Posts

Pergumulanku untuk Beradaptasi di Gereja yang Baru

Oleh Chanel Geogopoulos, Afrika Selatan
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Struggled To Fit Into My New Church

Aku melihat ke sekelilingku, ke wajah-wajah jemaat yang asing bagiku, lalu aku kembali menatap ke depan, kepada pendeta yang sudah berkhotbah selama 25 menit. Aku tumbuh besar di gereja yang sesi khotbahnya biasanya berlangsung paling lama hanya 15 menit.

Selain itu, ada beberapa perbedaan lainnya. Di gerejaku yang baru, emosiku tergerak dalam cara-cara yang tidak pernah kualami di gereja lamaku. Ada tangisan air mata saat aku menyembah Tuhan, dan ada kehangatan yang memenuhi dadaku saat aku melihat para jemaat saling berinteraksi.

Tapi, ada suatu hal yang menggangguku. Meskipun aku sudah datang beribadah di gereja ini bersama pacarku selama empat bulan, aku masih merasa asing.

Sebelum pindah ke sini, aku berada di satu gereja yang sama seumur hidupku. Tapi, kemudian aku bertemu dan jatuh cinta dengan seseorang dari gereja yang berbeda. Mungkin kalau tidak bertemu dengan pacarku, aku akan tetap berada gereja lamaku seumur hidupku.

Awalnya, kami mencoba saling menghadiri ibadah di gereja masing-masing. Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk pindah ke gereja pacarku karena kupikir mungkin ini adalah keputusan yang baik buatku. Selama delapan tahun terakhir, di gereja lamaku, aku melayani di paduan suara dan hanya berinteraksi dalam lingkaran pertemananku yang kecil, yang isinya sesama anggota paduan suara gereja juga. Mungkin inilah waktu bagiku untuk pindah ke “padang rumput” yang baru.

Tapi, ada satu masalah: aku merasa seperti anak baru yang asing dengan lingkungannya. Setiap Minggu, aku duduk di sisi pacarku, menghindari banyak wajah ramah yang menyapaku.

Beberapa orang mendorongku untuk terlibat dalam pelayanan. Pikiran pertamaku adalah melayani di bidang musik, di mana aku pernah melayani juga di gereja lamaku. Tapi, di sini ada banyak sekali perbedaannya. Dan, kalau aku harus mengakui, suaraku tidak pas untuk menyanyi solo. Pilihan itu pun gugur, lalu aku ditawari kesempatan untuk melayani sebagai pembuat minuman teh dan penata peralatan makan, atau membuat slide powerpoint (bukan keahlianku)—sejujurnya, aku tidak ingin melayani di semua bidang itu.

Dari pengalamanku melayani di gerejaku yang dulu, aku tahu bahwa dengan melayani, aku bisa mengubah perasaanku mengenai datang ke ibadah setiap hari Minggu. Jadi, inilah yang juga ingin aku lakukan sekarang. Tapi, aku tidak tahu bagaimana memulainya. Aku tahu Tuhan tidak ingin kalau aku cuma sekadar duduk di bangku setiap hari Minggu dan menutup diriku di balik sifat introverku. Aku harus keluar dari cangkangku.

Aku masih berusaha mencari tahu apa yang dapat kulakukan. Hingga suatu ketika, aku mulai ikut kelompok kecil bersama pacarku. Kelompok kecil yang kuikuti itu menyambutku dengan sangat baik. Sejak bergabung dengannya, aku dengan cepat bisa beradaptasi dan merasa bahwa aku juga adalah anggota dari gereja.

Di gereja lamaku, aku tidak benar-benar bersosialisasi dengan pemuda-pemudi lainnya di luar kelompok paduan suara. Tapi, di gerejaku yang baru ini, ada acara minum teh bersama seusai kebaktian yang jadi kesempatan yang amat baik untuk saling bertegur sapa. Rasanya menyenangkan ketika aku diundang untuk ikut sarapan atau pergi ke pantai bersama-sama, atau ketika seseorang menanyakanku bagaimana hari-hariku sepanjang minggu ini berlangsung.

Jika kamu baru pindah ke gereja yang baru, atau sedang bergumul untuk bisa beradaptasi dengan gerejamu, mungkin kamu juga bisa mencoba ambil bagian untuk melayani, atau bergabung dengan kelompok kecil. Inilah beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk dapat merasakan gerejamu menjadi seperti rumahmu:

  • Menyapa orang yang duduk di sebelahmu (seberapa sering kamu melakukan ini?).
  • Tanyakan kepada seseorang yang menurutmu mengenalmu dengan baik, tanyakan hal apakah yang sekiranya tepat untuk kamu lakukan.
  • Cari tahu siapa yang bertugas di pelayanan, dan berbicaralah dengan mereka tentang kesempatan-kesempatan melayani yang tersedia.
  • Doakan rencana-rencana pelayananmu itu.
  • Setelah kebaktian usai, janganlah langsung pulang. Jika di gerejamu ada acara ramah-tamah, ikuti.

Aku memiliki beberapa nomor kontak pemimpin gereja yang tak pernah kuhubungi di ponselku, jadi kupikir aku harus mempraktikkan poin ketiga dari tips-tips yang sudah kusebutkan di atas. Namun, syukurlah karena acara minum teh bersama seusai kebaktian jadi kesempatan yang baik untuk mengobrol dan bertegur sapa dengan jemaat-jemaat lain. Dan, dari sinilah relasiku dengan orang-orang yang kemudian menjadi satu kelompok kecil denganku bermula. Dari sekadar obrolan sambil minum teh, berlanjut jadi relasi yang erat.

Paulus mengatakan bahwa setiap anggota tubuh Kristus memiliki perannya masing-masing, ada yang berperan untuk bernubuat, melayani, mengajar, mendorong, dan bahkan menunjukkan belas kasihan (Roma 12:3-8). Mungkin kamu perlu menguji beberapa hal terlebih dulu sebelum memutuskan bergabung dengan suatu pelayanan. Tapi, mungkin juga kamu nantinya mendapati dirimu melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kamu pikirkan, atau sesuatu yang kamu pikir bukan keahlianmu. Tidak semua orang terpanggil melayani di atas panggung dan menyanyi. Ada yang terpanggil untuk melayani di balik layar. Tapi, di atas panggung atau di balik layar, itu tidak membuat apa yang kita lakukan menjadi kurang berarti. Bahkan, percakapan sederhana dengan orang lain bisa jadi sesuatu yang berdampak besar. Yang penting adalah kita membuka hati kita untuk mau dipimpin oleh Roh Kudus dan mau bergabung dan sama-sama membangun gereja di mana kita tertanam di dalamnya.

Meskipun aku sudah menetap di gerejaku, aku merasa bahwa ini masih proses transisi. Mungkin nanti aku akan mencoba melayani sebagai pembuat teh dan menyajikan kue-kue kepada jemaat, atau mungkin juga kelak akan ada diskusi hangat yang akan memberiku petunjuk jalan apa yang harus kuambil. Yang aku tahu sekarang dengan yakin adalah kelompok kecilku telah menjadi berkat buatku, dan kepindahanku ke gereja yang baru mengizinkanku untuk Tuhan berkarya di bagian hatiku yang lebih dalam. Untuk semua hal ini, aku bersyukur.

Baca Juga:

4 Yang Aku Lakukan dan Doakan di Hari Ulang Tahunku yang Ke-22

Apa yang biasanya kamu lakukan di hari ulang tahunmu?

4 Pergumulan yang Mungkin Dihadapi oleh Pendeta Gerejamu Lebih Daripada yang Kamu Pikirkan

Oleh Jacob Ng*, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways Your Pastor Might Be Struggling More Than You Think

*Jacob adalah seorang hamba Tuhan di Redemption Hill Church, Singapura, juga seorang suami bagi Yvonne, dan ayah bagi Jed dan Justus. Jacob kagum dan bersyukur bahwa Tuhan melayakkannya mengemban tanggung jawab ini. Dia berjuang untuk mengasihi Tuhan dengan cara menikmati dan mengucap syukur atas setiap anugerah yang Tuhan berikan kepadanya setiap hari.

Ketika berita mengenai bunuh diri pendeta Andrew Stoecklein dari Gereja Inland Hills di Amerika merebak, seorang temanku mengirimiku pesan. Dia merasa khawatir akan keadaanku. Dalam pesan itu, dia mengapresiasi kerjaku dan bertanya bagaimana kabarku. Apa yang temanku lakukan ini kupikir adalah tindakan yang baik, yang dipicu oleh rasa kaget yang juga dialami oleh banyak orang lainnya di dunia. Bagaimana mungkin seorang pendeta yang terlihat “baik-baik saja”, ternyata merasa sangat tertekan akibat beban pelayanan pastoral dan pergumulan pribadinya hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Kita hidup di zaman yang menjunjung celebrity culture, di mana kita semua memiliki kecenderungan untuk memberi perhatian lebih kepada orang-orang yang bertalenta, yang dikenal baik, dan yang punya pengaruh. Di dalam konteks gereja, orang-orang Kristen pun melakukan hal itu. Kita menghormati pemimpin yang berdedikasi dan berbakat, tetapi rasa hormat ini seringkali berkembang menjadi gambaran-gambaran yang tidak realistis. Kenyataannya adalah, pendeta merupakan manusia yang tak sempurna—lemah, dan bisa berbuat salah seperti manusia umumnya.

Injil yang disampaikan oleh para pendeta adalah juga Injil yang mereka butuhkan dan andalkan setiap harinya. Tidak peduli seberapa lama kita menjadi orang Kristen, setiap kita—pendeta atau bukan—selalu membutuhkan dukungan dari sesama anggota tubuh Kristus hingga tiba harinya ketika kita memasuki kemuliaan Tuhan.

Kamu mungkin terkejut, tetapi inilah empat kemungkinan yang mungkin pendetamu sedang gumulkan lebih dari apa yang kamu pikirkan.

1. Kebanggaan dan kepercayaan pada diri sendiri

Banyak pendeta bergumul dengan ekspektasi yang diberikan oleh orang-orang yang mengaguminya—dan mereka berusaha keras untuk memenuhi semua ekspektasi tersebut. Jika dilihat lebih dalam, mungkin mereka melakukan itu karena digerakkan oleh kebutuhan akan penerimaan, atau takut mengecewakan orang lain. Sayangnya, para pendeta bisa sulit menyadarinya karena pergumulan yang menimbulkan rasa gelisah itu berakar pada harga diri dan kepercayaan pada diri sendiri. Suatu tindakan yang awalnya dimulai dari keinginan tulus untuk melayani gereja tanpa pamrih, seiring berjalannya waktu dapat berubah menjadi hal yang digunakan untuk menilai diri sendiri. Beban dari pemikiran “semuanya bergantung padaku” bisa sangat menghancurkan.

Sebagai anggota gereja, adalah penting bagi kita untuk melihat pendeta kita sebagai orang yang “memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Efesus 4:12-13). Meskipun bukan hal yang salah untuk menghargai dan menghormati pendeta, kita harus memiliki pemahaman bahwa pelayanan mereka bukan untuk menuntun kita kepada mereka, tetapi kepada Kristus.

2. Pernikahan dan keluarga

Suatu kali, ada seseorang mengutarakan pendapatnya kepada istriku. Katanya, betapa diberkatinya istriku karena menikahi seorang pendeta. Kami berdua lalu tertawa. Aku berpikir, andai saja mereka mengetahui kekurangan-kekurangan kami dan bagaimana kami bergumul dalam masalah-masalah pernikahan sehari-hari seperti halnya yang orang lain juga alami.

Aku pernah berbincang dengan cukup banyak pendeta dan dari sinilah aku tahu bahwa memimpin sebuah gereja bisa jadi lebih mudah daripada mengurus keluarga kita sendiri dengan baik. Aku bisa menggunakan kemampuan aktif mendengarku dengan baik ketika seseorang menghampiriku di kantor gereja, tetapi di ujung hari aku berjuang untuk melakukan hal yang sama kepada istriku. Meskipun aku yakin 100 persen dalam hatiku bahwa istri dan anak-anakku adalah orang yang paling kusayangi, tindakanku seringkali menunjukkan hal yang sebaliknya. Contohnya, pernah terjadi masa-masa di mana aku mengorbankan waktuku untuk keluarga demi pelayanan. Bahkan, ketika aku secara fisik sedang berada dengan keluargaku, pikiranku bisa saja berada di planet lain.

Selama beberapa tahun belakangan, aku bersyukur atas istriku yang menerimaku pada masa-masa terburukku, yang bahkan masa itu tidak aku sadari. Kami telah menangis, berdoa, mengungkapkan isi hati, bertobat dari dosa-dosa, dan menaruh iman kami pada Kristus lagi dan lagi sembari berusaha mengatasi masalah-masalah kami. Kami memberikan kesaksian tentang kasih Allah yang setia menjaga pernikahan kami dalam anugerah-Nya, dan kami akan terus bergantung pada kasih itu.

Alih-alih berasumsi bahwa pendeta kita dan keluarganya “baik-baik saja”, mungkin kita bisa meluangkan waktu kita untuk memberikan semangat dan mengingatkan pendeta kita untuk memprioritaskan dan mengasihi keluarganya dengan baik.

Mungkin, kita juga harus mengambil inisiatif untuk menuntun kehidupan anak-anak pendeta kita kepada Kristus dengan perbuatan dan perkataan kita. Pendeta kita dan keluarganya membutuhkan anugerah, kasih, dukungan, dan bantuan yang sama seperti anggota jemaat lain di dalam gereja kita.

3. Kelelahan emosional

Kebanyakan pengkhotbah lebih bisa mengajarkan kebenaran daripada melakukannya. Contohnya, “serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya” (1 Petrus 5:7), adalah contoh klasik. Kekhawatiran dan beban emosionalku seringkali masih menempel dalam diriku meskipun aku sudah berusaha keras untuk menyerahkannya pada Tuhan.

Di usiaku yang ke-37 tahun, aku masih merasa sehat dan kuat secara fisik. Yang membuatku lelah sebenarnya bukanlah kelelahan fisik, tapi keletihan secara emosional yang datang dari penggembalaan dan berkhotbah. Aku bergumul mencari kata-kata apa yang tepat untuk menguatkan mereka yang mengalami penderitaan yang sulit dibayangkan, menanggung beban mereka yang bergumul dengan rasa kehancuran yang mendalam, menenangkan diriku untuk merespons dengan santun kepada mereka yang sulit dan seringkali menyakiti hati orang (baik disengaja maupun tidak), dan merenungkan kembali kesalahan-kesalahan apa yang telah kubuat. Pada suatu hari yang penuh tantangan, aku bisa merasa sangat terbebani oleh gelombang emosi dan pikiran yang membuatku kesulitan untuk melakukan atau mendoakan sesuatu. Ketika aku berkata bahwa Tuhan memilih mereka yang lemah dan tidak mengerti sepertiku untuk melakukan pekerjaan-Nya, aku benar-benar mengatakannya dari lubuk hatiku.

Setelah semua perkataanku ini, mohon jangan berhenti datang kepada kami (para pendeta) dengan beban-beban kalian! Mengasihi dan mengurus jemaat dengan baik adalah beban yang semua pendeta tanggung dengan senang hati. Namun, ingatkanlah kami untuk beristirahat dengan baik, dan berpengertian ketika kami sedang tidak dapat dijangkau.

Ketahuilah bahwa pendetamu tidak selalu memiliki semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sulit dalam hidup. Mengertilah juga bahwa dia tidak akan bisa memenuhi semua ekspektasimu. Terakadang, dia mungkin membutuhkan satu sampai dua hari untuk membalas email atau pesanmu. Pada saat kamu melihat pendetamu mengalami kesulitan dalam menjalani pelayanannya, pemberian terbaik yang bisa kamu berikan bisa jadi adalah untuk tetap yakin bahwa pendetamu sedang berusaha sebaik mungkin. Dia bukan sedang tidak peduli.

4. Kondisi kesehatan mental

Menurut Institut Kesehatan Mental Singapura, sekitar 5,8 persen orang dewasa di Singapura menderita penyakit bernama Gangguan Depresi Mayor pada suatu masa dalam hidupnya. Gereja-gereja di Singapura (dan di tempat-tempat lainnya di seluruh dunia) terlihat kurang memperlengkapi dirinya untuk mengerti dan menolong mereka yang mengalami masalah kesehatan mental yang serius. Aku tidak berkata bahwa gereja bertanggung jawab untuk memberikan pengobatan dan penyembuhan. Tapi, kita perlu memiliki pemahaman mendasar tentang masalah penting ini untuk menyadari gejala-gejala yang timbul untuk kemudian kita dapat memberikan bimbingan tentang di mana kita dapat mencari pertolongan yang tepat.

Beberapa gereja yang hiper-spiritual mungkin akan langsung menghubungkan gejala-gejala ini dengan kuasa Iblis. Dan, gereja-gereja yang sangat konservatif mungkin akan menjauhkan diri dari psikolog, psikiater, dan penggunaan obat. Kesenjangan ini, digabungkan dengan ketiga poinku sebelumnya, bisa menjadi alasan mengapa beberapa pendeta mungkin saja secara diam-diam mengalami pergumulan kesehatan mental, seperti depresi dan gangguan kegelisahan, yang dapat terjadi tanpa disadari oleh gereja selama bertahun-tahun. Biasanya gangguan kesehatan mental ini baru terdeteksi ketika masalah besar atau tragis terjadi. Aku berdoa agar gereja kita dapat bertumbuh dalam pengertian dan penerapan teologi Injil yang baik untuk menghadapi masalah-masalah rumit kehidupan di dalam dunia kita yang rusak ini.

Di gereja kami, kami bekerjasama dengan sebuah pelayanan konseling Kristen dan secara berkala mengundang para pemimpin dan jemaat untuk mengikuti kelas online yang mereka adakan. Pelayanan konseling tersebut menawarkan cara-cara praktis yang memiliki dasar yang baik secara teologis untuk membantu kami memenuhi kebutuhan terkait konseling. Jika gerejamu memiliki akses pada hal-hal ini, aku mendorongmu untuk memperlengkapi dirimu dan belajar lebih lagi tentang bagaimana kita dapat memberikan dukungan terbaik untuk satu sama lain dalam menghadapi berbagai tantangan yang kita temui dalam hidup.

Penutup

Jika aku terkesan seperti orang yang sedang mengeluh tentang gereja atau pekerjaanku sebagai pendeta, itu adalah hal yang tidak benar. Aku mencintai pekerjaanku sebagai pendeta. Aku merasa diberikan keistimewaan bahwa Tuhan memanggilku untuk menjalani panggilan memberitakan berita terbaik yang pernah ada—berita tentang Penebus yang datang untuk menyelamatkanku dari diriku dan memulihkan kebobrokan dunia ini. Itulah obat yang terbaik dan abadi untuk menyembuhkan segala masalah kita.

Untuk mengasihi dan memperhatikan pendeta kita dengan baik, kita tidak boleh berasumsi bahwa kita mengerti sepenuhnya seberapa besar dosa-dosa telah mempengaruhi kita. Dosa bukan hanya mempengaruhi tindakan atau sikap, tapi juga mempengaruhi hati dan kasih kita. Asumsi salah inilah yang dapat membutakan orang yang memiliki karunia rohani sekalipun.

Maka itu, pendeta membutuhkan kasih, doa, dan dukunganmu. Mereka perlu diingatkan terus menerus untuk mencari kelegaan dan harapan di dalam Kristus saja. Mereka perlu ditunjukkan kepada Kabar Baik yang mereka sampaikan berulang kali.

Tidak ada satupun dari kita yang tidak berdosa. Hanya Yesus sajalah, Sang Pahlawan yang tak berdosa. Pendetamu bisa saja mengisahkan kisah tentang Ysus dengan sangat baik, namun dia harus benar-benar “memegang” kisah itu dalam lubuk hatinya.

Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Baca Juga:

Bagaimana Aku Bisa Melayani dengan Sikap Hati yang Benar?

Pada suatu waktu, aku pernah melayani di tujuh pelayanan dan menghadiri lima rapat gereja dalam satu akhir pekan. Aku tidak sedang berusaha menunjukkanmu betapa sucinya aku. Justru, aku sedang memberitahumu betapa konyolnya aku.

Ketika Konflik Terjadi di Gerejaku

Oleh Yunus Kurniawan, Jakarta

“Aku sih sudah tidak respek lagi dengan dia,” sahut seorang rekanku di gereja. Saat itu aku menyebut nama seorang rekan pelayanan lainnya. Namun, rupanya hubungan mereka sedang tidak baik. Rekanku menganggap bahwa orang yang namanya kusebut itu adalah seorang yang egois.

Secuplik peristiwa di atas adalah salah satu dari banyak hal yang kadang membuatku heran. Mengapa gereja, yang seharusnya menjadi tempat di mana komunitas orang percaya berkumpul, memuji Tuhan, saling peduli, dan menguatkan malah menjadi tempat di mana banyak konflik terjadi? Ada jemaat yang tidak suka dengan majelis di gerejanya, atau sebaliknya. Atau, ada pula sederet konflik lain yang terjadi di antar jemaat, antar panitia, bahkan juga antar pemimpin.

Pernah suatu kali aku bersaat teduh dan bacaan renungan hari itu membahas tentang gereja. Renungan itu mengatakan bahwa di dalam gereja orang-orang percaya memuji dan mengagungkan nama Tuhan, bertumbuh dan belajar tentang firman Tuhan, serta saling mengasihi satu sama lain. Gereja dengan keadaan seperti itu adalah wujud kecil dari gambaran surga yang kelak akan datang, atau dalam kata lain mungkin gereja bisa jadi gambaran surga yang ada di dunia. Kalau kita ingin melihat seperti apa relasi di surga kelak, seharusnya kita bisa melihatnya dari gambaran gereja kita.

Tapi, bacaan renungan itu membuatku mengernyit. Aku lalu mengingat bagaimana keadaan gerejaku. “Wah, gerejaku sih banyak konflik. Bagaimana mungkin dikatakan seperti surga kalau di dalam gereja sendiri terdapat persaingan dan permusuhan?” gumamku dalam hati.

Aku pernah mengalami konflik di gerejaku sendiri. Aku menjabat sebagai pengurus di kebaktian umum kedua. Suatu ketika, terjadi macet parah di Jakarta. Dari dua singer yang seharusnya ikut latihan hari itu, hanya satu yang dapat ikut. Peraturan di gerejaku adalah tiap orang yang bertugas melayani harus ikut latihan dulu. Keesokan harinya, pengurus kebaktian pertama meminta tidak usah ada singer saja di kebaktian, karena jika cuma satu orang yang jadi singer, terasa timpang. Namun, usul ini ditolak oleh ketua pengurus kebaktian kedua. Katanya, tidak bagus apabila worship leader hanya melayani sendiri, singer yang tidak ikut latihan tetap harus maju ke depan. Mungkin karena nada bicara ketuaku yang tegas dan keras, terjadilah kesalahpahaman di situ. Rekan-rekan yang merasa tersinggung kemudian menyebarkan kabar tidak benar tentang aku dan rekan-rekan di pengurus kebaktian kedua.

Dampak dari kejadian itu adalah kepengurusan pelayanan kami menjadi tidak nyaman. Aku mengakui bahwa cara ketuaku berbicara mungkin telah melukai hati mereka. Tapi, kupikir itu bukan jadi alasan untuknya menjelek-jelekkan aku dan rekanku ke banyak orang lainnya, apalagi menyebarkan berita yang tidak benar. Aku pikir akan jauh lebih baik apabila dia menyelesaikannya secara empat mata denganku atau ketuaku. Aku pun kecewa dan bertanya-tanya. Gereja yang adalah komunitas Kristen yang harusnya saling membangun, kok malah menjatuhkan dari belakang?

Aku memandang rendah orang yang menyebarkan kabar bohong tentangku. Suasana hatiku tidak lagi nyaman untuk melayani. Aku tahu bahwa sikapku yang memandang rendah temanku itu adalah salah dan dalam hati aku pun bertanya, “Kenapa aku tidak dapat mengasihi teman seimanku? Tapi, tidak ada inisiatif baik dariku maupun rekanku untuk saling berdamai. Hingga suatu ketika, dalam sebuah rapat bersama, majelis gereja meminta kami untuk membahas masalah ini. Aku dan kubu seberang saling bersikeras bahwa kami adalah yang paling benar.

“Jangan saling menyalahkan, tapi belajar untuk mengakui kesalahan dan minta maaf,” majelis gereja menegur kami. Dari teguran itu, kami menyadari bahwa maksud kami untuk membolehkan atau tidak membolehkan singer melayani di mimbar punya tujuan yang baik. Seharusnya kami tidak saling menyerang. Akhirnya, timku dan tim rekanku sepakat untuk berdamai. Kami belajar merendahkan hati, saling memaafkan, dan mengakui bahwa selama ini sebagai pelayan Tuhan kami tidak fokus melayani-Nya, kami malah mencari-cari kesalahan orang lain, kami lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Sebagai satu tim pelayanan dalam gereja, seharusnya kami saling membangun, bukan malah menjatuhkan. Ketika kami sadar dan belajar tentang hal ini, kami merasa lega.

Dari peristiwa konflik yang kualami, aku sadari bahwa tidak ada gereja yang sempurna. Di dalam Alkitab, kita bisa mendapati kisah tentang konflik yang sempat mewarnai pelayanan Paulus dan Barnabas. Dalam Kisah Para Rasul 15:35-41 dituliskan bahwa Barnabas ingin membawa serta Yohanes yang disebut Markus untuk ikut melayani ke kota-kota di mana Injil telah diberitakan sebelumnya. Namun, Paulus menolaknya. Paulus merasa Markus bukanlah seorang yang bisa diajak bekerja sama karena sebelumnya Markus pernah meninggalkan pelayanannya. Alkitab lalu mencatat hal tersebut menimbulkan perselisihan yang tajam di antara Paulus dan Barnabas hingga mereka memutuskan berpisah jalan.

Dari peristiwa ini, kita dapat melihat bahwa antara Paulus dan Barnabas terjadi perbedaan pendapat. Kita pun mungkin pernah mengalaminya di gereja. Pola pikir, pandangan, ataupun cara kerja kita yang berbeda dengan yang lainnya bisa membuat kita berkonflik dengan jemaat lain. Tapi, sesungguhnya hal ini adalah sesuatu yang wajar. Setiap orang dalam gereja, entah itu jemaat, pengurus, majelis, maupun pendeta tentu memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Namun, bagaimanapun kondisi dan latar belakangnya, orang percaya perlu belajar untuk memberikan respons yang benar. Kita tidak boleh mundur begitu saja ketika merasa kecewa. Kita bisa menyelidiki kembali hati kita, melihat kepada Siapa yang sesungguhnya kita layani. Inilah yang dapat menolong kita untuk bertahan dan juga memperoleh kekuatan untuk melewati konflik yang ada.

Kisah Paulus dan Barnabas tidak berakhir hanya di saat mereka memutuskan berpisah. Tuhan menggunakan pelayanan keduanya sebagai cara yang efektif untuk menyebarkan berita Injil. Paulus dan Barnabas pergi melayani di tempat yang berbeda, sehingga mereka pun dapat menjangkau jemaat yang berbeda pula.

Konflik tidak melulu dimulai oleh sesuatu yang besar. Bisa pula oleh hal-hal kecil yang ketika tidak diselesaikan dengan baik, akan menjadi konflik yang membesar. Kita mungkin pernah mengalami salah paham. Kita mungkin pernah tersinggung dan lalu sakit hati karena bercandaan seseorang. Atau bahkan, kita tersinggung karena perkataan dan teguran dari pemimpin kita di gereja hingga akhirnya kita berniat mengundurkan diri dari melayani. Namun, kala konflik terjadi dan kita terdorong untuk membenci orang-orang yang kita anggap sebagai lawan, kita perlu menyadari bahwa ada tujuan mulia dari orang-orang percaya yang berkumpul membentuk suatu komunitas, yaitu untuk menjangkau orang-orang di luar sana dengan membagikan kabar keselamatan tentang Tuhan Yesus. Bagaimana kita dapat menjangkau mereka apabila di dalam pelayanan kita sendiri kita malah saling menyimpan kebencian?

Ketika menyadari bahwa kita adalah orang yang tidak sempurna namun dilayakkan Tuhan untuk melayani-Nya, kita dapat membuka diri dengan saling mengampuni, sebagaimana yang Tuhan Yesus telah perintahkan kepada kita. Seperti konflik yang pernah kualami dulu, terkadang konflik itu bukan melulu bicara tentang siapa salah atau siapa benar, tetapi tentang siapa yang mau mendengar dan meminta maaf, hingga relasi itu dapat pulih kembali.

Tidak ada gereja yang sempurna. Aku yakin setiap gereja pasti pernah mengalami konflik. Hendaknya kita sebagai jemaat Tuhan mengingat bahwa gereja merupakan kumpulan orang-orang berdosa yang telah dipanggil ke dalam terang. Hendaknya kita saling mengasah satu sama lain, belajar rendah hati, memaafkan, dan saling menguatkan satu sama lain.

“Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan” (1 Tesalonika 5:11).

Baca Juga:

4 Tindakan untuk Membuat Masa Kuliah Lebih Bermakna

Masa kuliah adalah masa yang singkat, tapi menentukan langkah hidup kita ke depannya. Buatmu yang sedang kuliah, inilah 4 cara yang kulakukan untuk membuat masa kuliahku lebih bermakna.

Ketika Jumlah Jemaat di Gerejaku Menyusut

Oleh Agustinus Ryanto*, Bandung

Aku berjemaat di sebuah gereja yang jumlah jemaat aktifnya sekitar 300 orang. Selama bertahun-tahun, aku menikmati indahnya persekutuan yang terjalin antara para jemaat. Rasanya tidak ada sekat yang menjadi pemisah antar golongan di gereja.

Di tahun 2011, saat aku duduk di bangku SMA, gereja menunjukku untuk menjadi seorang ketua persekutuan remaja. Aku berdoa dan kemudian menerima panggilan ini. Sebagai ketua, aku jadi lebih banyak terlibat dalam acara internal panitia gereja. Setiap bulan aku harus menghadiri rapat bersama para diaken dan pendeta. Bahkan di rapat anggaran pun aku seringkali hadir, dan menjadi peserta yang paling muda.

Aku menikmati peranku sebagai ketua, sebab jemaat gereja mendukungku untuk melakukan hal-hal baru yang bisa membuat para pemuda menikmati persekutuan di gereja. Namun, seiring aku semakin terlibat aktif, aku mendapati bahwa di balik relasi antar jemaat yang terlihat hangat tersebut tersimpan kerapuhan. Meski saat bertemu satu sama lain mereka tampak hangat dan ramah, tetapi tak jarang aku mendapati ada beberapa dari mereka yang saling menyimpan rasa tidak suka.

Di tahun 2012 aku mundur sebagai ketua remaja karena aku harus menyelesaikan studiku ke lain kota. Praktis, aku jadi tidak terlalu update lagi mengenai kehidupan berjemaat di gerejaku. Aku biasanya pulang ke kota asalku di liburan Natal. Saat itu aku tidak melihat sama sekali kalau konflik di gereja telah menyebabkan susutnya jemaat. Sebab di hari Natal gereja selalu penuh.

Barulah di tahun 2017, saat aku sudah bekerja dan bisa pulang ke rumah setiap bulan, aku menyadari ada banyak orang yang dulu kukenal tak terlihat lagi di gereja. Saat kebaktian berlangsung, barisan kursi di depan terlihat kosong. Aku heran, sebab dulu barisan itu selalu terisi. Pun aku melihat jumlah jemaat yang hadir di minggu ke minggunya tak sebanyak dulu.

“Kok kayaknya jemaat gereja kita semakin sedikit ya?” aku bertanya pada temanku.

Ia mengangguk. “Iya, banyak yang kecewa, saling ngomongin orang, jadi banyak yang milih pindah gereja,” tambahnya.

Selama lima tahun belakangan, konflik yang semula berskala kecil jadi membesar. Awalnya ada kelompok jemaat yang merasa tersinggung dengan ucapan pendeta kami. Yang kutahu adalah sejak awal mereka memang sempat berselisih pendapat dengan sang pendeta. Setelah kejadian itu, alih-alih menegur secara pribadi, kedua pihak saling menceritakan kejelekan masing-masing ke orang lain. Akibatnya, konflik tidak selesai dan banyak jemaat kemudian merasa tidak lagi nyaman bergereja di situ. Sekarang, gerejaku telah kehilangan sekitar seratusan lebih anggota jemaatnya.

Fenomena ini membuatku merasa sedih dan bertanya-tanya, bagaimana bisa ikatan jemaat yang adalah anggota tubuh Kristus terkoyak karena konflik?

Perenunganku akan pertanyaan-pertanyaan itu kemudian membawaku pada sebuah poin-poin pembahasan yang kupikir relevan dengan bagaimana seharusnya kita berelasi dengan sesama tubuh Kristus.

1. Komunitas orang percaya bukanlah objek yang kebal dari konflik

Komunitas orang percaya, entah itu berupa persekutuan mahasiswa di kampus atau gereja, bukanlah objek yang kebal dari konflik. Menjadi orang Kristen bukan berarti menghilangkan risiko konflik dalam relasi dengan sesama tubuh Kristus. Konflik akan terus ada, hanya, menjadi pengikut Kristus seharusnya membuat kita mengatasi konflik tersebut dengan cara-cara yang meneladani Kristus.

Alkitab, dalam Kisah Para Rasul 15:35-41 mencatat bahwa Paulus dan Barnabas pernah berkonflik saat mereka berada di Antiokhia. Waktu itu Paulus berencana melakukan perjalanan mengunjungi jemaat-jemaat. Barnabas ingin supaya Markus turut serta dalam perjalanan itu. Tapi Paulus menolak usul Barnabas, sebab dia menganggap bahwa Markus pernah memiliki track-record yang buruk, sedangkan Barnabas ingin memberi kesempatan kedua kepada Markus. Akibatnya timbul perselisihan tajam di antara Paulus dengan Barnabas (ayat 39). Mereka pun lalu berpisah.

Alkitab memang tidak mencatat bagaimana kelanjutan pelayanan Barnabas dan Markus setelah perselisihan ini. Tapi satu hal yang menarik adalah Tuhan mengizinkan hal ini terjadi supaya Injil tersebar lebih luas lagi. Dalam Kisah Para Rasul 16:6-7, tertulis bahwa kunjungan Paulus dan Silas menjadi perjalanan untuk menyebarkan Injil kepada bangsa-bangsa lain.

Ketika konflik terjadi, hal yang perlu kita lakukan adalah berdoa memohon kepekaan dari Tuhan supaya kita dapat melihat masalah dengan jernih, dengan sudut pandang kasih, bukan melulu untuk menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Apabila konflik terasa terlalu rumit untuk diselesaikan sendiri, kita dapat meminta bantuan pihak lain yang lebih dewasa. Dan yang juga penting adalah jangan menyerang pribadi pihak yang kita anggap sebagai lawan.

Aku tidak tahu bagaimana keadaan jemaat-jemaat di gerejaku yang undur diri tersebut. Aku berharap kiranya mereka tidak undur dari iman mereka, melainkan tetap melayani Tuhan di mana pun mereka berada.

2. Komunitas orang percaya harus siap untuk menegur dan ditegur

Hal yang memperuncing konflik di gerejaku adalah sikap jemaat yang suka membicarakan orang lain di belakang. Ketika si A melihat si B melakukan kesalahan, dia tidak menegur secara pribadi, melainkan si A akan menyebarkannya kepada orang-orang lain. Aku menyaksikan sendiri bagaimana seorang jemaat yang kukenal menceritakan keburukan seorang jemaat lainnya kepadaku, padahal aku tidak tahu apa-apa, baik tentang masalah mereka maupun orang yang dia ceritakan. Mungkin ada beberapa orang yang menganggap bahwa “curhat” kepada orang lain yang dirasa netral adalah baik, tetapi kita perlu mengeceknya kembali dengan apa yang firman Tuhan katakan.

Dalam Matius 18:15, Tuhan Yesus berkata: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.”

Ketika seseorang berbuat kesalahan atau mungkin memiliki keburukan, Tuhan Yesus tidak meminta kita untuk menyebarkan kesalahan itu kepada banyak orang. Melainkan, Tuhan Yesus meminta kita untuk menegurnya secara empat mata. Sampaikanlah teguran itu dengan rendah hati. Pikirkanlah kata-kata yang tepat dan membangun, bukan dengan caci maki atau umpatan. Serta, kita bisa meminta pertolongan Roh Kudus agar lewat kata-kata yang kita ucapkan, orang tersebut dilembutkan hatinya.

3. Kuantitas bukanlah permasalahan utama

Konflik yang telah terjadi di gerejaku mungkin telah membuat banyak jemaatnya mengundurkan diri, hingga jumlah kehadiran di gereja terus menyusut. Sebelum menyalahkan mereka yang undur dari gereja, kupikir ini adalah momen yang tepat untukku juga jemaat gereja yang masih bertahan, untuk menyelidiki kembali hati kami masing-masing. Apakah kami sudah melakukan bagian kami sebagai jemaat dengan baik atau tidak?

Di dalam Kisah Para Rasul 2:42-47, para jemaat mula-mula dituliskan sebagai jemaat yang bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka berkumpul untuk memecah roti dan berdoa. Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan saling berbagi dan memperhatikan kebutuhan masing-masing. Mereka melakukan semuanya itu dengan gembira dan dengan tulus hati. Hingga akhirnya, dalam ayat 47 tertulis demikian: “Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Mungkin ada di antara kamu yang di gerejanya juga mengalami keadaan serupa sepertiku. Aku percaya bahwa konflik dalam gereja juga bisa dipakai Tuhan sebagai sarana untuk mendewasakan jemaat-Nya. Mungkin jemaat di gerejaku sekarang semakin sedikit, tetapi kupikir ini adalah pelajaran berharga agar kami kembali kepada cara hidup jemaat seperti yang Kisah Para Rasul tuliskan. Ketika jemaat Tuhan bertekun dalam pengajaran dan mengikuti teladan Kristus, maka Tuhan jugalah yang akan mempercayakan lebih banyak jiwa-jiwa untuk digembalakan di gereja.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Yang Aku Pelajari Ketika Retret Kampusku Dibatalkan di Hari H

Acara yang sudah kami persiapkan berbulan-bulan dan menelan biaya puluhan juga harus batal hanya karena surat izin kegiatan yang tidak pernah kami tahu. Kami kecewa. Namun, di sinilah Tuhan mengajari kami satu hal.

Aku Tidak Puas dengan Gerejaku, Haruskah Aku Bertahan?

Aku-Tidak-Puas-dengan-Gerejaku-Haruskah-Aku-Bertahan

Oleh Dorothy Norberg, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Should I Stay If My Church Doesn’t Satisfy Me?

Aku berjemaat di sebuah gereja kecil yang dulu begitu aku sukai.

Tapi sekarang, setelah 5 tahun dan begitu banyak perubahan yang tak diduga sebelumnya, jumlah jemaat kami semakin berkurang. Tak ada lagi jemaat lain yang seusiaku saat ini, dan aku tidak lagi merasa nyaman berjemaat di gereja itu.

Jika kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan pindah ke gereja lain yang musik, khotbah, dan acara-acaranya lebih baik supaya kamu mendapatkan pengalaman bergereja yang “lebih”?

Beberapa orang mungkin menganggap itu seperti pergi ke berbagai pasar yang berbeda untuk mencari bahan-bahan yang kita perlukan untuk memasak makanan yang lezat. Mereka juga mungkin akan mengatakan bahwa kita perlu memilih gereja di mana kita dapat merasa puas dan merasakan kehadiran Tuhan di dalamnya.

Namun aku menyadari bahwa ketika kita hanya melihat pengalaman-pengalaman yang tampak di permukaan dan memutuskan untuk berpindah-pindah gereja, kita sedang menjauhkan diri kita dari sukacita akan rasa memiliki. Pertumbuhan terjadi ketika kita mau berakar dan berkomitmen.

Dari pendalaman Alkitab yang kulakukan, aku menjadi semakin yakin bahwa keanggotaan gereja adalah sebuah fondasi spiritual yang penting dan tidak dapat kita abaikan.

Di musim panas kali ini, teman baikku mengobrol denganku tentang mengunjungi berbagai gereja bersama di musim gugur nanti. Dia sedang bersiap-siap untuk masuk kuliah dan membutuhkan gereja yang lebih dekat dengan kampusnya. Dia mendorongku untuk pindah gereja dan mencari gereja yang usia jemaatnya sepantaran denganku. Tapi aku merasa belum siap mengambil keputusan itu. Di samping karena aku menghargai keanggotaan gereja, aku juga tidak mau berpindah gereja hanya karena mengikuti teman. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mencari kesempatan pelayanan di dalam gerejaku, dan berdoa tentang kehendak Tuhan bagi masa depanku.

Proses ini memaksaku untuk memeriksa apa yang sebenarnya menjadi motivasiku datang ke gereja. Apakah kriteria gereja yang utama bagiku adalah gereja yang memenuhi kebutuhan emosional dan sosialku? Atau aku datang ke gereja karena sebuah tujuan yang lebih besar? Seringkali aku merasa tidak termotivasi untuk datang ke gerejaku dan aku berharap aku pergi ke tempat lain, tapi aku peduli dengan jemaat-jemaat yang lain di sekitarku. Aku tahu bahwa peranku dalam gereja semakin dibutuhkan seiring dengan jumlah jemaat yang berkurang. Meskipun aku merasa peranku begitu terbatas dan tidak memuaskan, aku tahu bahwa inilah gereja di mana Tuhan menginginkanku berada di dalamnya saat ini.

Keadaanku saat ini tidaklah ideal atau memuaskan, tetapi aku tahu apa hal yang penting. Aku mendengar firman Tuhan dengan setia disampaikan, memuji Tuhan bersama orang-orang percaya, mengikuti perjamuan kudus, dan berbagi hidup dengan orang-orang yang aku pernah berjanji untuk saling berbagi, mengasihi, dan melindungi.

Ketika aku berjemaat di sebuah gereja, itu memungkinkanku untuk melakukan apa yang firman Tuhan perintahkan—agar kita saling mengasihi, saling mengampuni, saling menguatkan, dan saling menolong dalam menanggung beban. Ketika aku memutuskan untuk membagikan hidupku pada mereka, mereka juga membagikan hidup mereka padaku, dan kami memiliki kesempatan untuk dikenal dan dikasihi oleh sebuah komunitas yang kita pilih bukan karena kesamaan minat, tapi karena Kristus.

Tanpa komitmen pada sebuah gereja, memang kita masih bisa mendengar khotbah, menyanyikan lagu pujian, dan bertumbuh dalam iman lewat saat teduh pribadi. Tetapi, Tuhan tidak membentuk kita untuk menghidupi iman kita sendirian. Perjanjian Baru memberikan banyak contoh tentang kehidupan gereja dan mendeskripsikan gereja sebagai mempelai Kristus, tubuh Kristus di dunia, dan tempat di mana pertumbuhan rohani dan komunitas rohani terbentuk. Pergi ke gereja bukanlah tentang mencari sebuah pengalaman semata, tetapi tentang berkumpul bersama saudara seiman kita. Itu adalah sebuah disiplin rohani yang baik yang perlu kita bangun.

Aku tidak bisa menghidupi kehidupan Kristen seorang diri saja. Aku butuh masukan dari orang-orang percaya lainnya untuk melengkapi pemikiranku, mendorongku untuk melayani, menegurku untuk meninggalkan dosa-dosaku, dan mendukungku.

Aku tahu kalau aku berhenti pergi ke gereja, jemaat yang lain akan mencariku; dan jika aku bergumul dengan keputusanku atau tidak yakin dengan kehendak Tuhan bagiku, mereka yang mengenal dan mengasihiku dapat memberikan masukan. Aku juga akan melakukan hal serupa untuk mereka, dan aku tidak mau memutus hubungan yang erat ini hanya karena perasaan ketidakpuasanku yang sementara.

Berada di gereja bukanlah tentang kenyamananku, rasa pemenuhanku, atau tentang mudahnya membangun relasi dengan orang lain. Tapi, menjadi jemaat gereja adalah suatu hubungan yang diikat berdasarkan perjanjian, dan tak peduli apa pun perasaanku, aku tahu kalau aku dan jemaat gerejaku saling memperhatikan; ada rasa tanggung jawab di dalamnya. Sekalipun tanggung jawab ini mungkin terlihat seperti sebuah beban, aku tahu bahwa semua itu setimpal dengan apa yang kita dapatkan nantinya.

Bahkan ketika aku merasa terabaikan, aku tahu bahwa aku diperhatikan, dikasihi, dan dihargai, dan bahwa Tuhan menempatkanku di gerejaku ini untuk suatu alasan. Aku tidak mau menjadi apatis atau keras kepala, tapi aku beriman bahwa Tuhan bekerja melalui hal-hal kecil yang kita temui sehari-hari. Dia menggenapi tujuan-Nya melalui mereka yang mau berkomitmen dan rindu dipakai oleh-Nya.

Baca Juga:

Aku Gak Pintar Berdoa

Seringkali, kita sebagai orang Kristen enggan berdoa karena merasa tidak pandai berkata-kata, atau menganggap doa kita terlalu sederhana. Tapi, sesulit itukah berdoa? Setelah aku memahami apa esensi dari sebuah doa, kurasa doa bukanlah hal yang sulit.