Posts

Pentingnya Jujur pada Diri Sendiri

Oleh Still Ricardo Peea

Bulan Oktober lalu diperingati sebagai bulan kesadaran kesehatan mental sedunia. Di bulan itu pula, ada satu kejadian yang menegur dan mengingatkanku lagi tentang kesehatan mental di tengah pelayananku di pedalaman Papua.

Ada seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sebelum meninggal, dia mengisi celananya dengan uang dari hasil kerjanya. Menurut sahabat terdekatnya, almarhumah sering dirundung oleh beberapa tetangga dan kepada sahabatnya itu dia berkata bahwa dia akan pergi ke kampung halamannya. Namun, yang terjadi malah dia pergi untuk selamanya. Kakak perawat yang bertugas bersamaku juga berkata kalau tahun sebelumnya juga ada warga yang bunuh diri dengan cara yang sama.

Dua kejadian itu menggerakkanku untuk mencari tahu lebih jauh data-data terkait kesehatan mental. Namun, kusadari bahwa tanpa perlu menjelajahi penelitian dari seluruh dunia, isu kesehatan mental adalah sesuatu yang terus kita gumulkan dalam diri. Aku pun teringat akan kitab Mazmur, kitab yang kalau kata teolog John Calvin, adalah “anatomi dari keseluruhan bagian jiwa.”

Kadang aku suka membukanya dan membaca ayat-ayat yang kutemukan secara acak entah sebelum ke sekolah atau kuliah, saat bosan atau sedang ingin saja. Selalu saja ada bagian yang bisa kunyanyikan dalam hati atau renungkan tatkala aku merasa galau, gelisah, overthinking, cemas, insecure, bertanya-tanya, suka atau duka, meratap atau mengeluh, hari berat, hari biasa, saat Tuhan terasa jauh atau dekat. Mazmur menjadi curahan ekspresi jiwa para pemazmur dalam berbagai situasi yang terjadi di masa mereka, bagaimana mereka bergumul dan berproses dengan jiwanya dan apa yang akhirnya menjadi keputusan mereka.

Mungkin Mazmur 42 salah satu yang cukup mainstream buat kita karena sering dinyanyikan lagunya. Bagian awalnya tertulis, “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Namun, muncul pertanyaan buatku: apakah yang bisa kurenungkan hanya hanya sebatas analogi diriku seperti rusa yang haus? Atau, seperti tanah gersang yang menanti air, apakah itu juga adalah kerinduan terbesar hatiku?

Di tengah banyaknya perspektif tentang kesehatan mental, seperti “insecure dan anxiety itu perlu biar kita stayin alive” dan lain sebagainya. Mazmur ini mengajakku untuk merenungkan kembali, mencoba memahami dan bertanya pada jiwaku, diriku sendiri apa yang menjadi kegelisahanku. Ya, Mazmur ini terasa seperti mengajakku untuk berseru, bersukacita, menangis, meratap atau berkeluh kesah, berinteraksi dan menegur diri sendiri, jujur akan kelemahan diri sendiri dan pada akhirnya berharap pada Pencipta kita yang paham betul ketidaksempurnaan kita. Dengan keadilan dan kasih-Nya yang sempurna Ia memulihkan kita.

Saat ini, banyak hal yang bisa jadi pemicu kegelisahan diri, entah saat merasa buntu atau tersesat, banyaknya pilihan yang ditawarkan dan dipamerkan dunia lewat media sosial ataupun lingkungan kita. Kadang hal-hal tersebut terasa seperti mengolok-ngolok kekurangan diri dan menuntunku bertanya apakah Allah benar-benar ada dan mencukupiku? Apakah kelegaan dan kepastian yang selama ini kudambakan benar-benar nyata atau hanya fiktif? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Dan berbagai pertanyaan yang menyerang diri sendiri setiap saat membuatku tidak baik-baik saja dan doa terasa tak berguna.

Mazmur 42 mengajakku bertanya dan mencoba jujur dengan diri sendiri. Aku tidak perlu ragu untuk bertanya dan jujur tentang apa yang aku rasakan meski kadang aku juga bingung dengan perasaan yang terus saja menggelisahkan diri. Setelah bercerita ke orang yang dipercaya, hasilnya kadang membuatku lega, tapi kadang juga tidak. Orang yang mendengarkanku pun kadang menanggapi tidak sesuai harapanku. Selain itu aku pun merasa lelah dengan beragam peristiwa di seluruh dunia seperti, serangan di Ukraina, bayi-bayi yang harus dievakuasi, korban di sana sini. Apakah Tuhan menutup mata dengan hal ini? Dan segudang pertanyaan lainnya.

Aku percaya bahwa Roh Kudus memampukanku berseru, mengeluh dan berharap dengan Tuhan, jujur akan kelemahan dan natur berdosaku. Roh Kudus juga menyadarkan dan mengingatkanku akan kesetiaan Tuhan yang terus menuntunku dalam segala masa, seperti dalam masa pelayanan sebagai perawat Covid, di mana aku merasa lelah karena berhadapan dengan kematian yang terasa sungguh dekat dengan ambang pintu. Baru semalam kudoakan pasienku, besoknya malah sudah tidak bernyawa. Namun, Tuhanlah yang memampukanku melayani sampai lulus. Dalam masa penantian untuk ke tempat penempatanku sekarang hingga aku positif COVID, Tuhan selalu menyanggupkanku.

Daud dalam seruannya di Mazmur 51 dan Tuhan Yesus dalam kisahnya di Matius 26:36-46, jadi contoh dari Alkitab yang menegurku untuk jujur akan perasaan dan berserah lebih lagi pada Tuhan. Tuhan Yesus mengajakku untuk datang pada-Nya dengan segala beban yang ada padaku (Matius 11:25-30), untuk belajar dari pada-Nya sang firman dan air hidup yang mampu melegakan kita (Mazmur 94:18-19). Dia mengajak kita untuk memikul beban yang Dia percayakan, belajar dan berpaut pada-Nya. Bukan kepada dunia yang hanya menggelisahkan dan memberikan kepuasan palsu.

Ke mana dan sejauh mana pikiran dan perasaanku mengembara akan menentukan sejauh mana aku akan berharap dan bertahan, atau keputusasaan akan melemahkanku.

Aku belajar untuk selalu menyanyikan dan mengingatkan jiwaku sampai aku tertegur dan sadar. Ingat dan hitunglah terus kasih setia Tuhan yang sudah kita alami. Tidak mengapa bila kita lemah, tak sempurna dan lelah, bawa semua itu pada-Nya dan jangan pikul apa yang tidak dipercayakan pada kita. Isi pikiran dan jiwa kita dengan memikirkan apa yang baik sebagaimana yang diingatkan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Filipi 4:8-9).

Aku menantang setiap kita untuk lakukan 3 hal berikut ini dalam 7 hari:

  1. Buatlah satu kertas atau catatan untuk menuliskan pertanyaan pada diri sendiri dan Tuhan akan segala keresahan, kegelisahan, kebimbangan atau perasaan apapun yang dirasakan di hari itu
  2. Satu hari tulislah satu ayat atau lebih yang dirasa bentuk kejujuran pada diri sendiri dan Tuhan, mengingatkan atau menegur atau mengajak kita untuk berharap dan berbalik sama Tuhan kita. Buatlah dalam satu kertas.
  3. Di 3 hari dalam 7 hari itu, lihatlah ke langit dan sekeliling kita sebentar, lalu lihat ke bawah, ke tangan dan kaki kita, lalu ingatkan diri sendiri “Hey, (nama), sejauh inilah Tuhan sudah menuntunmu melampaui segala suka dan dukamu, sakit dan senangmu. Mengapa tertekan dan resah? Ayo, (nama), berharap dan bersyukur pada penolong dan Bapa kita!

    Kiranya Tuhan memberkati dan senantiasa memelihara jiwa kita, untuk terus berpegang dan berharap pada-Nya.

Menjadi Produktif Tidak Berarti Mengabaikan Waktu-waktu Beristirahat

Oleh Sarah Tso
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Rest Without Feeling Guilty

Teman-temanku mengenalku sebagai seorang yang sangat produktif. Aku tumbuh besar di keluarga yang selalu mengingatkan anggotanya untuk “jangan cuma diam saja.” Alhasil, beristirahat menjadi aktivitas yang tak kusuka karena kuanggap sebagai “nggak ngapa-ngapain”. Dalam kamus hidupku, setiap hari pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan.

Terlepas dari budaya keluarga yang menghargai produktivitas setiap waktu, hal lain yang membuatku enggan menikmati momen-momen jeda atau istirahat adalah media sosial. Kita melihat teman kita memposting hobi atau prestasi (naik jabatan, menikah, punya anak), dan kita lantas membandingkan diri kita dengan mereka. Sebelum kita sadar, kita sudah terjebak dalam perangkap membanding-bandingkan.

Kita juga sulit mengendalikan diri kita sendiri. Kita merasa lebih berpengalaman dan bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik. Akhirnya, alih-alih mendelegasikan tanggung jawab ke orang lain, kita malah menanggungnya sendirian.

Ketika hari yang kita jalani terasa kurang produktif menurut pandangan kita, kita pun merasa bersalah dan berpikir: “harusnya aku bisa melakukan lebih”, “duh, aku gak fokus lagi”. Belum cukup sampai di situ, kita lalu khawatir akan hari esok: “Mending aku kelarin semua sekarang, atau besok malah numpuk.” Jadi, bagaimana kita bisa menikmati momen istirahat yang tenang tanpa khawatir?

Allah menghendaki kita untuk beristirahat, dan pemahaman ini membawaku merenung tentang Yesus, tentang bagaimana Dia menjalani hidup-Nya semasa di bumi. Juruselamat kita tahu batasan-batasan dalam tubuh manusia. Dia berfokus pada misi-Nya, tapi Dia tahu Siapa yang sungguh memegang kendali. Itulah mengapa Yesus mengerti bagaimana cara beristirahat.

Inilah 3 poin yang kupelajari:

1. Fokuslah pada misi utama hidup dan karuniamu supaya kamu tidak mengiyakan segala sesuatu

Ketika Yesus melayani di bumi, Dia tidak memaksa diri-Nya untuk menyembuhkan semua orang sakit dan memberitakan Injil ke semua orang yang ada di wilayah-Nya. Yang Yesus lakukan adalah memperlengkapi para murid dan menunjukkan tanda-tanda mukjizat untuk menegaskan kebenaran Injil. Yesus tahu bagaimana membangun batasan dan mempercayakan Allah untuk meneruskan misi-Nya melalui para murid yang dimampukan oleh Roh Kudus (Kis 1:8).

Belajar dari teladan Yesus untuk menemukan apa misi Tuhan buat hidupku telah membebaskanku dari godaan untuk melakukan segala sesuatu sendirian.

Belakangan ini aku mengenali karunia rohani dan panggilan hidupku melalui sebuah kelas pelatihan yang kuambil (tentang The Significant Woman). Karuniaku adalah memberi dorongan semangat, mentoring, mengajar, dan menulis. Semua ini menolongku untuk sadar bahwa misi utamaku adalah untuk membimbing orang-orang dewasa muda dan menolong mereka menemukan tujuan hidup dalam Kristus.

Ketika misi utama itu tampak jelas bagiku, aku mulai berfokus dalam menulis dan mentoring. Hal-hal lain yang tak selaras dapat kukesampingkan lebih dulu. Saat aku mengerti bagaimana Tuhan membentukku untuk melayani-Nya, aku bisa dengan yakin berkata “tidak” tanpa merasa bersalah pada hal-hal yang memang tak bisa kulakukan. Hasilnya, aku punya waktu-waktu berharga untuk mengerjakan tugas kerajaan-Nya dan menikmati waktu istirahatku.

Kalau kamu belum menemukan apa yang jadi karunia rohani dan misi hidupmu, aku sangat mendorongmu untuk mencarinya dengan bimbingan seorang mentor atau kelompok komselmu.

2. Temukan aktivitas yang menolongmu recharge secara rohani dan fisik

Yesus tahu cara terbaik untuk menghindari rasa kewalahan dan beristirahat dengan benar. Caranya adalah dengan terhubung dan berserah kepada Allah secara teratur (Lukas 5:16). Yesus secara intensional mencari tempat-tempat tenang untuk berdoa dan meluangkan waktu dengan Bapa Surgawi. Dia juga mendorong para murid untuk melakukan yang sama (Markus 6:31).

Aku merasa recharge ketika aku merenungkan kebaikan Tuhan dan melihat ciptaan-Nya dari dekat. Aku suka bertemu para sahabat dan mengobrol deep-talk, berdoa bersama sebelum makan, jalan-jalan di alam, mempelajari lagu baru, atau menulis puisi tentang ciptaan-Nya. Sebagai seorang yang melakukan perencanaan, aku menjadwalkan waktu-waktu itu semua di kalenderku. Kalau tidak terjadwal, maka tidak akan kesampaian.

Beristirahat tidak selalu tentang tidak melakukan apa pun. Beristirahat bisa berupa memprioritaskan apa yang akan menolongmu untuk memulihkan kembali jiwa dan ragamu.

3. Ganti kritik atas dirimu sendiri dengan menerima karya-Nya di kayu salib

Dalam tahun-tahunku tumbuh besar, aku suka mengkritik. Aku menaruh ekspektasi tinggi buat diriku sendiri karena aku memegang prinsip “selalu ada ruang untuk meningkatkan kualitas diri” dan aku bisa melakukan yang lebih baik. Pelatih basketku juga pernah bilang, kalau aku tidak kerja keras hari ini, maka orang lainlah yang akan mendapat kesempatan.

Tanpa kusadari, pemikiran ini kuterapkan dalam caraku beriman. Aku melihat diriku dan orang lain sebagai sosok yang kurang berharga di mata Tuhan, dan Tuhan menjadi sosok yang susah disenangkan.

Barulah saat aku ikut konferensi Father Heart, cara pandangku berubah dan aku mengerti apa artinya menjadi anak Allah (Yohanes 1:12; 1 Yohanes 3:1). Allah bergirang karena aku (Zefanya 3:17), Dia menyediakan apa yang tak pernah kupikirkan (1 Korintus 2:9). Semuanya diberikan karena karya Kristus di kayu salib.

Kita cenderung mengukur diri kita dengan standar orang lain atau standar kita sendiri yang kita tetapkan lebih tinggi, lalu merasa bersalah ketika kita tidak sanggup mencapainya.

Untuk menjaga hati kita dari jebakan membanding-bandingkan diri yang tiada akhirnya, kita harus ingat bahwa yang paling penting dalam sejarah telah dituntaskan-Nya (Yohanes 19:30, Ibrani 9:12). Kita tidak perlu membuktikan diri berharga melalui kerja keras kita karena Allah telah membuat kita berharga lebih dulu (Roma 8:28-39). Kita dapat bersandar pada pekerjaan-Nya yang telah tuntas dan melayani dalam kasih setia-Nya yang berlimpah.

Artinya, kita dapat berdoa memohon hikmat untuk mengetahui kapan harus bersusah payah dan menuntaskan pekerjaan dan kapan harus membangun batasan serta mempercayakan pada Allah pekerjaan-pekerjaan kita yang belum dapat kita selesaikan. Dalam kedua situasi itu, kita mengakui Yesus adalah Tuan (Kolose 3:23) sehingga apa pun yang kita lakukan bukanlah supaya kita diterima atau menyenangkan orang lain, tapi sebagai persembahan bagi Tuan yang kita layani.

Teruntuk saudara dan saudariku, kalau kamu hari ini ingin beristirahat tapi dilanda rasa bersalah, kuingatkan kamu akan janji dari Yesaya 26:3, “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya”.Fokuskan pikiranmu pada Tuhan hari ini, percaya sepenuhnya, supaya kamu mengalami damai dan momen istirahat yang sejati ketika kamu tahu bahwa Dia sungguh peduli.

Tips Membawa Kembali SUKACITA di Rutinitas Sehari-hari

Kita sering berpikir kalau hidup yang bahagia itu selalu dipenuhi aktivitas yang asyik sepanjang waktu. Di media sosial kita melihat seseorang bersenang-senang dengan pasangannya, punya kantor yang asyik, atau jalan-jalan di kala senja bersama anjing kesayangan.

Kita memang tahu kalau media sosial tidak murni mencerminkan kenyataan, tapi tetap saja kita merasa minder dan membanding-bandingkan diri kita.

Ketika hidup tidak melulu menyajikan momen bahagia, ada hal-hal yang perlu kita tanamkan di pikiran supaya hidup kita lebih dipenuhi sukacita.

1. Ketahuilah bahwa sukacita itu lebih dari sekadar perasaan senang

Sukacita itu bukan cuma tentang momen penuh euforia, atau sesuatu yang baru atau senang sepanjang waktu. Bukan pula tentang berpura-pura bahagia padahal kamu sendiri sedang sedih.

Pemazmur menulis bahwa sukacita ditemukan dalam kehadiran Allah, dan di tangan kanan-Nya ada nikmat senantiasa (Mazmur 16:11). Jadi, ketika kita sungguh memikirkannya, sukacita ditemukan hanya dalam Allah. Kita ada di dalam-Nya dan diselamatkan dalam Yesus, tak ada yang dapat mengubah fakta itu. Inilah sukacita yang sejati ketika kita tahu apa yang jadi kebenarannya, sukacita yang tak ditentukan oleh kerapuhan atau kekecewaan.

Ketika kita dapat benar-benar memahami bagaimana sukacita datang dari Tuhan, maka perasaan kita tidak perlu menghalangi kita untuk mengetahui sukacita sejati.

2. Izinkanlah dirimu merasa bosan sesekali—itu bukanlah hal yang selalu buruk

Kadang hari-hari yang kita lalui terasa monoton, dan kita berpikir, “Oh, gak bener ini. Pasti ada yang salah di hidupku”. Kebanyakan dari kita ketika tiba di masa-masa jenuh, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Kejenuhan bisa jadi kesempatan untuk beristirahat dan mengenali hal-hal kecil di sekitar kita–bunga yang mekar di taman belakang rumah, sekelompok bebek yang berenang di kolam, atau memandang takjub pada indahnya langit malam.

Di lain waktu, kejenuhan juga bisa jadi semacam kompas yang mengarahkan kita pada arti dan tujuan, serta mengingatkan kita untuk memikirkan ulang hal-hal yang telah (atau tidak) kita lakukan.

Tapi waspadalah, kejenuhan bisa juga menjebak kita untuk berlama-lama nonton Netflix atau sekadar bermain medsos. Mintalah Tuhan untuk menolong kita berproses dan menyelidiki kejenuhan ini. Apakah kita kurang bersyukur, atau ini kesempatan buat berkembang?

3. Coba sesuatu yang baru atau berbeda

Selain kerja, makan, dan tidur yang terus berulang kita bisa menjadikan hari-hari kita lebih berwarna dengan melakukan hal baru. Misalnya: kita ikut kelas mengajar, mengajak teman atau tetangga pergi makan, atau kalau kamu menikmati waktu-waktu sendiri, kamu bisa makan malam sendirian di restoran yang enak.

Mendorong diri kita untuk keluar dari zona nyaman dapat menolong kita memiliki perspektif yang lebih luas dan menyadari kalau ada banyak sekali hal yang bisa kita jelajahi. Kita bisa berinteraksi dengan orang dengan berbagai ide, melihat bagaimana mereka menghidupi hidup, dan mengembangkan skill baru.

Yang paling penting, kita tahu bahwa Tuhan ingin kita bertumbuh dan dewasa dalam karakter dan iman. Pertumbuhan itu baru bisa terjadi jika kita tidak anti dengan perubahan.

4. Bangun relasi yang berarti, yang gak cuma sekadar di media sosial

Kita sering terjebak dalam pekerjaan dan rutinitas yang lama-lama membuat kita lupa akan betapa berharganya relasi dengan teman dan keluarga.

Kita bisa mulai membangun kembali relasi dengan teman-teman lama, tapi ini bukan berarti kita tiba-tiba mengirimi chat ke semua kontak kita. Pilih dengan cermat siapa teman yang ingin kita jumpai dan kenal lebih dalam lagi. Kita bisa mengobrol lewat chat, lalu merencanakan agenda bertemu bersama entah untuk olahraga, atau makan bareng.

Pertemanan yang awet tidak dibangun hanya dengan chat yang panjang, jadi pastikan kamu tetap berinteraksi setelah chat kalian usai. Ayo bangun relasi yang berarti yang menguatkan satu sama lain (1 Tesalonika 5:11).

5. Pikirkanlah segala kebaikan yang Tuhan telah lakukan buatmu

Mungkin sekarang kita tidak sedang bersukacita. Kita lelah, khawatir, dan merasa sangat sulit untuk tersenyum lagi. Tuhan pun serasa jauh untuk menyelamatkan kita.

Namun, satu cara yang bisa menolong membawa sukacita kita kembali adalah dengan mengingat seberapa jauh Tuhan telah membawa kita. Jika kita merenungkan bagaimana Tuhan menolong kita saat kita putus dari pacar, gagal di ujian, dan sebagainya, kita mengingat kembali bahwa Dia selalu beserta kita dalam masa-masa yang tak pasti.

Mengingat akan kesetiaan-Nya akan membawa kita pada rasa syukur, yang datang berdampingan dengan sukacita (Mazmur 95:1-2, 1 Tesalonika 5:18). Allah yang dahulu menolong kita adalah Allah yang sama, yang hadir beserta kita.

Terakhir, sukacita sejati hanya ditemukan dalam Tuhan yang memenuhi kita lebih dari kelimpahan gandum dan anggur (Mazmur 4:7).

Adalah baik untuk selalu menantang diri kita bertumbuh. Temukan hobi baru, tumbuhkan relasi yang lebih erat dengan temanmu, atau sesekali belajarlah menerima rasa bosan dan jenuh agar kita mengingat lagi bahwa janji Yesus itu nyata. Sukacita sejati hadir ketika kita hidup selaras dalam kasih-Nya (Yohanes 15:10-11).

3 Teladan Produktivitas dari Tokoh Alkitab

Oleh Philip Roa
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Productivity Tips From 3 Bible Characters

Dunia digital membuat pekerjaan kita seolah tiada habisnya. Artikel dari American Psychological Association tahun 2022 mencatat statistik yang menyoroti tingkat kelelahan dan stres yang tinggi di semua industri.

Dari 1.500 orang yang disurvey, hasilnya:

  • Sekitar 19% mencatat kurangnya usaha dalam pekerjaan mereka.
  • Sekitar 26% merasa kurang berenergi.
  • Hampir 40% merasa kelelahan kognitif (lelah berpikir).
  • Lebih dari 30% berjuang dalam kelelahan emosional.
  • 44% merasa lelah secara fisik–meningkat hampir 40% dibandingkan tahun 2019.

Produktivitas, kelelahan, dan kejenuhan menjadi kata-kata yang tak asing dalam perbendaharaan bahasa di otak kita. Aku pun berpikir, inilah saatnya untuk menilai cara dan prinsip kerja kita berdasarkan kebenaran Alkitab. Kutemukan tiga tokoh yang menyelesaikan tugasnya sembari tetap mengupayakan kewarasan di dalam proses kerja yang berat.

1. Musa: Belajar untuk mendelegasikan tugas/meminta pertolongan

Kalau kamu merasa habis tenaga setelah ikut Zoom berjam-jam (meskipun pesertanya kurang dari 10 orang), coba bayangkan bagaimana Musa setiap hari berbicara kepada ribuan orang. Konteksnya, saat itu populasi bangsa Israel diperkirakan mencapai 2 juta jiwa, dan Musa menangani semua persilisihan mereka sendirian.

Mertua Musa, Yitro, melihat bahwa Musa pasti akan kewalahan (ayat 17-18), maka dia mengusulkan agar Musa memilih para pemimpin yang kepada mereka Musa dapat mendelegasikan tugas-tugasnya. Tujuan utamanya agar Musa dapat fokus pada perannya sebagai nabi dan pemimpin Israel.

Aku mengelola kelompok PA kecil yang terdiri dari delapan orang dan menurutku nasihat Yitro amat menolong. Dulu aku selalu memimpin setiap sesi dan mengoordinasikan segalanya sendirian, tapi aku telah belajar untuk membagi tugasku kepada mereka yang kulatih untuk menjadi pemimpin selanjutnya. Ketika aku memiliki orang lain yang mendukungku, itu tak hanya mengurangi stres, tapi juga melengkapi timku untuk bertumbuh. Sekarang aku punya dua murid yang juga memimpin kelompok komsel mereka sendiri, dan dua lainnya sedang belajar untuk mulai merintis.

Nasihat Yitro tidak cuma berlaku bagi para manajer atau kelompok komsel, tapi kepada setiap kita! Kalau kamu merasa kewalahan, bolehkah aku menyarankan beberapa tips di bawah ini?

  •  Jika kamu sudah bekerja, bicarakan pada atasanmu tentang beban kerjamu. Kamu bisa berikan usulan pribadimu tentang bagaimana kamu dapat bekerja lebih baik, atau mengatur ulang prioritas kerjamu. Cara ini lebih baik daripada kamu bersungut-sungut setiap hari tanpa mengomunikasikan permasalahan utamanya pada atasanmu.
  • Kalau kamu dapat kesempatan atau tanggung jawab baru, pertimbangkan juga untuk bertanya pada atasan/pemimpinmu apakah mungkin untuk berbagi tugas dengan anggota tim yang lain.
  • Kalau kamu merasa terjebak/stagnan dalam pekerjaanmu, mintalah nasihat dari anggotamu tentang bagaimana mengerjakan suatu tanggung jawab… terkhusus dari mereka yang sudah pernah menyelesaikannya.

Ingatlah, meminta tolong bukanlah tanda kelemahan (Pengkhotbah 4:9-10).

2. Paulus: Mengatasi kecemasan dengan menyerahkannya pada Yesus

Kamu butuh pola pikir yang benar untuk mengalahkan kebiasaan buruk yang mengarahkanmu pada bekerja berlebihan… atau sebaliknya: kurang berusaha! Riset-riset menunjukkan bahwa kecemasan bisa menurunkan performa kerja, tapi bisa juga mendorong seseorang untuk bekerja secara over. Kamu mungkin bekerja mati-matian, tapi tetap saja tidak maksimal kalau kamu mengerjakannya dengan cemas.

Kecemasan bicara tentang ketidaktahuan akan masa depan—di mana kita akan kerja dan apakah penghasilannya cukup, dan sebagainya. Alkitab mendorong kita untuk tidak khawatir akan apa pun juga, tetapi menyerahkannya dalam doa dan permohonan pada Allah (Filipi 4:6-7).

Selama beberapa waktu aku mendoakan Tuhan mencukupi kebutuhan finansialku agar aku dan pacarku bisa menikah. Kami tidak ingin meminta bantuan uang dari keluarga. Di masa ketika inflasi dan biaya hidup meningkat, aku butuh Tuhan untuk mengatasi kekhawatiranku akan tak punya cukup uang untuk biaya menikah nanti (juga untuk kehidupan berkeluarga kelak).

Syukurlah, doaku dijawab Tuhan. Aku naik jabatan setelah disahkan menjadi karyawan tetap. Ini meneguhkanku bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita ketika kita sungguh menyerahkan beban dan kekhawatiran kita pada-Nya.

Mudah bagi kita untuk menganggap klise apa yang tertulis di Filipi 4:6-7, tetapi coba membacanya dengan seksama dan perlahan. Ayat itu bicara tentang damai sejahtera Allah memelihara “hati dan pikiran” (ayat 7).

Damai-Nya melindungi kita dari pikiran-pikiran yang penuh kekhawatiran. Ketika kita tahu kita memiliki Bapa yang mengasihi, yang peduli dan mengasihi, kekhawatiran kita akan berkurang. Kita pun akan terbebas dari kecenderungan untuk bekerja terlalu keras dalam upaya untuk menjaga diri kita sendiri.

3. Yesus: Ketahui kapan harus beristirahat atau berhenti

Tahukah kamu bahwa Tuhan Yesus sendiri mempraktikkan kebiasaan kerja yang sehat dengan menolak orang di akhir hari kerja-Nya yang panjang? (Matius 14:22-23). Yesus memberi waktu agar diri-Nya dan murid-Nya beristirahat. Dalam keilahian-Nya, Yesus juga manusia seratus persen sehingga tubuh-Nya masih merasakan lelah, lapar, dan haus seperti kita.

Tanpa beristirahat, kita takkan bisa sungguh produktif. Artinya, istirahat berupa mengesampingkan sejenak tugas dan tanggung jawab untuk kegiatan yang sehat seperti tidur, rekreasi, dan waktu bersama Tuhan adalah bagian dari produktivitas juga.

Kita perlu mengatur batasan waktu kerja, terlebih bagi kita yang bekerja secara remote. Sudahi pekerjaanmu setelah jam kerja berakhir. Bagi mereka yang ada di posisi pimpinan juga dapat menginisiasi budaya kerja yang sehat dengan meneladankan jam masuk dan pulang yang tepat, agar tim kita pun mengikutinya. Bahkan untuk kelompok komsel, kita juga bisa menerapkannya.

Hal lain yang kupelajari ialah, jika sesuatu tidak sangat-sangat mendesak, aku bisa mengerjakannya di besok paginya. Selama bertahun-tahun aku kerja, aku juga belajar untuk mengatur waktu-waktuku dengan bijak, tidak mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam.

Saat kita bekerja untuk Tuhan, kita harus produktif dalam cara yang menunjukkan kesetiaan pada apa yang kita punya seperti talenta dan waktu. Tunjukkan juga bahwa dalam upaya kita, kita tidak melupakan istirahat dan menikmati buah dari usaha tersebut. Pengkotbah 3:13 berkata, adalah baik untuk makan, minum, dan menemukan kepuasan dalam pekerjaan kita—tak sekadar menghabiskan seluruh waktu kita buat kerja. Kepuasan adalah karunia Tuhan, dan marilah kita dengan senang hati menerimanya supaya hadir sukacita yang mendorong kita hidup lebih produktif.

Apa yang Rutinitas Sedang Ajarkan Padamu?

Oleh Aldi Darmawan Sie

Baru-baru ini aku sedang membaca sebuah buku dari seorang teolog bernama James K.A. Smith yang berjudul “You are what you love”. Melalui buku ini, Smith banyak mengajarkanku tentang apa artinya rutinitas dan kaitannya dengan kecintaanku kepada Tuhan. Sadar atau tidak, ternyata ada kaitan yang sangat erat antara rutinitas dengan kecintaan kita terhadap suatu objek tertentu.

Smith meyakini manusia pada dasarnya adalah pecinta (human as a lover being). Manusia dari semula diciptakan Tuhan untuk mengasihi sesuatu. Pendapat ini sebetulnya sejalan dengan desain Tuhan bagi manusia yang tersirat di dalam Alkitab (Ulangan 6:4-5). Manusia pada mulanya memang diciptakan dengan kemampuan untuk mengasihi Tuhan dan mengalami kasih Tuhan. Namun, dosa membuat manusia cenderung menempatkan cinta terbesarnya kepada objek yang salah. Penyimpangan-penyimpangan kasih manusia terlihat ketika manusia memiliki sifat narsistik, terjebak dalam berbagai kecanduan, seperti pornografi, gemar belanja berlebihan (shopaholic), gemar kerja berlebihan (workaholic), dan sejenisnya.

Berbagai bentuk penyimpangan kasih di atas terbentuk dari rutinitas yang dilakukan setiap hari. Rutinitas yang kita lakukan berulang-ulang setiap hari, secara tidak sadar sedang membentuk kecintaan kita kepada suatu objek tertentu. Tanpa kita sadari, rutinitas kita membentuk sebuah “liturgi” dalam hidup kita, dan “liturgi” tersebut yang pada akhirnya membentuk kecintaan kita. Liturgi bisa dikatakan sebagai suatu aktivitas berulang yang sedang membentuk kecintaan kita kepada suatu hal. Bahayanya adalah “liturgi-liturgi” yang salah bisa menggeser kecintaan terbesar kita kepada Tuhan.

Belakangan ini, aku sendiri menyadari bahwa ada sebuah “liturgi” yang sedang bersemayam dalam diriku, yaitu kecanduan gawai. Sebelum tidur, secara otomatis aku bisa bersafari sekitar 1-2 jam di berbagai media sosial dan juga media belanja online. Setelah mengevaluasi diri, akhirnya aku menyadari bahwa aktivitas ini telah menjadi “liturgi” baru yang sedang membentuk kecintaanku. “Liturgi” ini membuatku menjadi orang yang haus dengan hiburan dan mencari kenyamanan diri. Aku bersyukur melalui buku Smith, Tuhan menolongku untuk mengidentifikasi dan mengatasi rutinitas yang menjadi “liturgi tandingan” sehingga membuatku tidak menempatkan kasih terbesarku kepada Tuhan.

Membangun kecintaan kepada Tuhan melalui rutinitas kita

Sulit memang untuk memangkas “liturgi-liturgi tandingan” yang sudah bercokol dalam hati kita. Itu karena “liturgi” tersebut sudah membentuk kecintaan kita. Namun, bukan berarti hal ini tidak bisa diatasi. Belajar dari apa yang Smith sampaikan dalam bukunya, kita juga bisa melatih hati kita untuk meletakkan kasih kita yang terbesar kepada Tuhan melalui rutinitas kita. Untuk mewujudkannya, perlu adanya upaya intensional dan rutin.

Kita bisa mengidentifikasi apakah ada rutinitas kita sehari-hari yang saat ini sedang menjadi “liturgi tandingan” yang menggeser kecintaan kita kepada Tuhan. Setelahnya, kita bisa minta Tuhan menolong kita agar mengarahkan hati kita kembali kepada kasih-Nya. Sama halnya seperti yang tertulis dalam 2 Tesalonika 3:5: “Kiranya Tuhan tetap menujukan hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus.”

Jikalau pandemi membuat rutinitas kita berantakan, kita bisa membangun kembali kebiasaan kita untuk bersaat teduh dan berdoa setiap hari. Kedua aktivitas ini sering kali terkesan sepele. Akan tetapi, jika keduanya dilakukan dengan rutin, akan sangat menolong kita menumbuhkan kecintaan kita kepada Tuhan.

Di tengah masa pandemi yang belum usai, aku juga bersyukur karena Tuhan sebenarnya membuka banyak kesempatan untuk semakin mengenal dan mengasihi Tuhan. Salah satunya ialah melalui berbagai renungan, khotbah dan puji-pujian yang bisa kita akses dengan mudah dari media sosial. Selain itu, saat ini juga tersedia banyak aplikasi-aplikasi Alkitab yang juga dapat menolong kita membuat jadwal rutin untuk membaca Alkitab. Tuhan menolong kita untuk semakin mengasihi-Nya di dalam dan melalui kehidupan kita.

Menemukan Kepuasan di Tengah Rutinitas Sehari-hari

Oleh Matthew Geddes
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Finding Fulfillment In The Daily Grind

Setelah beberapa malam kurang tidur, aku kembali ke depan komputerku dan menyiapkan hariku. Aku duduk di lantai dasar. Gelap dan dingin. Aku merasa lelah. Kupikir aku butuh satu atau dua cangkir kopi.

Di momen itu, aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apakah hidup cuma begini-begini saja?” Aku berharap aku ada di luar ruangan, diterpa sinar matahari yang hangat di salah satu tempat favoritku: di pegunungan, dikelilingi oleh keindahan ciptaan-Nya. Ayat Alkitab yang sering kudengar di banyak khotbah, seperti “mengucap syukurlah dalam segala hal” (1 Tesalonika 5:18) terasa jauh dan samar, ibarat musim panas yang kehadirannya masih sangat lama di tengah musim dingin.

Lalu aku melanjutkan aktivitas dengan Zoom-meeting bersama teman-teman kerjaku. Satu temanku sedang marah dengan komputernya yang jadi musuh bebuyutannya. Temanku yang kedua sedang frustasi dengan platform hosting untuk acara virtual kami. Temanku yang ketiga hanya diam. Dia sedang dirumahkan sementara dari pekerjaannya dan sangat bergumul.

Seiring aku melihat pergumulan pelik dari masing-masing temanku, aku jadi terbangun. Aku bisa melanjutkan hariku dengan setengah mengantuk, memfokuskan diri pada apa yang aku ingini, dan mungkin tak akan ada yang tahu perbedaannya kecuali Tuhan. Atau, daripada aku berandai-andai sedang berada di mana, aku bisa sungguh hadir di meja kerjaku dan memuliakan Tuhan dengan sepenuh hati bekerja untuk-Nya (Kolose 3:23).

Aku teringat sebuah penelitian yang digagas oleh Amy Wrzeniewski di sebuah rumah sakit. Dia mengidentifikasi beberapa pekerja harian (seperti petugas kebersihan, dsb) yang bekerja melampaui tugas-tugas rutin mereka. Satu pekerja yang bekerja di unit pasien yang mengalami koma, secara rutin mengganti hiasan seni di dinding supaya pemandangan yang berbeda tersebut merangsang perkembangan otak si pasien. Pekerja yang lain akan menemui dan membimbing keluarga pasien dari pintu masuk rumah sakit sampai ke ruangan pasien dirawat. Tidak seperti pekerja harian lainnya, para pekerja ini melihat diri mereka sebagai bagian integral dari tim medis yang berkontribusi untuk menyembuhkan dan memulihkan para pasien.

Apa yang bisa kita pelajari dari para pekerja rumah sakit ini? Mereka melihat melampaui batasan-batasan rutinitas harian, yang banyak orang mungkin melihat pekerjaan mereka sebagai pekerjaan yang kasar atau remeh. Namun, mereka mampu mengkoneksikan pekerjaan remeh tersebut dengan sesuatu yang jauh lebih besar—mereka punya tujuan yang menggerakkan apa yang mereka lakukan.

Bagaimana kita dapat mengaplikasikan pola pikir ini ke dalam pekerjaan atau studi kita, atau ketika kita mendambakan seharusnya kita bekerja di tempat lain? Untuk menjawabnya, kita perlu mengingat bahwa pekerjaan kita bukanlah tentang kita. Tuhan punya tujuan yang lebih besar daripada sekadar membuat kita senang; kita dipanggil untuk menghidupi hidup yang memancarkan kebaikan-Nya (Matius 5:16). Mengingat kebenaran ini dapat menolong kita. Ketika tantangan dan pergumulan meradang, kita bisa memberi ruang bagi Tuhan untuk memimpin kita percaya pada-Nya.

Kedua, adalah sangat menolong apabila kita bisa mengaitkan apa yang kita lakukan dengan bagaimana itu dapat berdampak bagi orang lain. Untuk menolong kita melakukan ini, penulis Emily Esfahani menyarankan kita untuk mengambil pekerjaan rutin dan bertanya pada diri kita sendiri, “Kenapa aku melakukan ini” sebanyak tiga kali. Saat kita melakukan ini, kita kemudian akan menemukan bahwa apa yang kita kerjakan membawa kebaikan bagi orang lain. Seperti yang Bryan Dik dan Ryan Duff catat (mereka berdua penulis dari buku Make Your Job Your Calling), hampir setiap pekerjaan, apa pun itu, memberi perbedaan di hidup orang lain jika kamu sungguh-sungguh memikirkannya.

Sebagai contoh, aku menelaah ratusan resume dari mahasiswaku. Menerapkan saran dari Emily, jawabanku adalah “supaya mahasiswaku bisa mendapat pekerjaan yang sepadan dari studi yang telah mereka lalui dengan upaya keras.” Jawaban akhirku jauh lebih berarti dan memotivasi bagiku karena aku bisa melihat lebih jelas dampak dari aktivitasku bagi orang lain. Itu menolongku untuk berpindah dari sikap aku “harus” bekerja dengan segenap hatiku, menjadi aku “mau” bekerja dengan segenap hatiku (Kolose 3:23).

Terakhir, kita bisa mengambil aksi yang kecil tetapi jelas untuk membuat hidup seseorang lebih baik seperti yang dilakukan oleh para pekerja di rumah sakit di atas. Sikap seperti ini tidak hanya Alkitabiah (ingat kisah Orang Samaria yang baik hati di Lukas 10:30-37), melakukannya menolong kita untuk meningkatkan rasa puas kita terhadap apa yang kita kerjakan. Kepuasan itu bisa datang dari hal yang remeh seperti mendengarkan rekan kerjamu ketika mereka curhat, atau tersenyum kepada seseorang yang kepadanya kamu memberikan secangkir kopi.

Seiring aku mendapati tindakan seperti ini dapat memberikan emosi positif bagiku dan orang lain, yang paling penting adalah: membagikan kebaikan bagi orang lain mengingatkanku akan betapa Tuhan sudah baik bagiku, dan itu memuliakan-Nya.

Di dalam pekerjaanku sendiri, mengingat mengapa aku bekerja tidak hanya meningkatkan kepuasanku, tetapi juga menguatkan relasiku dengan sesama rekan kerja, dan menolong orang lain untuk melihat orang Kristen lebih positif, terkhusus di lingkungan yang tidak ramah terhadap kekristenan.

Jika kelak kamu mendapati dirimu bertanya “mengapa aku melakukan ini?”, bergabunglah bersamaku untuk mengingat para pekerja kasar di rumah sakit, yang banyak orang menganggap pekerjaan mereka itu remeh, tetapi mereka menjadikan apa yang remeh itu sebagai kesempatan untuk menciptakan perbedaan. Kemudian, tanyalah Tuhan, “apa yang bisa kupikirkan dan kulakukan secara berbeda untuk memuliakan-Mu?” dan lihatlah kesempatan-kesempatan yang Tuhan bukakan buatmu.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tembok Bata dari Jaring Laba-laba

Ketika seorang tentara berdoa memohon tembok bata untuk melindunginya dari musuh, Tuhan malah menjawabnya dengan mengirim seekor laba-laba. Apa yang terjadi setelahnya?

Mengatasi Burnout di Tempat Kerja

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Aku kembali melihat arloji di lengan kiriku, untuk kesekian kalinya dalam 30 menit. Aku tidak sabar menunggu jarumnya menunjuk angka 4 pertanda waktu mengajarku selesai. Memasuki tahun terakhir di kampus, sembari mengerjakan skripsi aku menerima tawaran mengajar persiapan Ujian Nasional bagi anak SMA di salah satu daerah di Sumatera Utara. Walau sudah beberapa kali punya kesempatan untuk menjadi pendidik, rasa jenuh dan keinginan untuk segera selesai mengajar tidak selalu berhasil kuhindari.

Bekerja dan berhadapan dengan anak didik sebagai manusia dengan kehendak bebas yang kaya dengan berbagai respons atau pun tingkah laku di setiap harinya tidak menjadi jaminan bagi seorang pendidik untuk tidak mengalami kejenuhan bekerja atau dikenal dengan istilah burnout. WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola dengan baik. Sindrom tersebut ditandai dengan tiga hal: pertama, merasa kehilangan energi atau kelelahan; kedua, meningkatnya keinginan untuk mengasingkan diri dari pekerjaan, atau adanya perasaan negatif atau sinisme terhadap pekerjaan; dan yang ketiga berkurangnya efikasi profesional.

Secara umum burnout menggambarakan kondisi di mana seseorang merasa lelah dan jenuh dengan pekerjaannya. Dari 1 Raja-raja 19:1-18, kita bisa membaca kisah tentang nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun. Elia menghindari pengejaran ratu Izebel yang mengancam ingin membunuhnya. “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku”, katanya ingin mati (ayat 4). Merasa gagal dengan yang dikerjakan, ketakutan akan keselamatan diri dan kelelahan fisik setelah berjalan seharian penuh menggiring rasa ingin mati pada Elia.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada kita. Sebagai pendidik tidak jarang aku merasa kurang maksimal ketika aku melihat anak didikku kesulitan mengerti materi yang kami bahas, terkadang aku khawatir tentang pertumbuhan karakter mereka dengan semua pengaruh teknologi yang mereka gunakan dan seringkali hal itu membuatku mempertimbangkan untuk meninggalkan profesi yang idealnya memanusiakan manusia tersebut.

Apa pun pekerjaan yang sedang kita tekuni, bukan tidak mungkin kita mengalami kejenuhan. Kendati WHO menyarankan agar perusahaan/tempat bekerja untuk menfasilitasi pencegahan atau pun penyembuhan burnout pada pekerja, secara pribadi kita juga bisa menerapkan beberapa hal berikut untuk membantu menghindari ataupun mengatasi burnout :

  1. Memiliki motivasi kerja yang benar (Kolose 3:23)
  2. Mengerjakan segala sesuatu untuk Tuhan mungkin terdengar klise karena setiap pekerjaan tentu mempunyai target yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Jurnalis yang mesti memenuhi jumlah berita minimal yang diterbitkan, manager pemasaran yang harus mencapai target penjualan, supir angkot yang perlu kejar setoran serta pekerjaan lain dengan target-target yang wajib diselesaikan.

    Keberhasilan memenuhi target kerja tentu berpengaruh baik pada karier dan kesejahteraan kita, namun acap kali motivasi pengejaran tersebut berubah menjadi ambisi berlebihan berujung serakah. Gaji yang besar, kenaikan pangkat, pujian dari atasan memang perlu bagi kita namun tidak selalu menjadi kebutuhan kita yang utama, kelegaan dan sukacita ketika bekerja tentu menjadi award yang tidak terukur.

  3. Memiliki perencanaan yang dikerjakan (Amsal 21:5)
  4. Mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam (SKS), menyelesaikan laporan bulanan sampai subuh, menonton drama dari pagi hingga pagi adalah contoh kegiatan yang mungkin pernah kita kerjakan. Selain berbahaya bagi kesehatan tubuh dan performa dalam bekerja, hal tersebut bisa jadi alarm untuk manajemen waktu yang kita punya. Demikian halnya dalam bekerja, kita mungkin kerap menunda-nunda pengerjaanya atau sebaliknya kita sangat bersemangat hingga ingin segera menyelesaikannya.

    Dengan pertimbangan, kita bisa menyusun perencanaan tentang mana pekerjaan yang harus diselesaikan dulu, memutuskan kapan waktu untuk microbreak atau rehat kilat dengan bermain gim atau mendengarkan musik, mengatur jadwal makan yang teratur serta aktivitas lainnya yang kita kerjakan di tempat kerja (Amsal 15:22). Tentang hal ini, Tuhan Yesus juga mengingatkan orang yang mengikut Dia dalam perjalanan-Nya tentang pentingnya perencanaan sebelum mengerjakan sesuatu. Dia menggunakan ilustrasi tentang seseorang yang akan melihat ketersediaan anggarannya sebelum mendirikan menara serta tentang seorang raja yang akan mengatur strategi sebelum berperang (Lukas 14:28-31).

  5. Menjalin relasi yang baik (Ibrani 10:22-25)
  6. Abai dalam menjalin relasi kepada Tuhan dan kepada sesama dengan berbagai alasan sering menggiring kita untuk selalu asyik sendiri seakan punya dunia sendiri. Baik kepada Tuhan maupun terhadap sesama, relasi dibangun lewat komunikasi. Kita menemukan kekuatan di saat lemah dan semangat ketika kita merasa tidak berdaya untuk melanjutkan pekerjaan kita lewat relasi dengan Tuhan (Yesaya 40:29). Sama halnya dengan relasi dengan mereka yang kita temui hampir setiap hari di jam kerja. Sapaan di pagi hari, lelucon receh dari rekan kerja, pujian dan kerjasama yang baik dengan teman-teman di kantor sampai saling menolong dan berbagi suka-duka dengan mereka dapat menjadi sumber sukacita di tempat kerja.

    Datang menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh dan saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih di tempat bekerja merupakan bentuk relasi yang bisa membantu kita mengatasi burnout yang sedang kita alami.

Menjadi rekan sekerja Allah melalui pekerjaan kita tentu tidak menjamin kita terbebas dari belenggu kejenuhan (burnout). Selain mencoba ketiga hal diatas, dengan akal budi yang dianugerahkan Allah kepada kita, kiranya kita juga terus berusaha mengatasi kejenuhan (burnout) yang kita alami serta senantiasa mengimani bahwa Allah tetap menyertai kita untuk melaluinya (Yesaya 41:10).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kemarin Aku Gagal, Hari Ini Aku Memilih Mengucap Syukur

Meski di awal usahaku meniti karier pil terasa getir, tapi aku mau tetap membuka hatiku untuk mengecap kebaikan-Nya. Aku mau tetap mengucap syukur.

Bosan Tidak Selalu Jadi Pertanda untuk Berhenti

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

“If you are tired, learn to rest, not quit.”

Pesan di atas kuterima di bulan keenam tahun 2018 dari seorang teman dekat yang mengetahui keputusanku untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi pelayanan intern-kampus. Jenuh merupakan faktor utama yang mendorongku untuk memutuskan mundur dari koordinasi yang seharusnya kuselesaikan hingga bulan Desember di tahun yang sama.

Sebagai pengurus, aku dan kesembilan teman dalam koordinasi biasanya memiliki jadwal yang padat. Selain karena kami juga masih menjalani rutinitas kuliah, kegiatan di organisasi dengan visi pelayanan “murid yang memuridkan kembali” tersebut juga terbilang cukup padat. Kegiatan dalam Kelompok Kecil yang merupakan ujung tombak dari pelayanan tak boleh luput dari pantauan kami sebagai motor organisasi di tahun itu. Begitu juga dengan kegiatan lain seperti persiapan ibadah yang biasanya dilakukan 2 kali sebulan, jam doa puasa, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan anggota organisasi yang masih mahasiswa hingga harus menjalin komunikasi dengan keseluruhan anggota baik alumni maupun mahasiswa melalui sharing ataupun via daring serta mengadakan pertemuan untuk regenerasi kepengurusan di tahun mendatang.

Hampir setiap malam kami harus bertemu di rumah sekretariat, terkadang kami juga harus sampai begadang karena susah mencocokkan jadwal kosong di siang atau sore hari. Aktivitas yang di awal membuatku bersemangat perlahan berubah menjadi rutinitas yang berlalu tak berbekas ataupun bermakna. Di bulan keenam, kuberanikan diri bercerita dengan seorang teman yang juga pernah mengerjakan kepengurusan. Walau berbeda kampus namun aku percaya dia bisa jadi tempat berbagi.

“Mengapa kemarin mau menerima pelayanan itu?” Pertanyaan pertama darinya membuatku mengingat kembali momen ketika PKK-ku (Pemimpin Kelompok Kecil) secara khusus mengajakku membahas firman Tuhan dari Lukas 19:28-40 tentang bagaimana Yesus dielu-elukan di Yerusalem.

Di sana diceritakan bagaimana Yesus meminta murid-murid-Nya membawa keledai untuk-Nya yang akan ditunggangi-Nya menuju Yerusalem. Saat Yesus akan menaiki keledai, orang-orang menghamparkan pakaiannya dan membantu Yesus menaiki keledai itu.

“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang Maha Tinggi”, kata semua murid yang mengiring Dia. Karena hal itu, orang Farisi menegur Yesus, “Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu”. Jawab Yesus, “Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak” (Ayat 40).

“Jangan mengeraskan hati dek, jika Tuhan mau, batu pun bisa dipakai-Nya untuk melayani Dia”, begitu kakak di kelompok kecil mengingatkanku di akhir pertemuan itu.

“Ahk, aku capek. Bosan! Daripada kukerjakan tapi tidak dari hati” belaku dengan berbagai alasan pembenaran atas keputusanku. Merasa lelah karena terlalu sering dipekerjakan merupakan salah satu penyebab kejenuhan. Walau tak selalu benar, kejenuhan bisa menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengerjakan hal itu lagi.

“If you tired, learn to rest, not quit”, kutipan di awal tulisan ini mengingatkanku untuk menyediakan waktu beristirahat alih-alih mundur dan mengingkari komitmen yang sudah diambil. Di dalam pelayanan-Nya, Yesus juga pernah mengajak murid-murid-Nya untuk beristirahat ketika mereka harus memberi makan lima ribu orang yang mengikuti mereka (Markus 6:31). Tentu beristirahat dan berhenti adalah dua hal yang berbeda. Secara perlahan dengan pertolongan-Nya, aku mengingat kembali kenapa aku mau menerima tanggung jawab itu. Dengan menyediakan waktu untuk beristirahat, itu berhasil membantuku memulihkan keadaanku saat itu.

Jenuh, jemu, bosan menggambarkan situasi emosional di mana kita sudah tidak suka dengan si objek yang bisa jadi dalam bentuk keadaan, pekerjaaan, lingkungan bahkan hubungan dengan seseorang. Ayah yang sudah bosan bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama; ibu yang jenuh dengan urusan dapur dan kegiatan beres-beres yang dilakukan setiap hari; anak yang jemu duduk berjam-jam di kelas ditambah dengan tugas sekolah; atau mungkin sepasang kekasih yang mulai bosan dengan dering telpon yang dipisahkan jarak; bahkan kita anak-anak Tuhan yang mungkin merasa jenuh menjalin persekutuan dengan-Nya.

Memasuki bulan keempat setelah aturan-aturan untuk menanggulangi pandemi virus corona digalakkan, beradaptasi untuk menghilangkan kejenuhan bukanlah perkara yang mudah. Berhenti beraktivitas dari rumah, pergi berkerumun, atau menolak anjuran pemerintah tentu memiliki konsekuensi tersendiri khususnya bagi kesehatan kita. Sebagai individu yang diciptakan berbeda-beda, tips treatment untuk kejenuhan orang yang satu bisa saja tidak mempan untuk yang lainnya. Pilihan untuk menikmati waktu dengan keluarga, mengubah situasi kamar atau rumah agar lebih nyaman untuk belajar dan bekerja dari rumah, hingga mencari kreativitas lain agar tetap waras selama #DiRumahaAja terdengar klise dan tak berpengaruh. Namun sebagai ciptaan-Nya kita perlu mengingat bahwa pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita (Matius 11:28).

Kiranya kita bisa memaknai setiap waktu atau kesempatan dengan bijaksana. Sama seperti Musa, biarlah kita tak bosan meminta kekuatan dari Tuhan untuk menyadari berharganya setiap waktu yang ada (Mazmur 90:12).

Dia akan menolong dan memulihkan semangat kita (Yesaya 40:29).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjebak Membandingkan Diriku dengan Orang Lain

Aku pernah ada dalam kondisi membandingkan diriku dengan orang lain. Dan orang itu adalah teman terdekatku! Aku merasa temanku itu lebih baik dalam banyak hal, terutama pelayanan yang dia kerjakan.

Mengasihi Tuhan dengan Melakukan yang Terbaik dalam Pekerjaanku

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Setiap orang tentu menginginkan kehidupan yang berdampak bagi banyak orang. Tapi, pertanyaan yang muncul di benakku adalah: “apakah yang aku kerjakan sudah memberi dampak ya?”

Setelah masuk ke dunia kerja selama lebih kurang tiga tahun, pertanyaan itu tidak asing buatku. Kadang aku merasa kalau aku seharusnya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih besar daripada yang aku kerjakan saat ini. Ketika aku menceritakan pemikiran ini kepada temanku, rupanya mereka juga memikirkan hal yang sama.

Aku pernah berpikir kalau aku baru bisa berdampak, atau melakukan hal-hal besar jika aku sudah memiliki posisi atau jabatan yang tinggi, entah itu aku menjadi kepala divisi, manajer, atau direktur.

Tetapi, apakah benar selalu begitu?

Sebagai seorang yang mengurusi sumber daya manusia di tempat kerjaku, kadang aku merasa belum melakukan hal-hal yang berarti. Tidak heroik, pun dramatis. Tetapi, setelah kurenungkan dengan detail, apa yang kukerjakan sejatinya menolong orang lain. Semisal ketika aku mengerjakan perihal surat menyurat, aktivitas ini tampaknya sederhana, tetapi ketika surat-surat itu tidak ada yang membuat, teman-temanku yang lain bisa-bisa tidak dapat melakukan pekerjaannya. Kadang aku berpikir pekerjaan itu hanya tentang diriku, aku lupa bahwa di balik aktivitasku, aku sedang menolong orang lain.

Saat menulis artikel ini, aku jadi teringat senyuman dari mereka yang menyampaikan terima kasih dengan sukacita. Pengalamanku, mungkin juga pengalamanmu di dunia kerja mungkin belum banyak. Tetapi, itu bukanlah alasan untuk kita berkecil hati. Aku merasakan pimpinan Tuhan dalam tiap perkara, dari yang kecil hingga Dia menambahkan perkara-perkara yang lebih besar untuk kita kerjakan kelak. Mungkin buah dari pekerjaan yang kita lakukan sekarang ini belum terlihat, tetapi jika kita dengan setia mengerjakannya, Tuhan tentu akan menyatakan hal-hal yang membuat kita bersyukur kepada-Nya.

Mungkin saat ini pertanyaan yang harus kita ajukan setiap hari usai bekerja adalah apakah aku sudah melakukan yang terbaik hari ini dengan posisi yang dipercayakan kepadaku?

Sehingga kita juga bisa belajar tidak hanya mengasihi pekerjaan kita tetapi menghargai orang-orang yang ada di pekerjaan kita apapun posisi mereka, terutama mengasihi Tuhan yang telah memercayakan pekerjaan itu kepada kita.

Arie Saptaji dalam tulisannya yang berjudul “Di Balik yang Biasa-biasa Saja” menulis: “Tidak banyak dari kita yang berkesempatan untuk berkhotbah di depan ribuan orang. Tidak banyak yang menjadi misionaris secara intensif melayani daa mengubah suatu suku bangsa. Tidak banyak yang duduk dalam pemerintahan, yang bisa mengambil keputusan yang memengaruhi banyak orang. Tidak banyak yang menjadi selebritas yang dielu-elukan penggemar. Kehidupan kita begitu biasa. Tidak banyak ledakan dramatis. Tidak heroik. Dan, kalau mau lebih jujur, membosankan.”

Lalu, apakah dengan kehidupan yang sedang kita kerjakan, yang kelihatannya sepele kita tidak sedang melakukan apa-apa? Kita tidak sedang mendatangkan Kerajaan Allah di dunia ini, di pekerjaan kita? Sejatinya tidak ada yang terlihat sepele di hadapan Tuhan, dengan hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari, dengan hal-hal rutinitas kita di pekerjaan, Tuhan melihat dan mengapresiasi hal tersebut.

Apapun yang kamu kerjakan saat ini, kamu punya peran yang sangat besar. Lakukanlah yang terbaik.

Kalimat di atas sering kurenungkan dan kutempel di komputerku, membuatku terus ditegur ketika aku mulai meragukan pekerjaanku.

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya (Kolose 3:23-24).

Baca Juga:

Menegur dengan Maksud Baik

Menegur ataupun mengatakan kebenaran seringkali menjadi dilema bagi tiap orang, termasuk orang percaya. Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?