah yang menunjukkan kesetiaan, pemulihan, dan kasih Tuhan.

* * *

Sudah hampir dua bulan sejak Kosal dibebaskan dari penjara. Dia masih belum pulih sepenuhnya dari penderitaannya selama di penjara: dia masih mengalami mimpi buruk, dan seringkali tidak dapat tidur. Tapi ada satu hal baik yang terlihat. Seluruh keluarga Kosal kini menerima Yesus dalam hidup mereka. Beberapa minggu yang lalu, seluruh keluarga Kosal memberikan kesaksian di gereja tentang anugerah dan kebaikan Tuhan.

Ketika aku melihat kembali keseluruhan kisah ini, hatiku dipenuhi oleh sukacita dan rasa syukur karena aku melihat bagaimana Tuhan menjawab doa anak-anak-Nya. Dia tidak hanya menyelamatkan Kosal, keluarganya, dan komunitasnya dari masa-masa yang sulit ini, tapi juga Dia melakukan sebuah pekerjaan yang indah dengan membawa seluruh keluarganya kepada Kristus. Kisah Kosal adalah sebuah kesaksian tentang kesetiaan Tuhan kepada anak-anak-Nya (Roma 8:28), dan kisah inilah yang akan aku ingat ketika aku menghadapi tantangan-tantangan dalam kehidupanku.

Aku berdoa agar Kosal terus bersaksi tentang kebaikan Tuhan. Bagi Tuhanlah kemuliaan sampai selama-lamanya!

Baca Juga:

Aku Tidak Memilih untuk Menjadi Gay

Aku pertama kali menyadari bahwa aku mempunyai perasaan-perasaan ini ketika aku mulai memasuki masa puber ketika aku SMP. Aku merasa tertarik dengan seorang laki-laki di kelasku. Saat mulai kuliah, aku juga terkagum-kagum dengan seorang teman laki-laki di kampusku. Itulah saat di mana aku mengindentifikasikan diriku sebagai seorang “gay”.

Baca kesaksian Raphael selengkapnya dalam artikel ini.

Perpisahan Brad Pitt & Angelina Jolie – Inikah Akhir dari Cinta?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Brangelina Split – The End of Love?

Itulah yang dikatakan dalam beberapa artikel, setelah berita yang merebak kemarin tentang pasangan emas Hollywood, Angelina Jolie dan Brad Pitt, yang mengakhiri pernikahan mereka yang berusia 2 tahun—setelah 12 tahun hidup bersama dan memiliki 6 anak.

Berdasarkan dokumen-dokumen yang didapat dari berbagai agen surat kabar, aktris ternama dan sutradara Angelina Jolie mengakhiri pernikahannya dengan aktor Brad Pitt karena “perbedaan yang tidak dapat diperdamaikan”. Media berita lainnya mengatakan bahwa keputusan Angelina Jolie—yang pengacaranya deskripsikan secara samar dilakukan “untuk kebaikan keluarga”—mungkin dipicu oleh perbedaan dalam cara mengasuh anak atau masalah kemarahan Brad Pitt dan isu KDRT.

Angelina Jolie telah berulang kali meminta hak pengasuhan untuk keenam anak mereka dan izin bagi Brad Pitt untuk dapat mengunjungi mereka; dia tidak meminta untuk terus dinafkahi. Bagaimana dengan Brad Pitt? Berita-berita mengatakan bahwa dia “sangat sedih” karena perceraian itu dan memikirkan tentang “kesejahteraan anak-anaknya”.

Berita tentang perpisahan mereka telah membuat dunia berguncang, banyak yang mengekspresikan kesedihan mereka akan akhir dari Brangelina, julukan yang diberikan oleh media untuk hubungan mereka. Tapi mengapa dunia begitu kaget akan perpisahan mereka? Bukankah, kalau mau jujur, ada banyak pernikahan dan perceraian yang terjadi di Hollywood.

Mungkin itu karena kita percaya bahwa Brangelina berbeda. Sepanjang 12 tahun hubungan mereka, kita telah melihat komitmen pasangan tersebut dalam pekerjaan profesional mereka, pekerjaan kemanusiaan mereka, hubungan mereka satu dengan yang lain, dan terhadap anak-anak mereka. Seperti yang dikatakan oleh salah satu artikel di media Independent, “Meskipun mereka sangat kaya dan tinggal ribuan mil jauhnya dari kebanyakan orang-orang Inggris, hubungan Brangelina mungkin adalah hubungan yang paling aspiratif—tidak ada luapan kemarahan, tidak ada teriakan, tidak ada pengkhianatan yang besar, hanya terus maju dalam hidup, bahkan dengan stress dan tekanan akan penyakit, operasi, dan 6 anak yang mereka miliki.” Singkatnya, mereka terlihat seperti pasangan Hollywood teladan.

Mungkin itulah mengapa banyak kaum milenial yang memberikan reaksi terhadap berita perceraian Brangelina dengan pemikiran “Jika mereka tidak dapat melakukannya, tidak ada seorangpun yang bisa”. Dan mungkin itulah mengapa banyak media memilih untuk menggunakan kata-kata berikut untuk menjadi judul berita mereka akan kasus perceraian ini: “Cinta sudah resmi mati” dan “Cinta berakhir hari ini”.

Namun tidak semua orang setuju. Seperti penulis Mashable, Martha Tesema, yang menulis, “Cinta masih jauh dari mati. Itu masih sangat hidup, bertumbuh dalam ribuan pasangan-pasangan yang luar biasa di dunia ini yang kita kagumi.”

Martha benar dalam satu hal—cinta masih jauh dari mati. Akhir dari Brangelina tidak berarti cinta menjadi punah. Sebesar apapun rasa kagum kita akan segala hal yang mereka raih, mereka hanyalah manusia yang fana—sama seperti setiap dari kita. Mereka juga dapat melakukan kesalahan, berkelahi, dan berpisah.

Namun, untuk menghibur dengan mengatakan bahwa cinta terus “hidup” karena pernikahan banyak pasangan luar biasa masih berkembang itu benar-benar naif—dan, jika aku boleh tambahkan, bodoh. Jika bukan untuk hal yang lain, perpisahan Brangelina seharusnya membunyikan alarm dalam pikiran kita bahwa tidak seorang pun menjadi kebal terhadap hubungan yang rusak. Meskipun kita adalah Presiden Amerika atau pemain sepak bola Inggris yang paling terkenal, kita semua dapat jatuh. Hanya dengan kekuatan kita sendiri, kita takkan pernah dapat menjamin konsistensi cinta kita kepada pasangan kita—dan sebaliknya.

Jadi siapakah yang harus kita pandang? Itu cukup jelas, kan?

Kristus.

Cinta masih jauh dari mati—karena Kristus. Itu masih sangat hidup, bertumbuh dalam diri orang-orang yang menerima kasih Kristus.

Jadi kiranya kita dikuatkan, bukan di dalam diri kita sendiri, tetapi di dalam Dia yang kasih-Nya tidak pernah gagal. Karena Dia telah lebih dahulu mengasihi kita, kita dapat terus mengasihi (1 Yohanes 4:19).

Photo credit: Filmstiftung via Foter.com / CC BY

Baca Juga:

Doa bagi Mereka yang Menderita

Peperangan. Kejahatan. Pembunuhan. Penindasan. Teror. Penyalahgunaan narkoba. Ini adalah doa Morentalisa bagi mereka yang menderita di dunia ini.