Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan
Oleh Ivonne Nataly Pola, Boyolali
Minyak angin merek ini adalah minyak angin yang sering digunakan oleh ayahku. Mencium aromanya dapat mengobati rasa rinduku kepadanya, karena kami sudah tidak tinggal bersama sejak aku menikah.
Ayahku bukanlah seorang yang sempurna, tapi dia adalah seorang ayah yang membawaku mengenal Tuhan Yesus dan bertumbuh di dalam-Nya sejak aku masih kecil.
Ayahku senang bercerita tentang anak-anaknya, termasuk tentang diriku. Pernah suatu kali saat aku sedang berada di Balikpapan karena mengikuti suami yang sedang bertugas di sana, aku mengatakan kepada ayahku bahwa aku kangen donat yang saat itu tokonya baru ada di Jakarta. Tak kusangka, ayahku menceritakannya kepada teman kerjanya. Teman ayahku kemudian membawakanku dua dus donat itu ketika dia ada tugas dinas di Balikpapan.
Ayahku tidak pernah menceritakan tentang kesulitannya kepada anak-anaknya. Suatu kali ketika aku masih mahasiswa dan saatnya membayar uang kuliah, aku menunggu ayahku di kampus. Namun, hingga sore ayahku belum juga datang. Ketika aku menghubunginya, dia hanya berkata, “Sabar yah, Nak…”
Akhirnya, ayahku datang juga ke kampus untuk membayarkan uang kuliahku. Belakangan, aku baru tahu bahwa ternyata saat itu ayahku sedang tidak memiliki uang, tapi syukur kepada Tuhan karena tepat di sore harinya ayah mendapatkan bonus dari perusahaan tempatnya bekerja. Ayah tidak mau menunjukkan kesulitannya di depanku. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Baginya, membiayai kuliahku adalah sebuah kewajiban yang harus dipenuhinya sekalipun di tengah keadaan yang sulit.
Aku ingin membahagiakan ayahku
Ayahku begitu baik bagiku. Karena itu setelah aku menikah, aku bercita-cita ingin membahagiakannya dengan memberikan sebagian penghasilanku kepadanya. Saat itu, aku dan suamiku masih sama-sama bekerja. Namun, itu tidak bertahan lama.
Sebuah keputusan yang sulit perlu aku ambil ketika suamiku menjawab panggilan Tuhan dengan menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Aku begitu bergumul. Aku ingin menuruti panggilan Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.
Ketika aku menceritakan pergumulanku kepada ayahku, dia berkata, “Nak, panggilan itu asalnya dari Tuhan sendiri. Jadi, kalau Dia sudah memilih kalian, melangkahlah bersama-Nya. Hidup kami sebagai orangtua pasti akan terus ditopang oleh Tuhan sendiri.”
Aku kemudian bertanya kepadanya apakah ayahku kecewa karena telah susah payah membiayai kuliahku dan aku “hanya” menjadi istri hamba Tuhan. Apakah dia merasa kuliahku menjadi sia-sia? Jawaban ayahku begitu membuatku terharu, “Justru kamu dititipkan kepada kami untuk dipersiapkan menjadi alat-Nya. Jadilah istri hamba Tuhan yang menyenangkan-Nya. Kelak ketika kami bisa melihat kamu setia pada panggilan itu, kami akan sangat bangga karena kami dipercaya untuk mendidikmu.”
Aku pun menitikkan air mata. Dahulu aku mengira bahwa aku baru dapat membahagiakan ayahku jika aku berhasil dalam pekerjaanku dan dapat memberikannya harta yang kumiliki. Namun ternyata kebahagiaan ayahku adalah ketika aku menyenangkan Tuhan. Itulah yang menjadi kebanggaan ayahku.
Aku bersyukur kepada Tuhan atas orangtua yang telah diberikan-Nya bagiku. Orangtua yang menghajarku ketika aku salah untuk kebaikanku. Orangtua yang tetap mengasihiku meskipun aku sering mengecewakan mereka. Orangtua yang selalu mengingat diriku dalam doa-doa mereka. Orangtua yang peduli kepadaku dan suamiku, menanyakan tentang pelayanan yang kami lakukan, dan mengingatkan tentang kasih karunia Tuhan. Meskipun aku dan orangtuaku kini terpisah oleh jarak, aku selalu mengingat nasihat mereka, “Jangan tinggalkan iman, pengharapan, dan kasih.”
Karena mereka, aku dapat merasakan kasih Bapa di surga, kasih yang sempurna. Terima kasih, ayah dan ibu. Terima kasih, Tuhan.
Baca Juga:
3 Hal yang Kudapatkan Ketika Aku Memutuskan untuk Bersaat Teduh Saat Aku Patah Hati
Hubunganku dengan pacarku dahulu membuatku lebih mengutamakan waktu bersama dengannya daripada waktu bersama dengan Tuhan. Di penghujung tahun Tuhan mengizinkanku mengalami patah hati yang pada akhirnya membawaku lebih dekat pada-Nya.