Pertama-tama, Jeff memang tidak punya nama belakang. Sejak ia bertobat, Tuhan Yesus terus menumbuhkan imannya hingga melanjutkan studi dan sekarang bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup di Singapura. Berbagai kelompok pemuridan yang ia ikuti menginspirasi Jeff untuk aktif memuridkan orang lain, terutama lewat tulisan. Di waktu luangnya, kamu bisa menemukan Jeff sedang bersekutu dengan teman, nature walk , atau membaca.

Posts

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Oleh Jefferson, Singapura

Dalam pekerjaanku sebagai konsultan lingkungan hidup, aku sering melakukan kerja lapangan di berbagai habitat. Survei lingkungan ini umumnya dilakukan di siang hari, tapi baru-baru ini aku mendapat kesempatan untuk melakukan survei di malam hari.

Walaupun lingkup pekerjaan survei malam sama dengan survei siang—yaitu mengamati hewan dan tumbuhan apa saja yang ada di lokasi—perbedaan dalam hal pencahayaan memberikan kesan yang amat berbeda. Di siang hari, aku merasa jauh lebih aman karena dapat mengamati sekelilingku dengan jelas sehingga dapat mengantisipasi ancaman hewan liar, cuaca, maupun dahan jatuh dengan baik. Sebaliknya, di malam hari aku jauh lebih waswas, menyorotkan senter ke berbagai arah untuk mengamati berbagai spesies nokturnal sekaligus memastikan aku aman dari bahaya apa pun.

Namun bukan alam saja yang membuatku gelisah ketika melakukan survei malam.

Sambil berjalan menelusuri salah satu rute pengamatan, seorang kolega menanyakan kesanku mengikuti survei malam untuk pertama kalinya.

“Kamu takut gak, Jeff?” tanyanya.

Aku mengangguk singkat.

“Terhadap ancaman natural atau supernatural?”

Aku termenung sejenak sebelum menjawab dengan enggan, “Keduanya.”

“Apakah kamu takut kegelapan?”

Sebagai orang Indonesia, seharusnya aku cukup akrab dengan situasi mati lampu. Cahaya malam Singapura juga seharusnya cukup kuat untuk menerangi hampir seluruh pelosok negeri. Belum lagi identitasku sebagai pengikut Kristus, Tuhan atas segala ciptaan, baik yang natural maupun supernatural. Mengapa aku masih takut kegelapan?

Setelah mengamatinya dengan lebih saksama, kegelapan malam waktu itu tidak terasa biasa buatku karena:

  • Kami sedang berada di tengah-tengah hutan di salah satu pojok pulau;
  • Waktu tercepat untuk keluar situs dari lokasi kami adalah sekitar 20 menit;
  • Ada banyak babi hutan dan anjing liar yang berkeliaran di hutan itu, yang kami ketahui dari survei siang;
  • Semua senter sedang dimatikan dan kami sedang berdiri sediam mungkin karena ingin mengecek apakah ada kunang-kunang di sekitar tempat itu; dan
  • Walaupun cahaya malam Singapura membantu mata beradaptasi terhadap kegelapan di sekeliling, kami tetap tidak dapat melihat lingkungan sekitar dengan jelas.

Menghadapi situasi seperti itu, aku percaya sebagian besar dari kita akan secara alamiah merasakan rasa takut, sekecil apa ketakutan itu. Indera-indera kita serasa dipaksa bekerja lebih keras untuk memastikan keamanan diri ini.

Di tengah-tengah kegelapan yang mencekam, menariknya aku secara sadar mengamati dan merenungkan kondisi ini dan bagaimana aku bereaksi terhadapnya. Aku tidak yakin mengapa aku menanggapinya demikian, sampai aku menengadah ke langit dan melihat bulan yang bersinar terang di atas langit, yang kuabadikan berikut:

Saat itu juga aku memahami apa yang Tuhan sedang ingin sampaikan padaku dalam kaitannya dengan Paskah yang akan kita peringati beberapa hari lagi. Semuanya itu terangkum dalam satu ayat yang mendadak bergema keras dalam benakku:

“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yesaya 9:1).

“Berjalan di dalam kegelapan”: pilihan Yehuda

Kamu mungkin heran dengan ayat yang kukutip di atas, yang umumnya lebih sering dibagikan dan dibahas di momen perayaan Natal. Tapi kalau kita mempertimbangkan latar belakang ayat ini dari perikop-perikop sebelumnya, kita dapat melihat jelas hubungan ayat ini dengan Paskah.

Di Yesaya 7, TUHAN memerintahkan Raja Ahas untuk meminta pertanda dari-Nya (7:11) setelah Ia menjanjikan akhir daripada musuh-musuh Yehuda—Kerajaan Aram dan Israel—yang menggetarkan hati seluruh rakyat Yehuda (7:2). Perintah ini Ia berikan untuk menguatkan iman Raja Ahas yang lemah, yang pada akhirnya benar-benar berpaling dari Tuhan dan bergantung pada Kerajaan Asyur untuk menghadapi ancaman Aram dan Israel (2 Raj. 16:1-9).

Namun, apa daya, Raja Ahas menolak belas kasihan Tuhan ini dengan menjawab, “Aku tidak mau meminta, aku tidak mau mencobai TUHAN” (ay. 12). Lelah terhadap ketidakpercayaan Raja Ahas (ay. 13), Yesaya menubuatkan kelahiran Imanuel sang Mesias yang akan terjadi setelah Aram dan Israel jatuh oleh tangan Asyur (ay. 14-16). Asyur sendiri akan menjadi ancaman yang lebih besar dari keduanya dan meruntuhkan Kerajaan Yehuda.

Pasal 8 menceritakan penggenapan nubuatan TUHAN ini: kelahiran Maher-Syalal Has-Bas anak Yesaya sebagai pertanda jangka pendek daripada akhir Aram dan Israel (ay. 1-4), Asyur yang akan datang menindas Yehuda (ay. 5-8), kemenangan sang Imanuel dan kehancuran musuh-musuh TUHAN di masa depan (ay. 9-10), dan panggilan kepada sisa Kerajaan Yehuda (ay. 16-18) untuk percaya dan bernaung di dalam TUHAN (ay. 11-15) di tengah-tengah kebobrokan bangsa yang meletakkan iman mereka pada roh-roh peramal dan orang-orang mati (ay. 19-20). Oleh karena pilihan mereka sendiri, bangsa pilihan Allah akan mengalami “kesesakan dan kegelapan”, di mana mereka akhirnya akan dibuang ke dalam kegelapan pekat (ay. 21-22).

Kalau pasal 8 berakhir di sana, siapa pun yang membaca pasti juga ikutan sesak menyaksikan nasib tragis Yehuda. Mereka yang adalah umat pilihan Allah berpaling dari-Nya dan memilih untuk percaya kepada ilah-ilah palsu. Di saat yang sama, TUHAN menjanjikan sisa orang-orang yang masih percaya kepada-Nya, tapi akankah mereka bertahan hingga kesudahannya di tengah dunia yang gelap?

Terang yang bersinar di tengah kegelapan

“Tetapi tidak selamanya akan ada kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu TUHAN merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain” (Yesaya 8:23).

Ayat terakhir dari pasal 8 tersebut memberikan sebuah plot twist dan mempersiapkan kita yang membaca untuk melihat Terang harapan di tengah kegelapan kelam (9:1). Sisa umat yang masih percaya kepada-Nya dilipatgandakan Allah menjadi sekumpulan besar yang menaikkan sorak penuh sukacita seperti waktu panen (9:2), kuk, gandar, dan tongkat penindasan dipatahkan-Nya (9:3), dan semua musuh Ia umpankan ke dalam api (9:4) melalui tangan sang Raja Damai, Imanuel (9:5).

Pendengar-pendengar pertama dari nubuatan—yang ditulis kira-kira 2800 tahun yang lalu— tentunya sudah tiada ketika Tuhan Yesus datang, mati di atas kayu salib, dan bangkit, tapi mereka merasakan langsung apa yang dimaksud Firman Tuhan dengan “kesesakan dan kegelapan”. Sambil merenungkan Yesaya 9:1 ketika survei malam, aku membayangkan kondisi penduduk Yehuda di zaman itu, yang malam harinya hanya diterangi bulan, lilin, dan api unggun. Tidak hanya kegelapan secara fisik, secara rohani mereka sedang mengalami suatu krisis. Kerajaan Aram dan Israel sedang bersekongkol untuk menghabisi mereka. TUHAN telah berbicara melalui nabi-Nya Yesaya, tetapi Raja Ahas menolak-Nya mentah-mentah dan menyiapkan siasat perlawanan dengan bergantung pada Asyur. Rakyat pun diperhadapkan dengan pilihan untuk tetap setia kepada TUHAN atau mengikuti kebebalan Raja Ahas.

Perenungan tentang pilihan respons penduduk Yehuda di masa lampau ini lalu membawaku untuk merenungkan pilihan respons manusia di masa kini terhadap pesan yang Allah sampaikan dalam Firman-Nya yang melewati batasan ruang dan waktu. Kita mengetahui bahwa kira-kira 800 tahun setelah dinubuatkan, jauh setelah Aram dan Israel “ditinggalkan kosong” (7:16), pertanda yang ditolak oleh Raja Ahas benar-benar datang sebagai anak laki-laki dari seorang perawan (7:14). Terang ilahi itu sendiri, oleh karena kasih-Nya kepada umat ciptaan-Nya yang selama ini hilang dalam kegelapan, memutuskan untuk menjadi sama seperti kita dan tinggal di antara kita. Kegelapan yang telah menguasai bumi sejak lama pun berusaha melenyapkannya dengan menyalibkan-Nya di atas kayu salib, tetapi Ia bangkit tiga hari kemudian sebagai Raja Damai yang mengalahkan kegelapan. Dunia ini masih gelap, tetapi layaknya bulan yang bersinar terang dan memberikanku sedikit rasa aman di malam aku melakukan survei, Terang Kristus bersinar cemerlang dan menyatakan kebenaran yang memberi pengharapan: Realita sebenarnya adalah diri-Nya, bukan kegelapan. Walaupun sekeliling kita gelap dan membuat kita terdisorientasi dan takut, selama kita membuka mata lebar-lebar dan memfokuskan diri kepada Tuhan Yesus, kita dapat hidup di dalam damai sejahtera-Nya yang tidak akan berkesudahan (9:6).

Merangkul atau menjauhi Terang: pilihan kita(?)

Sebuah kutipan populer berbunyi demikian, “Terang bersinar paling cemerlang di tengah-tengah kegelapan yang paling pekat.” Di momen Paskah di atas kayu salib sekitar 2000 tahun yang lalu, kalimat itu mengambil wujud nyata dalam pribadi Kristus yang tergantung di atas kayu salib dan bangkit tiga hari kemudian untuk menyatakan kemuliaan Allah di tengah kegelapan dunia yang telah dicemarkan dosa.

Inilah Terang itu, Terang yang menghangatkan, memberi pengharapan, dan melenyapkan segala kegelapan di dalam dan di luar diri manusia. Terang itu selalu ada di sekeliling kita. Bahkan, di tengah-tengah wabah COVID-19 yang membuat kegelapan dunia terlihat lebih pekat, Terang itu terlihat bersinar lebih cemerlang. Tuhan Yesus bukanlah solusi langsung atas segala permasalahan yang kita hadapi, tetapi Ia “adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah” (2 Kor. 1:20). Melalui karya kematian dan kebangkitan-Nya, setiap janji Allah telah digenapi sehingga “segala sesuatu [termasuk wabah COVID-19 ini] mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28).

Pertanyaannya adalah, apakah kita mau membuka mata dan merangkul realita Terang itu, atau menjauhi-Nya seperti Raja Ahas? Apakah kita mengasihi Kristus sang Terang dan hidup dalam kepatuhan kepada-Nya sebagai Tuhan kita, atau menolak Kristus dan memilih untuk hidup dalam kegelapan, menyembah hal-hal yang bukan Allah seperti kebanyakan rakyat Yehuda di zaman Raja Ahas?

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Saat Ibadah Menjadi Online, Apakah Hati Kita Connect pada Tuhan?

Ketika peribadahan berubah menjadi online, muncul pro dan kontra. Namun, kiranya kita bisa melihat fenomena tak sebatas boleh dan tidak.

Yuk baca artikel ini.

Yang Kuinginkan Untuk Natal Hanyalah…

Oleh Jefferson, Singapura

Gambar meme “Namaku Jeff” yang menyembul di antara tumpukan kado seolah-olah memang diletakkan demikian untuk menarik perhatianku. Di komisi remaja, kami memang sedang mengadakan pertukaran kado untuk merayakan Natal, tapi tidak kusangka pemberi kadoku memutuskan untuk mengemas hadiahnya sejelas itu. Melirik ke para remaja yang kumuridkan dan pemuda-pemudi lain yang melayani di komisi remaja, daftar tersangka pemberi kadoku langsung mengerucut ke beberapa nama.

Waktu membuka kado pun tiba. Jantungku berdebar penuh antusiasme. Si pemberi kado dengan cerdik membungkus kadonya dengan beberapa lapis koran. Rasa ingin tahuku semakin menjadi-jadi. Ia pasti memilih kado yang sangat cocok untukku! Lapisan demi lapisan kertas bungkusan kubuka hingga tiba pada isi kadonya.

Seketika aku tertegun.

Aku memelototi benda yang seharusnya adalah hadiah untukku. Dan, bukan hanya aku saja, satu ruangan nampaknya ikutan sunyi senyap, menunggu dan memperhatikan dengan saksama apa yang akan menjadi reaksiku terhadap “kado” yang kupegang. Waktu terasa berjalan sangat lambat. Aku seperti menemukan granat tangan yang setelah kuperiksa lebih lanjut, ternyata sudah kehilangan pin pengamannya. Tentu saja bom itu meledak beberapa detik kemudian. Tapi bukan hadiahnya; aku yang meledak dalam murka putih-panas.

“APA-APAAN INI?! MEMANGNYA INI SEBUAH LELUCON?!”

Seperti korban ledakan bom yang setengah sadar setelah bom itu meledak, aku hanya dapat mengingat sekelebat dari apa yang terjadi setelahnya. Aku berusaha mengendalikan amarah semampuku sambil meletakkan “hadiah” itu sejauh mungkin dariku. Beberapa orang mencoba menghibur. Aku mengingat para remaja dan pemuda-pemudi lainnya mendapatkan hadiah yang layak. Wajah mereka terlihat gembira sementara aku hanya duduk di bangku, memasang senyuman terpaksa di tengah-tengah badai yang berkecamuk hebat di dalam hatiku.

Sambil menyaksikan yang lain membuka kado, mendadak ada suara yang berbisik dalam hatiku, “Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Pertanyaan itu mengusikku selama beberapa waktu, bahkan setelah pemberi kadoku yang usil meminta maaf kepadaku dengan sungguh-sungguh, bahkan setelah aku mengampuninya dengan penuh, bahkan setelah aku menerima kado pengganti darinya, bahkan setelah aku melewati beberapa acara tukar kado berikutnya. Usikan itu baru berhenti ketika aku menemukan jawabannya dari tempat yang paling tidak kuduga: acara Natal Sekolah Minggu yang turut kupersiapkan sebagai salah satu panitia.

“Apa yang sesungguhnya kamu inginkan dari Natal?”

Di tahun-tahun sebelumnya, adalah drama yang diperankan oleh guru-guru yang membedakan acara Natal Sekolah Minggu dengan pelajaran biasa, entah dalam bentuk cerita kelahiran Yesus, adaptasi buku cerita anak, atau percakapan dengan seorang anak gembala. Tapi, tidak ada drama tahun ini. Oleh karena keterbatasan waktu dan pelayan, panitia memutuskan untuk mengadakan acara Natal yang sederhana namun bermakna. Berangkat dari senandung lagu “All I Want for Christmas is You” setelah sekitar dua jam mendiskusikan tema tanpa hasil, kami di tim panitia menyadari bahwa judul lagu itu dapat menjadi pelajaran yang baik bagi anak-anak.

“Apa yang kamu inginkan untuk Natal?” Dunia mengajarkan anak-anak (dan juga kita) untuk mengharapkan hadiah yang bagus, santapan yang mewah, serta perjalanan liburan yang menyenangkan untuk Natal. Semuanya itu baik, tapi tidak menggambarkan makna Natal dengan utuh. Di balik segala gemerlap gemilang Natal adalah kedatangan pertama yang sederhana daripada Yesus Kristus, sang Tuhan dan Juruselamat, untuk memberikan diri-Nya sendiri sebagai korban penebusan atas manusia berdosa. Dibandingkan dengan Tuhan Yesus, kado, makanan, maupun liburan kehilangan daya tariknya. Tidak ada hadiah yang lebih baik dan berharga daripada Tuhan Yesus. Berangkat dari perenungan ini, kami di tim panitia ingin anak-anak Sekolah Minggu pertama-tama dan terutama menginginkan sang Pemberi dan Sumber dari segala berkat yang mereka akan terima di masa Natal ini.

Di saat yang sama, kami memahami konteks Singapura, “kota ke mana [kami Tuhan] buang” (Yeremia 29:7) yang aman dan nyaman serta dapat membatasi pemahaman anak-anak terhadap tema di atas. Bagaimana mereka dapat mengerti betapa berharga dan menakjubkannya kedatangan pertama Tuhan Yesus kalau mereka terus diimingi-imingi dengan hal lain sebagai makna utama dari Natal? Dalam rahmat Tuhan, kami mengantisipasinya dengan menunjukkan kepada anak-anak realita penganiayaan terhadap orang Kristen di belahan bumi lain di mana Injil Kristus dilarang dibagikan. Anggota-anggota tubuh Kristus yang lain ini memahami dengan jelas (dan sangat mungkin lebih dalam dari kita) signifikansi dari kedatangan Tuhan Yesus yang pertama. Begitu besar dampak dari makna sesungguhnya Natal bagi kehidupan mereka sehingga mereka terus bertekun dalam iman dan membagikan Injil di tengah-tengah penganiayaan dan penderitaan. Harapan kami adalah anak-anak bisa belajar dari dan meneladani saudara-saudari kita ini. Puji Tuhan, kami menemukan sebuah video yang menyampaikan pesan ini dengan baik.

Dua bulan berikutnya kami gunakan semaksimal mungkin untuk mempersiapkan acara Natal di minggu kedua bulan Desember. Kulalui rapat-rapat lanjutan, latihan ibadah, pembuatan properti pendukung acara, serta pemanjatan doa kepada Tuhan agar Ia sendiri yang beracara dan berbicara kepada setiap pribadi yang menghadiri acara Natal Sekolah Minggu.

Doaku pun dijawab oleh Tuhan. Di tengah-tengah perayaan Natal, setelah mengikuti ibadah dan mendengarkan Firman Tuhan disampaikan oleh guru injil, dan sambil mengawasi proses berjalannya keseluruhan acara, tiba-tiba aku teringat acara tukar kado di komisi remaja minggu sebelumnya. Dalam retrospeksiku, aku menyadari reaksiku agak terlalu berlebihan dan pada level yang fundamental merupakan reaksi yang keliru. Sebagai salah satu panitia yang merumuskan tema di atas, seharusnya aku sendiri telah memahami dengan baik kebenaran tentang apa yang harusnya kuinginkan untuk Natal: Tuhan Yesus. Namun, dalam naturku sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang berdosa, tanpa sadar aku telah menginginkan hal-hal lain di luar Kristus sebagai yang terutama untuk Natal tahun ini. Aku jatuh ke dalam godaan untuk mengutamakan diri sendiri di atas Tuhan dan sesama sehingga ketika mendapatkan “hadiah” tersebut, aku langsung emosi dan merasa egoku telah dilukai.

Di satu sisi, kasih antara saudara seiman sepatutnya dinyatakan dengan cara yang tepat dan memikirkan perasaan pribadi si penerima, tidak seperti “hadiah” yang kuterima waktu itu. Di sisi yang lain, ketika kita sudah menerima Kristus yang adalah hadiah yang terbaik dan berharga melebihi segalanya, kita seharusnya menjadi lebih sulit tersinggung karena kita memiliki sukacita dan damai sejahtera Kristus yang tidak dapat digoncangkan oleh suatu hal apa pun (Yohanes 14:27). Kita juga jadi lebih memahami dan dimampukan untuk melakukan perintah Tuhan dalam Efesus 4:32, “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”

Syukur kepada Allah Tritunggal atas pembelajaran yang memperkaya pengenalanku akan dan memperdalam kasihku kepada diri-Nya dan sesama.

Sebuah ajakan untuk Natal 2019

Awalnya aku tidak berencana untuk menulis bulan ini, tetapi ketika Tuhan mengizinkan peristiwa-peristiwa yang kuceritakan di atas terjadi, aku tahu aku tidak bisa tidak membagikannya dalam tulisan. Aku berharap Tuhan dapat memberkatimu lewat pengalamanku tersebut. Melaluinya juga aku ingin mengajakmu melakukan beberapa tindakan di bawah untuk Natal di tahun 2019 ini:

  • Memeriksa diri akan kesalahan-kesalahan kita, mengakui dosa-dosa kita, dan meminta pengampunan kepada Tuhan dan pihak yang telah kita lukai;
  • Mengampuni kesalahan-kesalahan orang lain terhadap diri kita, mengingat bahwa Tuhan telah terlebih dulu mengampuni kita di dalam Kristus;
  • Mendoakan, menghubungi, dan membagikan Kabar Baik akan kesukaan yang besar (Lukas 2:10) kepada satu teman/kerabat yang belum percaya; dan
  • Ketika mengikuti acara tukar kado, memikirkan dengan baik apakah hadiah yang akan diberikan dapat semakin membangun si penerima kado dalam kasih dan sukacita di dalam Kristus Yesus.

Mungkin kita biasanya menghindari melakukan hal-hal yang kusebutkan di atas, tapi ketika momen tahunan untuk memperingati kedatangan Tuhan Yesus yang pertama tiba, kita memiliki dua pilihan: terus berusaha menghindar, atau menghadap takhta Kristus dengan seluruh keberadaan kita sehingga kasih-Nya mengalir dan melimpah dalam hidup kita. Pilihan manakah yang akan kamu ambil?

Baca Juga:

Sebuah Salib yang Menegurku

““Ah, paling isinya gelas, mug, pigura, atau dompet,” kataku dalam hati.

Namun, tebakanku salah.

Bukan benda biasa yang ada dalam kado itu, melainkan sebuah salib kecil.”

Menghidupi Sisi Terang Pelayanan dalam Anugerah Tuhan

Oleh Jefferson

Dalam tulisanku sebelumnya, aku membagikan pengalamanku bergumul dengan depresi selama melayani belakangan ini. Kunamakan pergumulan tersebut “sisi gelap pelayanan” karena kebanyakan dari kita menyembunyikan perjuangan kita melawan depresi dari orang lain. Depresi bagaikan kegelapan di pojok ruangan yang lama-lama semakin pekat dan menguasai hati kita tanpa kita sadari sama sekali. Maka sangatlah penting untuk kita terus “bertahan dan berjalan dengan teguh dalam terang Tuhan di tengah bayang-bayang sisi gelap pelayanan, mengingatkan diri dan sesama dari waktu ke waktu bahwa kita telah menerima kuasa dari Kristus untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12).”

Kukira kontribusiku untuk tema bulan ini telah kukerjakan dengan baik lewat tulisan di atas. Namun, ketika membaca kembali tulisanku setelah ia diterbitkan, aku menyadari ada pertanyaan penting yang tidak kujawab: Mengapa aku terus melayani meskipun ada sisi gelap yang begitu menakutkannya? Beranjak dari pemikiran itu, aku sekali lagi merasakan dorongan yang kuat dari Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban atas pengharapan ilahi (1 Pet. 3:15) yang memampukanku terus memberi diri melayani.

Tuhan telah memberikanku kasih karunia-Nya dan menjadikanku sebagaimana aku ada sekarang, maka aku memberikan diri melayani untuk menikmati dan memuliakan-Nya.

Untuk memahami kalimat di atas, kita akan merenungkan dua ayat dari surat rasul yang mendasari pemikiran tersebut. Bisakah kamu menerka ayat mana saja yang kumaksud?

“Tuhan telah memberikanku kasih karunia-Nya dan menjadikanku sebagaimana aku ada sekarang, …”

Untuk memahami landasan dari sisi terang pelayanan, kita perlu mempelajari 1 Korintus 15:10 yang merupakan puncak dari perikop ayat 1-11. Di bagian pertama perikop (ay. 1-7), Paulus mengingatkan jemaat Korintus kepada pesan Injil yang ia beritakan dan sekarang mereka imani (ay. 1) melalui sebuah pengakuan iman terawal yang dicatat dalam Alkitab (ay. 3-7). Paulus kemudian memberikan kesaksian pribadi atas dampak kebenaran Injil Kristus ini dalam kehidupannya di ayat 8-11. Sangat mungkin Paulus menulis bagian ini sambil mengenang perjumpaannya dengan Yesus dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9:3-9). Pertemuan itu, yang menjadi titik balik kehidupannya, begitu berdampak pada diri Paulus. Di tengah kebutaan fisiknya (Kis. 9:9), anugerah Allah membukakan mata rohaninya untuk melihat dengan jelas keberdosaan dirinya sebagai penganiaya jemaat Allah. Paulus lalu bahkan menyebut dirinya sebagai “yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul” (ay. 9). Kasih karunia Allah kemudian menuntun Paulus untuk melihat dan mensyukuri betapa berharganya anugerah keselamatan dalam Kristus (bdk. Rm. 7:24-25) sehingga ia dengan tegas menambahkan dirinya adalah sebagaimana adanya sekarang oleh karena kasih karunia Allah (ay. 10a).

Kesaksian Paulus bisa saja berakhir di sana dan meninggalkan kesan yang bertentangan dengan Injil. Kita dapat salah mengira kalau pelayanan Paulus yang begitu berdampak dan luas adalah hasil usahanya sendiri untuk membayar kembali pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Puji Tuhan, Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa ia bekerja lebih keras dari rasul-rasul lainnya, bukan untuk membuktikan dirinya sendiri atau untuk membayar kembali kemurahan Tuhan, tetapi supaya karunia Allah dalam dirinya tidak sia-sia (ay. 10b). Jadi, siapa yang sesungguhnya bekerja dalam pelayanan Paulus sebagai seorang rasul? Allah Tritunggal, yang dalam kasih karunia-Nya terus menyertai Paulus lewat pribadi Roh Kudus (Flp. 4:13). Pemahaman inilah yang membuat Paulus terus memberi diri melayani Tuhan, bahkan ketika menghadapi berbagai rintangan (2 Kor. 6:3-10), bahkan ketika dalam segala hal ia dapat bermegah dalam dirinya sendiri (Flp. 3:4-6).

Apa yang bisa kita pelajari dari tulisan Paulus ini? Pertama-tama, yang terutama dalam pelayanan bukanlah pelayanan, tetapi identitas Allah dan siapa kita di dalam-Nya. Seperti Paulus, ketika kita memahami dengan jelas realita keberdosaan dan ketidaklayakan diri kita, dan betapa berharganya anugerah keselamatan Allah dalam Kristus, kita dapat mensyukuri siapa diri kita sebagaimana adanya sekarang. Seperti yang diingatkan Pdt. Jeffrey Siauw dalam artikel terbarunya, kita dipanggil terutama bukan untuk melayani Tuhan, tetapi untuk kembali kepada-Nya sebagai anak-anak-Nya (Yoh. 1:12) dan berelasi dengan-Nya.

Rasa syukur ini semakin meluap-luap ketika melihat bahwa dalam usaha terkeras kita sekalipun untuk melayani, bukan kita yang bekerja, melainkan “kasih karunia Allah yang menyertai [kita]” (ay. 10b). Konsekuensinya, kita tidak dapat bermegah sama sekali atas pelayanan kita, karena pada dasarnya bukan kita yang melayani. Natur dosa tidak dapat memampukan manusia untuk melayani Allah; hanya kasih karunia Allah yang dapat menaklukkan hati manusia untuk taat kepada Kristus (2 Kor. 10:5b). Gagasan ini seperti menyiratkan bahwa Tuhan akan “memaksa” kita untuk melayani, tapi kenyataannya Ia ingin agar kita memberi diri melayani berdasarkan kehendak bebas kita. Itulah mengapa Paulus dapat mengklaim bahwa “kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepada[nya] tidak sia-sia”, sebab dalam kehendak bebasnya, ia memilih untuk meresponi kasih Allah dengan memberi diri melayani (ay. 10a), bahkan ketika ia merasa dirinya sebagai yang paling tidak layak untuk menerima anugerah Tuhan (ay. 9; bdk. Rm. 7:24-25 dan 2 Kor. 12:1-10).

Bagaimana kita mengaplikasikan kebenaran ini dalam kehidupan? Aku melakukannya dengan merenungkan kembali perjalanan pelayananku yang sangat jauh dari layak dan sempurna, tapi Allah dalam kasih karunia-Nya tetap bekerja dalam semuanya itu. Kamu mungkin mengira aku sudah cukup lama berkecimpung dalam pelayanan, tapi sebenarnya aku baru mulai melayani sejak sekitar 6 tahun yang lalu. Salah satu pelayanan pertamaku adalah di kepanitiaan retret komisi remaja, di mana pada suatu kesempatan aku tidak mematuhi perintah pembinaku dengan egois. Ketidakdewasaan, kesombongan, dan kepercayaan diri yang berlebihan mewarnai pelayananku hingga saat ini dan menjadi salah satu alasan mengapa aku terlibat dalam banyak pelayanan. Pada mulanya, aku menerjunkan diri dalam berbagai pelayanan karena ingin tahu di bidang pelayanan mana aku dapat paling menikmati dan memuliakan Tuhan, sehingga menurutku adalah wajar untuk mengerjakan dan belajar dari sebanyak mungkin pelayanan yang bisa kutangani. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa aku menjadi buta terhadap kebenaran dalam 1 Korintus 15:10. Aku bergantung pada diriku sendiri hingga kurang istirahat dan menjadi lebih rentan terhadap serangan depresi. Anugerah Tuhan pasti selalu cukup, tapi manusia lemah dan terbatas (2 Kor. 12:9). Oleh karena itu, kita perlu menyadari sampai di mana batas kita dapat melayani sebagaimana adanya kita sekarang (1 Kor. 15:10).

Sekarang kita beralih kepada satu tujuan yang memberi kekuatan kepada sisi terang pelayanan.

“… maka aku memberikan diri melayani untuk menikmati dan memuliakan-Nya.”

Dalam satu kata, tujuan dari pelayanan adalah “sukacita”. Dua ayat pertama dalam Ibrani 12 menantang kita untuk mengerjakan dengan tekun setiap pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan untuk kita (ay. 1, bdk. Ef. 2:10) dengan mengikuti (“melakukannya dengan mata yang tertuju kepada”; ay. 2) cara Tuhan Yesus melayani: untuk sukacita “yang telah ditetapkan bagi-Nya” (Ibr. 12:2 AYT). Demi sukacita yang akan Ia dapatkan, Tuhan Yesus rela mati di atas kayu salib untuk memulihkan kembali relasi yang rusak antara Allah yang adalah Kasih dengan manusia berdosa.

Aku hampir dapat mendengar helaan napas kebingunganmu setelah membaca paragraf di atas. “Jadi Yesus melayani dan mati untuk sebuah alasan yang hedonistik?”

Ada kekeliruan cara pandang dalam pertanyaan tersebut. Kalau kita percaya bahwa Yesus benar-benar mati dan bangkit hanya untuk keselamatan kita, betapa besarnya ego kita! Hanya Allah yang berhak menjadi tujuan terutama dari segala hal (Rm. 9:23); di luar itu adalah dosa (Rm. 1:25). Di sisi lain, sukacita Kristus bukanlah kebahagiaan egois manusiawi, melainkan sebuah sukacita karena telah mentaati kehendak Bapa-Nya di surga (Yoh. 4:34; ada bentuk-bentuk lain dari sukacita Kristus yang tidak dibahas di sini, seperti kemenangan atas dosa [Ibr. 1:3] dan pertobatan manusia [Lk 15:7]) dan memuliakan-Nya (Yoh. 13:32). Yang menakjubkan di sini adalah sukacita-Nya dalam Ibrani 12:2 ini adalah milik kita juga, sebab sukacita Kristus ada di dalam kita dan akan menjadi penuh (Yoh. 15:11).

Apa implikasinya bagi pelayanan? Dalam poin sebelumnya, kita mempelajari bahwa pelayanan adalah bentuk luapan rasa syukur atas kasih karunia yang Allah anugerahkan kepada kita yang menjadikan kita sebagaimana adanya sekarang. Setiap pelayanan yang kita lakukan adalah sebuah pengalaman merasakan kasih karunia-Nya bekerja dalam dan lewat diri kita, bahkan dalam kelemahan. Di bagian ini, kita diberitahukan tujuan dari pada pelayanan kita: agar sukacita kita dalam Kristus menjadi penuh (Yoh. 15:11). Bagaimana caranya? Dengan meniru cara Kristus melayani, menaati kehendak Allah (Yoh. 4:34) dan mengembalikan segala kemuliaan kepada Ia (Yoh. 13:32) yang memberikan kita kasih karunia demi kasih karunia untuk melayani (Yoh. 1:16). Maka kita melayani untuk menikmati dan memuliakan Allah Tritunggal.

Kamu mungkin sepakat dengan gagasanku tentang pentingnya mengarahkan pelayanan kepada Allah serta sukacita dan kemuliaan-Nya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah ide yang abstrak. Bagaimana kita dapat mengaplikasikannya dalam pelayanan kita? Jika diminta membahas tentang kemuliaan Allah, beberapa penulis mungkin akan menggunakan dan menekankan pada perikop-perikop yang relevan dari lima kitab Musa dan kitab Wahyu. Aku pun merasa mereka adalah sarana yang baik untuk menggambarkan sukacita dan kemuliaan Allah, tetapi harus diakui bagian-bagian itu kadang terlalu berbeda secara budaya sehingga dipahami. Oleh karena itu, berdasarkan perkataan Kristus bahwa kehidupan kekal adalah mengenal Allah Tritunggal (Yoh. 17:3), berikut adalah beberapa cuplikan sukacita yang kudapat dari pelayanan yang kukerjakan:

Jemaat datang tepat waktu untuk menikmati hadirat Tuhan dalam ibadah Minggu; anak-anak belajar tentang identitas Tuhan yang mereka sembah serta bermain dengan guru-guru dan teman-teman dengan riang gembira; para remaja melihat dan mengagumi keindahan Injil Kristus yang kuajarkan; saudara/i seiman yang kumuridkan mengikut Kristus dan bersaksi bagi Dia dalam bidang pekerjaan masing-masing; antusiasme jemaat dalam dimuridkan untuk mencapai kedewasaan rohani dan keserupaan dengan Kristus; bibirku yang najis menjadi perantara Firman Allah yang kudus; orang-orang yang lemah bermegah dalam kasih karunia Allah; jemaat berpartisipasi lewat doa, dana, dan daya untuk menyelesaikan misi kerajaan Allah; setiap pribadi semakin mengenal dan mengasihi Allah hingga mencapai kedewasaan rohani dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef. 4:13).

Untuk sukacita dan kemuliaan Allah yang kurasakan melalui hal-hal kecil itulah aku melayani. Setiap langkah pelayanan membawaku satu langkah lebih dekat kepada kepenuhan Allah yang sempurna dalam pribadi Kristus, yang terus bekerja dalam diri setiap orang percaya untuk memberitakan Injil-Nya kepada dan memuridkan segala suku bangsa. “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36).

Hidup dalam realita pelayanan sebagaimana kita adanya

Kamu mungkin dapat menebak bahwa aku meminjam istilah “sisi gelap” dan “sisi terang” dari serial film Star Wars. Awalnya aku hanya ingin mencari judul yang tepat untuk tulisan tentang depresi dan pelayanan. Namun, ketika datang ilham untuk menuliskan alasanku melayani, aku memutuskan untuk meminjam juga istilah yang satunya lagi.

Serial Star Wars hingga saat ini terdiri atas tiga trilogi utama: episode IV–VI dengan Luke Skywalker sebagai tokoh utama, episode I–III yang menceritakan transformasi Anakin Skywalker menjadi Darth Vader, dan episode VII–IX yang berpusat pada Rey sebagai pengguna utama dari sisi terang The Force. Kalau kamu perhatikan dengan saksama, semua tokoh ini menghadapi dilema yang sama: Apakah mereka akan terus hidup dalam sisi terang The Force, atau malahan jatuh ke dalam sisi gelap? Kamu mungkin mengetahui pilihan yang (pada akhirnya) diambil oleh Anakin dan Luke, yaitu untuk berdiam dalam sisi terang The Force. (Sayangnya kita baru bisa mengetahui keputusan Rey dua bulan lagi saat episode IX dirilis.)

Apa yang ingin kusampaikan dari ilustrasi ini? Seperti para ksatria Jedi, dalam melayani, kita akan selalu diperhadapkan dengan pilihan untuk terus hidup melayani dalam terang dan anugerah Tuhan, atau menyerah saja kepada sisi gelap pelayanan. Dari waktu ke waktu pilihan pertama akan terasa sangat sulit, sementara pilihan kedua akan terdengar begitu mudah dan menggoda. Ketiga tokoh utama kita berkali-kali menghadapi godaan untuk bergabung dengan sisi gelap The Force, namun mereka (termasuk mungkin Rey) pada akhirnya selalu berhasil menguasai diri. Kita bukan tokoh utama Star Wars, karena dalam dosa kita akan cenderung memilih untuk mengikuti sisi gelap pelayanan. Tapi syukur kepada Allah, Ia bukanlah kuasa ilahi impersonal seperti The Force! Ia adalah Allah yang berpribadi, salah satunya Roh Kudus yang tinggal di dalam kita untuk mengajarkan dan mengingatkan semua yang telah dikatakan Tuhan Yesus kepada kita (Yoh. 14:26). Kita pun dimampukan untuk terus hidup dalam sisi terang pelayanan sehingga kita dapat berjalan dengan yakin di dalam Kristus melewati lembah sisi gelap pelayanan untuk mencapai rumah Tuhan, di mana pada akhirnya kita akan menikmati sukacita dan kemuliaan Allah selama-lamanya (Mzm. 23).

Marilah kita melayani dalam kesadaran penuh akan realita ini dan terus bergantung kepada Tuhan, dari satu kasih karunia menuju kasih karunia lain dari-Nya (Yoh. 1:16).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Ketika Pelayanan Tidak Selaras

Ketika melayani Tuhan, kadang kita mendapati orang-orang yang rasanya kurang pas untuk melayani bersama kita. Lantas, apakah yang harus kita perbuat?

Menghadapi Sisi Gelap Pelayanan dalam Terang Tuhan

Oleh Jefferson

“Sampai kapan aku bisa dibilang ‘cukup’ melayani supaya aku bisa berhenti dari pelayanan?”

Pertanyaan di atas terngiang-ngiang dalam benakku sepanjang bulan lalu. Kala itu, aku mengalami serangan depresi bertubi-tubi setelah mengerjakan berbagai pelayanan untuk beberapa minggu berturut-turut. Sebagai contoh, di periode yang tersibuk, aku pernah mengajar di Sekolah Minggu dan ibadah remaja berselang-seling selama empat minggu berurutan. Di sela-selanya juga ada persekutuan kelompok kecil dan berbagai rapat kepengurusan pelayanan lainnya.

Seharusnya aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Waktu istirahatku sudah cukup. Aku bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab dengan rutin setiap hari. Setiap minggu, aku merasakan dan menikmati hadirat Tuhan dalam persekutuan doa bersama teman sekos dan dalam ibadah bersama di gereja. Aku juga tidak lalai dalam bersekutu dengan saudara/i seiman lainnya.

Jadi, mengapa rasanya aku sedang mengalami kekalahan terhadap depresi, apalagi ketika memikirkan akan kembali melayani untuk beberapa minggu berturut-turut? Di malam hari sepulangnya aku dari kantor, bukannya melakukan persiapan pelayanan, aku malah lebih sering bersantai sambil browsing, membaca komik, atau menonton serial TV dan video hingga waktunya tidur. Aku jadi lebih rentan terhadap godaan sehingga belakangan ini aku sering jatuh dalam dosa, terutama kemalasan dan hawa nafsu.

Penunjukan ilahi (divine appointment) di tengah pergumulan

Ajaibnya, di tengah-tengah kesibukanku melayani, bekerja, dan bergumul dengan depresi, Tuhan dalam kasih kemurahan-Nya masih memberikanku waktu rehat yang berharga untuk merenungkan topik ini serta membagikannya dalam tulisan. Kehendak-Nya terlihat sangat jelas bagiku, karena ketika aku memulai tulisan ini pada suatu hari Sabtu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Tuhan benar-benar “mengisolasi”-ku dari dunia luar untuk mendengarkan dan bergumul dengan-Nya.

Divine appointment ini tidak dapat terlihat lebih jelas lagi, terutama dengan datangnya kabar duka dari AS tentang seorang pendeta bernama Jarrid Wilson yang mengambil nyawanya sendiri. Usut punya usut, beliau memang bergumul dengan depresi, dan pada malam ia mengakhiri hidupnya, beliau baru saja memimpin upacara pemakaman seseorang yang meninggal karena bunuh diri. Kita tidak tahu persis mengapa beliau bertindak demikian, tapi kita dapat mencurigai depresi sebagai salah satu faktor penyebab utama tindakannya.

Didorong oleh kehendak Tuhan yang sangat jelas, berikut adalah pelajaran-pelajaran yang kudapat hingga kini dari pergumulanku dengan depresi. Tulisan kali ini mengulas lebih banyak poin dari biasanya karena aku ingin merangkum sebanyak mungkin kebenaran dan aplikasi praktis yang kuharap dapat berguna untukmu. Dengan kata lain, fokusku adalah lebaran cakupan pembahasan dengan harapan dan keyakinan bahwa Tuhan akan memakai pengalamanku untuk menguatkanmu menghadapi sisi gelap pelayanan dalam terang-Nya.

#1. Depresi tidak pandang bulu

Walaupun ini terdengar sepele, ironisnya kebenaran inilah yang paling sering kita lupakan. Ketika mendengar berita duka di atas, mungkin reaksi pertama dari kebanyakan kita adalah, “Kok bisa, padahal dia pendeta?” Kita lupa bahwa depresi dapat menyerang siapapun, termasuk dan terutama para pemimpin di gereja. Tekanan pelayanan yang mereka hadapi dan ketiadaan orang yang dapat mereka curhati (mengingat natur panggilan mereka yang unik) dapat membuat para pendeta lebih rentan terhadap serangan depresi.

#2. Depresi adalah sebuah realita kehidupan yang biasa

Di satu sisi, karena depresi dapat menyerang siapapun, depresi adalah hal yang normal dalam kehidupan. Adalah lumrah bagi kita untuk mengalami depresi ketika kita sedang mengalami kesibukan di kantor, hambatan pelayanan di gereja, konflik dengan anggota keluarga, dlsb. Kalau kamu diserang depresi, jangan merasa aneh seolah-olah depresi bukan hal yang biasa kita hadapi (1 Kor. 10:13a). Meskipun begitu, di sisi yang lain…

#3. Depresi harus dihadapi dengan serius

…kita juga harus memahami kalau depresi adalah hal serius yang harus dihadapi dengan serius pula. Tidak sedikit orang yang meninggal karena depresi. Menurut data World Health Organisation tahun 2018, serangan depresi dialami >300 juta penduduk dunia dan dikaitkan dengan tingginya jumlah kasus bunuh diri tahunan secara global (~800.000). Ketika mengetahui rumah kita sedang terbakar, siapa dari kita yang tidak akan langsung menghubungi pemadam kebakaran untuk memadamkan api?

#4. Depresi adalah salah satu panah api favorit si Musuh

Pelayanan adalah sebuah peperangan rohani di mana Tuhan meruntuhkan segala bentuk keangkuhan manusia dan menyatakan kemuliaan-Nya sehingga makin banyak orang dapat mengenal dan menikmati Dia (2 Kor. 10:5). Mengetahui tujuan pelayanan ini, Iblis tidak tinggal diam dan terus menghujani kita dengan panah-panah apinya (Ef. 6:16). Dan, kalau kamu perhatikan dengan seksama, biasanya jajaran pemimpin yang disasar duluan.

Pernahkah kamu memikirkan kenapa banyak orang tidak mau melayani, terutama sebagai pemimpin? Karena kepemimpinan identik dengan tanggung jawab yang besar, rasa stres, dan depresi. Semakin banyak pemimpin yang terkena depresi dan akhirnya meninggalkan pelayanan, semakin senang si Musuh. Seperti menjatuhkan dua burung dengan satu batu, pekerjaan Tuhan terhenti karena ketiadaan pemimpin yang meninggalkan pelayanan karena depresi, sementara pekerja Tuhan yang lain dibuat ragu/takut untuk melayani.

Tuhan Yesus sangat memahami natur medan peperangan ini dan memberikan kita satu alasan yang kutemukan cukup untuk membantuku bangkit dari depresi serta terus maju melayani di garis depan.

#5. Kristus menjanjikan penyertaan dalam pelayanan dan depresi, bukan kebebasan dari mereka

Matius 11:28-30 sering dikutip karena penekanannya akan ketenteraman dan kedamaian yang hanya dapat kita temukan dalam Tuhan Yesus. Menurutku penekanan ini tidak salah, tapi juga tidak lengkap. Maksud sesungguhnya dari bagian ini adalah sebuah panggilan, bukan untuk beristirahat, tetapi untuk bekerja bersama Kristus di ladang Tuhan.

“Jadi, ujung-ujungnya pelayanan?” Ya, tapi bukan pelayanan yang kita lakukan sendiri, tetapi bersama Kristus sambil belajar pada-Nya. Dalam panggilan-Nya ini, kita mengikuti Yesus yang lemah lembut dan rendah hati mengerjakan berbagai macam tanah, dari yang lembut sampai yang keras dan tandus. Tuhan Yesus tidak pernah berjanji kita tidak akan menghadapi kesulitan sama sekali dalam mengikuti-Nya, tetapi Dia berjanji untuk terus menyertai dan memimpin kita melewati semuanya itu (11:29). Dan karena mengetahui Yesus yang menuntun dan mengajar kita untuk memikul kuk yang Ia pasang, Ia yang telah mati dan bangkit karena kasih-Nya untuk kita, kita dapat memikul kuk itu dengan tenang dan yakin. Itulah “istirahat” yang sesungguhnya Tuhan janjikan: bukan dari ketiadaan pelayanan, melainkan dari ketergantungan pada diri sendiri untuk memikul beban pelayanan.

#6. Disiplin rohani pribadi sangat penting dalam menghadapi depresi…

Bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab adalah beberapa sarana pribadi yang Tuhan berikan agar kita dapat terus menjaga hubungan pribadi dengan-Nya, sehingga ketika depresi menyerang, kita tidak menjadi tawar hati (2 Kor. 4:1). Bahkan setelah jatuh dan terus bergumul dalam depresi pun, disiplin rohani pribadi membantu kita untuk terus bertahan dalam Tuhan. Kamu dapat membaca pembahasanku lebih lengkap tentang poin ini di sini.

#7. …dan begitu juga komunitas orang percaya

Aku bersyukur beberapa minggu terakhir ini dapat berdiskusi dengan rekan-rekan dari berbagai pelayanan yang kukerjakan. Menariknya, semua diskusi itu membahas satu topik yang sama: kami, terutama yang berperan sebagai pemimpin, membutuhkan suatu wadah untuk bersekutu, membagikan suka duka pelayanan, dan “saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik” (Ibr. 10:24). Ketiadaan wadah tersebut dapat membuat setiap pelayan merasa berjuang sendiri-sendiri sehingga jadi lebih rentan terhadap serangan depresi. Puji Tuhan, ke depannya kami berkomitmen untuk lebih sering memperhatikan satu sama lain. Apakah kamu juga sudah memiliki komunitas yang demikian?

#8. Utamakan istirahat dan Sabat di tengah-tengah pelayanan

Kalau memang kita sudah merasa sangat jenuh karena terus-terusan melayani, tidak ada salahnya mengistirahatkan diri dari pelayanan untuk beberapa saat. Kalaupun kita merasa tidak ada lagi waktu, kamu bisa berdoa kepada Tuhan untuk meminta waktu jeda dari pelayanan. Di sini kita harus sadar kalau Tuhan selalu menjawab doa sesuai dengan kehendak-Nya yang berdaulat. Meskipun doa kita mungkin dijawab-Nya dengan “tidak”, kita dapat beriman bahwa Tuhan sedang mengerjakan suatu kebaikan untuk kita (Rm. 8:28).

Ada kalanya ketika kita tidak mendoakan hal ini tetapi sedang dilemahkan oleh depresi, Tuhan sendiri yang mengosongkan jadwal kita agar kita dapat berdiam diri serta mengingat lagi siapa diri-Nya dan diri kita. Itulah yang terjadi padaku. Aku menulis sebagian besar isi tulisan ini ketika jadwalku dikosongkan Tuhan dari segala acara, rapat, pelayanan, dan persekutuan. Bahkan Ia menyibukkan semua teman kosku dengan acara mereka masing-masing sehingga aku benar-benar berdua dengan-Nya sepanjang malam. Kalau Ia tidak mengintervensi sejauh itu, aku yakin aku tidak akan bisa memproses pergumulanku sebagaimana mestinya dan membagikannya denganmu.

#9. Bandingkan alasanmu melayani dengan realita pelayananmu, kemudian kalibrasi ulang dengan kehendak Allah dari waktu ke waktu

Kita membicarakan depresi sejauh ini kebanyakan dari konteks eksternal. Melalui poin ini, aku ingin mengingatkan kalau depresi juga mungkin datang dari diri kita sendiri. Depresi bisa menyerang karena adanya ketidakselarasan antara alasan kita melayani dengan realita bagaimana kita melayani. Kita bisa mengklaim bahwa kita melayani karena Tuhan telah terlebih dahulu memberikan diri-Nya untuk melayani kita (Mrk. 10:45), tetapi sesungguhnya selama ini pelayanan kita hanyalah untuk memuaskan ego dan harga diri kita. Apa daya, semurni dan se-Alkitabiah apapun alasan kita melayani, natur dosa akan membuat kita melenceng dari tujuan yang seharusnya dari waktu ke waktu (Yer. 17:9). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengkalibrasi ulang alasan kita melayani seturut dengan kehendak Tuhan. Kita pun berdoa mengikuti Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24).

#10. Teruslah beriman pada Tuhan, bahkan ketika kamu dibiarkan-Nya tetap bergumul dengan depresi

Mengenai panah-panah api yang dibahas di poin ke-4, Efesus 6:16 juga memperkenalkan kita kepada satu-satunya senjata yang dapat memadamkan semua panah itu, yaitu perisai iman. Perlu kita perhatikan bahwa di zaman Paulus, sekuat apapun sebuah perisai, pasti ada beberapa anak panah yang akan tetap tertancap di sana. Meskipun begitu, perisai iman disebut dapat “memadamkan semua panah api dari si jahat”. Walaupun ada anak panah yang tertancap di sana sini, api semuanya telah dipadamkan. Perisai itu telah menjalankan tugasnya untuk menjaga kita, maka kita terus maju tanpa gentar di medan peperangan rohani seperti Captain America yang maju melawan Thanos. Sebab kita hidup berdasarkan iman, bukan apa yang kita lihat (2 Kor. 5:7).

Satu perbedaan mencolok dari perisai iman kita dengan perisai Captain America adalah daya tahannya. Sekuat apapun vibranium, pada akhirnya pedang Thanos dapat membelah perisai tersebut. Hal itu tidak berlaku bagi perisai iman, karena ia terbuat dari anugrah Tuhan yang selalu tersedia dengan cukup bagi setiap orang percaya (Yoh. 1:16), bahkan di tengah kelemahan manusia (2 Kor. 12:9). Ketika kita memahami kebenaran ini, kita dimampukan untuk terus berserah kepada dan bertahan di dalam Yesus, bahkan ketika depresi terus menyerang kita tanpa ampun.

#11. Jadilah apa adanya di hadapan Tuhan dan sesama

Dalam realita kehidupan, aku pun sering melupakan kesepuluh poin di atas. Ya, aku bisa menulis tentang depresi dan pelayanan sejauh ini, tapi ketika depresi menyerang, aku akan langsung mundur ke zona nyamanku. Sebisa mungkin aku akan menghindari Alkitab dan materi pelayanan sepanjang minggu. Dan ketika pada akhirnya aku merasakan kesia-siaan dari upaya diriku sendiri untuk mengalahkan depresi, aku akan datang kepada Tuhan dan menceritakan keadaanku apa adanya. Perasaan depresi tidak langsung kemudian hilang, namun aku seperti mendapat energi baru untuk mempersiapkan pelayanan sedikit demi sedikit. Mengapa aku tetap datang kepada Tuhan walaupun sedang depresi? Karena aku tahu kasih-Nya kepadaku tak bersyarat, tidak peduli seberapa hancurnya aku oleh depresi dan buruknya aku dalam melayani (Rm. 5:5-11).

Keterbukaan ini juga harus kita jaga dengan saudara/i seiman yang mengenal kita dekat, karena kehadiran mereka dapat Tuhan pakai untuk memulihkan kita sedikit demi sedikit. Dalam kasusku, dalam persekutuan doa mingguan bersama teman-teman sekos, aku dapat membagikan pergumulanku dengan apa adanya dan dipulihkan oleh Tuhan di sana. Contoh lainnya adalah tulisan ini sendiri. Dalam mendeskripsikan keadaan dan dosa-dosaku ketika depresi menyerang, aku tidak menyembunyikan apapun, Tuhan sebagai saksiku. Bukannya aku ingin menyombongkan diri, tetapi aku ingin supaya kasih kemurahan Tuhan dinyatakan dalam aku yang lemah ini (2 Kor. 12:9b).

Menyelesaikan perlombaan sampai akhir

Depresi adalah salah satu pencobaan yang akan terus kita hadapi dalam melayani Tuhan, memberitakan Kabar Baik keselamatan dalam Yesus Kristus kepada mereka yang belum percaya. Sering kali Tuhan membiarkan depresi menjadi duri dalam daging kita supaya kita belajar untuk selalu bergantung pada-Nya (2 Kor. 12:9). Melayani berarti memberi diri terus dituntun Yesus dalam mengikuti-Nya dan mengerjakan pekerjaan-Nya yang agung dan ajaib, yang Ia persiapkan untuk kita sebelumnya (Ef. 2:10).

Akhir kata, marilah kita bertahan dan berjalan dengan teguh dalam terang Tuhan di tengah bayang-bayang sisi gelap pelayanan, mengingatkan diri dan sesama dari waktu ke waktu bahwa kita telah menerima kuasa dari Kristus untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Itulah bentuk nyata kita melatih tubuh kita dan menguasainya seluruhnya (1 Kor. 9:27) dalam mengikuti pertandingan untuk memperoleh mahkota yang abadi (1 Kor. 9:26).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Panggilan

Ada dua macam panggilan dalam hidup orang Kristen. Apakah itu?

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Oleh Jefferson, Singapura.

Tema WarungSaTeKaMu bulan ini adalah “Memelihara Tubuh Kristus”. Cakupan tema ini termasuk luas, tapi dalam tulisan ini aku ingin membahas satu aspek dari kehidupan komunal Kristen yang menurutku jarang disentuh, yaitu kebangkitan rohani (revival). Aku pernah membagikan perenunganku terhadap topik ini sebelumnya dalam rapat panitia acara penyambutan pemuda/i baru di gerejaku yang acaranya kebetulan berpuncak pada Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR). Bertepatan dengan peringatan satu tahun setelah KKR itu dilaksanakan, aku ingin meninjau kembali pemikiranku saat itu dan melihat bagaimana pandanganku terhadap kebangkitan rohani mungkin telah berubah.

Mari kita mulai dengan menilik satu perikop di surat Efesus yang menjadi fokus pembahasan kita.

Sebuah Doa untuk Gereja yang “Sangat Baik” Kondisinya

Aku [Paulus] berdoa supaya Ia [Allah Bapa], menurut kekayaan kemuliaan-Nya, meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, 19dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”

Efesus ‭3:16-19‬‬‬ TB

Karena aku baru mengetahui bahwa aku akan membagikan renungan hanya beberapa jam sebelum rapat berlangsung, aku tidak mempelajari latar belakang perikop dan surat Efesus dengan saksama. Sebaliknya, dengan tergesa-gesa aku membaca bagian-bagian sebelumnya dan dengan keliru menyimpulkan terjadinya konflik antara jemaat Yahudi dengan non-Yahudi di Efesus. Aku menafsirkan demikian dari penjelasan Paulus tentang pengalaman pertobatan setiap orang percaya oleh kasih karunia melalui iman (2:1-10), kesatuan semua orang percaya dari segala suku, abad, dan tempat di bawah Kristus (2:11-22), dan misteri Injil (yaitu lewat kematian dan kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus juga menebus kaum non-Yahudi; 3:1-13).

Namun, setelah membaca surat Efesus dengan teliti, aku menemukan bahwa tidak ada konflik sama sekali antara jemaat Efesus yang Yahudi dan non-Yahudi. Malahan, ketika biasanya surat rasul ditulis untuk menjawab isu-isu tertentu (contohnya 1 dan 2 Korintus), jemaat Efesus adalah satu dari sedikit yang tidak mempunyai permasalahan sama sekali. Fakta ini membingungkanku. Mengapa Paulus mendoakan terjadinya kebangkitan rohani di antara suatu jemaat yang kondisinya sangat baik? Sebelum kembali ke pertanyaan itu dan menjelaskan mengapa aku menyebut doa di atas sebagai doa untuk kebangkitan rohani, mari kita pahami dulu alur perikop ini.

Menanggapi kebenaran-kebenaran luhur dalam bagian-bagian sebelumnya, Paulus memulai doanya di ayat 16 dengan meminta kepada Allah Bapa supaya Roh Kudus dalam hati (“batin”) setiap anggota jemaat Efesus (“kamu” di sini dalam bahasa Yunani bersifat jamak) menguatkan dan meneguhkan mereka dengan kuasa-Nya seturut dengan anugerah-Nya (“kekayaan kemuliaan-Nya”). Apa tujuan dari permohonan ini? Supaya Kristus sang Anak tinggal di dalam hati mereka lewat iman yang dimampukan oleh Roh, sehingga mereka dapat berakar dan berdasar di dalam kasih-Nya (ayat 17). Permintaan itu tidak berhenti di sana. Paulus lalu berdoa supaya melalui peristiwa-peristiwa ini jemaat Efesus dimampukan untuk bersama-sama memahami “betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus” yang “melampaui segala pengetahuan” itu, yang memimpin mereka untuk “dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah” (ayat 18-19). Dengan kata lain, Paulus berdoa supaya jemaat Efesus dapat semakin mengenal Tuhan dan Juruselamat mereka yang mulia sebagaimana mestinya secara pribadi dan intim sehingga kepenuhan Allah nyata dalam kehidupan mereka. Perikop ini adalah sebuah permohonan kepada Tuhan agar serangkaian sebab akibat terjadi di antara jemaat Efesus, satu permintaan dibangun di atas yang lain.

Yang menarik dari bagian ini adalah jenis kata kerja yang dipakai Paulus dalam setiap permohonannya (“meneguhkan”, “diam”, “memahami”, “mengenal”, “dipenuhi”), yaitu aorist. Dalam bahasa Yunani, jenis kata kerja ini menandakan suatu tindakan yang dimulai pada suatu titik di masa lalu dan berlanjut ke masa depan tanpa adanya titik akhir. Untuk suatu gereja dalam kondisi baik (dalam artian mereka tidak memiliki masalah genting yang perlu dibahas oleh pemimpin gereja setingkat rasul dalam surat mereka), mengapa Paulus mendoakan dengan penuh semangat dan tanpa malu-malu supaya hal-hal besar tersebut terjadi terus-menerus di antara jemaat Efesus?

Sebuah Doa Terbesar untuk Kebangkitan Rohani

Kurasa Paulus ingin mengingatkan mereka tentang bahaya dari kelonggaran rohani. Kita dapat menelusuri jejak maksud ini dalam bagian-bagian berikutnya. Sebagai contoh, tepat setelah perikop ini, Paulus menasihati jemaat Efesus untuk “hidup sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (4:1). Mengapa Paulus terkesan begitu serius dan mendesak? Karena kalau mereka tidak hidup sebagai orang-orang yang berpadanan dengan panggilan mereka, orang-orang percaya di Efesus bisa dengan tanpa sadar mengikuti ajaran-ajaran palsu di sekitar mereka (4:14). Mungkin selama ini mereka bertumbuh dengan baik dan pesat sebagai murid-murid Kristus, tetapi kalau mereka tidak terus mengingatkan diri bahwa mereka sedang berada dalam peperangan rohani, mereka akan kalah. Paulus menggunakan gambaran yang sangat nyata dalam nasihat terakhir di surat Efesus untuk mendeskripsikan medan peperangan yang mereka hadapi: bukan musuh-musuh yang fisik, melainkan “melawan pemerintah-pemerintah,… penguasa- penguasa,… penghulu-penghulu dunia yang gelap ini,… roh-roh jahat di udara”‬ ‭(6:12‬).

Tetapi ”panggilan“ seperti apa yang telah diberikan kepada jemaat Efesus (dan setiap orang percaya) yang perlu dipadankan dalam kehidupan? Efesus 2 mengajarkan bahwa kita dipanggil untuk berharap kepada keselamatan yang diberikan dalam Kristus oleh kasih karunia melalui iman (ayat 1-10) dan untuk dipersatukan dengan orang percaya lainnya di dalam-Nya (ayat 11-22). Terlebih lagi, Tuhan Yesus dalam Amanat Agung-Nya (Mat. 28:18-20) memanggil kita untuk membawa orang lain kepada pengharapan yang sama yang kita miliki dalam Dia. Bagaimana caranya? Kita harus pertama-tama menjadi seperti Dia, dipenuhi oleh kasih dan kepenuhan-Nya. Bagaimana caranya? Dengan mengenal siapa Dia: Tuhan dan Juruselamat yang kemuliaan dan keagungan-Nya tidak dapat diukur standar manusia. Lagi, bagaimana caranya? Kristus harus tinggal di dalam kita dulu. Tetapi, oleh karena keberdosaan kita, secara natur kita adalah seteru Allah (Rm. 8:7). Untuk terakhir kalinya, jadi bagaimana caranya? Melalui pekerjaan Roh Kudus yang memampukan kita untuk percaya kepada Kristus. Bisa kamu lihat benang merahnya? Dalam Efesus 3:16-19, Paulus berdoa agar Tuhan terus-menerus membangkitkan kita dari kecenderungan kita kepada kematian rohani dan membukakan mata kita untuk mampu melihat Kristus sebagaimana mestinya: “sang Kepala dari segala yang ada” (1:22), yang telah bangkit dari antara orang mati dan sekarang duduk di sebelah kanan Allah Bapa di surga (1:20). Demikianlah kita mendapatkan sebuah doa terbesar untuk kebangkitan rohani yang kita juga dapat ucapkan sendiri.

Menghidupi Kebangkitan Rohani

Kehidupan Kristen adalah sebuah perjalanan ziarah penuh perjuangan untuk terus melihat dan mengenal Kristus dan kasih-Nya di tengah-tengah ombang-ambing “rupa-rupa angin pengajaran” dan “permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan”‬ ‭(Efesus 4:14‬). Karena kita masih hidup dalam dunia yang berdosa, secara alamiah kita akan cenderung berfokus pada berhala-berhala dunia, bukannya pada Yesus. Di sinilah kita melihat manfaat dari sarana-sarana kebangkitan rohani seperti KKR. Sarana-sarana tersebut layaknya defibrillator ilahi yang Tuhan gunakan untuk membangkitkan mereka yang selama ini tanpa sadar berjalan sebagai mayat hidup, baik yang belum percaya maupun yang sudah percaya kepada Kristus. Analogi ini juga menunjukkan bahwa kita yang hidup dalam dosa tidak dapat menghidupkan diri sendiri; kita hanya bisa beriman kepada Allah yang “menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus” (Efesus 2:5).

Dalam renunganku tahun lalu, aku melanjutkan dengan menjelaskan lebih lanjut tentang KKR, sebuah sarana kebangkitan rohani yang umumnya diselenggarakan gereja untuk peristiwa-peristiwa khusus seperti perayaan Natal dan Paskah. Kali ini, aku ingin menutup dengan sebuah aplikasi praktis yang kita bisa langsung jalankan: mengalami kebangkitan rohani setiap kali bangun pagi. Bagaimana caranya? Melalui disiplin-disiplin rohani mendasar iman Kristen, yaitu saat teduh dan doa.

Belakangan ini aku semakin menyadari betapa pentingnya momen ketika aku beranjak bangun dari kasur setiap pagi. Saat kita bangun pagi adalah momen kita paling rentan terhadap panah-panah api si jahat. Ketika kita belum sepenuhnya sadar, perasaan dan pikiran sudah dilanda dengan berbagai kegelisahan akan berbagai hal, baik pekerjaan yang harus kita kerjakan hari itu, kekhawatiran tentang masa depan, maupun masalah yang belum selesai di kantor/sekolah. Hari kita pun dimulai dengan kepungan tanpa ampun dan suara terompet yang menulikan telinga dari musuh tepat ketika fajar mulai menyingsing. Menghadapi situasi seperti ini, kita dihadapkan dengan dua pilihan: dibutakan oleh keegoisan diri yang dengan arogan berpikir bahwa alam semesta berputar di sekeliling kita, atau dengan tenang mendengarkan strategi perang dari sang Raja.

Dari ilustrasiku di atas, kita melihat pentingnya saat teduh dan doa dalam kebangkitan rohani kita sehari-hari. Alih-alih dibingungkan dan tergoda oleh daya tarik berhala-berhala dunia dan gambaran palsu Kristus yang hati kita yang berdosa ciptakan, Allah dalam kasih karunia-Nya membangkitkan kita yang mati dalam dosa dan memampukan kita untuk melihat Kristus sebagaimana mestinya sehingga kita dapat hidup dalam terang-Nya. Lewat saat teduh kita dimampukan untuk melihat keindahan Kristus yang tersembunyi dalam segala sesuatu dan memahami kehendak-Nya bagi kita untuk hari itu, sementara doa menjadi sarana komunikasi dengan Tuhan dalam menyatakan segala ketakutan kita dan menyerahkan diri untuk mematuhi kehendak-Nya. Disiplin-disiplin rohani ini ibarat rapat strategi sebelum perang (yang memberikan kita senjata tempur dalam bentuk pedang Roh) dan walkie-talkie yang terus menghubungkan kita dengan Panglima Tertinggi di tengah panasnya pertempuran.

Puji Tuhan, aku dimampukan untuk terus mempraktikkan kedua disiplin rohani ini sejak aku pindah ke Singapura. Tuhan terutama memakai kata-kata Charles Spurgeon, seorang pengkhotbah Inggris abad ke-19, untuk mendorongku terus berdisiplin: “Cara terbaik untuk hidup tanpa segala ketakutan terhadap kematian adalah dengan mati setiap pagi sebelum meninggalkan kamar tidur.” Karena diriku yang lama sudah mati dalam dosa, yang sekarang hidup di dalamku adalah Kristus, sang “Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia 2:20). Sudah 5 tahun lebih sejak aku melakukan disiplin “mati” dan dibangkitkan dalam Kristus setiap pagi, dan walaupun tidak setiap hari aku berhasil benar-benar “mati”, kasih karunia Allah selalu cukup dalam memenangkan peperangan rohaniku setiap harinya. Ada banyak keputusan dan lompatan iman penting yang kurasa tidak akan kubuat kalau Kristus tidak benar-benar hidup di dalam aku sejak pagi hari, kalau Tuhan tidak mencelikkan mataku yang buta terlebih dahulu untuk melihat kemuliaan dan keindahan Yesus Kristus dalam segala hal.

Menghidupi Kebangkitan Rohani Bersama

Sebagai penutup, bisakah kamu menduga kaitan aplikasi praktis ini dengan “memelihara tubuh Kristus”? Kalau kamu belum sadar, Paulus dalam doanya tidak pernah meminta kepada Tuhan supaya kita memahami dalamnya kasih Kristus sendirian. Sebaliknya, Paulus memohon agar setiap kita dapat mengenal dan mengasihi Kristus “bersama-sama dengan segala orang kudus” (Efesus 3:18a). Kamu tidak bisa mengenal kemuliaan Kristus yang tak dapat diukur sendirian; kamu membutuhkan perspektif dan pengalaman orang lain untuk dapat melihat batasan lain dari lebarnya, panjangnya, tingginya, dan dalamnya kasih Kristus (Efesus 3:18b). Bertekunlah dalam kelompok pemuridan kalau kamu punya, dan kalau kamu belum punya, bergabung dan bertekunlah di sana.

Semoga perenunganku ini dapat membantumu melihat kebangkitan rohani dari perspektif yang lain dan mengaplikasikannya dalam kehidupanmu sehari-sehari. Aku berdoa supaya setiap kita terus bertumbuh “sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Efesus 4:13).

Tuhan Yesus memberkati, Soli Deo gloria.

Baca Juga:

Ditelantarkan… Tapi Tidak Dilupakan

Kisah hidupku dimulai dengan ditelantarkan. Aku tidak tahu siapa kedua orang tuaku, pun mengapa aku dilahirkan. Tetapi, Tuhan merajut kisah hidupku.

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Oleh Jefferson, Singapura

Jika kamu membaca judul artikel ini, mungkin kamu sudah bisa menebak alurnya. Jeff berdoa agar diberikan pekerjaan setelah lulus kuliah. Tuhan lalu meminta Jeff untuk menunggu terlebih dulu. Tak lama kemudian, barulah Tuhan memberikan Jeff pekerjaan. Tamat.

Mungkin alurnya terdengar klise. Tetapi, di dalam alur tersebut terselip sebuah kisah yang menarik: tentang apa yang kulakukan dan apa yang Tuhan ajarkan kepadaku selama aku menunggu.

Begini ceritanya.

Awal yang baik

Kurasa aku memulai perjalananku melamar pekerjaan dengan baik. Aku sudah menyiapkan segala macam persiapan yang dibutuhkan. Tips-tips penulisan CV dan surat pengantar kerja? Aku berdiskusi beberapa kali dengan konsultan karier dan dosen pembimbing di kampus untuk memastikan keduanya menarik perhatian HRD perusahaan. Kiat-kiat menjawab pertanyaan dalam wawancara? Aku berlatih intensif dengan konsultan karier. Cara berpakaian dan etika wawancara? Semuanya sudah termasuk dalam daftar hal-hal yang harus kukerjakan sebelum, selama, dan sesudah menghadiri wawancara.

Dengan seluruh persiapan ini, aku mulai mengirimkan lamaran sejak September 2017, di tahun terakhirku di universitas. Targetku adalah mendapatkan pekerjaan sebagai konsultan lingkungan hidup, tapi aku juga terbuka terhadap kesempatan di bidang lain seperti analisis data, konsultasi manajemen, engineering, ataupun komoditas. Di tahap ini, aku tidak begitu memusingkan akan langsung diterima atau tidak. “Kelulusan masih setahun lagi”, pikirku. Terlebih lagi, statistik kampus menyatakan bahwa lulusan baru pada umumnya baru mendapatkan pekerjaan setelah melamar ke 20 hingga 30 posisi. Maka kumulai perjalanan ini dengan optimis, mengirimkan lamaran setiap 1-2 minggu sekali.

Memasuki 2018, aku lebih giat mencari dan melamar sembari menyelesaikan tugas magang di semester terakhir kuliah. Lamaran yang kuajukan pun mulai membuahkan hasil. Aku dipanggil untuk mengikuti beberapa wawancara, tentunya atas seizin kantor magangku. Namun, tidak ada yang memberikanku tawaran atau bahkan memanggilku untuk wawancara tahap kedua.

Melewati titik jenuh dan titik nadir

Enam bulan kemudian, kontrak magangku selesai. Yang tersisa dari kehidupan kampus hanya upacara kelulusan sekitar dua bulan setelahnya. Di masa-masa menunggu ijazah ini, aku mengirimkan CV dan surat pengantar hampir setiap harinya, kadang bisa untuk lima posisi sekaligus dalam sehari! Jumlah panggilan wawancara pun meningkat, tapi aku tetap belum menerima tawaran pekerjaan.

Dua bulan setelah upacara kelulusanku, kira-kira di awal September, dan setelah 60-an posisi yang kulamar, akhirnya aku mencapai titik jenuhku. Aku merasa ditekan dari segala arah–oleh teman-teman seangkatan yang satu kos denganku dan semuanya sudah mulai bekerja, oleh orang tua yang terus menanyakan tentang pekerjaan baik lewat telepon maupun chat, dan oleh teman-temanku dari gereja dan kampus. Di antara semua tekanan ini, yang paling besar kurasakan dari orang tua. Aku pernah dengan kesal memutus sambungan telepon dengan mereka karena kurasa mereka terlalu medesakkku.

Semua tekanan ini membuatku merasa lelah, putus asa, dan mempertanyakan kebaikan Tuhan yang sepertinya terus menerus menjawab doaku dengan “Tunggu”. Aku pun mulai bermalas-malasan di kos. Aku tidak mempersiapkan pelayanan dengan serius, aku malah menonton serial TV dan membaca komik dan buku terus menerus. Saking malasnya, aku pernah sampai menonton satu serial film yang kutonton habis dalam dua hari! Selama periode ini, saat teduh dan waktu doaku pun mengalami kekeringan, meskipun aku tetap melakukannya. Dan, masa-masa ini menjadi masa yang menguji imanku dengan keras.

Namun, aku bersyukur kepada Tuhan karena aku tidak dibiarkan-Nya berlama-lama berada di fase ini. Tuhan membangkitkan semangatku melalui satu perikop dalam Alkitab yang dikisahkan ulang dalam buku “Not by Sight” karangan Jon Bloom.

Sampai di sini kamu mungkin bertanya-tanya mengapa aku bisa dengan yakin menyimpulkan kalau Tuhan sedang menyuruhku untuk menunggu. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi dalam kasih anugerah-Nya, Tuhan memberikanku iman untuk terus menunggu dan berharap pada-Nya.

Kisah para nelayan dan kebangkitan

Yohanes 21:1-14 mencatat peristiwa penampakkan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya di tepi Laut Tiberias. Dari pasal sebelumnya, kita mengetahui bahwa penampakkan ini bukanlah yang pertama bagi para murid. Tuhan Yesus bahkan sudah pernah menemui mereka dua kali: pertama-tama pada malam hari kebangkitan-Nya (Yohanes 20:19), kemudian delapan hari setelahnya (Yohanes 20:26).

Tidak ada catatan lebih lanjut dalam kitab Yohanes tentang apa yang terjadi di antara ketiga penampakkan ini, tapi yang pasti para murid sedang “menunggu”. Dari mana kita tahu? Di penampakkan pertama, kita menyaksikan Tuhan Yesus mengus murid-murid dengan cara yang sama seperti Bapa mengutus-Nya (Yohanes 20:21). Ia menjanjikan Roh Kudus dan memberikan mereka perintah untuk mengabarkan Injil pengampunan dosa dalam nama-Nya (Yohanes 20:22). Penampakkan pertama berakhir di sini, tetapi dari Lukas 24:49 kita mengetahui bahwa Tuhan Yesus juga menyuruh para murid untuk tinggal di sekitar Yerusalem hingga Roh Kudus turun atas mereka (Kisah Para Rasul 2).

Dalam konteks menunggu kedatangan Roh Kudus inilah peristiwa penampakkan ketiga dicatat. Bayangkan apa yang dirasakan oleh para murid sambil mereka menunggu. Mereka pertama-tama dikejutkan dan didukakan oleh pengkhianatan Yudas, salah satu dari mereka sendiri, yang berujung pada penyaliban Sang Guru. Belum lama Tuhan Yesus dikubur, wanita-wanita di antara mereka mengklaim bahwa Ia telah bangkit. Masih dalam duka, mereka pergi untuk memastikan bahwa para wanita telah berhalusinasi karena mendapati kubur yang kosong.

Malam itu juga, Tuhan Yesus yang sudah bangkit hadir di tengah-tengah mereka. Lubang-lubang bekas tusukan di lengan, kaki, dan lambung-Nya sebagai penanda bahwa Ia memang pernah mati dan kini bangkit. Sang Guru dengan penuh kasih kemudian memberkati dan mengurus mereka, namun sebelum mereka dapat pergi, mereka harus menunggu kedatangan Sang Penolong yang Ia janjikan. Ia lalu menampakkan diri beberapa kali lagi kepada mereka. Dan, di antara penampakkan-penampakka itu, para murid terus menunggu.

Tapi, menunggu sampai kapan?

Tuhan Yesus, yang waktu itu belum naik ke surga, tidak diketahui keberadaan-Nya dan tidak memberikan instruksi apapun selain yang Ia telah sampaikan dalam perikop-perikop lain di Alkitab. Roh Kudus yang dijanjikan juga tak kunjung datang. Di tengah masa penantian yang seperti akan berlangsung selamanya, seorang dari para murid memecah keheningan: “Aku akan pergi menangkan ikan” (Yohanes 21:3). Petrus tidak tahu harus melakukan hal apa lagi sambil menunggu. Menangkap ikan adalah profesi yang ia geluti sejak jauh sebelum ia menjadi murid Tuhan. Baginya, mengerjakan sesuatu yang familiar sambil menunggu adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan ketimbang hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apapun. Murid-murid yang lain menangkap maksud Petrus, kemudian pergi bersamanya ke tengah Laut Tiberias untuk menangkap ikan.

Semalaman mereka mencari, namun tak menemukan satu ikan pun. Mendekati tengah hari, mereka mendengar suara dari tepi pantai, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk pauk?” Mungkin dengan agak kesal dan kelelahan, mereka menjawab si orang asing, “Tidak” (ayat 5). Kemudian hal paling ajaib terjadi. Si orang asing menyuruh mereka untuk menebarkan jala mereka di sebelah kanan perahu. Para murid menatap satu sama lain dengan mata terbelalak, setengah kebingungan, setengah bersukacita. “Mungkinkah itu Guru?” Maka mereka menebar jala ke sebelah kanan perahu.

Yang terjadi setelahnya adalah pertemuan ketiga para murid dengan Tuhan Yesus yang telah bangkit, di mana mereka diteguhkan dan bersekutu dengan-Nya.

Akhir yang lebih baik

Dalam pembacaan dan perenungan terhadap cerita dalam perikop ini, aku merasa ditegur dan dihibur di saat yang sama; ditegur karena selama ini aku terlalu fokus melamar pekerjaan sehingga lupa untuk bergantung pada Tuhan; dihibur karena dalam membiarkan para murid menunggu-Nya pun Tuhan tetap memelihara iman mereka.

Tidak butuh waktu yang lama hingga aku dapat melihat pekerjaan Tuhan Yesus yang mengubahkan sikapku selama menunggu jawaban dari-Nya. Aku masih menonton serial TV serta membaca komik dan buku, tapi hanya di sela-sela waktuku saja. Aku menggunakan waktu-waktu utamaku untuk menyesuaikan kembali isi CV dan surat pengantar untuk setiap lowongan pekerjaan yang berbeda. Selain itu, aku juga mulai melakukan aktivitas lain seperti: menulis, memimpin kelompok kecil di gereja, membantu penelitian survei mamalia, dan pergi menghadiri seminar apologetika. Aku juga kembali mengerjakan beberapa pelayanan yang sempat kulalaikan dengan serius di hadapan Tuhan seperti mengajar sekolah Minggu.

Puji Tuhan, panggilan wawancara pun kembali berdatangan, dan walaupun belum ada tawaran pekerjaan yang datang, aku tetap menunggu Tuhan dengan penuh pengharapan sambil melakukan hal-hal terbaik lain yang bisa kukerjakan. Kemudian tibalah jawaban yang kutunggu-tunggu di awal Oktober. Dalam waktu dua minggu, aku menemukan satu perusahaan konsultasi lingkungan hidup, melamar ke sana, mengikuti wawancara tahap pertama, dan sempat risau karena jadwal wawancara tahap kedua mungkin akan bentrok dengan seminar apologetika yang kuikuti. Tapi, puji Tuhan, jantungku rasanya seperti berhenti sesaat ketika setelah wawancara kedua aku langsung ditawarkan pekerjaaan di bidang yang ingin kujelajahi.

Sisa ceritanya adalah bagian dari sejarah.

Sambil menunggu, lakukan yang terbaik yang bisa dikerjakan

Sekarang aku sudah bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup selama tiga bulan. Butuh penantian dan perjuangan selama satu tahun untuk tiba di sini. Sambil menunggu, ada banyak pertanyaan dan kekecewaan yang kurasakan dan kutumpahkan kepada tuhan dalam waktu-waktuku berdoa dan bersaat teduh. “Kenapa aku tidak mendapatkan tawaran dari perusahaan A? Paling tidak aku seharusnya maju ke wawancara tahap kedua untuk posisi B, bukan?” dan lain sebagainya. Tetapi, Tuhan terus menjawabku dengan “Tunggu”, dan masa menunggu itulah dipakai-Nya untuk aku belajar berfokus melakukan hal-hal terbaik yang bisa kukerjakan.

Melihat ke belakang, aku menyadari bahwa Tuhan menggunakan masa-masa itu untuk mengasah dan mempertajam imanku sehingga ku dapat lebih bersukacita di dalam Kristus ketika jawaban dari-Nya datang.

Ketika Tuhan menyuruh kita untuk menunggu, bukan berarti kita harus berdiam diri tanpa melakukan apapun. Sebaliknya, lakukanlah hal-hal terbaik yang bisa kita kerjakan. Niscaya kita akan melihat dan mengalami rancangan damai sejahtera dari-Nya yang memberikan kepada kita hari depan yang penuh pengharapan (Yeremia 29:11).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita.

Dari Kejadian Sampai Wahyu, Pengalamanku Membaca Habis Alkitab dalam Setahun

Oleh Jefferson, Singapura

Sejak aku lahir baru, aku terdorong untuk membaca habis Alkitab dalam setahun. Tapi, karena kesibukanku di sekolah, aku terus menundanya. Dengan pertolongan Tuhan dan dukungan dari teman-teman kelompok kecilku, barulah enam tahun kemudian aku dapat menyelesaikan membaca Alkitab dalam setahun.

Membaca Alkitab setiap hari selama setahun telah menolongku untuk peka terhadap suara Tuhan. Namun, aku menyadari bahwa proses untuk konsisten melakukan hal ini tidaklah mudah. Melalui tulisan ini, aku ingin membagikan sekelumit pengalamanku yang kiranya dapat menginspirasimu untuk berkomitmen menjalani hari-hari di tahun 2019 dengan konsisten membaca firman-Nya.

Beberapa persiapan pendahuluan

Di akhir tahun 2017, aku punya resolusi untuk menuntaskan pembacaan Alkitab di tahun 2018. Jadi, selama beberapa minggu terakhir di tahun 2017, aku mempersiapkan hal-hal yang kubutuhkan untuk mewujudkan resolusi itu. Pertama-tama, aku menentukan versi terjemahan Alkitab yang akan kubaca. Aku terbiasa membaca dalam bahasa Inggris, jadi aku memilih Alkitab versi English Standard Version (ESV).

Langkah kedua menurutku adalah langkah yang lebih rumit: menentukan rencana baca Alkitab (Bible reading plan) yang akan kuikuti. Aku bisa saja memilih perikop yang akan kubaca secara acak setiap harinya. Tapi, aku tidak mau melakukannya karena itu sama artinya dengan mengabaikan struktur dan salah satu identitas Alkitab sebagai sebuah karya sastra. Ibarat sebuah fine dining course yang hidangannya disajikan dengan cermat, pun ada urutan-urutan baca tertentu yang memampukan kita untuk melihat gambaran besar yang Alkitab sampaikan. Kupikir cara membaca Alkitab dengan pendekatan acak tidak akan cocok untuk membaca sebuah buku yang berisikan firman Tuhan.

Dari beberapa Bible reading plan yang aku telaah, aku memutuskan untuk menggunakan ESV Study Bible One Year Reading Plan. Selain cocok dengan versi terjemahan yang akan kupakai, plan ini juga menyediakan tafsiran untuk ayat-ayat yang sulit kupahami dan membagi kitab-kitab dalam Alkitab ke dalam empat kategori: Mazmur dan Sastra Hikmat, Taurat dan Sejarah Israel, Tawarikh dan Nabi-nabi, dan Injil dan Surat Rasul. Aku akan membaca paling tidak satu perikop dari setiap kategori tiap harinya. Reading plan ini juga tidak menyediakan renungan apapun sebelum atau sesudah perikop bacaan. Dengan kata lain, aku “dipaksa” untuk benar-benar merenungkan apa yang kubaca.

Langkah terakhir adalah menentukan kapan waktu yang tepat buatku membaca. Awalnya aku berusaha untuk membaca Alkitab di pagi hari. Tapi, sejak aku mulai bekerja, aku tidak punya cukup waktu di pagi hari untuk membaca seluruh perikop. Aku pun mengganti waktu bacaku ke malam hari sepulang dari kantor.

Puji Tuhan, setelah setahun berlangsung, Tuhan memampukanku mengikuti Bible reading plan itu hingga usai. Ada tiga poin yang akan kusampaikan:

#1 – 1001 alasan untuk mangkir tidak berdaya di hadapan 1 alasan untuk membaca

Aku mengamati, mungkin ada di antara kita yang menganggap membaca habis Alkitab dalam setahun sebagai sesuatu yang sulit dan luar biasa. Kita lalu memuji dan sangat kagum dengan saudara seiman yang telah berhasil melakukannya. Tapi, apakah membaca Alkitab dari sampul ke sampul memang sebuah prestasi yang hanya bisa dicapai oleh orang Kristen tertentu? Atau, apakah semua orang Kristen juga bisa melakukannya?

Setelah mempraktikkan dan mengalaminya sendiri, aku memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut. Pada awalnya, aku sepakat dengan anggapan pertama yang mengatakan bahwa membaca tuntas Alkitab hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu. Dunia kita sekarang sudah tersaturasi dengan penggunaan gadget, di mana cara kita berinteraksi di media sosial menanamkan sifat short attention span dalam diri kita. Kita enggan, tidak terbiasa, atau bahkan tidak lagi bisa menikmati kegiatan yang memerlukan perhatian cukup lama seperti membaca. Penolakan ini bisa jadi berlipat ganda ketika buku yang dibaca merupakan salah satu kitab tertua di dunia dengan sastra Yahudi kuno sebagai genre utamanya.

Di masa awal aku menjalani komitmenku ini, aku kesulitan untuk membaca paling tidak empat perikop tiap harinya. Aku sempat jenuh dan pernah dengan sengaja melewatkan satu atau dua perikop di beberapa hari pertamaku. Tapi, Tuhan mengusik hatiku lewat salah satu bacaan di hari kedua yang diambil dari Mazmur 1 yang membandingkan orang fasik dengan orang benar. Perbedaan utama keduanya adalah orang benar menyukai dan merenungkan Taurat Tuhan siang dan malam (ayat 1). Orang benar kemudian digambarkan seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang selalu berbuah pada musimnya, tidak layu daunnya, dan apa saja yang diperbuatnya berhasil (ayat 4).

Dalam perenunganku, aku menyadari bahwa satu-satunya tindakan aktif si orang benar adalah merenungkan firman Tuhan dan bergantung pada-Nya, karena tidak mungkin sebuah pohon menanam bibitnya sendiri ke dalam tanah lalu bertumbuh. Aku menyimpulkan bahwa untuk menjadi seorang benar yang hidupnya berkenan di hadapan Allah, aku harus menyerahkan diriku sepenuhnya untuk dibentuk dan dididik-Nya lewat pergaulan erat dengan Alkitab. Perenungan inilah yang membakar kembali api semangatku yang sempat padam, dan puji Tuhan, akhirnya aku dapat menyelesaikan resolusiku dengan baik.

Kurasa sangatlah wajar bagi kita untuk enggan membaca Alkitab , tetapi kalau kita terus-menerus menolak untuk mendekat pada Tuhan dan mempelajari kehendak-Nya dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya kita akan kehabisan alasan. Kebenaran pun terungkap: kita bukannya tidak bisa membaca Alkitab secara konsisten dalam setahun; kita tidak mau dan tidak merencanakannya. Padahal, Sumber Air Hidup yang akan membuat kita tidak pernah haus lagi telah memberikan diri-Nya untuk kita. Yang perlu kita lakukan hanyalah minum dari-Nya dan menyaksikan bagaimana air itu Dia ubahkan menjadi mata air yang tidak akan pernah habis dalam diri kita (Yohanes 4:14).

#2 – Usaha pendakian akan dibayar setimpal oleh pemandangan dari atas puncak

Kita telah belajar kalau membaca Alkitab secara konsisten dalam setahun bukanlah hal yang mustahil jika kita benar-benar bergantung kepada Tuhan. Kita mungkin tidak dapat mengingat ribuan kata yang ada dalam Alkitab karena kita memang manusia yang terbatas. Tetapi, kita dapat mengingat tema-tema dan peristiwa-peristiwa utama yang tercatat dalam Alkitab.

Buatku pribadi, Alkitab berisikan gambaran besar dari kisah Allah yang mulia. Menikmati kisah itu seperti menikmati pemandangan dari atas sebuah puncak. Ada banyak rute yang dapat membawa kita mencapai puncak itu. Dalam pengalamanku, rute yang kupilih adalah keempat kategori rencana baca Alkitabku. Ada banyak hal yang ingin kubagikan dari perjalananku mendaki dan menikmati pemandangan dari puncak itu, tapi rasanya artikel ini nantinya akan terlalu panjang. Jadi, aku hanya ingin membagikan dua hal saja yang kuanggap paling penting.

Pertama, aku terkagum-kagum dengan berbagai macam emosi yang diekspresikan dalam kitab-kitab Mazmur dan Sastra Hikmat (Amsal, Pengkhotbah, dan Kidung Agung). Kitab-kitab ini menggambarkan dengan jelas realita kehidupan manusia yang penuh jatuh bangun, dari masa-masa penuh sukacita seperti yang tertulis dalam Mazmur 34 dan Kidung Agung, hingga masa yang kelam seperti tertulis di Mazmur 88 dan Pengkhotbah. Namun, di tengah-tengah ketidakpastian hidup, Tuhan hadir sebagai Gunung Batu yang mengundang kita untuk hidup dalam naungan-Nya dan mengikut Dia. Di sini aku belajar untuk terus berelasi dengan Tuhan dalam segala situasi dengan apa adanya.

Poin pertama yang terdengar abstrak ini mengambil bentuk konkrit dalam ketiga kategori lainnya. Peristiwa-peristiwa dalam kitab Taurat, sejarah Israel, nabi-nabi, dan Perjanjian Baru memperjelas identitas dan karakteristik Tuhan yang dinyatakan oleh kategori sebelumnya. Dalam proses aku membaca Alkitab sampai habis, aku semakin memahami dan mengenali Allah Tritunggal yang adalah Kasih. Karena begitu besar kasih yang dimiliki Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus dari semula, ketiga pribadi Tritunggal menciptakan dunia dan segala isinya untuk membagikan kasih ini. Karena begitu besar kasih Allah yang adalah adil dan benar, Ia tidak mungkin mentolerir dosa yang pada dasarnya adalah penolakan dan pemberontakan terhadap diri-Nya. Dan karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, Ia memberikan diri-Nya sendiri untuk mati menanggung hukuman dosa dan mendamaikan kita dengan-Nya. Tuhan Yesus, sang Firman yang menjadi manusia, merangkum esensi kasih Allah yang meluap-luap dan tanpa pamrih ini dalam Markus 10:45, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Pemahaman dan pengenalan yang lebih dalam tentang Allah ini hanya bisa kita dapatkan melalui membaca firman-Nya tentang Firman-Nya. Dalam pribadi Kristus kita memiliki teladan hidup, dan inilah yang kumaksud dengan “hidup mengikuti Dia”: mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan jiwa dan akal budi, dan mengasihi sesama, bahkan musuh kita, seperti diri kita sendiri (Matius 22:37-38).

Tidak ada cara lain untuk dapat mengenal Tuhan selain melalui halaman-halaman Alkitab yang memberikan kita “terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Korintus 4:6). Inilah pemandangan dari puncak yang tidak akan kutukar dengan hal apapun (Filipi 3:8).

#3 – Membaca Alkitab sampai habis satu kali tidak akan cukup untuk mengenal Tuhan

Allah yang kita kenal lewat Alkitab adalah Tuhan yang melampaui akal pikiran manusia. Kita tidak mungkin memahami Dia sepenuhnya hanya dengan membaca habis Alkitab satu kali. Jadi, harus berapa kali kita melakukannya supaya kita bisa semakin mengenal Tuhan? Dua kali? Atau tiga kali? Lebih dari itu, kita harus membaca Alkitab dari Kejadian hingga Wahyu dengan konsisten hingga kelak kita bertemu Tuhan muka dengan muka.

Menyebutkan kitab Wahyu di sini adalah hal yang penting, karena di dalam kitab itu tercatat janji Tuhan untuk berdiam di tengah-tengah umat-Nya (Wahyu 21:3). Kita juga akan melihat wajah-Nya dan di dahi kita akan tertulis nama-Nya (Wahyu 22:4). Di akhir zaman, tidak akan ada lagi maut maupun dosa yang memisahkan kita dengan Tuhan, “sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4). Apa implikasinya? Kita akan dapat memahami dan mengenal Allah secara penuh; kita dapat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan Allah yang selama ini kita kenal melalui firman-Nya.

Jadi, mengapa kita harus terus membaca Alkitab dengan konsisten terus menerus sampai kelak kita berjumpa dengan Tuhan? Karena Alkitab adalah satu-satunya sarana untuk kita dapat mengenali Tuhan saat ini (kesimpulanku dari berbagai perikop, terutama 2 Timotius 3:15-17). Hanya melalui Alkitablah kita, yang dulu pikirannya dibutakan oleh ilah zaman ini, sekarang dapat melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus yang adalah gambaran Allah sendiri (2 Korintus 4:4). Mungkin sekarang kita hanya dapat mengenal Tuhan melalui gambaran yang kurang jelas dalam cermin, tetapi bayangan samar-samar itu menunjukkan bahwa si pemilik bayangan memang ada. Dan, melalui cermin itulah si pemilik bayangan berjanji untuk menemui kita sehingga kita dapat melihat rupanya dengan jelas. Maka, bersama-sama dengan Paulus, kita dapat dengan penuh percaya diri mengatakan, “Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti [di kedatangan kedua Tuhan] aku akan mengenal dengen sempurna, seperti aku sendiri dikenal [oleh Allah sejak semula]” (1 Korintus 13:12). Sambil menantikan momen bertemu Tuhan muka dengan muka, mari kita terus memahami dan mengenali-Nya lewat cermin yang Ia berikan, yang menuntun kita kepada Firman sejati yang hidup dan pernah berjalan di tengah manusia, Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu, jangan pernah berhenti membaca Alkitab; mulailah tahun 2019 dengan resolusi untuk menyelesaikan membacanya.

Aku ingin menutup tulisan ini dengan mengajakmu memanjatkan doa yang dinaikkan oleh Anselm, seorang bapak gereja dari abad ke-11. Setelah merenungkan sifat-sifat Allah yang ajaib dan kelihatannya saling berlawanan dalam bukunya Proslogion, ia meresponi hal ini dengan kalimat-kalimat berikut:

Aku berdoa, ya Tuhan, supaya aku dapat mengenal-Mu dan mengasihi-Mu, sehingga aku dapat bersukacita di dalam-Mu.

Dan, jikalau aku tidak dapat melakukannya dengan penuh di kehidupan ini, biarlah aku menguasainya perlahan-lahan hingga mencapai kepenuhannya. Biarlah pengetahuan akan diri-Mu bertumbuh dalamku di sini, dan di sana [di surga] dijadikan sempurna. Biarlah kasih-Mu bertumbuh dalamku di sini dan di sana dijadikan sempurna, sehingga sukacitaku di sini dapat berlimpah dalam pengharapan, dan di sana dijadikan sempurna dalam realita.

Ya Tuhan, melalui Anak-Mu, Engkau mengajarkan kami untuk meminta dan Engkau berjanji bahwa kami akan mendapatkan sehingga “sukacita kami menjadi penuh”. Aku meminta, ya Tuhan, ketika Engkau mengajar melalui Penasihat Ajaib kami, [supaya] aku menerima apa yang Engkau janjikan melalui kebenaran-Mu sehingga “sukacitaku menjadi penuh”.

Allah yang adalah Kebenaran, aku meminta supaya aku dapat menerima sehingga “sukacitaku menjadi penuh”. Hingga saat itu tiba, biarlah pikiranku merenungkan [momen di mana “sukacitaku menjadi penuh”], biarlah lidahku berkata-kata tentangnya, biarlah hatiku mengasihinya, biarlah mulutku berkhotbah tentangnya. Biarlah jiwaku merindukannya, biarlah tubuhku menginginkannya, biarlah seluruh keberadaanku mendambahaknnya, hingga aku masuk dan [mengambil bagian] dalam “sukacita Tuhan”, yang adalah Allah Tritunggal, terberkatilah selama-lamanya. Amin.

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Informasi tambahan:

Kamu dapat membaca tentang tips-tips praktis membaca Alkitab dalam setahun dalam tulisan Bruce Ware, seorang dosen Teologi Kristen di Southern Baptist Theological Seminary. Aplikasi-aplikasi praktis yang ia berikan sangat membantuku selama setahun ke belakang dan kuharap dapat membantumu juga dalam membaca habis Alkitab selama setahun ke depan. Selamat membaca!

Baca Juga:

#10YearChallenge, Hal Apakah yang Tuhan Telah Ubahkan dalam Hidupmu?

Perjalanan hidup yang telah kita lalui mungkin tidaklah selalu lancar, tetapi entah kita sadari atau tidak, itulah yang membentuk dan mengubah kita menjadi diri kita yang ada sekarang ini. Apakah yang Tuhan telah ubahkan dalam hidupmu?

Yang Aku Lakukan dan Doakan di Hari Ulang Tahunku yang Ke-22

Oleh Jefferson, Singapura

Aku biasanya mengikuti kebaktian pagi karena pada sore harinya aku melayani sebagai guru di sekolah Minggu gerejaku. Namun, menjelang hari ulang tahunku yang ke-22 baru-baru ini, yang kebetulan jatuh pada hari Minggu, aku memutuskan untuk mengambil rehat dari kebiasaanku itu. Pada malam sebelumnya, aku meminta izin kepada pengurus sekolah Minggu untuk tidak melayani besoknya supaya aku bisa beribadah di kebaktian sore.

Ada beberapa alasan di balik keputusan ini, tetapi yang terutama adalah supaya aku dapat melakukan sebuah kebiasaan lain yang telah kuabaikan selama beberapa waktu: menulis jurnal. Kebiasaan ini kumulai sejak sekitar 8 tahun yang lalu. Pada awalnya, aku hanya mencatat pengalaman-pengalaman yang kurasa penting, bermakna, atau mengesankan. Frekuensinya sendiri bervariasi; kadang aku bisa menulis jurnal setiap malam, beberapa hari sekali, atau bahkan beberapa minggu sekali. Seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat manfaat dari menulis jurnal, apalagi dalam masa-masa awal aku menjadi orang Kristen. Pertama-tama, secara praktis, menulis jurnal melatih kemampuanku menulis lewat menceritakan ulang suatu peristiwa yang terjadi dan merenungkan pemikiran atau responsku terhadap suatu topik. Yang kedua, jurnal mencatat berbagai kejadian penting (milestones) di mana aku melihat pertumbuhanku sendiri sebagai murid Kristus. Yang terakhir dan terpenting, lewat entri-entri jurnalku, aku dapat melihat dengan jelas penyertaan Tuhan yang selalu hadir dalam setiap pasang surut kehidupanku.

Kalau menulis jurnal sebegitu bermanfaatnya buatku, mengapa aku mengabaikannya selama ini? Pada tahun 2016, aku mengerjakan sebuah proyek pribadi yang cukup ambisius, di mana aku menulis satu kalimat yang merangkum apa yang terjadi pada satu hari setiap harinya selama setahun penuh. Ke-366 kalimat ini kemudian kusatukan menjadi sebuah puisi yang menceritakan hidupku dari usia 19 menuju 20 tahun. Aku memang menduga akan merasa kelelahan setelah menyelesaikan proyek itu, tapi aku tidak menyangka akan menjadi semalas dan seenggan ini untuk menulis jurnal dengan rutin. Di tengah-tengah kesibukan kuliah dan pelayanan yang ada, aku hanya menyempatkan diri untuk menulis jurnal beberapa minggu sekali, yang kemudian menjadi beberapa bulan sekali.

Ketidakkonsistenanku menulis jurnal berlangsung sejak akhir tahun 2016 hingga bulan Oktober yang lalu. Padahal, di masa itu aku merasa perlu menumpahkan isi hatiku yang meluap-luap lewat tulisan tanganku sendiri. Setelah setahun lebih melamar kerja dan kira-kira 3 bulan sejak aku lulus dari universitas, Tuhan akhirnya memberikan pekerjaan kepadaku. Masa-masa menunggu pekerjaan ini sendiri diwarnai dengan berbagai kejadian, mulai dari yang berwarna cerah seperti mulainya aku memimpin sebuah Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) di gereja sejak bulan Agustus sampai yang berwarna gelap di mana aku merasakan tekanan dari berbagai pihak, terutama orang tua, untuk segera mendapatkan pekerjaan. Rasanya sayang kalau seluruh peristiwa dalam beberapa bulan ke belakang tidak diabadikan dalam sebuah entri di jurnal yang telah lama tidak kubuka dan kutulis.

Maka di pagi hari 11 November 2018, setelah bangun lebih siang, membaca Alkitab, dan mandi, aku melepaskan ikatan tali yang membendel jurnal kulit tiruan berwarna cokelat yang agak berdebu dan membuka halaman tertulis terakhirnya. Entri terakhir bertanggal hampir setengah tahun yang lalu, tapi aku merasa sudah berabad-abad berlalu sejak aku terakhir menulis di jurnal.

Pena di tangan tidak langsung mengeluarkan tinta karena aku kesulitan merangkai kata-kata yang tepat untuk mengartikulasikan apa yang ada dalam benakku. Setelah bergumul selama sekitar lima belas menit untuk menyelesaikan dua paragraf pertama, kalimat-kalimat berikutnya kutulis tanpa hambatan yang berarti. Aku mengingat kembali kejadian-kejadian selama beberapa bulan ke belakang, menceritakan ulang dan mengomentari setiap detail yang menarik perhatian dan perasaanku. Hasilnya adalah ikhtisar dan perenungan dari pengalaman-pengalaman yang kualami selama beberapa bulan terakhir ini sepanjang 1,5 halaman A5.

Aku tidak bisa mengutip semua tulisanku di sini karena pasti akan kelewat panjang. Tetapi, secara singkat, selama hampir setengah tahun ke belakang (dan, kalau ditarik lebih jauh, sejak ulang tahunku yang ke-21), aku dapat melihat kuasa Roh Kudus yang nyata bekerja mengubahkanku semakin serupa dengan Tuhan Yesus Kristus terutama dari segi karakter, sebuah aspek kehidupan yang dari dulu kugumulkan karena kepribadianku yang koleris. Aku merasa jadi lebih sabar dan pengertian dalam berelasi dengan sesamaku. Selain itu, aku juga mengucap syukur atas anugerah Tuhan yang memimpinku untuk bisa lulus kuliah, memberikanku beberapa saudara/i di gereja untuk kumuridkan, dan menyertaiku selama masa-masa penantian hingga akhirnya mendapatkan pekerjaan.

Entri ini, seperti yang mungkin kamu tebak dari judul tulisan ini, berpuncak pada doa yang kutulis untuk Tuhan dari lubuk hatiku yang paling dalam. Doa inilah yang ingin kubagikan denganmu. Aku mengamati bahwa ketika seseorang berulang tahun, kebanyakan orang akan mengucapkan selamat, beberapa akan menanyakan pokok doanya, dan hanya sedikit yang akan berdoa bersamanya. Tuhan Yesus memberkatiku dengan banyak sahabat yang melakukan tindakan ketiga ini di ulang tahun teman-teman kami dan ulang tahunku. Melalui kesempatan berdoa bersama-sama dengan orang yang baru berulang tahun, aku mendapat wawasan tentang bagaimana orang Kristen seharusnya berdoa yang membantuku dalam kehidupan doaku sendiri.

Aku ingin membagikan berkat ini dengan kamu yang membaca doaku di bawah, sehingga kamu dapat semakin mendambakan kehadiran dan sukacita dari Tuhan dalam kehidupan doamu juga.

Tuhan, Bapaku di surga, sudah 22 tahun sejak Engkau menempatkanku di dunia ini. Butuh 14 tahun dan 356 hari bagiku untuk pada akhirnya menerima-Mu sebagai Tuhan dan Juruselamatku pribadi, sementara Engkau terus menopang hidupku di hari-hari penuh dosa dan pemberontakanku terhadap-Mu.

Hari ini tepat 7 tahun dan 9 hari aku telah melihat kasih-Mu terus dicurahkan atas hidupku hari lepas hari, walaupun sejak pertobatanku aku masih terus melakukan dosa dan pelanggaran yang tidak terhitung jumlahnya, tidak hidup dengan diri-Mu sebagai Tuhanku, melainkan aku sebagai Tuhan atas diriku sendiri. Tetapi Engkau terus mengingatkanku akan pengorbanan dan karya keselamatan-Mu yang menghapus segala dosaku, baik di masa lalu maupun yang akan datang, pada hari-hari di mana mereka membebaniku dengan rasa bersalah yang teramat besar. Terima kasih atas kebenaran-Mu yang membebaskan dan memampukanku untuk hidup untuk mengasihi-Mu, melayani-Mu, dan memuliakan-Mu lewat kasih dan pelayananku terhadap sesama.

Lewat perenungan tadi, Engkau memampukanku untuk melihat kasih anugerah dan kemurahan-Mu dengan lebih jelas lagi, sesuatu yang sudah lama tidak bisa kulakukan belakangan ini. Oleh karena itu, pada hari di mana Engkau memimpinku memasuki umur yang ke-22, aku memohon supaya aku dapat hidup semakin menyerupai Kristus. Aku berdoa supaya aku dapat melihat kemuliaan-Mu dengan semakin jelas lagi sehingga kasih-Mu dapat memenuhiku dengan melimpah dan menjadi berkat bagi orang-orang di sekitarku. Tuhan, berikan aku kesediaan hati untuk mengasihi seperti Engkau mengasihiku, untuk peduli terhadap kebutuhan orang lain, tanpa mengharapkan balasan apapun, karena aku telah pertama-tama memiliki segala sesuatu yang kuharapkan dan kudambakan dalam Pribadi Yesus Kristus yang mengasihiku dan memberikan nyawa-Nya untukku. Dan di hari-hari ke depan, ketika aku berjalan menyimpang dari jalan-Mu, tolong bukakan mataku terhadap kesalahan-kesalahanku dan berikan aku kekuatan untuk kembali berjalan mengikuti tuntunan-Mu.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada hari esok, ya Tuhan, tapi Engkau mengetahuinya: berkat-berkat apa saja yang akan kudapatkan selama tiga tahun menyelesaikan ikatan kerja, pekerjaan seperti apa yang Engkau akan panggil aku untuk lakukan setelahnya, orang-orang yang akan kutemui, wanita yang akan kunikahi, di mana aku akan tinggal, dan perubahan-perubahan serta pertumbuhan seperti apa yang akan kualami dengan segala macam konflik dan penderitaan dan pergumulan yang harus kulewati untuk mencapainya; dengan kata lain, masa depan yang akan kuhadapi. Oleh karena itu, aku meminta supaya Engkau terus menyadarkanku atas hadirat-Mu dalam waktu-waktuku ke depan dan memberikanku iman untuk hidup dengan diri-Mu sebagai pengharapan dan Tuhanku. Tolonglah aku untuk terus merasakan sukacita-Mu sehingga aku dapat terus berjalan dengan setia dalam hadirat-Mu sepanjang sisa hariku.

Di sini aku berdiri, Bapa; Engkau adalah saksiku dan Kebenaran, kepada siapa segala kemuliaan adalah milik-Mu.

Dalam nama Kristus yang agung aku menyerahkan segalanya ke dalam tangan-Mu, dengan keyakinan dan dalam pengharapan akan kemuliaan, kasih anugerah, dan sukacita-Mu.

Allah Roh Kudus, lengkapi dan sempurnakan doa yang jauh dari sempurna ini sesuai kehendak-Mu.

Amin.

Semoga Allah memakai doa yang kunaikkan pada ulang tahunku yang ke-22 ini untuk membawamu lebih dekat kepada-Nya dalam doa-doamu sendiri.

Soli Deo gloria.

Baca Juga:

4 Pergumulan yang Mungkin Dihadapi oleh Pendeta Gerejamu Lebih Daripada yang Kamu Pikirkan

Di balik keadaan pendeta di gereja kita yang tampaknya “baik-baik saja”, bisa saja terdapat pergumulan yang mereka hadapi. Kadang, pergumulan itu malah lebih daripada yang ada dalam pikiran kita.

4 Tindakan untuk Membuat Masa Kuliah Lebih Bermakna

Oleh Jefferson, Singapura

Sudah hampir empat bulan sejak aku lulus dari Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Aku adalah mahasiswa angkatan pertama di jurusan Environmental Science atau Ilmu Lingkungan Hidup. Tuhan menuntun dan memberkatiku, hingga akhirnya setelah menempuh studi selama empat tahun, aku dapat lulus.

Melalui tulisan ini, aku ingin membagikan beberapa pelajaran penting yang kudapat saat menjadi mahasiswa. Pelajaran-pelajaran tersebut aku rangkum dalam beberapa tindakan praktis yang kuharap bisa membantumu lebih memaknai dan mensyukuri masa kuliah sebagai berkat dari Tuhan.

#1 – LAtihlah disiplin-disiplin rohani selama kuliah

Ketika pertama kali menjejakkan kaki ke dalam kampus, aku menyadari bahwa sekarang aku memasuki dunia yang lebih luas dari yang sebelumnya aku tinggali. Kehidupanku tidak lagi sebatas rutinitas sekolah dan les yang biasanya kuikuti hingga malam hari. Sebagai gantinya, ada jadwal kelas yang tidak teratur dan berbagai macam kegiatan kemahasiswaan di luar kuliah yang bisa kuikuti. Aku juga mendapat banyak teman baru yang berasal dari berbagai daerah.

Aktivitas perkuliahan yang lebih dinamis dan banyaknya teman baru bisa mempengaruhi relasiku dengan Tuhan. Ketika aku semakin sibuk, apakah aku tetap punya waktu untuk berelasi dengan Tuhan? Ketika temanku semakin banyak dan beragam, apakah aku mampu tetap mempertahankan identitas Kristenku? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah disiplin rohani.

Dalam Markus 1:35, tertulis bahwa ketika hari masih gelap, Yesus bangun dan pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa. Aku belajar untuk mengikuti teladan-Nya. Di tengah-tengah kesibukanku sebagai mahasiswa, aku berusaha meluangkan sekitar setengah sampai satu jam setiap pagi untuk membaca dan merenungkan Alkitab serta berdoa. Meski aku sering bangun kesiangan atau merasa enggan bersaat teduh, tapi aku terus melatih diri untuk menjadikan disiplin ini sebagai hal pertama yang kulakukan setiap hari. Selain itu, aku juga mengikuti teladan satu tokoh lainnya, yaitu George Muller, seorang penginjil Inggris. Beliau selalu bersaat teduh setiap pagi. Dia mengatakan bahwa saat teduhnya itu membuat jiwanya benar-benar bersukacita di dalam Tuhan. Ketika jiwaku sudah lebih dulu puas di dalam Tuhan, aku bisa mengucap syukur kepada-Nya dalam segala apapun keadaan hariku.

Pernah suatu ketika aku begitu lelah karena ada banyak tugas dan aktivitas yang kulakukan. Badan ini rasanya tidak ingin bangun pagi, tapi aku tetap berusaha. Dengan mata yang berat dan tubuh yang masih kaku, aku beranjak dari ranjang, duduk di depan meja belajarku dan membuka Alkitab. Aku tidak ingat perikop apa yang kubaca maupun kata-kata apa yang kupanjatkan dalam doa pada Tuhan. Namun, yang kuingat adalah hari itu aku dimampukan Tuhan menyelesaikan segala tugasku dengan baik.

Pada awalnya disiplin rohani mungkin terasa sulit dilakukan. Tapi, apabila kita terus berusaha, anugerah Tuhan akan memampukan kita melakukannya. Disiplin rohani yang kita lakukan akan menumbuhkan karakter-karakter Kristus dalam hidup kita. Selama empat tahun aku telah menerapkan disiplin ini, dan aku berharap untuk terus melakukannya sepanjang hidupku.

#2 – ingat, USaha untuk bangkit dari kesalahan adalah anugerah dari Tuhan

Setiap orang bisa saja melakukan kesalahan. Tapi, fakta ini bukanlah alasan buat kita melepaskan diri dari tanggung jawab. Ketika kita melakukan kesalahan, kita juga harus mau memperbaiki kesalahan itu.

Semasa kuliah, Tuhan memakai kesalahan-kesalahan yang kulakukan untuk menyadarkanku akan kelemahan-kelemahan yang kumiliki dan membuat bergantung kembali pada-Nya. Salah satu kesalahan yang kulakukan adalah pada saat rapat persekutuan kampus, aku mengutarakan pendapatku dengan kasar. Sikapku itu ternyata melukai perasaan seorang teman. Temanku yang lain lalu menegurku dan aku pun langsung meminta maaf. Tapi permintaan maafku tidak diterima dengan baik. Sepanjang sisa hari itu aku merasa sangat muram. Aku lalu bercerita ke beberapa teman lainnya dan mereka semua memberi saran yang sama: sesali baik-baik dan biarkan Tuhan menyembuhkan relasi pertemananmu lewat waktu. Singkat cerita, puji Tuhan relasi kami dapat pulih. Aku telah melakukan kesalahan dengan tidak bersikap baik saat berpendapat, dan pengalaman inilah yang dipakai Tuhan untuk menegur dan memperbaiki sikapku di masa mendatang.

Kesalahan adalah sesuatu yang wajar. Walaupun kita tidak bisa memutar waktu untuk memperbaiki kesalahan itu, tapi kita bisa berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama ke depannya. Kita dapat menyesali kesalahan kita, tetapi jangan berdiam diri dalam penyesalan itu selamanya. Pelajarilah bagaimana kesalahan itu terjadi, dan latih diri untuk tidak jatuh ke lubang yang sama. Dalam kasusku, aku belajar untuk lebih peka dalam bersikap dan memilih kata-kata yang kuucapkan agar tidak melukai orang lain.

#3 – DEngar, cari, dan jadilah bagian dari komunitas Kristen yang baik

Bagi kamu yang merantau ke luar kota sepertiku, aku ingin memberikan dorongan yang lebih kuat untuk melakukan poin ketiga ini. Aku mengalami pertumbuhan rohani yang signifikan dalam komunitas Kristen yang kuikuti, baik di gereja maupun kampus. Lewat persekutuan dengan sesama orang percaya, aku belajar untuk bertumbuh semakin serupa dengan Kristus.

Di poin sebelumnya aku menuliskan bahwa sikap dan perkataanku melukai perasaan seseorang. Sebelum aku bertobat, aku adalah orang yang selalu merasa diri benar. Aku tidak mau menerima teguran dari orang lain. Namun, puji Tuhan, kini Roh Kudus melembutkan hatiku untuk berlapang dada mendengar dan menerima nasihat orang lain. Teman-teman di komunitasku juga tak sungkan untuk menegurku apabila aku memang melakukan kesalahan.

Persahabatanku dengan mereka dipakai Tuhan menjadi relasi yang saling mengasah satu sama lain, dan kupikir ini jugalah berkat yang paling berkesan yang kudapat semasa kuliahku. Menjelang minggu terakhir semester yang padat, kami lebih rajin lagi menanyakan pokok doa satu sama lain. Aku memang bersaat teduh setiap hari, tapi aku merasa kehadiran Tuhan jauh lebih kuat ketika aku berdoa bersama-sama dengan mereka. Aku percaya Firman-Nya yang berkata, “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Matius 18:20). Melalui doa-doa itu kami saling menguatkan satu sama lain supaya kami dapat mengakhiri semester dengan baik.

Ibrani 10:24-25 mengatakan, “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”

#4 – Ora et labora untuk mengenal, memuliakan, bersukacita di dalam Tuhan

Dalam bahasa Latin, ora et labora berarti “berdoa dan bekerja”. Frasa ini sangat relevan bagi kita. Mungkin sebagian besar mahasiswa belum bekerja, tetapi belajar adalah pekerjaan utama dari seorang pelajar atau mahasiswa. Kita membutuhkan pertolongan Tuhan untuk melakukannya. Tapi, kadang ora et labora ini dapat disalahartikan menjadi tindakan ‘menyuap’ Tuhan agar kita mendapat nilai bagus. Oleh karena itu, dalam judul poin ini, aku menuliskan bahwa kita melakukan ora et labora bukan untuk mendapatkan nilai yang bagus, tetapi untuk mengenal Tuhan beserta kemuliaan dan sukacita-Nya.

Belajar, bersaat teduh, mengambil hikmah dari kesalahan yang sudah kita perbuat, bahkan memberitakan Injil hanya akan jadi tindakan yang kehilangan maknanya kalau tidak kita lakukan dengan suatu tujuan. Dalam segala tindakan kita, kita ingin mengenal Tuhan (Filipi 3:8), memuliakan Tuhan (1 Korintus 10:31), dan bersukacita di dalam-Nya (Ibrani 12:2). Buatku sendiri, poin keempat ini adalah poin yang sulit karena untuk mempelajarinya aku harus melewati banyak ‘kekecewaan’.

Pada awal tahun 2017, aku dihadapkan dengan sebuah dilema: antara pergi mission trip atau mengikuti studi lapangan ke salah satu museum ternama di dunia. Kedua acara ini dilaksanakan pada waktu yang bersamaan, jadi aku harus memilih salah satu. Aku bergumul, berdoa, dan berdiskusi dengan banyak orang. Hasilnya, aku memilih ikut studi lapangan karena kupikir inilah kesempatan dari Tuhan untuk aku belajar lebih dalam tentang lingkungan hidup dan kelak aku bisa melayani-Nya melalui bidang ini.

Namun, ketika aku sudah yakin akan pilihanku, masalah datang. Museum yang akan kukunjungi itu ternyata terlambat mengajukan visa. Aku gagal berangkat mengikuti studi lapangan juga mission trip. Namun aku masih beruntung karena pihak universitas kemudian memberikanku kegiatan penelitian mengenai konservasi spesies langka bersama seorang peneliti di Singapura sebagai pengganti dari studi lapangan itu. Aku merajuk pada Tuhan. Aku menyalahkan-Nya karena membiarkanku kehilangan dua kesempatan berharga ini. Namun, belakangan melalui saat teduhku dan percakapanku dengan beberapa teman, aku sadar bahwa aku terlalu memaksakan kehendakku, bukan mengizinkan kehendak-Nya terjadi atas hidupku.

Aku mengakui dosaku, memohon ampun pada Tuhan dan bertekad untuk memuliakan-Nya dan bersukacita dengan apapun hal yang Dia berikan. Dan, puji Tuhan, lewat penelitian yang kulakukan di Singapura inilah aku belajar untuk semakin memelihara dan mengelola alam ciptaan-Nya (Kejadian 1:28). Aku juga belajar bagaimana memuliakan dan menikmati Tuhan lewat partisipasiku dalam melindungi spesies langka tersebut. Terakhir, dan inilah yang paling mengejutkan buatku, keterlibatanku dalam penelitian itu menjadi salah satu faktor aku diterima menjadi karyawan magang di sebuah institusi pemerintahan pada semester terakhir kuliahku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau waktu itu Tuhan mengizinkanku pergi mengikuti studi lapangan. Mungkin aku akan menjadi orang yang bergantung pada diriku sendiri dan memunggungi Tuhan yang selama ini selalu menyertaiku.

Aku belajar untuk menjadikan Tuhan sebagai tujuan utama dalam aktivitas yang kulakukan, entah itu dalam belajar, bersaat teduh, memberitakan Injil, atau bahkan ketika aku membersihkan kamar sekalipun. Aku belajar mencari dan menikmati Tuhan dalam tugas paling sulit atau kejadian paling mengecewakan yang kualami. Jika kamu melakukan itu semua, aku percaya kamu pun akan semakin mengenal Tuhan dan mendapatkan sukacita yang terbesar, yaitu Tuhan sendiri. Dan, selanjutnya kamu pun menjadi alat untuk kemuliaan Tuhan.

Empat poin ini adalah pengalamanku menikmati penyertaan Tuhan selama aku kuliah. Mari kita beranjak ke bagian penutup untuk melihat puncak dari semua perenungan ini.

Frasa akhir dari setiap tahap kehidupan ialah ….

Aku ingin mengakhiri dengan mengajakmu melihat maksud sesunguhnya dari tulisan ini: sebuah pengucapan syukur kepada Allah yang setia, Tuhan Yesus Kristus. Kalau kamu memperhatikan dengan saksama, ada beberapa huruf di poin-poin di atas yang ditulis kapital. Itu bukan salah ketik, aku sengaja menuliskannya demikian untuk mengeja sebuah frasa dari bahasa Latin: LAUS DEO, yang artinya “Puji Tuhan”.

Apalah artinya semua pengalaman yang kulewati kalau semuanya itu tidak membawaku untuk memuji Tuhan yang selalu hadir bahkan dalam momen terendahku dan ketika aku berdosa terhadap-Nya? Dan, apa juga gunanya bagimu, dalam tahap apapun kehidupanmu berada, kalau kamu membaca tulisan ini dan tidak tergerak untuk merenungkan penyertaan-Nya selama ini dan pada akhirnya memuji dan memuliakan Dia juga?

Aku berdoa kiranya Tuhan juga memberkatimu lewat keempat tindakan yang kusebutkan dalam poin-poin di atas, yaitu:

1. Melatih disiplin-disiplin rohani
2. Bangkit dari kesalahan dengan bergantung pada anugerah pengampunan Tuhan
3. Bergiat dalam persekutuan dengan orang-orang percaya
4. Melakukan segala sesuatu untuk semakin mengenal Kristus, memuliakan Dia, dan bersukacita di dalam-Nya.

Semoga masa kuliahmu, baik yang akan datang, sedang dilewati, ataupun sudah dilewati dapat kamu hidupi dan syukuri dalam hadirat Allah yang selalu menyertai kita.

Tuhan Yesus memberkati. Soli Deo gloria.

Baca Juga:

Mengenang Stan Lee: Seorang di Balik Segudang Tokoh Superhero

Tokoh-tokoh superhero itu unik. Mereka berbicara, menginspirasi, juga memotivasi kita. Dari banyak tokoh superhero yang kita kagumi, ada satu orang yang banyak berperan di baliknya. Dia adalah Stan Lee.