Posts

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Aku dilahirkan sebagai anak tengah dari lima bersaudara, pada tengah minggu, di tengah bulan, dan tengah tahun. Banyak orang berkata “wah anak tengah tulen, middle child syndrome pastinya.” Karena, anak pertama biasa lebih dominan dan anak terakhir sering dimanja, sedangkan kebanyakan dari anak tengah merasa terabaikan, akibat urut kelahirannya.

Tambahan pula, dengan sifatku yang cukup penurut, sejak masa remajaku, aku sering diberi tanggung jawab oleh kedua orang tua, untuk turut menjaga adik-adikku. Dan sesungguhnya, sempat terlintas di benakku, “apakah aku penting?

Salah satu buku cerita favoritku berjudul, My Sister’s Keeper, yang ditulis oleh Jodi Picoult. Novel tersebut menceritakan tentang dinamika kakak-beradik yang saling mengasihi. Namun, sang adik bergumul dengan kepahitan yang ia rasakan, terhadap kedua orang tua dan sang kakak, yang adalah penderita kanker darah. Pusat perhatian kedua orang tua tentu ada pada sang kakak yang sakit, sedangkan ada ekspektasi tak terucapkan bagi sang adik untuk menjadi donor berkelanjutan bagi kakaknya sendiri.

Ketika membaca buku tersebut, aku merasa dimengerti. Bahwa perasaan sakit hati terhadap seseorang, bukan berarti kita tidak mengasihi mereka. Karena aku sangat mengasihi keluargaku. Namun, dalam hati kecil, ternyata ada sebuah luka yang mengiang dan melontarkan pemberontakan, “apakah aku sekadar penjaga adik-adikku?”

Kain, Penjaga Habel

Kuingat suatu hari ketika aku sedang saat teduh, dan membaca Kejadian 4. Cerita tentang sepasang kakak-beradik, Kain dan Habel. Dalam keirian hati seorang Kain, ia membunuh Habel, adiknya sendiri—ini adalah kali pertama Firman menyatakan seorang manusia membunuh dengan darah dingin. Dan ketika Tuhan menghampiri Kain dan menanyakan keberadaan Habel, ia berkata, “aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (ayat 9).

Ketika membaca kata-kata itu, hatiku tertegur. Bukankah ini pernyataan yang selama ini telah kuucapkan kepada Tuhan? Betapa miripnya keluhanku, dengan tanggapan Kain—dan pada saat itu juga, peringatan Tuhan kepada seorang Kain, menjadi peringatan bagiku: “dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya,” (ayat 7).

Seketika, aku memutuskan untuk segera menyelesaikan kekesalan yang selama ini kusimpan di hati kecilku ini.

Keadilan Tidak Berarti Sama

Setiap orang yang memiliki saudara, pasti pernah merasakan ketidakadilan. Sebuah contoh sederhana adalah ketika kedua anak berebutan mainan, dan orang tua harus melerai dan memihak. Bahkan ketika orang tua mengambil mainan tersebut, dan tidak ada satu dari mereka yang mendapatkannya, mudah bagi seorang anak, terutama yang merasa memiliki mainan tersebut, untuk berkata, “tidak adil! Itu punyaku!”

Dalam sebuah keluarga yang memiliki banyak anak, tentu sebagai orang tua tidak bisa memberlakukan anak-anaknya dengan seragam. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, dan sebagai orang tua, perlu kebijaksanaan untuk menanggapi seorang anak dengan cara yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan anak tersebut. Ada anak yang bawaannya penurut, dan ada yang bersifat lebih pemberontak. Setiap orang juga merasakan kasih dengan cara yang berbeda. Ada yang merasa dikasihi ketika diperhatikan, ada yang lebih membutuhkan pelukan, dan ada yang memerlukan perkataan pujian.

Hal ini baru kusadari ketika aku beranjak dewasa. Ternyata, selama ini, ketika orang tuaku mendidik aku dan saudara-saudaraku dengan cara yang berbeda, mereka bukan sedang memperlakukanku dengan tidak adil. Bukan karena mereka menganggapku tidak penting, atau karena mereka kurang mengasihiku. Sebagai orang tua, mereka terus berusaha untuk mengasihiku sebagaimana aku perlu dikasihi.

Alkitab Penuh Keluarga Disfungsional

Namun, harus kita akui, tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Karena memang, tidak ada orang yang sempurna (Roma 3:23). Firman Tuhan pun penuh dengan cerita tentang keluarga-keluarga disfungsional. Seperti kisah Abraham, Sarah dan Hagar (Kejadian 16), yang menyebabkan permusuhan bebuyutan antara Ishak dan Ismael. Persekongkolan Yakub dengan ibunya, Ribka, untuk menipu Ishak, ayahnya yang sudah rabun, untuk mencuri hak sulung Esau (Kejadian 27)—Alkitab mengajarkan betapa bobroknya manusia, sehingga sulit bagi kita untuk mengasihi orang-orang terdekat kita!

Namun, kita tidak boleh putus asa. Karena walaupun Firman mengungkapkan dengan sangat eksplisit kebobrokan kita, kita melihat bahwa Tuhan dapat menebus kesalahan-kesalahan kita, dan tetap bekerja melalui orang-orang yang tidak sempurna. Oleh salib Kristus, Tuhan telah “mempersatukan kedua pihak…merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, [agar kita dapat menjadi] kawan sewarga…dan anggota-anggota keluarga Allah,” (Efesus 2:14-19). Tuhan sendiri yang datang sebagai Penengah, Pelerai, Pendamai, agar kita dapat dipersatukan dalam keluarga-Nya.

Ketidakadilan Yang Dialami Yesus, Penjagaku

Tetapi apakah kita sepenuhnya menyadari harga yang dibayar oleh Yesus di kayu salib? Firman mengatakan bahwa Ia adalah yang sulung, yang pertama (Kolose 1:18). Satu-satunya Anak Allah (Yohanes 3:16) yang datang ke dunia, dan rela memberikan diri-Nya bagi umat manusia yang tidak mengenal, maupun menerima-Nya (Yohanes 1:9-10). Ia mengalami ketidakadilan yang terbesar, karena Yesus adalah satu-satunya yang tidak berdosa, namun menanggung segala penderitaan dan upah dosa setiap manusia (2 Korintus 5:21). Dan karena kasih dan pengorbanan-Nya, kita sekarang dapat dipanggil anak-anak Allah (Galatia 4:7).

Betapa besar kasih-Nya! Dan betapa berbeda dengan postur seorang Kain, ataupun diriku sendiri. Yesus sebagai Anak Tunggal meletakkan hak-hak-Nya, dan memberikannya kepada aku. Kepada kamu. Maukah kita sekarang mengikuti-Nya? Maukah kita belajar untuk meletakkan hak-hak kita, ke-aku-an yang begitu besar, dan berseru seperti seorang Paulus? “Aku telah disalib bersama Kristus, bukanlah aku lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam aku,” (Galatia 2:20).

“Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mazmur 133:1).

Baca Juga:

Belajar dari 2 Sosok Perempuan yang Jadi Berkat bagi Bangsanya

Kita kerap berpikir kalau hanya orang pilihan saja yang bisa melakukan hal besar. Tapi, cara Tuhan memilih seseorang bukanlah berdasarkan standar manusia.

Teologi Kemakmuran, Kemiskinan, dan Kekristenan

Oleh Jessica Tanoesoedibjo

“Alkitab menyatakan bahwa orang kaya tidak bisa masuk sorga!” Seru pembicara retret tersebut. Dan ketika ia berkata demikian, matanya menatapku dengan tajam.

Aku tidak akan lupa perkataan tersebut. Pada saat itu, aku sedang duduk di bangku SMP, dan menghadiri retret yang diselenggarakan sekolahku. Aku ingat, jantungku berdebar kencang, dan di benakku, aku berpikir, “Tuhan, apa yang harus aku lakukan?”

Dalam kehidupanku, harus kuakui bahwa aku telah diberi privilese berkat materil yang berkelimpahan. Namun, ini bukan suatu hal yang dapat kusangkal begitu saja. Aku tidak dapat memilih di keluarga mana aku dilahirkan, ataupun kondisi perekonomian kita. Banyak orang berkata bahwa kita “diberkati untuk menjadi berkat,” tetapi di sisi lain banyak juga yang menkritisasi kekayaan.

Memperoleh Hidup Berkelimpahan

Lahir di keluarga Kristen, aku sangat bersyukur bahwa Tuhan telah memberkatiku dengan kedua orang tua yang begitu menekuni imannya, dan juga mengajarkan anak-anaknya untuk demikian. Namun, lahir sebagai anak seorang pengusaha yang cukup ternama di tanah air, juga berarti ada berbagai macam ekspektasi yang orang miliki terhadap diriku. Motivasi untuk menjadi orang yang sukses, seperti yang dicontohkan oleh sang ayah, ditanamkan padaku sejak kecil.

Di gereja pun aku sering dengar ayat ini dikutip: “Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun,” (Ulangan 28:13). Yesus sendiri berkata bahwa Ia datang, “supaya [kita] mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan,” (Yohanes 10:10).

Namun, bagaimana dengan orang Kristen yang tidak hidup dalam kelimpahan materil? Apakah Tuhan tidak mengasihi mereka? Bukankah hal tersebut, kepercayaan bahwa Tuhan akan selalu memberkati anak-anaknya dengan kekayaan, adalah Injil Kemakmuran—suatu distorsi Injil yang sesungguhnya?

Berbahagialah Yang Miskin

Karena di sisi lain, firman Tuhan juga berkata, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena mereka yang empunya Kerajaan Sorga” (Matius 5:3). Yesus juga mengajarkan, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin…kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” (Matius 19:21).

Inilah yang membuatku berpikir dan bergumul. Aku pun menganggap bahwa kekayaan yang aku miliki adalah suatu hal yang keji yang perlu kusangkal. Ada masa di mana aku membenci segala pemberian Tuhan dalam hidupku, karena menurutku semua kepemilikan materil ini adalah fana.

Bukankah Alkitab sangat jelas, bahwa kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan: Tuhan dan uang (Lukas 16:13)? Untuk ikut Kristus, kita harus tanggalkan segalanya. Tapi, apakah artinya semua orang Kristen diharuskan menjadi miskin? Apakah untuk menjadi orang Kristen yang sesungguhnya kita harus menjual segala kepemilikan kita dan memberikannya kepada gereja, orang miskin, atau misi gereja? Apakah Alkitab mengajarkan teologi kemiskinan?

Kemiskinan Manusia dan Kekayaan Injil

Tidak. Keduanya bukanlah gambaran yang akurat tentang Kekristenan. Karena Kekristenan bukan tentang kemakmuran ataupun kemiskinan. Tuhan tidak pernah menjanjikan kita untuk menjadi makmur dan kaya di setiap saat. Dan Ia juga bukan Tuhan yang kejam, yang senang dan mengharapkan kemiskinan dan kesukaran bagi anak-anak-Nya.

Tapi sesungguhnya, Injil mengajarkan kita bahwa Yesuslah Raja yang empunya segalanya, yang amat sangat kaya, namun menanggalkan segala kejayaan dan rela menjadi miskin, untuk melayani kita. Yesus mengosongkan diri-Nya agar Ia dapat melimpahkan kita dengan kasih dan kebenaran-Nya (Filipi 2).

Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk kaya ataupun miskin. Jika kekayaan atau kemiskinan menjadi pusat identitas kita, kita telah memposisikan uang sebagai tuan dalam kehidupan kita. Kesetiaan pada Tuhan dan firman-Nya tidak diukur dari kekayaan atau kemiskinan kita dalam ukuran dunia. Karena sesungguhnya, kesetiaan pada Tuhan adalah pengertian bahwa sebenarnya kita adalah “miskin di hadapan Allah,” namun, dalam Kristus telah “mempunyai [hidup] dalam segala kelimpahan.”

Dengan pengertian ini, kita tidak akan mendemonisasi kekayaan, ataupun mendamba-dambakan kemiskinan (atau sebaliknya). Tapi, kita dapat, dalam masa berkelimpahan, mensyukuri segala pemberian Tuhan sebagai suatu kepercayaan, yang patut kita kembangkan. Kekayaan bukan bertujuan untuk kita dapat senang-senang dan memenuhi segala macam keinginan kita di dunia, melainkan, adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Karena “kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut,” (Lukas 12:48).

Dalam 2 Korintus 8:1-15, Paulus menulis kepada orang-orang yang hidup berkelimpahan untuk bertumbuh dalam kemurahan hati. Paulus berkata bahwa ia tidak bertujuan untuk membebani mereka, melainkan, setelah mengingatkan mereka tentang kasih karunia Kristus yang telah mereka terima, ia mengajak jemaat Korintus untuk terlibat dalam “pelayanan kasih,” (ayat 6) dengan meringankan beban saudara-saudara yang hidup dalam kekurangan.

Demikian pula, orang-orang yang dalam masa kekurangan, dapat juga mensyukuri kesempatan yang Tuhan berikan untuk bergantung sepenuhnya pada-Nya. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang sedang dalam masa kekurangan dapat lepas dari tuntutan untuk bertumbuh dalam kemurahan hati. Karena Paulus pun bersaksi tentang bagaimana jemaat di Makedonia, tetap bersukacita dan kaya dalam kemurahan, walaupun mereka sendiri sangat miskin (ayat 2).

Bagi Paulus, kemurahan hati tidak terhitung dari jumlah yang diberikan. Kaya atau miskin, mereka telah menikmati kasih karunia Kristus yang sangat mahal, dan, mengetahui ini, mereka telah memberikan diri mereka, pertama kepada Tuhan, kemudian kepada orang lain (ayat 5). Karena sesungguhnya, yang Tuhan minta dari setiap anak-Nya adalah hal yang sama: agar kita, dalam segala sesuatu, dapat menyangkal diri kita, memikul salib, dan mengikuti-Nya.

“Alkitab menyatakan bahwa orang kaya tidak bisa masuk sorga!” Ya, memang ini benar. Karena Alkitab menyatakan bahwa tidak ada satu orangpun yang dapat masuk Kerajaan Sorga. Tidak ada yang layak. Namun, karena kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus, kita sekarang adalah anak-anak-Nya. Di Rumah Bapa banyak tempat tinggal, dan Yesus sedang menyediakan tempat bagi kita di sana.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Penghiburan di Kala Duka Mendera

Sekalipun sulit untuk melenyapkan rasa sedih dan kehilangan, aku yakin bahwa Tuhan benar-benar mengerti dan peduli dengan duka yang kualami. Ia selalu punya cara terbaik untuk menghibur dan menguatkan kita.

Berdamai Dengan Perasaan Rendah Diri

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Satu hal yang sering menjadi pergumulanku secara pribadi adalah kecenderunganku untuk minder dan rendah diri. Mungkin hal ini adalah hal yang ironis, karena sepertinya di mata orang, hidupku baik-baik saja. Tuhan telah memberi aku keluarga yang baik, pekerjaan yang stabil, dan dalam ukuran dunia, memang aku hidup dalam kecukupan, dan bahkan kelimpahan.

Dari usia dini aku selalu merasakan pressure untuk menjadi orang yang sempurna. Sewaktu aku masih di Sekolah Minggu, aku memiliki ketakutan yang tidak wajar tentang neraka. Karena Alkitab pun menuntut kita untuk sempurna, karena Tuhan sendiri sempurna (Matius 5:48). Mungkin karena aku adalah anak tengah dari lima bersaudara—banyak orang berkata bahwa anak tengah cenderung memiliki “middle child syndrome” atau keinginan untuk dianggap. Atau mungkin ada unsur bullying yang pernah aku alami ketika duduk di bangku SMP. Apapun itu, selalu ada keinginan untuk menyenangkan orang tua, diterima di komunitas, dan menjalin hubungan yang baik dengan semua orang. Dan selalu–hal ini membuat aku merasa bahwa diriku adalah “kurang”.

Banyak orang berkata, “jangan minder!” “Itu hanya masalah mindset.” Namun, apa yang kita rasakan, tidak dapat kita abaikan begitu saja. Nasihat seperti ini, walaupun mungkin diucapkan dengan maksud yang baik, kadang malah tidak membantu. Karena kalau kita jujur, mau sekeras apapun kita mendorong diri, sesungguhnya, kepercayaan diri bukanlah hal yang bisa di buat-buat.

Supaya Aku Jangan Meninggikan Diri

Memang, ada perbedaan di antara kerendahan hati dan kerendahan diri. Alkitab mengajarkan kita untuk rendah hati, dan bukan rendah diri, karena sesungguhnya, manusia telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:27). Namun, kerendahan diri bukanlah sesuatu yang dapat kita ubah dalam sekejap. Setidaknya, selama ini, perubahan tersebut bukanlah hal yang mudah bagi diriku. Walaupun mungkin setelah sekian lama tentunya aku mengalami pertumbuhan, kecenderungan untuk jatuh dalam unhealthy self-image seringkali masih ada.

Suatu bagian Firman yang menguatkan bagiku adalah 2 Korintus 12, di mana kita diceritakan tentang suatu kelemahan yang Paulus miliki. Ia menulis,

Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. 8 Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku (ayat 7).

Kita tidak pernah diberitahu apakah sesungguhnya ‘duri’ tersebut yang menjadi suatu gangguan dan halangan bagi Paulus, namun kita diceritakan betapa sang rasul telah berdoa pada Tuhan untuk mengambil duri tersebut darinya. Akan tetapi, dalam keluhannya pun, ia menyatakan suatu kebenaran, yaitu, bahwa duri tersebut ada “supaya aku jangan meninggikan diri.”

Satu hal yang aku syukuri dalam kecenderunganku untuk rendah diri adalah peringatan yang sangat nyata akan kelemahanku dan ketergantunganku kepada Tuhan. Banyak orang memikir bahwa cara untuk mendorong orang lain untuk menjadi percaya diri adalah untuk membanjiri mereka dengan pujian. Tentu, kita boleh memuji dan mengapresiasi orang lain. Namun, jika berlebihan, sanjungan dapat memupuki bibit keangkuhan yang ada dalam hati setiap manusia–keangkuhan yang ada di awal mula, ketika Adam dan Hawa menginginkan otonomi, dan menyangkal dependensi mereka terhadap Tuhan.

Dalam Kelemahan, Kuasa-Nya Sempurna

Mengakui kelemahan kita bukan berarti kita menjadi orang-orang yang pesimis dan tanpa harapan. Orang Kristen tidak seharusnya merasa terkalahkan ataupun putus asa. Karena sesungguhnya, Kristus telah menang atas dunia.

Namun, kemenangan Kristus bukan berarti tiba-tiba kita tidak lagi dihadapi oleh kekurangan dan kelemahan. Sayangnya kebiasaan kita dalam komunitas Kristen adalah untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan memberikan kesaksian, hanya ketika ada hal-hal yang ‘layak’ untuk dibagikan. Seperti mengalami suatu mujizat atau terobosan yang tak terduga.

Sebaliknya kita melihat bahwa dalam kelemahannya, Paulus datang kepada Tuhan, sebagai seorang yang mengakui ketergantungannya pada-Nya. Dan Tuhan pun menjawabnya:

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. 10 Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (ayat 9).

Satu hal yang menjadi penghiburan dan kekuatan bagiku, sewaktu-waktu aku jatuh dalam pemikiran-pemikiran yang tidak sehat tentang diriku sendiri (atau, unhealthy self-image) adalah Kebenaran Kekristenan yang paling mendasar. Bahwa identitasku tidak tergantung pada apa yang aku miliki, apa yang aku dapat bawa, ataupun pada pemikiranku tentang diriku sendiri. Identitasku sebagai anak Allah telah diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan yang telah membeliku dengan darah-Nya yang mahal.

Dalam Kebenaran inilah, aku percaya. Dan maka dari itu, karena Kebenaran ini, aku dapat bermegah atas kelemahanku, bahkan kerendahan diriku.

Yesus, Sang Raja Yang Merendahkan Diri-Nya Untuk Melayani Kita

Tuhan sendiri mencontohkan hal ini. Meskipun Ia adalah Raja segala raja, Ia datang ke dunia sebagai Bayi di palungan. Walaupun Ia adalah Tuhan, Ia tumbuh sebagai seorang manusia selama tiga puluh tahun dalam keterampilan pekerjaan ayah-Nya, seorang tukang kayu. Ketika Ia memulai pelayanan-Nya, banyak orang ingin menjadikan-Nya sebagai Raja. Tapi tidak lama kemudian, Ia dicemooh dan dihina, bahkan sampai kematian-Nya di atas kayu salib.

Yesus, Tuhan yang sempurna, merendahkan diri-Nya agar Ia dapat melayani kita, manusia yang angkuh. Ia tidak menuntut kesempurnaan dari kita, melainkan, mengasihi kita bahkan dalam segala kelemahan, agar kita dapat berseru kepada-Nya, sang Juruselamat. Dan karena Ia telah menjubahkan kita dengan kesempurnaan-Nya, kita dapat menjalankan hari-hari kita dengan setia, mengetahui bahwa bahkan dalam kelemahan kita, kasih Karunia Tuhan selalu ada.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari Ketika Aku Mengalami Frustasi Spiritual

Perasaan frustasi akan kegagalanku dalam pertobatan malah membuatku semakin menjauhi-Nya. Perasaan takut, sungkan dan khilaf membaur menjadi satu. Perasaan berulang inilah yang membuatku semakin depresi dalam spiritualku.

Bukan Natal Biasa

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Ketika aku menyalaminya, dan kita saling bertatapan, air pun mengalir dari matanya. Aku tak mengerti apa yang ia rasakan, atau apa yang ia mau ungkapkan. Aku bahkan tidak mengetahui namanya. Tetapi hatiku turut sedih ketika melihat oma tersebut tak berdaya, duduk di kursi roda, dan di mulutnya dipasangkan selang. Aku tidak kenal padanya, dan mungkin setelah aku pulang dari tempat ini, aku tidak akan ketemu si oma lagi.

Beberapa waktu lalu, aku dipercaya untuk membawakan firman pada perayaan Natal yang kantorku selenggarakan dengan suatu panti jompo.

Apa yang dapat aku bagikan, Tuhan? Aku berdoa. Aku hanya 25 tahun, mungkin pengalaman hidup juga tidak seberapa. Apalagi dibandingkan dengan orang-orang tua di sana. Siapakah aku? Ah, tetapi lagi-lagi aku diingatkan, kesempatan untuk membagikan firman Tuhan adalah suatu karunia. Bukan karena kehebatan ataupun pengalamanku, melainkan kekekalan firman Tuhan itu sendiri.

Tetapi apa yang dapat kubagikan kepada oma opa di sana? Ah, tentunya Injil. Kabar baik Kristus adalah pengharapan di setiap masa. Untuk anak muda maupun yang tua.

Walaupun dunia selalu menjunjung tinggi hal-hal yang fana, mencari cara untuk mempreservasi diri, mempertahankan kecantikan dan kekuatan—Alkitab mengajarkan bahwa, “keindahan orang tua ialah uban,” (Amsal 20:29). Tuhan tidak pernah merendahkan manusia karena usianya, maupun ketidakberdayaannya. Ketika Sara tertawa karena ia mendengar perkataan Tuhan kepada Abraham, bahwa ia akan mengandung anak di hari tuanya, Tuhan tetap bekerja. Tuhan tidak bergantung pada kekuatan manusia. Ia tidak memandang rupa.

Tetapi Tuhan memandang manusia berharga, hanya karena dari awal penciptaan, Sang Pencipta membuat kita “segambar dan serupa dengan-Nya,” (Kejadian 1:27).

Namun, yang kita ketahui, walaupun manusia telah diciptakan segambar dan serupa dengan Tuhan, kita telah jatuh dalam dosa dan mencemarkan gambaran sempurna Allah. Ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Tuhan, kekacauan mulai datang pada dunia. Dosa membuat hubungan antara manusia menjadi renggang: Adam dan Hawa saling menuduh dan menyakiti (Kejadian 3).

Kita pun pasti pernah disakiti dan menyakiti, maupun secara sengaja atau tidak sengaja. Tapi apa yang kita perbuat terhadap manusia lainnya tidak sebanding dengan apa yang kita perbuat terhadap Allah. Karena setiap kali kita menyakiti manusia lainnya, kita telah berdosa terhadap gambaran Allah, dan berdosa terhadap Allah sendiri.

Ketika manusia jatuh dalam dosa pertama kalinya, di Taman Eden, datanglah kematian. Dosa telah merusak hubungan manusia dengan Sang Pencipta, dan manusia telah mendatangkan pada dirinya murka Allah. Mungkin hal ini yang membuat kematian menjadi hal yang begitu menyeramkan. Mungkin hal ini yang membuat orang mencari segala macam cara untuk mempreservasi diri. Karena sesungguhnya, ia mengetahui bahwa suatu hari ia harus menghadapi murka Allah.

Akan tetapi, Alkitab tidak berhenti pada kabar buruk ini. Karena pada hari Natal, lahirlah Sang Juruselamat. Karena manusia tidak dapat menebus dosa dirinya terhadap Allah yang Maha Agung, maka Tuhan harus menghampiri kita.

Pada hari Natal, Anak Tunggal Allah Bapa, yaitu Yesus Kristus, telah lahir di dunia ini, agar Ia dapat menunjukkan kepada kita kasih-Nya yang tidak berkesudahan, pengampunan yang sempurna, dan kehidupan yang benar di hadapan Allah. Ketika Yesus datang, Ia merestorasi gambaran Allah yang telah dirusak oleh dosa.

Dan ketika Yesus datang, Ia datang sebagai bayi di palungan, bukan sebagai raja yang bugar di istana yang mewah. Karena Tuhan tidak pernah pandang rupa maupun kekuatan tubuh kita, kehebatan pencapaian kita.

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” 1 Korintus 1:27-29

Debu Yang Dibuat Berharga

“Sebab engkau debu dan akan kembali menjadi debu,” (Kejadian 3:19)—banyak orang berkata bahwa ketika orang bertambah usia, ia akan kembali seperti anak kecil lagi. Dan di mata dunia, mereka menjadi merepotkan, menyusahkan. Banyak yang bahkan tidak ingin berurusan dengan orang tua lagi, apalagi yang sudah sakit-sakitan. Dan mereka diterlantarkan di panti jompo. Itulah kisah sang oma yang aku jumpai pada hari itu.

Namun, alangkah bahagianya bahwa Yesus pun berkata, “biarlah anak-anak itu datang kepada-Ku, orang-orang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga,” (Matius 19:14). Alangkah bahagianya mereka dapat kembali seperti anak-anak, yang tak pernah Tuhan tolak, melainkan adalah kesukaan hati-Nya. Alangkah bahagianya, mereka dapat kembali menikmati Tuhan seperti anak-anak.

Bahkan Tuhan sendiri, Pencipta segala semesta, tak takut untuk mengambil rupa seorang Anak, yang lahir di palungan. Itulah cerita Natal: bukan sebuah dongeng, melainkan kebenaran kasih Allah yang begitu besar untuk umat manusia (Yohanes 3:16).

Walaupun aku sedih ketika melihat sang oma ditinggalkan keluarganya di panti jompo tersebut, aku tau ada Satu yang tidak pernah meninggalkannya. Tuhan tetap bersama oma. Dan Tuhan mengasihi oma sama seperti Tuhan mengasihi aku. Aku memberikannya senyuman, bibirnya pun ikut bergerak, dan genggamannya semakin erat. Aku tak mengerti apa yang ia rasakan, atau apa yang ia mau ungkapkan. Aku bahkan tidak mengetahui namanya. Tapi Tuhan mengenalnya dan memanggilnya berharga.

Baca Juga:

Misteri Orang-orang Majus: Siapa, Dari Mana, Berapa, Kapan, dan Mengapa?

Kita tidak asing dengan orang-orang Majus yang sering disebutkan jelang Natal. Namun, tahukah kita akan fakta-fakta tentang mereka?