Posts

5 Cara Hidup dalam Keluarga Disfungsional

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa inggris : 5 Ways I Learned To Love My Dysfunctional Family

Keluargaku bisa dikatakan sebagai “Keluarga Kristen Harmonis”. Kami pergi ke gereja setiap hari Minggu, menghadiri persekutuan, dan ikut retret. Kami juga membaca Alkitab, bergabung dengan grup komsel, dan mengadakan sesi belajar Alkitab di rumah. Kami percaya bahwa keluarga yang berdoa bersama akan tetap bersama.

Namun, selalu ada hal yang menyakitkan bagiku, yaitu melihat betapa banyak konflik dan ketegangan yang kami miliki di rumah. Sebagai seorang anak, aku selalu merasa tidak nyaman setiap kali melihat orang tuaku bertengkar hebat sebelum ke gereja, kemudian pertengkaran itu terhenti saat tiba di gereja. Lalu mereka pergi ke tempat masing-masing—ayah ke ruang ibadah dan ibu bergabung dengan paduan suara atau mengajar kelas, sementara aku ke kelas sekolah Minggu dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Entah bagaimana, secara tidak langsung aku mengerti bahwa aku harus memendam hal tersebut untuk diriku sendiri.

Aku pun tidak ingat bahwa aku pernah mendengar orang tuaku saling meminta maaf, apalagi untuk membahas masalah pertengkaran mereka setelahnya.

Ketika aku tumbuh dewasa dan menyadari betapa disfungsionalnya—tidak normal dan tidak sehat—interaksi semacam itu, semakin sulit bagiku hanya untuk berdiam diri dan tidak mengatakan apa-apa. Oleh karena itu, aku memilih berbicara. Tentu saja hal ini tidak disambut baik, mengingat bagaimana konsep hubungan orang tua dan anak dalam budaya kita.

Selama bertahun-tahun, aku terus belajar untuk menyerahkan keadaan ini kepada Tuhan. Aku pun diberkati karena dapat berteman dengan para pendeta yang peduli dan mentor-mentor yang bijaksana, dan mereka juga yang menemaniku melalui berbagai konflik yang kualami. Aku juga mengikuti terapi dengan seorang konselor Kristen, dan memiliki teman-teman yang mau melakukan yang terbaik untuk berada di sisiku. Secara pribadi, aku telah melakukan apa yang bisa kulakukan untuk belajar hidup dalam keluargaku yang tidak baik-baik saja.

Aku juga telah belajar untuk menyebut situasiku sebagai disfungsional, sesuatu yang tidak dapat aku lakukan sebelumnya. Hampir satu dekade yang lalu, aku bercerita pada seorang teman tentang bagaimana orang tuaku bertengkar dan bagaimana hal tersebut terlihat normal, sampai ketika dia dengan blak-blakan menjawab, “Uhm, itu tidak normal.”

Tanggapannya mengejutkanku, dan setelah itu, aku langsung merasa malu. Apa maksudnya keluargaku tidak normal? Apakah ini berarti kami disfungsional? Bagaimana bisa dia mengatakan itu? Betapa beraninya dia mengatakan itu? Orang tuanya bahkan bukan orang percaya — setidaknya keluargaku orang percaya. Bagaimana kami bisa ‘bermasalah’ jika kami orang Kristen?

Kalau dipikir-pikir, itu adalah momen pembelajaran yang penting bagiku. Walau temanku mungkin bisa mengatakan istilah yang lebih baik, tapi apa yang dia katakan itu benar. Tidak normal bagi keluarga untuk menjadi seperti ini. Dan menjadi orang Kristen tidak membebaskan kita dari masalah.

Tuhan dengan jelas menggambarkan visi-Nya tentang kehidupan keluarga dalam Efesus 5:2-6:4 — melibatkan penyerahan yang sama dan kasih yang rela berkorban, untuk mencerminkan hubungan antara Kristus dan gereja. Di keluargaku, sebagian besar konflik kami berasal dari ketidaksabaran dan keinginan kuat untuk “melakukan segala sesuatu dengan caraku” ( Yakobus 4:1 ). Yang terpenting, kedua bagian ini menyajikan kesimpulan yang sama—kita perlu tunduk kepada Tuhan.

Seiring waktu, aku telah melihat bagaimana teman-temanku juga berjuang dengan keluarga mereka sendiri dan memilih membawa keadaan disfungsional tersebut kepada Tuhan. Itu menggerakkanku untuk tetap setia pada imanku. Mereka mengajariku berulang kali bahwa kekacauan keluarga yang tampaknya permanen tidak menghapus kebenaran Alkitab dan apa yang telah Yesus lakukan di kayu salib. Tanggapan mereka mengingatkanku bahwa Tuhan terus bekerja dalam kita dan akan menyelesaikan pekerjaan-Nya sampai kita melihat-Nya lagi.

Aku juga belajar untuk mempertimbangkan kembali bagaimana kita menggunakan kata “normal’. Walaupun konflik adalah hal normal dan merupakan bagian dari kehidupan, konflik yang sering terjadi dan tidak terselesaikan tidak boleh diperlakukan sebagai hal yang normal.

Seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 6: “Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (ay.1-2). Ini berarti bahwa meskipun kesulitan melawan dosa terus berlanjut, perjuangan juga harus terus berlanjut, dan kemenangan pasti ada karena perbuatan Yesus di kayu salib (11-14).

Lalu bagaimana kita bisa hidup dengan ketidaknormalan dan tetap sehat? Bagaimana kita menerimanya dan tidak mengabaikan dampak dan konsekuensinya dalam hidup kita?

1. Mengakui dan meratapi kehancuran dosa

Kita tahu konsekuensi dari dosa, tetapi hidup dalam dosa setiap hari bisa menjadi sangat berat. Mengakui dosa terus-menerus tidak berarti kita menyerahkan diri kepada kuasa dosa, sebaliknya itu berarti kita tidak lagi menganggap remeh dosa atau melakukan pembenaran bahwa dosa yang kita lakukan adalah ‘normal’.

Ketika aku berbicara dengan seorang teman tentang keluargaku, dia mengingatkanku betapa disfungsionalnya beberapa keluarga dalam Alkitab (misalnya, Abraham, Yakub, Daud), dan bagaimana Tuhan memelihara dan memakai mereka untuk memenuhi rencana-Nya. Kami juga membahas bagaimana kita harus merefleksikan peran kita dalam keluarga yang rusak: selain mengakui luka kita sendiri, kita juga perlu dengan rendah hati memeriksa keadaan hati kita dan mengakui bahwa kita telah menyakiti orang lain.

Bukan berarti kita dapat berpikir bahwa satu luka menghapuskan luka lainnya. Ini berarti bahwa “kita semua telah berbuat dosa” ( Roma 3:23 ), namun “… Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.” ( Roma 5:8 ).

2. Kembalilah kepada Tuhan dan renungkan janji-Nya

Setiap kali konflik muncul dalam keluargaku, aku tergoda untuk melarikan diri dan bersembunyi, untuk tidak ikut campur kalau aku bisa. Tapi mengelak sebaik apa pun hanyalah jeda singkat. Aku menyadari bahwa aku dapat bersembunyi di guaku sendiri atau aku dapat memilih untuk bersembunyi di hadirat Tuhan ( Mazmur 32:7 ).

Bersembunyi di hadirat Tuhan berarti berpaling pada Firman-Nya dan menyalurkan seluruh kesedihan kita kepada-Nya, meletakkannya di kaki-Nya. Bersembunyi di dalam Tuhan tidak berakhir dengan tangisan dan ratapan (Mazmur 30), karena Dia “hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” ( Mazmur 32:8 ).

Ketika sakit hati dan putus asa, aku sering mengingat kembali Ratapan 3 :

”Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”
Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.
Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:

Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
”Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. (ay.19-24).

3. Carilah pemulihan

Kita tahu bahwa kehidupan di bumi tidak pernah mulus, tetapi kita dapat (dan harus) berdoa dan berharap bahwa Tuhan akan membawa pertobatan, penyembuhan, dan pemulihan hubungan yang sempurna. Namun, kita juga perlu belajar untuk berdamai dengan kemungkinan bahwa pemulihan itu mungkin tak selalu selaras dengan yang kita dambakan.

Ada saat ketika aku berharap semua orang di keluargaku akan mencari bantuan konseling sehingga kami dapat menyelesaikan semua masalah kami, tetapi aku sadar bahwa keputusan tersebut adalah keputusan pribadi. Dulu aku merasa sangat putus asa, bahkan pahit akan penolakan keluargaku untuk mencari pertolongan konselor. Tetapi melalui sesi konselingku sendiri, dan para mentor yang mendengarkan, serta teman-teman yang mendoakanku, perlahan aku belajar menerima pilihan keluargaku dan mencintai mereka dengan kemampuan terbaikku. Ini berarti melayani mereka sebanyak yang aku bisa sambil menjaga batasan yang sehat, dan terus berdoa agar Tuhan menyembuhkan dan memulihkan mereka.

4. Tetapkan batasan yang sehat dan cari pemulihan untuk diri sendiri

Dalam budaya tempat aku tumbuh, konsep menciptakan ‘batasan’ dengan orang-orang atau konflik sangatlah asing, bahkan dianggap tidak berbakti. Tetapi dengan bantuan terapi, buku, dan literatur Kristen, aku telah belajar bahwa memberi batasan sebenarnya sehat.

Hal pertama yang aku pelajari adalah mengenali peranku dalam konflik. Ketika orang tuaku bertengkar, aku tahu bukan tanggung jawabku sepenuhnya untuk menengahi dan membantu mereka berdamai. Bagian yang sulit adalah mengatakan tidak, tetapi aku telah belajar melakukannya demi kesehatan mentalku. Sebaliknya, aku berdoa sebanyak yang aku bisa. Aku juga menghadiri sesi konseling secara teratur karena ini selalu menjadi jalan keluar yang bermanfaat bagiku dan merupakan kunci untuk perjalanan penyembuhanku.

5. Terus berusaha dalam doa

Lebih dari sekadar kata-kata yang kita ucapkan, doa ada dalam sikap hati kita—bagaimana kita mengarahkan pikiran dan emosi kita kepada Tuhan. Itu berarti, mengakui bahwa Dia mengasihi kita dan melihat serta mendengar segala sesuatu yang kita katakan dan tidak katakan. Dari sana, kita dapat mengingat bahwa Dia “yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita” ( Efesus 3:20 ).

Jangan menyerah mendoakan keluargamu, sebesar apapun kehancuran di dalamnya. Tuhan tidak hanya menyelamatkan kita untuk kehidupan yang akan datang, Dia terus menyelamatkan kita setiap hari (Mazmur 68:19) dan Dia telah memberi kita pengharapan hidup dalam Yesus (1 Petrus 1:3).

Move On dari Persahabatan yang Retak

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Moving on From a Friendship Breakup

Sudah lebih dari delapan bulan berlalu sejak malam ketika aku dan temanku mengobrol serius.

Dalam relasi pacaran, obrolan serius biasanya mengindikasikan adanya  masalah besar. Tetapi, di dalam kasus kami—sebagai teman—aku mengharapkan supaya masalah kami  berakhir dengan permintaan maaf diwarnai tangisan dan pelukan. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Salah paham berlanjut jadi saling menuduh, dan setelahnya kami pun jadi saling menghindar. Aku dan temanku telah berkawan lebih dari 19 tahun. Ketika aku kabur dari rumah dulu, aku tinggal di rumahnya. Itulah sekelumit kesan akan betapa dekatnya kami.

Setelah bertahun-tahun tinggal di negara berbeda, di tahun 2020 kami akhirnya kembali ke tempat yang sama. Kami bersemangat untuk berkawan akrab lagi. Namun, kedekatan kami yang tak lagi terhalang jarak membuat banyak perbedaan yang sebelumnya tak terlihat, malah menjadi jelas. Dan, sedihnya itu memperluas jurang di antara kami. 

Aku pernah punya sahabat, yang sekarang tak lagi dekat karena kami telah bertumbuh dewasa, pindah rumah, menikah, punya anak, dan sebagainya. Tetapi, aku belum pernah mengalami “putus” persahabatan yang dilakukan secara sengaja, lalu aku pun dijauhi. Aku mengatakan ini sebagai “putus” karena saat obrolan terakhir kami, jelas bahwa kami masih peduli satu sama lain. Tetapi juga jelas bahwa kami tidak bisa mengembalikan pertemanan kami seperti semula. 

Tidak seperti putus cinta, di mana orang-orang yang move-on dengan baik dapat berteman dengan mantannya, dalam persahabatan, aku belum mengerti seperti apa rasanya “masih berteman” dengan mantan sahabat.

Saat aku merawat lukaku dan berduka atas kehilangan dan perasaan dimusuhi, aku pun merenungkan melalui peristiwa ini apa yang mungkin Tuhan ajarkan kepadaku. Tentu saja, memang tidak semua masalah memberikan pelajaran berharga. Tetapi, bagi kita orang-orang percaya, penderitaan dapat mendorong kita untuk memikirkan tentang Allah dan bagaimana Dia mungkin bekerja dalam kita.

Jadi, inilah beberapa pelajaran yang aku raih dari pengalaman ini:

  1. Longgarkan sedikit ikatan persahabatanmu, tetapi kuatkanlah ikatanmu pada Tuhan

Aku baru-baru ini sadar bahwa apa yang menyebabkan putusnya persahabatan kami adalah perbedaan mencolok dalam cara pandang kami, yang diperparah dengan asumsi bahwa kami harus selalu memahami dan setuju satu sama lain.

Temanku berharap pengalaman dan kesuksesannya dapat membimbingku menuju kesuksesanku sendiri; tetapi ketika ia merasa aku tidak tertarik untuk mengikuti nasihatnya, ia kecewa. Aku, di sisi lain, berharap kalau dia akan berempati dengan perjuanganku Lama-lama aku kesal karena dia selalu berusaha mengoreksiku. Kita tahu orang-orang berubah, tetapi jika menyangkut hubungan terdekat kita, mungkin sulit untuk menerima perubahan ini. Kita ingin orang yang kita kasihi “tidak pernah berubah”, karena jika mereka berubah, itu dapat merusak harmoni dalam hubungan yang sudah kita bangun. Dan jika hubungan itu rusak, kita pun kehilangan dukungan dari orang yang kita andalkan. 

Pengalaman ini mengajarkanku betapa baiknya mengetahui bahwa Allah tidak berubah. Bilangan 23:19 mengatakan, “Allah bukanlah manusia, sehingga Ia berdusta bukan anak manusia, sehingga Ia menyesal.”

Setiap kali aku mengeluh tentang Allah yang terasa jauh dariku, sungguh sebuah penghiburan untuk mengetahui bahwa Tuhan bukanlah manusia. Dia tidak akan berubah pikiran tentang aku besok, atau selamanya. Kasih yang Dia janjikan akan ditepati.

  1. Memaafkan memang menyakitkan

Setiap kali rasa sakitku muncul kembali, memilih untuk memaafkan—agar aku tidak memendam kebencian—bisa terasa sangat menyakitkan. Kadang-kadang, dalam upayaku untuk menutupi lukaku, aku melampiaskan kemarahan—aku berpikir kok bisa temanku itu dengan sengaja menyakitiku, dengan kata-katanya, bagaimana dia mengatakan satu hal dan melakukan hal lain, bagaimana dia telah merusak kepercayaanku.

Tetapi, ketika badai rasa sakit itu berlalu, aku melihat Allah berdiri di sana, dengan sabar menungguku untuk mendengarkan apa yang Dia katakan. Dia kemudian menunjukkan kepadaku lagi seperti apa pengampunan-Nya—meskipun menyakitkan bagiku untuk mengampuni dan mengasihi, betapa lebih menyakitkan bagi Dia ketika Yesus tergantung di kayu salib.  Betapa lebih sakitnya Dia ketika kita berpaling dari-Nya.

Memaafkan itu menyakitkan, oleh karena itu saat kita belajar untuk memaafkan, lihatlah kepada Dia yang paling terluka, dan percayalah bahwa luka-Nya akan menyembuhkan kita, dan memperbesar kapasitas hati kita untuk mengasihi.

  1. Cinta manusia itu bersyarat

Temanku bukan seorang Kristen, dan aku sungguh-sungguh berdoa agar ia diselamatkan. Tetapi setelah konflik, ada hari-hari ketika aku tidak ingin mendoakannya. Di saat-saat terburukku, aku mengaku kepada Tuhan bahwa kurasa aku tidak lagi peduli dengannya.

Tetapi Tuhan, dalam belas kasihan-Nya yang tak terbatas, tidak menghajarku karena pikiranku. Sebaliknya, Dia dengan kuat memegangku dan menyadarkanku dengan  kebenaran-Nya:

Jika kamu mencintai orang yang mencintai kamu, apa bedanya kamu?

Apakah kamu lebih layak untuk diselamatkan? Begitukah cara kerja kasih karunia-Ku?

Dan sekali lagi, dengan rendah hati aku tergerak untuk mengakui dosa-dosaku.

  1. Menaruh harapanku pada Allah terkadang berarti melepaskan ekspektasi kita sendiri 

Suatu kali aku membaca sebuah artikel yang membahas tentang kehilangan relasi, yang mengingatkanku betapa aku menginginkan kami bisa kembali bersahabat seperti dulu. Namun, aku masih bergumul dengan kepahitan di hati. Hatiku seolah berkata kalau  aku mau melakukan apa pun demi pulihnya relasi kami. Aku akan memaafkan dan melupakan jika itu berarti kita bisa berteman lagi.

Tapi, aku tahu itu bukanlah cara memaafkan yang baik. Ketika Tuhan memanggilku untuk memaafkan, Dia tidak meyakinkanku bahwa setelah aku memaafkan temanku, relasi kami dapat kembali hangat seperti sebelumnya. Dia juga tidak berjanji untuk memberiku teman baru yang akan menggantikan teman lama. Faktanya, Dia tidak mengatakan sesuatu yang spesifik untuk tujuan itu, tentang hasil penuh harapan seperti apa yang dapat aku harapkan di sisi kehidupan ini.

Sebaliknya, Dia mengajarku bahwa pemulihan yang dijanjikan-Nya tidak berarti segala sesuatunya kembali seperti semula. Pemulihan dari Allah juga bukan untuk memenuhi harapan duniawi kita. Seperti Roma 8:23-25 katakan kepada kita:

Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita. Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya? Tetapi jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun.

Dua minggu lalu, aku memutuskan untuk mengirim pesan kepada temanku dan mengajaknya bertemu. Selama beberapa jam aku merasa ketakutan, tidak tahu bagaimana dia akan merespons. Tetapi coba tebak—ia dengan senang hati menjawab ya, jadi kami pergi minum kopi dan mengobrol selama beberapa jam.

 “Obrolan kami asyik, seperti dulu.” Mungkin itu respons yang kamu harapkan. Tapi, ada perubahan yang membuat pertemuan kami tak seperti saat-saat ketika kami begitu akrab, dan mungkin tak akan pernah kembali seperti itu. 

Tapi, itu tidaklah masalah . Itulah yang aku pelajari dari pengalamanku: ketika pergumulanmu tak menemui solusi yang kamu harapkan,Tuhan senantiasa ada buatmu Janji-Nya untuk menemaniku, melindungiku, dan mencintaiku dalam segala keadaan selalu benar dan ditepati-Nya.

Artikel ini diterjemahkan oleh Joel Adefrid

Bolehkah Aku Mengakui Sesuatu?

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can I Confess Something?

Sekitar lima tahun lalu, aku akhirnya menemukan kelompok studi Alkitab wanita di satu gereja. Sudah sekian lama memang aku tidak tergabung dengan komunitas rohani seperti itu. Di salah satu pertemuanku bersama mereka, sesi pembahasan Alkitab sudah selesai dan kami hendak membagikan pokok doa masing-masing. Seorang temanku lalu berkata:

“Tolong doakan aku, aku seperti kecanduan belanja. Rasanya aku menghabiskan terlalu banyak uang buat beli barang-barang yang sebenarnya nggak dibutuhin.”

Ketika mendengar itu, aku tercenung. Bukan karena ada yang salah dari pokok doa itu, tapi aku merasa aku tidak bisa sejujur itu mengakui dosaku sendiri. Bagaimana caranya beralih dari “tolong doakan aku, aku kecanduan belanja” ke “tolong doakan aku karena… aku kecanduan pornografi dan masturbasi”?

Dosa terhormat vs dosa yang tidak terhormat

Ada sebuah buku berjudul “Respectable Sins” yang ditulis oleh Jerry Bridges. Aku belum membaca bukunya, tapi aku selalu ingat judulnya karena rasanya itu sangat cocok untuk sebagian besar dosa-dosa yang kita akui—tidak sabar, membicarakan orang lain, menikmati software bajakan, kerja berlebihan—pada dasarnya adalah dosa-dosa yang dilakukan setiap orang.

Namun, ada hal lain yang terkait dengan mengakui dosa ‘terhormat’. Ketika aku merenungkan bagaimana mengaku dosa kepada orang lain, yang pasti aku lakukan adalah bagaimana menyusun kata-kata supaya pengakuan itu tidak membuatku tampak jelek. Jadi, alih-alih mengatakan, “Aku membentak mamaku tadi pagi”, aku akan berkata, “Aku sedikit bertengkar dengan mama.” Alih-alih berkata, “Kemarin malam aku nonton film porno”, aku berkata, “Aku bergumul dengan pikiran yang tidak murni.” Atau, kalaupun aku tidak menemukan kata-kata yang terasa pas, aku akan memilih dosa yang lebih ‘ringan’ untuk diakui. Atau, lebih baik tidak berkata apa-apa.

Terkadang, keengganan kita untuk jujur dalam pengakuan dosa kita merupakan tanda dari hal-hal berikut ini:

  • Kita terlalu bangga untuk mengakui kalau kita sungguh bercela dan sangat membutuhkan anugerah;
  • Kita lebih takut akan apa yang orang lain pikirkan daripada apa yang Allah pikirkan; atau,
  • Kita tidak sungguh-sungguh ingin mengakui kesalahan kita pada Allah, sehingga kita enggan mengakuinya pada sesama. Kita takut apabila tidak terlihat penyesalan atau rasa takut yang nyata dalam ucapan kita, sehingga kita pikir cukuplah ‘memberi tahu’ Tuhan saja.

Semua ini kukatakan bukan supaya kita mengakui dosa tanpa pandang bulu kepada siapa pun, tentang apa pun; hanya saja, ketika kita memikirkan dosa-dosa dan kita merasa butuh untuk mengakuinya, kita harus kembali kepada apa yang Alkitab katakan dan menguji hati kita. Apakah kita sedang mencoba merasionalisasi dosa-dosa kita dan berupaya menjaga muka kita agar tetap terlihat baik, atau kita sedang merendahkan diri untuk melihat apa yang sungguh jadi kebutuhan kita di hadapan Allah?

Manfaat mengakui dosa

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup sebagai ‘anak-anak terang’ agar segala sesuatu yang telah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak (Efesus 5:8-13).

Namun, bagi sebagian dari kita yang bergumul dengan dosa-dosa rahasia dan memalukan, kita tahu betapa sulitnya mengumpulkan keberanian untuk mengakuinya—meskipun kita tahu dampak buruk dari menyembunyikan dosa seperti tertulis dalam Mazmur 32:3-4:

Selama aku berdiam diri,
tulang-tulangku menjadi lesu
karena aku mengeluh sepanjang hari;
sebab siang malam
tangan-Mu menekan aku dengan berat,
sumsumku menjadi kering,
seperti oleh teriknya musim panas.

Ketika aku bergumul dengan kecanduanku akan pornografi, itu sungguh menguras energiku dan membuatku enggan melakukan hal lain, terkhusus melakukan hal-hal yang akan menusuk hatiku seperti membaca Alkitab, berdoa, mendengar khotbah.

Hari-hari yang kulalui kulakukan dengan upaya paling minimum—kerja, makan, dan mandi—lalu naik ke atas kasur bercengkrama dengan laptop, berharap aku bisa merasa lega. Tapi, tak peduli seberapa banyak upaya yang kulakukan untuk melegakan diri, aku selalu capek. Semakin lama kebiasaan buruk ini dipelihara, semakin susah ia dilepaskan. Semakin lama aku menjadikannya rahasia, semakin dosa itu berkuasa mengendalikanku.

Firman Tuhan berkata bahwa dalam pengakuan dosa yang sejati, kita mengakui dosa yang adalah tindakan melawan Allah dan konsekuensi dari menyembunyikannya, sehingga kita tidak menganggap enteng dosa itu. Kita menerima keburukan dalam diri kita, dan kita berhenti berusaha untuk membuat sikap atau diri kita tampak lebih baik daripada yang sebenarnya, karena kita tahu Tuhan melihat dan mengetahui segalanya. Lebih lagi, kita percaya bahwa hanya Tuhan sajalah yang bisa mengangkat kita dari jurang kelam dosa.

Selain mengakui dosa kepada Allah, Alkitab juga menunjukkan pada kita pentingnya mengakui dosa pada sesama. Sebagai anggota dari satu tubuh, itu menunjukkan kebergantungan satu sama lain. Ketika satu bagian tubuh sakit, sakit pulalah seluruh tubuh itu (1 Korintus 12:26). Yakobus 5:16 mengatakan. “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”

1 Tesalonika 5:12-14 dan Galatia 6:1 mengingatkan kita bahwa saling mengakui dosa menolong kita membangun gereja, saling mengingatkan dan menuntun seseorang kembali ke jalan yang benar.

Bagaimana mengakui dosamu

Lalu, bagaimana kita bisa membentuk kebiasaan akan pengakuan dosa yang sehat dalam komunitas kita?

Pertama, kita perlu menemukan orang percaya yang dewasa dalam iman dan pengertiannya akan firman Tuhan, yang bisa menyampaikan kebenaran dalam kasih dan bertanggung jawab atas pengakuan kita.

Kedua, kita juga perlu berupaya untuk menjadi orang percaya yang dewasa, untuk menciptakan ruang aman dalam gereja kita, tempat bagi orang lain untuk juga mengakui dosanya. Kadang, itu berarti kita menjadi orang pertama yang berani untuk menjadi rentan. Di lain kesempatan, itu bisa berarti kita berhati-hati akan apa yang kita ucapkan atau penghakiman yang kita berikan pada orang lain. Dan yang paling pasti ialah kita menjadi rendah hati dan bersyukur, mengetahui bahwa kita telah diampuni dengan sangat besar.

Terakhir, pengakuan dosa yang alkitabiah tidak cuma berakhir di mengakui kesalahan, tapi bergerak menuju pertobatan. Satu bahaya dari tidak memahami pengakuan dosa yang alkitabiah adalah kita bisa berakhir jatuh ke dalam ritme yang tidak sehat: bersimpati dan berempati tanpa benar-benar mengupayakan pengampunan, penyembuhan, dan pemulihan.

Ketika kita mengakui dosa, kita harus menyiapkan diri kita ditegur. Kita harus berjuang melawan naluri untuk mempertahankan atau merasionalisasi dosa kita. Dalam prosesnya, kita juga perlu mengundang orang lain yang dipimpin Roh Kudus untuk menanyakan pada kita pertanyaan-pertanyaan sulit, untuk berdoa bersama kita dan menegur kita dengan firman Tuhan, untuk memantau kita sesuai kapasitas mereka.

Membuka diri untuk mengakui dosa

Kembali ke cerita di awal tulisan ini, aku memutuskan sejak aku bergabung dengan kelompok itu, rasanya kurang tepat membagikan pergumulan dosaku pada mereka. Namun, Roh Kudus terus mendorongku untuk mengakuinya kepada seseorang, membuatku memahami bahwa aku tak bisa melawan dosa ini sendirian secara diam-diam.

Jadi, aku melakukan dua hal:

Pertama, aku mengakuinya kepada sahabatku yang juga seorang percaya, yang mengerti pergumulanku. Aku bertanya apakah dia bisa menyimpan dan bertanggung jawab atas pengakuanku, dan dia bersedia. Sejak saat itu, kami lebih sering berkontak. Dia akan bertanya bagaimana prosesku, atau aku akan memberi tahu dia bilamana aku tergoda, dan dia segera juga berdoa buatku.

Kedua, aku mengikuti kelas tentang doa yang memulihkan di gerejaku, dan setelah beberapa sesi, aku menyadari kalau perjuanganku untuk pulih membutuhkan doa yang khusus. Setiap minggu, ketua dari kelompok doa itu mengundang orang-orang untuk membuat janji pertemuan jika memang mereka sungguh butuh didoakan. Aku memutuskan untuk ikut. Para fasilitator di pertemuan doa itu sungguh terlatih, mereka punya pengukuran yang pas untuk menciptakan zona aman bagi pengakuan dosa dan doa. Sesi-sesi itu menjadi sungguh berguna dan memulihkan buatku.

Mengakui dosa kepada sesama orang percaya menolongku melihat bahwa perjuangan melawan dosa bukanlah perjuangan seorang diri, atau perjuangan yang sia-sia. Meskipun masih ada hari-hari di mana aku jatuh dalam pencobaan dan berupaya menyembunyikan apa yang kulakukan, masa-masa rahasia itu menjadi lebih singkat seiring waktu karena aku tahu aku tak bisa menyembunyikannya lama-lama. Semakin segera aku mengakui dosa, semakin lekas pula aku didoakan dan ditarik kembali ke dalam terang.

Tidak semua cerita pengakuan dosa dan perjuangan lepas darinya memiliki proses yang sama, tapi kebutuhan akan pengakuan dosa yang sesuai Alkitab tetap menjadi dasar kita. Sebagai gereja, marilah kita berdoa untuk keberanian dan kerendahan hati agar kita bersedia mengakui dosa-dosa kita. Carilah juga kebijaksanaan dan kepekaan untuk memilah dan memilih, agar kita menjadi orang-orang percaya yang dewasa yang bisa menerima pengakuan dosa orang lain dan saling membangun satu sama lain dalam iman.

Baca Juga:

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.