Posts

Persahabatan Lelaki dan Perempuan: Beneran Sahabat atau PDKT?

Oleh Jacq So
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can Guys and Girls Really Just Be Friends

Kebanyakan orang berpikir kalau persahabatan yang murni antara lelaki dan perempuan itu tidak mungkin. Film When Harry Met Sally menegaskan pemikiran itu: bahwa persahabatan lawan jenis tidak mungkin terjadi tanpa salah satu atau kedua belah pihak akhirnya saling jatuh cinta. Sementara itu, sepengetahuanku gereja biasanya melihat relasi antara laki-laki dan perempuan hanya sebatas pada apa yang boleh dan tidak.

Sebagai remaja yang sudah terpengaruh oleh pemikiran bahwa setiap lelaki bisa saja jadi jodohku, aku berteman dengan banyak lelaki dan memfilter manakah yang kira-kira cocok jadi jodohku. . Tapi, aku kesal karena bukannya menjadi sosok yang terlihat romantis, aku malah dianggap seolah jadi saudara perempuan sendiri.

Barulah ketika Tuhan menghadiahiku kesempatan untuk menjadi single kembali, aku menyadari betapa beruntungnya memiliki teman laki-laki yang benar-benar teman. Temanku datang untuk menemaniku, mengobrol selama berjam-jam. dan berbagi makanan dan film tanpa terjebak dalam romantisme. Aku menikmati banyak keuntungan untuk lebih mengenal secara natural, tanpa terjebak dalam upaya untuk membuat satu sama lain terkesan.

Yesus memberikan contoh tentang indahnya persahabatan lawan jenis. Dia dekat dengan sepasang saudari, Maria dan Marta dari Betania. Pada dua kesempatan, Yesus disambut hangat sebagai tamu di rumah mereka, dan mereka pun cukup terbuka satu sama lain. Martha tidak sungkan meminta agar Yesus memberitahu adiknya (Lukas 10:40). Kedua saudara perempuan itu juga berani untuk meminta Yesus datang dan menyembuhkan saudara laki-laki mereka ketika Dia berada di tengah-tengah pelayanan-Nya (Yohanes 11:3). Yesus secara terbuka menangis bersama mereka dalam kesusahan mereka ( Yohanes 11:35 ).

Yesus menunjukkan bagaimana pria dapat menjaga dan memahami wanita secara terhormat sebagai teman, terutama pada saat wanita dianggap lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki. Maria dan Marta pun menunjukkan bagaimana wanita dapat membalas perlakuan hormat seperti itu melalui persahabatan murni yang membuat cinta mereka kepada-Nya menjadi nyata.

Di zaman modern ini ketika relasi menjadi kompleks, bagaimana kita bisa menumbuhkan persahabatan antar gender yang sehat?

1. Selalu ada kesamaan

Aku belajar mengemudi lebih lambat dibanding teman-temanku. Supaya lebih mahir, aku meminta sekelompok pria yang sudah kukenal sejak SMA untuk mengajariku seminggu sekali. Kami pun berteman baik, dan seusai sesi menyetir, kami sering menonton film dan berdiskusi intens tentang masalah karakter fiksi superhero.

Melangkah ke dunia pria cukup mudah bagiku karena aku tumbuh di sekitar anak laki-laki dan memiliki minat yang sama dengan mereka. Tetapi, terlepas dari tipe perempuan seperti apa kamu, menurutku selalu ada kesamaan yang bisa ditemukan dengan laki-laki. Selain hobi dan minat, kita semua berbagi pengalaman hidup seperti sekolah, pekerjaan, dan bagi orang percaya: satu minat bersama yang selalu kita miliki adalah Yesus Kristus.

Aku pernah ikut beberapa kelompok belajar Alkitab di mana aku mendapat berkat tidak hanya dari kebijaksanaan dan nasihat para pria, tetapi juga dari kesediaan mereka untuk terbuka tentang kesulitan mereka. Mendoakan mereka jadi cara sederhana yang memampukanku untuk melayani rekan-rekan lelakiku seolah saudaraku sendiri.

2. Tidak semua perbuatan baik yang dilakukan adalah kode

Ketika aku berada di Amerika untuk bertemu dengan beberapa teman, aku benar-benar terkesima dengan betapa sopannya mereka. Mereka akan bergegas membukakan pintu untukku dan teman perempuan lain dan melangkah mundur untuk membiarkan kami masuk lebih dulu. Mereka memastikan kami sampai di hotel dengan selamat. Tindakan itu menunjukkan kesopanan yang sudah lama tidak kulihat. Tetapi aku kembali tersadar ketika aku kembali ke rumah dan menyaksikan lima rekan laki-lakiku berdiri sementara seorang wanita berjuang untuk memindahkan meja sendirian.

“Kesatria sudah mati,” keluh banyak wanita. Tapi, kurasa kesatria itu tidaklah mati. Dunia kita mendefinisikan gentleman hanya sebagai perilaku romantis. Akibatnya, melakukan hal-hal baik kepada lawan jenis itu seperti menebar ranjau. Para lelaki takut apabila kebaikan dan sikap sopan itu malah disalahartikan, yang membuat canggung. ,

Di masa lalu, aku terjebak overthinking. Tindakan baik yang dilakukan para lelaki terhadapku kumaknai sebagai kode. Akibatnya, aku sulit menanggapi mereka dengan natural. Respon inilah yang membuat persahabatan menjadi canggung dan mungkin membuat beberapa pria enggan untuk bersikap lembut kepada wanita di masa depan.

Sekarang aku menilai setiap tindakan baik dari lawan jenisku murni sebagai tindakan baik. Aku mengizinkan mereka bersikap sopan padaku, dan kuucapkan terima kasih setiap kali mereka menawarkan diri untuk membayar kopi, atau mengantarku pulang agar aku tidak perlu bolak-balik. Cukup itu saja. Perbuatan baik adalah perbuatan baik, tidak perlu selalu diartikan sebagai kode kecuali dia memang mengirimkan sinyal yang jelas.

3. Komunikasikan status kamu dengan jelas

Aku kenal seorang wanita yang mengomunikasikan intensinya hanya untuk berteman sejak awal pertemuan. Di awal mungkin terlihat aneh untuk bersikap sangat terbuka mengenai relasi, tapi aku menganggapnya sebagai langkah yang bijaksana. Bagaimanapun, faktor utama dalam persahabatan lawan jenis yang baik adalah kejelasan tentang siapa kamu untuk satu sama lain. Ada kalanya pria mencoba memikat wanita melalui gerakan tubuh atau isyarat lain dengan harapan si wanita akan merespons balik. Cara terbaik untuk menghindari kebingungan adalah komunikasikan secara terbuka bahwa kamu hanya seorang teman.

Sebagai aturan umum untuk pertemanan, aku juga menghindari waktu berdua dengan laki-laki kecuali dengan mereka yang sudah sepaham kalau kami “hanya teman”. Jika memang tidak ada diskusi serius yang harus kami lakukan secara empat mata, aku lebih suka mengobrol bersama teman-teman lain supaya batasannya jelas, dan agar tidak menimbulkan gosip dari teman-teman lain.

4. Jangan biarkan gosip mempengaruhi caramu memandang teman lawan jenis

Beberapa tahun yang lalu, aku ketahuan oleh ibu-ibu gereja sedang sarapan dengan seorang teman dekat setelah kebaktian hari Minggu. Minggu berikutnya, salah satu dari mereka kepo apakah aku ada hubungan khusus dengan lelaki itu. Kujelaskan bahwa kami hanya berteman, tetapi tampaknya itu tidak cukup untuk menghentikan pembicaraan bahwa ada (atau seharusnya) relasi lebih dari teman di antara kami.

Omongan orang lain seringkali menjadi batu sandungan bagi berkembangnya persahabatan lawan jenis, terutama antara pria dan wanita lajang. Gosip membuat sepasang sahabat jadi ikut-ikutan berpikir, jangan-jangan memang relasi ini lebih dari sekadar persahabatan. . Persahabatan yang baik pun terguncang oleh ekspektasi orang lain.

Jika persahabatanmu dijadikan bahan gosip, kamu dan sahabatmu harus sepakat tentang status relasi kalian. Jika memang tidak ada intensi pacaran, hindarilah obrolan-obrolan romantis dan dengan sopan mintalah orang-orang yang berlagak seperti mak comblang untuk tidak ikut campur dalam relasi kalian.

Ketika berbicara tentang persahabatan lawan jenis, jagalah selalu hati dan pikiran, dan pastikan kita memperlakukan teman kita dengan tepat: apakah kita hanya ingin berteman atau mau berkomitmen lebih? Paulus memberi kita wejangan dalam 2 Timotius 5:1-2: selama belum menikah, laki-laki dan perempuan harus memperlakukan satu sama lain seperti keluarga.

Bagi para wanita, jangan bersikap genit atau ingin diprioritaskan oleh seorang lelaki yang statusnya hanya teman. Lihatlah para teman lelaki kita sebagai saudara dan perlakukan mereka sebagaimana teladan Yesus. Doakan mereka, berusahalah untuk membangun hubungan yang erat dengan Yesus (atau jika mereka belum mengenal Yesus, kamu bisa bercerita juga tentang-Nya) ), dan doronglah mereka untuk melakukan “kasih dan perbuatan baik” (Ibrani 10: 24).

Aku Wanita dan Aku Kecanduan Pornografi

Oleh Jacq So
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I’m A Woman And I’m Addicted To Porn

Halo teman-teman, namaku Jacq, aku seorang pecandu pornografi fiksi.

Setelah sekian lama aku baru menyadari kalau aku telah sampai di titik kecanduan. Kupikir aku tak lebih dari seorang yang suka membaca cerita-cerita fantasi.

Tapi, di situlah titik permulaannya. Dari kecil, aku adalah seorang pembaca yang penasaran, yang selalu ingin tahu banyak hal. Waktu SD, aku membaca buku berjudul Sweet Valley High dan Sweet Valley University, yang isinya ada di luar kepalaku. Di sekolah menengah, temanku mengenalkanku dengan fanfiction Harry Potter.

Fanfiction adalah cerita fiksi yang dibuat oleh para penggemar berdasarkan kisah atau karakter yang sudah ada, namun dimodifikasi oleh imajinasi sendiri. Fanfiction menolong para penulis pemula untuk menulis dalam banyak genre, dari komedi ke action, drama, romance.

Karena seri Harry Potter saat itu belum semuanya dirilis, membaca fanfiction memberiku alternatif selagi menunggu seri terbaru terbit. Aku membaca semuanya, dari cerita yang berspekulasi tentang buku-buku Harry Potter kelak hingga kilas balik ke masa lalu, ke tokoh-tokoh yang lebih tua.

Aku juga membaca cerita-cerita romantis. Aku memastikan cuma membaca cerita-cerita yang sesuai usia. Tapi suatu ketika, aku terpikat pada cerita bersambung yang ditulis dengan sangat baik, yang berisi adegan dewasa antara dua karakter. Aku harus tahu bagaimana akhir ceritanya, jadi kubaca sedikit-sedikit adegannya sambil memahami detail-detailnya.

Inilah kesalahan pertamaku.

Alasan yang kuberi pada diriku sendiri

“Tulisannya bagus” jadi alasanku selama bertahun-tahun untuk tetap membaca. Seiring aku membaca lebih banyak cerita fiksi yang berbeda, aku mendaulat diriku sebagai pembaca, tapi hal lain yang ikut terjadi adalah aku jadi semakin toleran terhadap sensualitas di tiap-tiap lembar yang kubaca.

Sebagai orang Kristen, aku tahu kalau pornografi adalah jerat yang harus dilepas, tapi aku beranggapan kalau:

– Itu cuma berlaku buat pria
– Itu cuma berlaku kalau kamu melihat bagian tubuh. Yang kubaca memang berisi deskripsi jelas, tapi itu kan cuma kata-kata. Aku bilang pada diriku sendiri: kamu tidak bisa memvisualisasikan apa yang kamu tak tahu.

Tapi, entah aku mengakuinya atau tidak, apa yang kubaca itu memberiku pengetahuan tentang seksualitas—dan keinginan untuk hidup lebih bergairah. Sebagai seorang yang tidak mengalami hal-hal romantis dalam hidupnya, pornografi fiksi menjadi arena untukku membenamkan diri dalam emosi dari karakter-karakter yang kubaca.

Ketika kecanduanku menjumpai Terang

Di awal usia 20-an barulah aku sadar kalau ini masalah. Aku ikut konferensi pemuridan dengan sahabatku di tahun 2013 dan mendapati kalau aku bergumul dengan hawa nafsu dan pornografi.

Aku pulang, membersihkan riwayat di perambanku (browsing history) dan meminta bantuan sahabatku untuk menolongku lepas dari dosa ini. Aku bisa bilang kalau inilah titik balik hidupku. Tapi, cuma dalam sebulan dua bulan, aku kembali lagi ke kehidupan lama.

Aku punya kebiasaan yang lebih dari satu dekade kulakukan. Membaca fanfiction yang porno menjadi hiburanku dan semacam ‘terapi’ setiap kali aku merasa capek, kecewa, kesepian, atau sekadar bosan. Pada beberapa momen, aku meminta ampun pada Tuhan setiap kali godaan itu datang. Lalu, aku melawan godaan itu setengah hati sebelum akhirnya menyerah.

Ketika aku mendengar kesaksian orang-orang yang lepas dari dosa, aku bingung mengapa aku tidak bisa. Aku mau hidup sesuai dengan teladan Yesus, tapi aku tidak bisa (Roma 7:18-19). Ada banyak momen ketika aku merasa putus asa karena terlalu sering melakukan dosa-dosa ini. Aku bertanya-tanya, kalau-kalau temanku dan Tuhan akan capek mendengar aku mengaku dosa, “Aku baca buku porno itu lagi. Maaf.”

Ketika aku ‘berserah’ pada anugerah Kristus dan pengampunan-Nya, aku tidak sepenuh hati. Aku tidak merelakan pikiranku dituntun oleh Roh Kudus, jadi aku tak akan pernah bisa tunduk sepenuhnya pada Allah (Roma 8:6-7) dan mengalami pertobatan sejati.

Lalu datanglah intervensi digital dari Tuhan Yesus

Suatu malam, aku memutuskan untuk menghapus riwayat perambanku.

Tapi, aku terpaku pada beberapa cerita yang kuanggap ada di ‘zona aman’. Tidak ada kisah romantis, atau sesuatu yang mengarah pada birahi. Ini cerita bagus, pikirku. Aku mau menandai cerita-cerita itu sebelum aku lupa. Jadi, kubuka lagi situs yang baru saja kututup. Aku cuma mau cari judul-judul itu aja, tegasku pada diri sendiri.

Aku bisa merasakan Tuhan tidak berkenan saat itu, tapi aku membenarkan diriku. “Ini doang mah gak akan berdosa,” gumamku dalam hati. Lalu, sekitar satu jam mencari-cari di situs itu, laptopku tiba-tiba restart sendiri dan muncullah blue screen, “your computer has experienced an error.”

Itu notifikasi error yang biasa, tapi emoji sedih di layar itu seolah seperti Tuhan Yesus berkata padaku, “Hai, ini Aku. Kamu lagi ngapain?”

Aku ingin menjawab kalau aku mencari cerita yang ingin kutandai. Aku selesai menandainya, tapi perasaanku jadi campur aduk.

Besoknya, aku bangun dengan satu pesan menggema di kepala—aku menyebut diriku pengikut Kristus, tapi bersediakah aku memberikan segalanya buat Dia?

Roh Kudus membombardirku dengan ayat-ayat Alkitab. Ayat yang menghujamku adalah perkataan Daud, “…aku tidak mau mempersembahkan kepada TUHAN, Allahku, korban bakaran dengan tidak membayar apa-apa” (2 Samuel 24:24). Aku ingat sebuah lagu yang liriknya berkata memberi untuk Tuhan haruslah yang terbaik dan mempersembahkan korban yang layak buat Kristus. Namun, di sinilah aku berada. Aku menyerahkan keinginanku di atas altar, tetapi aku masih menimbang-nimbang harganya.

Kubuka lagi laptopku untuk menghapus semua bookmark di browser. Ketika Tuhan memberitahuku bahwa aku harus menanggalkan semuanya, aku berontak dengan memberi alasanku: tulisan-tulisan yang kubaca itu bagus dan ceritanya aman kok. Tapi kurasa Tuhan menjawab, “Tidak tahukah kamu bahwa tulisan dan kata-kata yang indah itu bersama dari-Ku?”

Kujawab Tuhan dengan membeberkan alasan bahwa bookmark lain yang kusimpan di browser itu tidak penting-penting amat, lama-lama juga aku lupa. Tuhan pun menjawabku kembali: “Jadi, kamu cuma mau menyerahkannya ke Aku kalau menurutmu itu sudah nggak penting lagi?”

Aku tak tahu menjawab apa.

Pembaharuan setiap hari dari Allah

Sudahkah aku menang atas pornografi? Belum. Kurasa inilah dosa yang akan terus kugumuli sepanjang hidupku.

Tapi daripada terjerat dalam rasa bersalah, aku bisa melompat pada anugerah Allah—percaya bahwa Dia tak akan lelah mendengarku mengakui dosaku, dan Dia setia serta adil. Dia mengampuni dan menyucikanku dari segala kesalahan (1 Yohanes 1:9).

Anugerah Kristus mengundangku masuk dalam pertobatan melalui darah-Nya. Aku diingatkan akan kehadiran-Nya dalam hidupku. Dia tahu, Dia melihat, dan Dia merasa pedih saat aku membuat keputusan yang salah.

Kapan pun hawa nafsu hadir dalam otakku, aku segera memohon pertolongan Tuhan dan bantuan dari sahabatku yang kupercaya untuk mendoakanku. Aku belajar waspada dari mood-ku yang negatif, obsesi berlebihan pada suatu tokoh atau karakter, atau waktu-waktu luangku.
Tuhan telah berjanji bahwa ketika kita “memakukan hasrat” kedagingan kita pada salib-Nya, dengan pertolongan Roh Kudus kita tidak akan dibiarkan kekurangan. Dia akan “memuaskan hasratmu dengan kebaikan, sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali” (Mazmur 103:5).