Posts

Kejenuhan, Celah Si Jahat Untuk Hambat Produktivitas

Oleh Santina Sipayung, Batam

Berjam-jam duduk di kelas. Berhari-hari mengerjakan tugas. Berbulan-bulan menyelesaikan skripsi. Bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama. Tak dapat dipungkiri, menjalani rutinitas atau mengerjakan sesuatu dalam jangka waktu yang lama seringkali membuat kita merasa jenuh.

Sebenarnya, apa itu kejenuhan?

Kejenuhan adalah sindrom yang ada pada tataran emosi. Area kejenuhan pada mental ialah perasaan kehilangan idealisme, gagal sebagai pribadi, dan menyebabkan kesulitan berkonsentrasi. Kejenuhan pada mental dapat ditandai dengan tidak lagi memiliki pengharapan dan cepat menuduh diri sendiri. Bahkan, citra diri di dalam Kristus terkadang dapat terkikis karena kondisi mental yang negatif. Apabila dibiarkan berlarut-larut, kejenuhan bisa menjadi stres yang berkepanjangan dan dapat menyebabkan sakit jiwa.

Kejenuhan yang terjadi pada tataran mental turut berimbas pada area fisik. Kondisi fisik yang menurun karena kejenuhan turut menyebabkan kecenderungan darah tinggi serta serangan otak karena kelelahan. Kelelahan tersebut juga dapat menyebabkan migrain, sakit kepala, dan flu yang tidak kunjung sembuh.

Orang yang mengalami kejenuhan seringkali memiliki kesulitan untuk menyelesaikan aktivitas yang sudah dimulai atau malas melakukan rutinitas yang seharusnya dijalani. Ia jadi cepat bosan, tidak sabar, dan sulit menghargai diri sendiri dan orang lain. Iblis dapat menggunakan celah kejenuhan untuk menurunkan produktivitas dan membuat kita tidak lagi bergairah dalam menjalankan aktivitas rohani maupun pelayanan-pelayanan kita.

Lalu, siapakah orang yang rentan mengalami kejenuhan?

Orang yang rentan mengalami kejenuhan adalah orang-orang yang ambisius, pernah memiliki akar pahit, dan orang yang tidak sanggup berkata “tidak” pada orang lain. Ketiga hal tersebut memberi tekanan pada diri mereka yang berujung pada depresi.

Kejenuhan menjadikan kita kesulitan bertumbuh dan menghalangi peluang kita untuk maju. Oleh karena itu, tentu saja kejenuhan harus diatasi. Berikut adalah langkah konkret yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kejenuhan.

1. Sadari dan akui kejenuhan itu

Langkah pertama untuk mengatasi kejenuhan adalah menyadari perasaan jenuh dan belajar untuk mengakui kejenuhan yang kita rasakan. Seringkali kita berusaha untuk menyangkal kejenuhan dan berusaha untuk terus memforsir diri kita agar dapat menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan dalam rutinitas kita, meski tidak lagi dapat mencapai hasil yang maksimal.

2. Kenali diri dan ketahui kapasitas diri

Setelah menyadari kejenuhan, selanjutnya kita perlu mengenali diri sendiri. Apa saja kondisi yang membuat diri kita jenuh? Kita dapat sejenak berhenti dari aktivitas kita untuk merenung. Jangan lupa juga untuk berdoa dan ceritakan pergumulan kita kepada Tuhan.

Selain itu, kita juga harus mengetahui kapasitas diri kita dan memohon bimbingan Tuhan sebelum memutuskan untuk berkegiatan. Pekerjaan dan aktivitas yang bertumpuk dapat kita bagi menjadi pekerjaan prioritas, mendesak, dapat ditunda, atau pekerjaan yang dapat ditinggalkan. Mengenali kesibukan kita akan membantu kita mengenal Allah yang menganugerahkan setiap aktivitas yang kita miliki. Kita dapat menyerahkan diri dan hidup kita sepenuhnya ke tangan Tuhan karena kita adalah kepunyaan-Nya. Ketika kita membiarkan Allah mengambil alih hidup kita dan melakukan semuanya untuk Tuhan, niscaya kita dapat terlepas dari kejenuhan.

3. Mencari tahu kegiatan untuk keluar dari kejenuhan

Pertanyaan kedua untuk direnungkan adalah, kegiatan apa yang dapat membantu kita untuk mengatasi kejenuhan? Melakukan hobi bisa menjadi solusi untuk mengatasi rasa jenuh. Misalnya, ketika mulai bosan belajar atau mengerjakan tugas selama berjam-jam, selingi dengan bermain musik, berolahraga, menggambar, atau hobi lainnya.

Dalam konteks membaca Alkitab atau bersaat teduh, ada orang yang bisa mengatasi jenuh dengan bersaat teduh dari kitab tertentu (Amsal) selama sebulan, tetapi ada juga yang lebih suka membaca renungan dari kitab yang berbeda-beda setiap harinya. Ada juga yang lebih suka menonton video khotbah dibandingkan membaca buku, atau berselang-seling setiap harinya agar tidak jenuh.

Ketika merasa jenuh, ingatlah bahwa kita tidak pernah sendiri. Tuhan Yesus membuka tangan-Nya lebar-lebar dan menanti kita untuk mencurahkan isi hati kita pada-Nya. Dalam Matius 11:28, Ia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita. Saatnya datang pada-Nya dengan penuh kerendahan hati dan izinkan Tuhan memegang kendali hidup kita. Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Tuhan Membentukku Lewat Pekerjaan yang Tak Sesuai dengan Passionku

Ketika pekerjaanku tidak sesuai passionku, yang terpikir olehku adalah resign. Tapi, Tuhan membuatku bertahan di pekerjaan itu sampai waktu tia tahun lebih! Dan, tak kusangka, pekerjaan ini dipakai-Nya untuk membentukku.

Mazmur di Tengah Masa-masa Jenuhku

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Suatu malam, aku merasa tak mampu lagi membaca referensi untuk menyelesaikan tesisku. Aku merasa jenuh. Tuntutan dari profesorku membuatku stres dan tidak tahu harus berbuat apa. Teman sekamarku sedang pergi ke lab, dan aku tinggal sendirian di kamar padahal aku merasa kalau saat itu aku sangat butuh kehadiran seorang teman. Namun, di tengah perasaan jenuh dan stres itu, aku teringat akan kitab Mazmur.

Aku lalu teringat suatu nama, Kak Fenov. Beliau adalah pemimpin kelompok kecilku. Aku mencoba meneleponnya, tapi tak diangkat. Beberapa waktu berselang, dia meneleponku kembali. Aku sharing dan bercanda dengannya hingga sukacitaku pun mulai muncul kembali. Dan, di akhir obrolan itu, beliau memberikanku ucapan firman Tuhan dari Mazmur 121.

Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung;
dari manakah akan datang pertolonganku?

Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.

Ia takkan membiarkan kakimu goyah,
Penjagamu tidak akan terlelap.

Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.

TUHANlah Penjagamu, TUHANlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.

Matahari tidak akan menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.

TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.

TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.

Jika kita membuka Alkitab kita dan membaca kitab Mazmur, kita akan mengetahui bahwa kitab itu berisi puji-pujian dari para pemazmur kepada Tuhan. Tak cuma sebagai pujian, tiap untaian katanya juga adalah doa yang mengungkapkan perasaan mendalam hati manusia kepada Sang Pencipta. Pun bait demi baitnya merupakan ekspresi dari pemeliharaan Tuhan yang dialami oleh sang pemazmur.

“Nikmati setiap kata demi katanya,” ucap Kak Fenov. Aku pun mencoba menikmati mazmur tersebut dari berbagai versi Alkitab. Hingga akhirnya, beliau mengatakan, “Tugasmu saat ini buat mazmurmu dan sharingkan sama aku malam ini.”

“Ya ampun, tugas baru di tengah pikiran yang sedang mumet ini,” aku refleks merespon.

Namun, entah mengapa aku tergerak untuk mengikuti tantangan itu di tengah banyaknya bacaan yang harus kubaca. Menit demi menit pun berlalu. Aku merenung, mengingat kembali bagaimana perjalanan yang telah kulalui bersama Tuhan selama ini. Dan, aku benar-benar tersanjung akan pemeliharaan-Nya.

Aku mencoba memosisikan diriku seperti seorang pemazmur. Aku berdoa kepada-Nya, meminta Dia memampukanku untuk dapat bermazmur sama seperti pemazmur lakukan kepada-Nya. Dan, puji Tuhan, Ia menolongku untuk perlahan keluar dari jerat kejenuhan itu sampai akhirnya aku pun dimampukan-Nya untuk bermazmur, menaikkan puji-pujian dari dalam hatiku sendiri kepada-Nya.

Dan inilah mazmur yang ingin kubagikan kepadamu:

Masa jenuh menghampiriku. Aku tiba di semester di mana tesis adalah tanggung jawab di pagi, siang, dan malamku. Mau baca yang itu tidak bisa tanpa baca yang ini terlebih dahulu. Namun ketika ingin membaca yang ini, rasanya berat sekali untuk memulai.

Aku memandang teman labku. Ia begitu keren dan beruntung. Ia bisa ikut bersama profesorku ke negara yang sangat kuimpi-impikan tanpa ada hambatan sedikit pun.

Rasa iri hati dan jenuh pun mulai berikatan dalam diriku.

Siapakah yang bisa menghilangkan rasa itu? Siapakah dia yang sanggup “menamparku” untuk tidak membandingkan diriku dengan pencapaian orang lain? Siapakah dia yang mampu memberikan hikmat di tengah hari-hariku yang terasa datar? Siapakah pribadi yang bisa memberiku ketenangan di tengah deadline tesisku yang tinggal satu minggu?

Yesus! Ya, Yesus. Dialah segalanya bagiku. Dia sempurna, sangat sempurna membimbingku. Dialah yang bisa mengubah rasa berat itu menjadi sukacita. Dialah yang sanggup “menamparku” dari rasa iriku sebelum satu hari berlalu melalui firman-Nya di saat teduhku. Dia jugalah yang mampu memberikan hikmat dan ketenangan di saat aku bangun dari tidurku.

Terima kasih Tuhan, terima kasih untuk segalanya. Satu setengah tahun Engkau menyertaiku dengan sempurna. Masakan jiwaku lunglai hanya untuk melalui satu semester yang tersisa?

Berserah, memiliki relasi intim dengan-Mu, dan setia bersama orang-orang yang kesukaannya Taurat Engkau membuatku terus beriman kepada-Mu.

Mampukan aku Tuhan, tanpa-Mu aku tidak bisa apa-apa.

Itulah isi mazmurku. Sebuah mazmur sederhana yang meluap dari hatiku, yang menjadi pujian dan ucapan syukurku kepada Tuhan atas penyertan-Nya. Saat ini, mungkin ada di antara kamu yang memiliki beban yang serupa denganku, kamu mengalami masa jenuh dan penuh tekanan. Namun, kiranya firman Tuhan terus menjadi pengingat untukmu yang sedang menuntaskan studimu, ataupun segala pergumulan lain yang kamu alami.

Pergumulan, kesulitan, bahkan bahaya memang kadang tidak dapat kita hindari. Namun yang pasti Tuhan selalu memberikan jaminan bahwa Dia selalu menjadi pembimbing kita yang sempurna.

Aku ingin menantangmu sama seperti yang pemimpin kelompok kecilku lakukan. Buatlah mazmurmu, jiwai dan hidupilah. Mazmurkanlah itu kepada Tuhan setiap waktu dan bagikanlah juga kepada orang-orang lain, agar semakin banyak orang yang bermazmur kepada Tuhan dan dikuatkan-Nya.

*Tulisan ini dibuat saat aku sedang menempuh studiku di Taiwan pada 30 Oktober 2018.

Baca Juga:

Rabu Abu, Momen untuk Kita Berbalik dari Dosa

Sahabat, hari ini kita mengawali masa prapaskah dengan Rabu Abu. Terlepas dari gerejamu merayakannya atau tidak, ada satu pesan penting yang bisa kita terima dan lakukan dalam perjalanan kita menyambut anugerah keselamatan yang Tuhan telah berikan.

Saat Hidup Terasa Begitu Hambar

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta
Ilustrasi gambar oleh Galih Reza Suseno

Kecewa. Jenuh. Hambar.

Tiga kata itu adalah gambaran dari masa-masa kelam yang sempat kulalui di awal tahun 2017. Sebagai seorang sarjana fresh graduate yang baru diwisuda beberapa bulan sebelumnya, aku memimpikan hidup yang signifikan dan penuh petualangan. Aku punya mimpi besar ingin menjelajah ke banyak tempat dan menaklukkan tantangan baru. Namun, mimpi itu seolah sirna begitu saja ketika akhirnya aku mendapati diriku bekerja sebagai seorang editor yang notabene adalah pekerja kantoran yang pergi-pagi-pulang-petang setiap hari.

Sebagai seorang anak muda yang punya mimpi meletup-letup, pekerjaan ini membuat hidupku begitu hambar, biasa saja. Tidak ada peristiwa-peristiwa dramatis yang terjadi. Tidak spektakuler. Dan, kalau boleh jujur, terasa amat membosankan. Aku tidak melihat ada keistimewaan di balik memelototi layar komputer, berkutat dengan kata-kata, dan terus menerus setiap hari seperti ini.

Yang ada dalam benakku hanyalah weekend, weekend, dan weekend supaya aku bisa melarikan diri dari pekerjaan dan jalan-jalan menghibur diri. Bahkan, karena merasa begitu bosan dengan pekerjaan ini, aku sempat terpikir untuk dipecat saja oleh atasanku supaya nanti bisa kembali ke Yogyakarta dan mencari pekerjaan lain di sana.

Namun, ketika dihadapkan pada keadaan di mana aku nyaris “dipecat”, aku merasa hidupku mulai terguncang. Setelah sekitar 3 bulan bekerja, direkturku datang menemuiku. Mulanya pertemuan kami berlangsung hangat dan ceria hingga akhirnya dia bicara serius denganku. Katanya, kinerjaku belum memenuhi ekspektasinya. Sepenangkapanku, jika aku ingin tetap bekerja di sini, mulai dari saat itu aku diberi waktu 3 bulan untuk memperbaiki kinerja.

Jika sebelumnya aku sempat berpikir untuk dipecat, seharusnya kejadian hari itu membuatku senang. Tapi, malam harinya aku pulang dengan perasaan gugup. Aku berpikir keras, jika sampai aku dipecat, mau kerja apa? Lagipula pengalamanku pun belum banyak. Malam itu aku merasa ada yang salah dengan diriku dan aku berusaha mencari tahu apa salahnya.

Aku menangis dan berdoa. “Tuhan, aku gak tahu lagi mau gimana. Aku jenuh. Aku stres. Aku gak suka dengan kerjaanku. Tapi aku juga gak mau kalau sampai kehilangan pekerjaan ini. Tolong aku.”

Sebuah teguran keras dari Tuhan

Suatu ketika, saat aku sedang melakukan perjalanan di atas kereta ekonomi, aku membuka catatan harianku pada tahun 2015. Di halaman keduanya, terdapat sebuah artikel dari Arie Saptaji yang berjudul “Di Balik yang Biasa-biasa Saja”. Dalam salah satu paragrafnya, dia mengutip sebuah tulisan dari Mark Galli yang berjudul “Insignificant is Beautiful”. Isinya adalah sebagai berikut:

“Pencarian akan signifikansi, khususnya bila berkaitan dengan mengubah dunia ini, dapat membutakan kita terhadap aktivitas keseharian, tugas remeh, dan pekerjaan kotor yang merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup dalam pemuridan.”

Apa yang kubaca begitu menamparku. Aku mendambakan kehidupan yang signifikan di mana aku bisa melakukan hal-hal luar biasa dan mewujudkan mimpi-mimpiku. Namun, tanpa kusadari, obsesi berlebihan pada keinginan itulah yang membuatku kehilangan makna dari setiap aktivitas rutin yang kulakukan. Aku menganggap pekerjaanku terlalu remeh. Keinginan untuk mewujudkan hidup yang luar biasa tanpa disertai hikmat telah membuatku buta akan hal-hal yang seharusnya kulakukan sebagai tanggung jawabku.

Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menuliskan demikian: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31). Ayat ini juga menamparku dengan keras. Paulus tidak menyebutkan bahwa untuk memuliakan Allah kita harus berkhotbah di hadapan ribuan jemaat, bekerja sebagai direktur, bertulalang ke tempat-tempat jauh, atau memiliki ribuan followers di Instagram. Paulus hanya menuliskan jika kita makan, atau minum, atau lainnya, lakukan semuanya untuk kemuliaan Allah! Artinya, segala aktivitas sederhana dan remeh-temeh yang kita lakukan pun sejatinya bisa dipakai-Nya sebagai sarana untuk memuliakan-Nya.

Akhirnya, aku menyadari bahwa di sinilah letak kesalahan yang kupelihara selama beberapa bulan pertama. Aku lupa untuk memuliakan Allah di balik pekerjaan yang kulakukan. Selama ini aku hanya berfokus pada diriku sendiri. Aku berfokus untuk mengejar mimpi, tapi aku lupa bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang memiliki kuasa untuk mewujudkan mimpi itu atau tidak.

Jika makan dan minum saja bisa digunakan untuk memuliakan Allah, maka seharusnya pekerjaanku memelototi layar komputer pun bisa dipakai untuk memuliakan-Nya. Ketika aku melakukan pekerjaanku untuk Tuhan, itu berarti aku menjadikan Tuhan sebagai saksi dan penonton utama dari setiap pekerjaanku. Aku percaya bahwa ketika tulisan-tulisan yang kuedit berhasil ditayangkan dan memberkati banyak orang, di situlah Tuhan menepuk pundakku dan berkata, “Good job.” Atau, ketika aku merasa lelah dan buntu ide, di situ jugalah Tuhan merangkulku dan berkata, “Ayo semangat, kamu pasti bisa!

Memaknai hidup dari perspektif yang baru

Sekarang, sudah setahun aku berkutat dengan pekerjaan di balik layar komputer. Tuhan telah mengubahku memandang pekerjaan yang pada mulanya terasa hambar buatku menjadi sebuah pekerjaan yang banyak rasa. Dalam bekerja dan kehidupan keseharianku, rasa jenuh memang tidak terhindarkan. Namun, alih-alih kecewa, sedih, dan terpuruk, aku mengalihkan rasa jenuh itu dengan karya yang lain. Jika dahulu aku menjadikan bepergian sebagai pelarian, kini aku menjadikannya sebagai kesempatan untuk berkarya dan mengembangkan kapasitasku sebagai seorang editor. Dari tiap-tiap perjalananku, aku menuliskannya dalam sebuah blog perjalanan yang kukelola sendiri.

Ada sebuah kutipan bijak dari Bunda Teresa yang selalu kuingat.

“Not all of us can do great things. But we can do small things with great love”—Tidak semua dari kita bisa melakukan hal-hal besar. Tapi, kita bisa melakukan hal kecil dengan kasih yang besar.

Pada intinya, hambar atau tidak kehidupan ini tergantung dari bagaimana cara kita memaknainya. Jika kita memaknai hidup ini hanya sekadar rutinitas menuju akhir hayat, maka kita takkan mampu mengecap banyak rasa darinya. Akan tetapi, ketika kita menyadari bahwa tiap-tiap aktivitas yang kita lakukan adalah untuk kemuliaan-Nya, maka tak ada lagi hal-hal yang terkesan terlalu biasa untuk kita lakukan.

Ketika kita setia dengan hal-hal kecil atau remeh-temeh yang Tuhan berikan sebagai bagian dari tanggung jawab kita, percayalah bahwa Dia akan memberikan kepada kita tanggung jawab yang lebih besar.

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Baca Juga:

7 Doa untuk Korban Bencana Alam

Teruntuk korban bencana alam, kami mengingat kalian, dan menyebut nama kalian di dalam doa kami. Mari kita berdoa memohon tujuh hal berikut ini kepada Tuhan untuk mereka yang menjadi korban bencana alam.

Ketika Pekerjaan yang Kudapat Ternyata Tidak Sesuai Harapanku

ketika-pekerjaan-yang-kudapat-ternyatan-tidak-sesuai-harapanku

Oleh Katarina Tathya Ratri, Jakarta

Bulan Maret 2017 adalah bulan yang begitu menguras energiku. Sudah lima bulan berlalu sejak aku pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai Area Manager di sebuah perusahaan swasta bidang makanan dan minuman, tapi aku masih belum juga merasa nyaman dengan rutinitas yang kulakukan. Setiap hari aku bertugas untuk mengontrol beberapa gerai dan memastikan bahwa kualitas, pelayanan, kebersihan, dan penjualan yang dilakukan oleh karyawan di sana itu memenuhi standar. Apabila mereka tidak melakukan pekerjaannya dengan tepat, aku harus menegur dan memberikan instruksi kepada mereka.

Dulu aku berekspektasi bahwa aku akan mudah beradaptasi dengan orang-orang baru di sekelilingku, tapi kenyataan justru berbicara sebaliknya. Iklim kerja yang tidak bersahabat seringkali membuatku menangis. Jadwal kerjaku tidak jelas, kadang aku harus masuk saat hari libur dan bekerja dari pagi hingga larut malam. Sulit bagiku untuk menegur karyawan-karyawan yang berbuat salah karena aku baru bergabung dengan perusahaan ini selama lima bulan, sedangkan mereka yang menjadi bawahanku ternyata sudah bekerja jauh lebih lama daripada aku. Selain itu ada juga yang usianya lebih tua dariku. Terkadang ketika ditegur, mereka malah menjawabku dengan kalimat-kalimat yang tidak sopan.

Aku menceritakan beban pekerjaan ini kepada teman-teman dekat dan pacarku. Mereka memberiku semangat dan kata-kata motivasi, tapi aku rasa itu tidak berpengaruh banyak buatku. Akhirnya, berbagai ide nakal pun aku lakukan untuk sebisa mungkin menghindar dari pekerjaan ini, salah satunya adalah dengan bolos kerja. Saat pertama kali aku bolos bekerja, jantungku berdebar keras. Aku takut karena aku tahu perbuatan ini adalah salah, tapi aku berusaha mengabaikan rasa bersalah itu dan memilih untuk bolos saja.

Di suatu hari Minggu, aku pergi ke gereja dan khotbah hari itu membahas kisah tentang Yosua ketika ia ditunjuk sebagai pengganti Musa. Salah satu ayat yang disebutkan oleh pendeta di gerejaku hari itu diambil dari Ulangan 31:6, “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.” Saat mendengar ayat itu, aku teringat akan pergumulan dalam pekerjaan yang sedang kuhadapi. Sesungguhnya ayat itu menguatkanku dan aku berjanji untuk menghadapi pergumulanku dengan semangat.

Tapi, ketika tiba di hari Senin dan menghadapi realita kembali, seketika itu juga nyaliku menciut dan aku merasa diriku kalah lagi. Lagi-lagi aku berusaha mencari-cari cara dan kesempatan untuk mangkir dari kewajibanku. Aku berdoa, memohon ampun kepada Tuhan, kemudian menyerah lagi. Begitu terus terjadi.

Ketika Tuhan menegurku

Hingga suatu malam aku jatuh sakit, badanku demam tinggi dan aku merasa begitu lemas. Aku menelepon pacarku yang berada di Bandung. Ketika dia mengetahui kalau aku terbaring sakit, dia memutuskan untuk segera berangkat ke Jakarta keesokan harinya dan membawaku ke sebuah klinik. Setelah diperiksa, dokter di klinik itu mengatakan bahwa sakit yang aku alami ini bisa jadi karena aku terlalu stress dengan tekanan dari lingkungan kerjaku. Aku mengangguk seakan setuju dengan pendapat sang dokter.

Setelah keadaanku berangsur pulih, aku dan pacarku menyimpulkan bahwa mungkin kami perlu refreshing sejenak untuk melepaskan diri dari kepenatan. Dalam perjalanan kami berkeliling kota, di atas bus TransJakarta ternyata ponsel pacarku dicopet dan kami baru menyadari itu sesaat setelah turun dari bus. Saat itu aku merasa bersalah, sedih, dan marah bercampur jadi satu hingga aku menangis. Anehnya dia yang sedang kehilangan ponsel itu justru tenang dan bisa tersenyum. Kemudian dia berkata kalau dia percaya bahwa segala sesuatu itu akan mendatangkan kebaikan sekalipun terlihat buruk. Mendengar perkataannya itu, aku menjadi malu sendiri. Hari itu aku menyadari bahwa selama ini ternyata aku belum sepenuhnya berserah pada rencana Tuhan.

Sejak saat itu, aku berusaha mengingat kembali apa yang dulu menjadi motivasiku untuk datang dan bekerja di tempat ini, yaitu untuk mengasah kemampuanku menjadi seorang pemimpin. Aku tahu sejak awal bahwa pekerjaan ini tidak mudah, menjadi pemimpin di tengah orang-orang yang secara usia dan pengalaman jauh di atasku. Namun, pekerjaan yang tidak mudah ini bukan berarti bahwa aku tidak mampu mengatasinya. Aku teringat akan sebuah ayat yang selalu kujadikan pedoman dalam bekerja, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakuku, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu” (1 Timotius 4:12).

Firman itu memantapkan kembali langkahku untuk berani mengambil risiko dalam pekerjaan ini. Aku tahu bahwa lewat pekerjaan ini Tuhan sedang menempa aku dan membentuk aku sesuai dengan kehendak-Nya. Aku diizinkan untuk merasa sedihnya dari tidak dihargai ketika instruksiku diabaikan, susahnya mengatur banyak orang dengan pengalamanku yang minim, hingga lelahnya memenuhi berbagai tuntutan dari atasanku yang di luar kapasitasku sebelumnya.

Jika melihat buruknya responku terhadap tantangan yang aku alami, bagiku sudah selayaknya aku mendapat hukuman atau bahkan dipecat. Tapi, sebaliknya, Tuhan tidak meninggalkanku saat aku terjatuh dan berbuat salah. Tuhan mengangkatku kembali dan memberiku kekuatan yang baru. Saat ini Tuhan mengizinkan aku untuk melewati fase yang lebih tinggi lagi dalam pekerjaan yang Dia sedang percayakan kepadaku. Meskipun tidak mudah untuk dilalui, namun aku berkomitmen untuk terus belajar berserah kepada-Nya.

Sekarang, setiap kali sebelum aku memulai bekerja, aku selalu menyempatkan diri untuk masuk hadirat Tuhan lewat berdoa. Jika dulu aku berdoa supaya bisa terhindar dari tantangan, sekarang aku berdoa supaya Tuhan boleh menguatkanku mempersiapkan mental dan rohaniku supaya aku boleh tetap tersenyum dan bersukacita sekalipun aku mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari karyawan-karyawan di bawahku.

Baca Juga:

Ketika Peristiwa Nyaris Celaka Mengubahkan Pandanganku Tentang Kehidupan

Pernahkah terpikir olehmu kapan kamu akan menghembuskan nafasmu yang terakhir? Beberapa minggu yang lalu aku mengalami peristiwa yang nyaris saja merenggut nyawaku. Peristiwa itulah yang pada akhirnya mengubah cara pandangku tentang kehidupan yang aku jalani sekarang.