Posts

Berhadapan dengan Ekspektasi Orang Tua

Oleh Olivia E.H, Jakarta

Ketika kecil, aku suka menghibur diri dengan berbagai kisah mitologi Yunani di perpustakaan sekolah. Salah satu yang paling berkesan buatku adalah dongeng tentang Persephone dan Hades. Begini ceritanya: 

Persephone dikenal sebagai dewi musim semi, dia adalah putri dari Demeter, dewi pertanian. Dalam narasi mitologi paling mainstream dan klasik, dewa Hades selaku penguasa dunia bawah jatuh cinta pada kecantikan Persephone. Tanpa seizin Demeter, Hades menculik Persephone dan membawanya tinggal bersama di dunia bawah. 

Demeter sangat sedih dan marah karena kehilangan putrinya. Dia mencari Persephone ke seluruh dunia, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena kesedihannya, tanah-tanah menjadi tandus dan tak ada tumbuhan yang hidup. 

Melihat kesengsaraan yang timbul di bumi akibat kesedihan Demeter, akhirnya Hades mengizinkan Persephone kembali ke bumi selama setengah tahun yang melambangkan musim semi dan panen. 

Dongeng tentang Persephone di masa sekarang pun dimaknai ulang oleh beberapa seniman visual. Persephone tidak semata digambarkan sebagai damsel in distress alias korban pasif yang tiba-tiba saja diculik, tetapi dia dilihat sebagai sosok wanita yang berdaya dan bisa mengambil keputusannya sendiri. 

Dalam tafsiran para kreator modern, Demeter dianggap menaruh berbagai harapan dan idealismenya pada Persephone hingga sang putri pun muak dan memilih hidup di dunia bawah bersama Hades. Tapi, kok bisa ya? Bagaimana mungkin sosok dewi yang merepresentasikan musim semi bisa bahagia di antara orang mati?

Demeter yang berekspektasi tinggi berharap Persephone akan jadi “duplikat” dirinya. Ketika akhirnya Persephone hilang, Demeter sedih dan marah hingga nyaris membunuh satu bumi dengan tidak mau menumbuhkan apa pun.

***

Seru rasanya ya membahas cerita dongeng kuno. Tapi, di tulisan ini aku mau mengajakmu untuk melihat, memahami, dan bagaimana kita bisa menanggapi orang tua yang seringkali memaksakan ekspektasinya kepada anak-anak mereka. 

Aku lahir di keluarga yang bisa kukatakan banyak masalah. Suatu ketika saat aku SMP, aku akan pergi ke mall untuk jalan-jalan sekaligus photobox bareng teman sekelas. Rencana sudah matang dibuat, namun ketika aku akan berangkat, orang tuaku bertengkar di rumah. Di usia ketika aku mencari validasi diri, disuguhkan pemandangan keributan membuatku ingin cepat kabur. Kakakku yang tahu aku akan pergi main bersama teman, ikut mengomel: “Rumah lagi begini, kamu bisa jalan-jalan sama temen?! Batalin!” 

Kakakku yang usianya enam tahun di atasku punya harapan padaku untuk mengikuti jejak langkahnya menjadi “penjaga” keluarga. Padahal, aku lebih ingin menjadi “pengelana.” 

Di kesempatan berbeda, aku mulai belajar untuk mencernah ekspektasi-ekspektasi lain. Orang tuaku berharap aku jadi anak yang tidak menyusahkan, atau melipur kekecewaan mereka akan pernikahannya. Kakakku sering berkata betapa ia bahagia dengan kehadiranku sebagai adik, karena ia berharap mendapat teman setim untuk menghadapi orang tua. 

Seiring berjalannya waktu, ekspektasi bergulir. Ketika aku bekerja kantoran, orang tuaku menganggapnya tidak keren karena tidak jadi pengusaha. Ketika aku merintis usaha sendiri, dibanding-bandingkan terus hasilnya dengan gaji orang kantoran. Selain urusan kerja, orang tuaku juga menuntutku untuk rajin dan aktif di gereja yang harus sealiran dengannya. Bahkan urusan selera makan dan hobi olahraga pun aku dipaksa untuk sama seperti mereka.

Ekspektasi-ekspektasi yang menuntut itu mendorongku bertemu dengan konselor. Di satu sesi konselingku, dia berkata, “Kebahagiaan keluargamu bukan tanggung jawabmu. Kamu tahu itu, kan? Kebahagiaan sejati seseorang yang sudah dewasa seharusnya lahir dari dalam dirinya sendiri, bukan karena perbuatan atau sikap orang di luar dirinya, bahkan meskipun itu anak sendiri.”

Aku melihat sikap orang tuaku dalam mengasuh anak-anak mereka sebagai pola asuh yang tidak baik, atau mungkin bisa dikategorikan sebagai pola pengasuhan toksik. Dalam pola asuh ini, orang tua seringkali menggunakan kekuasaan, kontrol, dan manipulasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan. Mereka mungkin memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap anak, sehingga mengabaikan kebutuhan dan perasaan anak, serta seringkali memberikan hukuman fisik atau verbal yang tidak pantas.

Dalam pengasuhan toksik, orang tua seringkali tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka mungkin mengharapkan anak untuk selalu memenuhi harapan dan standar mereka, tanpa memperhatikan keunikan dan potensi anak itu sendiri. Akibatnya, seorang anak bisa merasa tidak berharga, tidak dihargai, dan kurang percaya diri. Bahkan perasaan negatif ini bisa bertahan hingga remaja dan dewasa.

Namun, bukan berarti orang tua tidak boleh berekspektasi terhadap anaknya. Memiliki ekspektasi atau harapan terhadap sosok yang kita kasihi adalah natur manusia yang wajar. Ekspektasi yang realistis dan sehat justru jadi bagian penting dalam perkembangan anak dan untuk mewujudkannya diperlukan cara-cara yang suportif. 

Literatur Kristen melalui Alkitab memberiku role model ibu-anak yang lebih positif dan empowering, bahkan meskipun tanpa ikatan darah. Dua tokoh ini tidaklah asing buat kita, mereka adalah Rut dan Naomi. 

Rut adalah menantu Naomi. Setelah kematian suami dan anak-anak Naomi, Rut memilih tetap setia pada ibu mertuanya dan menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tulus dari ibu mertualah yang membuat Rut bertahan. Berdua, mereka pergi bersama menuju petualangan terbesar dalam hidup. 

Di kitab Rut pasal 1 ayat 16-17, Rut berkata kepada Naomi: “Jangan desak aku untuk meninggalkan engkau dan untuk berbalik dari padamu; sebab ke mana engkau pergi, ke situ aku akan pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ aku akan bermalam. Bangsamu adalah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku. Di mana engkau mati, di situ aku akan mati dan di situ aku akan dikuburkan. Demikianlah TUHAN kiranya berbuat kepadaku, dan demikianlah ditambahnya, jikalau bukan hanya maut yang memisahkan aku dan engkau.”

Loyalitas, rasa hormat, dan kasih sayang Rut terhadap Naomi, merupakan teladan yang baik untuk relasi antara ibu dan anak. Hubungan mereka mencerminkan kehangatan, kasih sayang, dan komitmen yang ada dalam relasi ibu dan anak secara natural, tanpa paksaan. Naomi berekspektasi Rut akan meninggalkannya saja dan memulai hidup baru. Rut ternyata berekspektasi untuk ikut Naomi mudik. Naomi pun mau mengubah rancangan hidupnya dengan menyertakan Rut di dalamnya.

Dalam zaman sekarang, kita sering kali melihat kepahitan dalam relasi, terutama antara mertua dan menantu. Namun, kisah Rut dan Naomi mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memiliki hubungan yang penuh kasih dan saling menghormati, meski ada saling ekspektasi di dalamnya.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa relasi keluarga adalah tentang saling mendukung dan mengasihi, meski satu sama lain punya ekspektasi yang berbeda. Dengan saling menghormati ekspektasi satu sama lain, kita dapat membangun hubungan yang kuat dan manis seperti Rut dan Naomi.

***

Tapi tapi tapi… Demeter & Persephone ‘kan mitologi Yunani kuno, dan Rut & Naomi adalah kisah sejarah Yahudi ribuan tahun lalu! Apa kabar dong buatku yang masih sering keselek karena sulit menelan ekspektasi orang tua hari ini?

We have to give agency to ourselves. 

Frase “giving agency to ourselves” berarti memberikan kekuatan atau otoritas kepada diri kita sendiri. Dalam konteks psikologi, ini berarti bahwa kita mengakui dan menggunakan kekuatan kita sendiri untuk membuat keputusan, menentukan pilihan, dan mengendalikan arah hidup secara mandiri. Jadi, memberikan agency kepada diri kita sendiri berarti mengambil alih kendali atas hidup kita dan bertindak sesuai dengan keinginan, tujuan, dan nilai-nilai kita.

Namun, meskipun kita punya pilihan bebas untuk menentukan hidup kita sendiri, ingatlah bahwa identitas kita yang sejati ada di dalam Kristus. Dialah yang telah menebus kita dari dosa-dosa, sehingga ketika dunia mengatakan dan mendorong kita untuk menjadi diri sendiri sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan hati kita, meminjam kutipan dari Gregg Morse, kita bisa tanamkan pemahaman ini: 

Don’t just be yourself. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create. 

Jangan sekadar jadi dirimu sendiri, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya. 

Identitas kita di dalam Kristus memampukan kita menjadi anak-anak yang bijaksana, yang ketika menyuarakan isi hati kita tetap bertindak menghormati orang tua sebagai sosok yang mengasihi kita. Pengasuhan toksik yang mungkin kita alami bisa jadi adalah buah dari buruknya pengasuhan generasi di atas orang tua kita. Bagi kita yang telah mengenal firman dan juga diberkati dengan zaman di mana ilmu parenting dengan mudahnya tersedia, kelak saat kita menjadi orang tua, kita dapat belajar banyak untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti generasi di atas kita. 

Jadi, ketika keluarga menyodorkan ekspektasi pada kita, tak perlu seketika emosi atau marah-marah. Sodorkan balik ekspektasi kita untuk mereka, lalu jalanin proses saling berinteraksi dengan sehat. Dan, yang tampak klise tetapi penting adalah doakan orang tua kita. Bukan semata-mata agar mereka berubah, tetapi agar baik kita dan mereka dikaruniakan hikmat dan kebijaksanaan untuk menimbang apa yang paling baik, untuk tetap mengutamakan kasih sebagai pengikat relasi. Jika ekspektasi itu berlandaskan kasih dan kita pun mengasihi mereka, pastilah akan ada solusi untuk menemukan jalan tengahnya.

Selamat menimbang dan mengunyah ekspektasi dari orang tua yang masuk sehari-hari dengan lebih berhikmat!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 5)

menemukan-diriku-5

Entah kenapa tempat ini terasa tidak nyaman lagi. Di mana seharusnya aku berada? Apakah ini kehendak Allah bagiku? Aku bertanya pada diriku setiap hari.

Hatiku serasa ada di dua tempat, dua dunia yang terpisah ribuan kilometer jaraknya. Aku merasa seperti selembar daun yang tertiup angin, melayang tanpa tujuan. Mengapa? Seharusnya tidak seperti ini.

Kemarin, aku merasa sangat yakin. Aku pikir aku berada di tempat yang tepat. Tentu saja, Tuhan yang memanggilku ke tempat ini. Aku mendapatkan pekerjaan yang kusukai. Aku punya teman-teman dekat. Aku bisa melayani di gereja. Aku merasa Tuhan sedang menyuruhku “tetap tinggal” dan tidak “pergi”. Memang aku jadi jauh dari keluarga, tetapi mungkin itulah pengorbanan yang harus aku berikan.

Hari ini, keraguan itu datang lagi. Dan, aku lelah dengan perasaanku yang serba tidak pasti.

Mungkin Tuhan sedang mengajarku, “Aku memberimu kebebasan untuk memilih”. Aku harus melangkah dalam iman, bergerak maju dan menantikan apa yang telah Tuhan siapkan bagiku.

Mungkin aku terlalu kuatir dengan banyak hal. Tuhan, penuhiku dengan damai-Mu. Yang penting bukan di mana aku berada, tetapi apa yang aku lakukan dan dengan siapa aku memilih melakukannya. Hanya Engkau yang dapat menyempurnakanku.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 3)

menemukan-diriku-3

Untuk apa kamu berusaha? Membuat semua orang lelah saja. Pikirkanlah bagaimana kamu memimpin rapat itu. Pembicaraannya melantur ke mana-mana dan membuat semua orang yang terlibat menjadi luar biasa penat.

Mengapa ya dulu aku mau mengambil peran ini? Mengapa aku berpikir aku mampu melakukan pekerjaan ini?

Seingatku, dulu aku melangkah dalam iman, percaya bahwa Allah akan menyediakan. Saat mengawali semua ini, aku berkata:
“Aku tidak mau berfokus pada diri sendiri, aku mau terus mengarahkan pandanganku kepada Yesus. Aku tidak sedang mau membuktikan kemampuan diriku, aku mau orang melihat Allah di dalam kelemahanku.”

Tetapi, gagal memimpin rapat pertama membuat semua yang kubayangkan langsung berantakan. Aku lupa dengan apa yang pernah aku katakan di hadapan Tuhan.

Tuhan, tolong ingatkan aku bahwa pelayanan ini bukan tentang aku, kesetiaanku, atau kemampuanku. Tolong aku melihat dan memahami bahwa semua ini adalah tentang Yesus, kesetiaan-Nya, dan kekuatan-Nya.

Seringkali aku merasa pelayanan ini adalah tentang aku. Namun, sesungguhnya semua ini adalah tentang Yesus. Tidak ada hal yang perlu kubuktikan, tidak ada kegagalan yang perlu kutakutkan, tidak ada kelemahan yang perlu kututupi. Pelayanan ini adalah dari Dia, oleh Dia, dan untuk Dia.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 1)

menemukan-diriku-1

Duh, kenapa lagi-lagi aku bilang iya? Aku ‘kan sudah memutuskan mau istirahat saja setahun ini.

Saat jalan-jalan terakhir bersama teman-temanku beberapa bulan lalu, aku merasa sangat capek. Jadi, aku bilang tidak akan ikut mereka lagi. Tetapi anehnya, sekarang, saat mereka mengajakku jalan-jalan lagi dengan rute yang lebih pendek, aku mengiyakannya. Kenapa aku bisa begini? Badanku bilang “tidak”, tetapi pikiranku berkata “ya”.

Ya, aku ingin melarikan diri dari rutinitasku yang membosankan. Aku ingin lari dari semua masalahku. Aku tidak ingin berurusan dengan orang lain. Aku ingin bersenang-senang. Aku ingin jalan-jalan. Menikmati wisata kuliner, suasana baru, dan hal-hal yang mengasyikkan bersama teman-temanku.

Aku tahu bahwa saat kembali nanti aku tetap harus menghadapi masalah-masalahku. Tetapi, aku terlanjur kecanduan jalan-jalan, aku merasa tidak bisa bertahan tanpa itu. Aku dan teman-temanku bahkan sudah punya jadwal jalan-jalan sampai tahun 2020!

Aku sadar ini sebenarnya sama dengan melarikan diri, melarikan diri dari masalah.

Apakah Tuhan Yesus melarikan diri saat masalah paling berat ada di hadapan-Nya?

Aku tidak akan beroleh keselamatan jika Dia melakukannya.

Apakah aku sedang menghadapi masalah dengan cara yang salah?

Tolong aku, Tuhan Yesus, untuk mengatasi masalah-masalahku.

Tolong aku agar tidak mengandalkan cara-caraku sendiri yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi mempercayai-Mu dan menyambut karya-Mu dalam hidupku.

Tolong aku, Tuhan, untuk lebih bergantung kepada-Mu.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.