Posts

Tidak Terbandingkan

Jumat, 1 Maret 2019

Tidak Terbandingkan

Baca: Yohanes 21:17-25

21:17 Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: /”Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: /”Gembalakanlah domba-domba-Ku.

21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.”

21:20 Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: “Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?”

21:21 Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?”

21:22 Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.”

21:23 Maka tersebarlah kabar di antara saudara-saudara itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa murid itu tidak akan mati, melainkan: “Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”

21:24 Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.

21:25 Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.

Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang. —Amsal 14:30

Daily Quotes ODB

“Kapan-kapan, akan kutaruh semuanya di Facebook”“dan bukan cuma yang baik-baik saja, lho!”

Itu komentar teman saya, Sue-saat makan siang bersama suaminya-yang membuat saya tertawa terbahak-bahak sekaligus berpikir. Media sosial bisa bermanfaat-kita dapat menjalin hubungan dengan teman-teman yang tinggal jauh dan sudah lama tidak berjumpa, serta berdoa untuk mereka. Namun, jika tidak hati-hati, media sosial bisa membuat kita terjebak dalam pandangan hidup yang tidak realistis. Ketika sebagian besar dari apa yang kita lihat di media sosial adalah “hal-hal baik” yang ditampilkan orang, kita bisa tertipu dan mengira hidup orang lain bebas dari masalah, sambil merasa ada yang tidak beres dengan hidup kita sendiri.

Membanding-bandingkan diri dengan orang lain akan membuat kita tidak bahagia. Ketika para murid saling membandingkan diri (lihat Luk. 9:46; 22:24), Yesus segera menengahi mereka. Tak lama setelah kebangkitan-Nya, Yesus memberi tahu Petrus bahwa ia akan menderita karena imannya. Lalu Petrus melihat Yohanes dan bertanya kepada Tuhan, “Apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” Jawab Yesus, “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (Yoh. 21:21-22).

Yesus menunjukkan kepada Petrus cara terbaik untuk berhenti membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Saat pikiran kita terfokus kepada Allah dan semua yang telah diperbuat-Nya untuk kita, kita akan mulai berhenti memikirkan diri sendiri dan rindu untuk mengikuti-Nya. Di dunia yang penuh persaingan dan tekanan ini, Dia hadir memberikan kita kasih dan damai sejahtera-Nya. Tiada yang sebanding dengan-Nya. —James Banks

Bagaimana kamu bisa menggunakan media sosial dengan cara-cara yang menghormati Allah? Bagaimana hubungan yang erat dengan Allah dapat menjagamu dari sikap membanding-bandingkan diri dengan orang lain?

Membanding-bandingkan akan merenggut sukacita. —Theodore Roosevelt

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 23-25; Markus 7:14-37

Ketika Aku Merasa Tidak Puas dengan Keluargaku

Oleh Sharon Audry, Bandung

Pernahkah kamu merasa tidak puas dengan keluargamu sekarang? Mungkin kamu merasa bahwa keluarga yang kamu miliki sekarang bukanlah suatu berkat. Mungkin kamu berandai-andai kalau saja kamu dilahirkan di keluarga yang lebih baik daripada keluargamu yang sekarang. Aku pun pernah merasakan yang sama. Aku pernah merasa tidak puas dengan keluargaku.

Aku tidak terlahir dari keluarga yang kaya raya, artis terkenal, keluarga pejabat, ataupun konglomerat. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Semakin aku beranjak dewasa dan semakin mengenal dunia luar, aku melihat kalau ada banyak keluarga lain yang kelihatannya jauh lebih baik. Saat aku menonton acara infotainment yang menayangkan seorang anak artis yang baru lahir, aku pun berpikir: “Ah, sepertinya enak sekali ya kalau terlahir dari keluarga artis terkenal. Baru lahir saja followers di Instagramnya sudah jutaan. Hidupnya pasti mewah banget!”

Jujur aku iri melihat kehidupan artis-artis itu. Mereka tampak begitu hebat dan dikagumi masyarakat. Kehidupan mereka pun seolah begitu menyenangkan; bisa jalan-jalan ke luar negeri, juga beli sepatu mahal dan tas branded. Ah, seandainya saja aku dilahirkan di keluarga seperti itu, pasti kalau ingin apa pun akan dibelikan.

Hingga suatu hari, aku bertemu dengan teman-temanku. Seorang temanku memulai obrolan dengan menceritakan masalah keluarga yang dia alami. Kedua orang tuanya telah bercerai sejak dia kecil dan sekarang dia tinggal bersama neneknya. Tapi, sang nenek sering berlaku kasar kepadanya. Dia pun akhirnya benci kepada keluarganya. Jujur, aku terkejut mendengarnya. Aku tak pernah tahu kalau ada masalah seperti itu.

Sesi curhat pun berlanjut, temanku yang lain gantian bercerita. Kali ini dia bertutur kalau keluarganya broken-home. Aku tak pernah tahu bagaimana menjadi anak yang hidup di keluarga broken-home dan bagaimana rasanya kurang kasih sayang dari orang tua karena memang aku tak pernah mengalaminya dan jangan sampai mengalaminya. Cerita pun dilanjutkan oleh temanku yang lain, yang menceritakan masalah yang berbeda.

Sesi curhat itu membuatku berpikir. Ternyata di luar sana ada banyak temanku yang memiliki masalah yang berat di keluarganya, sedangkan aku bahkan tak pernah merasakan punya masalah berat di keluargaku seperti yang mereka alami. Aku jadi malu pada diriku sendiri yang pernah meminta pada Tuhan untuk menggantikan keluargaku yang sekarang dengan keluarga yang baru.

Singkat cerita, giliranku untuk bercerita tentang masalah keluarga apa yang kupunya. Tapi, jujur aku tak tahu mau bercerita apa karena menurutku aku tak punya masalah keluarga. Aku tidak bermaksud sombong, tapi aku memang tak tahu masalah keluarga apa yang harus kuceritakan. Hubungan komunikasiku dengan kedua orang tuaku berjalan baik. Mereka selalu meluangkan waktunya untukku sehingga aku tidak kekurangan kasih sayang. Aku tak pernah melihat mereka berantem sampai melempar perabotan rumah tangga seperti yang sering terlihat di tayangan-tayangan televisi.

Meski begitu, masalah-masalah kecil tetaplah ada. Orang tuaku sudah biasa berbeda pendapat, tapi mereka tidak pernah berantem lama-lama. Mereka selalu rukun dan terlihat romantis lagi setelah beberapa waktu. Hubunganku dengan adik-adikku pun baik-baik saja.

Dan, di sinilah akhirnya aku sadar bahwa sebenarnya satu-satunya yang bermasalah dalam keluargaku adalah diriku sendiri. Aku marah pada Tuhan dan meminta keluarga yang sempurna, padahal Tuhan sudah memberikanku keluarga yang terbaik.

Dulu aku marah pada Tuhan karena ingin punya keluarga yang selalu menuruti keinginanku, yang mengizinkanku pulang malam. Sekarang, aku sadar. Keluarga yang seperti itu justru hanya akan menjerumuskanku dan menjadikanku anak yang manja. Mana mungkin ada orang tua yang mengizinkan anaknya pulang larut malam tanpa alasan yang jelas? Orang tua pasti ingin memastikan anak-anaknya selalu aman.

Aku pun mencabut pemikiran-pemikiranku dahulu yang ingin mengganti keluargaku dengan keluarga yang baru. Kupikir, tak ada keluarga yang sempurna di dunia ini. Aku yakin bahwa keluarga yang Tuhan berikan pada kita saat ini adalah keluarga yang terbaik. Mungkin kita merasa tidak puas dengan orang tua kita ataupun saudara-saudari kita, tapi satu hal yang perlu kita tahu adalah mereka pun sama dengan kita, sama-sama manusia yang tidak luput dari kesalahan. Aku percaya bahwa ketika Tuhan mengizinkan masalah-masalah terjadi dalam keluarga kita, itu bisa dipakai-Nya untuk mendewasakan dan memurnikan karakter kita. Tuhan ingin kita menjadi anak-Nya yang setia.

Aku jadi ingat sebuah kutipan berbahasa Inggris yang isinya demikian:

Fri(end)
Girlfri(end)
Boyfri(end)
Bestfri(end)

Everything has an end, except family,

Fam(ily) has 3 letters that says I Love You.

Teman, pacar, sahabat, suatu saat bisa saja tidak lagi menjadi teman, pacar, atau sahabat buatku. Tapi, tidak dengan keluarga. Tidak pernah ada istilah bahwa “dia dulu ayah/ibuku”, atau “mereka mantan orang tuaku”.

Keluarga adalah rumahku
Keluarga adalah tempatku berbagi suka dan duka.
Keluarga adalah saksi perjalanan hidupku dari aku bayi hingga aku dewasa.
Keluarga adalah orang pertama yang akan senang ketika aku berhasil, dan orang yang akan mendekapku erat ketika aku gagal.
Keluarga adalah orang yang tetap bersamaku ketika seluruh dunia membenciku.
Keluarga adalah orang yang berdiri paling depan ketika ada orang yang menyakitiku, dan keluarga adalah segalanya.

Menutup tulisan ini, aku berdoa untukmu supaya kamu pun dimampukan Tuhan untuk mengasihi keluargamu. Kiranya kehadiranmu menjadi berkat untuk keluargamu.

“Di atas semuanya itu: Kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kolose 3:14).

Baca Juga:

Sebuah Pulang yang Mengubahkanku

Pulang bukanlah pilihan yang mudah buatku karena keluargaku yang broken-home. Namun melalui sebuah peristiwa yang aku sendiri tidak menduganya, Tuhan menolongku untuk memaknai keluargaku dari cara pandang yang baru.

Pergumulanku Melawan Rasa Iri Hati

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Apa yang kamu pikirkan jika kamu melihat temanmu lebih berhasil daripada dirimu? Mungkin jawabannya ada dua; kamu ikut berbahagia bersama temanmu dan termotivasi untuk berusaha lebih, atau kamu justru merasa iri hati dan curiga.

Siang hari itu, ketika aku sedang mengumpulkan berkas revisi skripsiku di ruangan dosen, aku tak sengaja melihat papan pengumuman jadwal ujian skripsi. Kebetulan, letak papan pengumuman itu tidak jauh dari ruangan dosen. Ketika aku mengamati tulisan-tulisan di sana, perhatianku tertuju pada nama seorang temanku yang ternyata akan segera melaksanakan ujian skripsi.

Setahuku, temanku itu baru empat bulan lalu memulai proses pengerjaan skripsinya. Namun, sangat mengherankan buatku karena dia sudah menyelesaikan skripsinya dan siap untuk mengikuti ujian. Dalam hatiku mulai timbul rasa iri hati dan marah melihat keberhasilan temanku itu. Aku merasa bahwa Tuhan seolah berlaku tidak adil terhadapku. Sudah lebih dari satu tahun aku berkutat dengan skripsiku, berusaha dengan tekun mengerjakannya, namun tak kunjung selesai. Selalu saja ada revisi demi revisi dan hambatan lain yang membuat skripsiku terasa begitu sulit untuk dikerjakan. Namun, temanku hanya dalam empat bulan bisa menyelesaikan skripisnya.

Melihat pencapaian temanku yang seolah tampak lebih berhasil itu membuatku curiga dan berprasangka buruk terhadapnya. Aku menebak-nebak bagaimana caranya dia bisa menyelesaikan skripsinya begitu cepat. “Ah, dia sih dapat dosennya bukan killer. Topik penelitian dia gampang sih, jadi cepat.” pikirku dalam hati.

Sebenarnya, pada tahun 2016 aku sudah memulai proses pengerjaan skripsiku. Aku mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh kampus, mulai dari mencari topik penelitian hingga menentukan dosen pembimbing. Namun, perjalananku tidak mulus. Berkali-kali judulku ditolak, juga aku sempat dipindah ke dosen pembimbing yang lain. Kuakui bahwa aku bukanlah tipe seorang yang gigih dan cermat dalam mengatur waktu. Ketika kendala yang datang seolah tak kunjung usai, aku sempat merasa down hingga akhirnya membuat pengerjaan skripsiku sempat terbengkalai.

Malam itu aku mencoba untuk merenung, berdoa, dan membaca bacaan saat teduh. Di sini Tuhan menunjukkanku sebuah ayat:

“Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yakobus 3:16).

Ayat ini menamparku. Rasa iri hatiku pada dasarnya adalah perasaan yang jahat. Ketika aku memelihara rasa iri hati, aku merasa bahwa aku sedang membuka pintu bagi Iblis untuk masuk ke dalam kehidupanku. Lalu, iri hati kepada temanku yang maju ujian lebih dulu juga tidak akan membuat skripsiku tiba-tiba selesai. Yang seharusnya kulakukan adalah melepaskan iri hati itu, mengintrospeksi diri, dan menerima dengan lapang dada pencapaian yang telah diraih olehku sendiri.

Namun, meski aku sudah merasa tertegur dan tahu akan kebenaran bahwa iri hati adalah jahat, pikiranku masih bertanya-tanya mengapa temanku bisa begitu cepat dan begitu lama? Di tengah lamunanku, Tuhan kembali menegurku melalui ayat-ayat yang terlintas di benakku. “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Matius 20:15). “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8).

Kedua ayat ini kembali menamparku dan membuatku menyadari bahwa selama ini aku terlalu memaksakan ego dan kehendakku sendiri. Akhirnya malam itu aku memutuskan untuk membuat komitmen dengan Tuhan dan diriku sendiri. Aku mau belajar untuk tidak membandingkan-bandingkan diriku dengan orang lain, melainkan aku mau belajar bersyukur akan setiap tahap dan proses yang dapat aku lalui. Aku juga mau belajar untuk percaya, bahwa Tuhan memiliki rencana dan rancangan yang terbaik untuk masa depanku, janji-Nya selalu tepat pada waktu-Nya. Aku juga mau bersungguh-sungguh dalam mengerjakan skripsiku dan melakukan manajemen waktu dengan baik.

Sejak saat itu, alih-alih berprasangka buruk kepada temanku, aku menjadikan pencapaian temanku itu sebagai sebuah tamparan buatku sendiri. Aku mengintrospeksi apakah ada yang salah dari proses yang kulakukan dan bagaimana aku memperbaikinya. Kemudian, aku mulai menyusun strategi manajemen waktu dan juga mengucap syukur atas pencapaian yang telah diraih olehku sendiri. Setelah beberapa bulan, puji Tuhan karena saat ini proses pengerjaan skripsiku telah mengalami banyak kemajuan. Aku sedang menyelesaikan bab terakhir dan sedikit lagi siap untuk mengikuti ujian kelulusan.

Melalui tulisan ini aku ingin berbagi bahwa iri hati adalah kenyataan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita melihat pencapaian orang lain yang tampaknya lebih berhasil daripada kita, mudah bagi kita untuk merasa iri dan kecewa. Namun, sebagai anak Tuhan, kita bisa memilih apakah kita mau memelihara atau menolak rasa iri hati itu. Ketika kita memelihara rasa iri hati, itu berarti kita sedang mengundang Iblis untuk masuk dan menguasai kehidupan kita. Akan tetapi, ketika kita menolak iri hati, itu berarti kita sedang mengundang Tuhan untuk berkarya dan berdaulat dalam kehidupan kita.

“Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” (Amsal 14:30).

Baca Juga:

Satu Hal yang Kulupakan Ketika Semua Impianku Tidak Terwujud

Setiap orang boleh memiliki keinginan dan cita-cita. Tetapi, pada kenyataannya, terlepas dari sekeras apapun upaya kita untuk mewujudkannya, tidak semua yang kita harapkan bisa terjadi sesuai keinginan kita. Inilah realita kehidupan. Pernahkah kamu mengalaminya? Aku pernah.

Obat Iri Hati

Kamis, 25 Mei 2017

Obat Iri Hati

Baca: 1 Samuel 18:5-15

18:5 Daud maju berperang dan selalu berhasil ke mana juga Saul menyuruhnya, sehingga Saul mengangkat dia mengepalai para prajurit. Hal ini dipandang baik oleh seluruh rakyat dan juga oleh pegawai-pegawai Saul.

18:6 Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika Daud kembali sesudah mengalahkan orang Filistin itu, keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing;

18:7 dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.”

18:8 Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat; dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya: “Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa, tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu; akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.”

18:9 Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud.

18:10 Keesokan harinya roh jahat yang dari pada Allah itu berkuasa atas Saul, sehingga ia kerasukan di tengah-tengah rumah, sedang Daud main kecapi seperti sehari-hari. Adapun Saul ada tombak di tangannya.

18:11 Saul melemparkan tombak itu, karena pikirnya: “Baiklah aku menancapkan Daud ke dinding.” Tetapi Daud mengelakkannya sampai dua kali.

18:12 Saul menjadi takut kepada Daud, karena TUHAN menyertai Daud, sedang dari pada Saul Ia telah undur.

18:13 Sebab itu Saul menjauhkan Daud dari dekatnya dan mengangkat dia menjadi kepala pasukan seribu, sehingga ia berada di depan dalam segala gerakan tentara.

18:14 Daud berhasil di segala perjalanannya, sebab TUHAN menyertai dia.

18:15 Ketika dilihat Saul, bahwa Daud sangat berhasil, makin takutlah ia kepadanya;

Sejak hari itu [Saul] iri hati kepada Daud. —1 Samuel 18:9 BIS

Obat Iri Hati

Dengan senang hati saya menjaga kedua cucu saya sementara orangtua mereka pergi keluar suatu malam. Saya menanyakan apa yang mereka lakukan akhir pekan yang lalu. (Keduanya memiliki petualangan yang berbeda). Bridger, umur 3 tahun, menceritakan dengan seru pengalamannya bermalam di rumah om dan tantenya—di sana ia makan es krim, naik komidi putar, dan nonton film! Lalu giliran Samuel yang berumur 5 tahun untuk menceritakan pengalamannya. Ketika ditanya apa yang dilakukannya, ia menjawab dengan singkat, “Berkemah.” “Asyik, tidak?” tanya saya. “Biasa saja,” jawabnya dengan muram.

Ternyata Samuel merasa iri kepada adiknya. Sewaktu mendengar Bridger menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat, Samuel melupakan begitu saja kegembiraan yang dialaminya saat berkemah dengan ayahnya.

Kita semua dapat dijerat oleh perasaan iri hati. Raja Saul ditelan oleh rasa iri hati ketika pujian yang diterima Daud melebihi pujian yang diterimanya: “Saul membunuh beribu-ribu musuh, tetapi Daud berpuluh-puluh ribu” (1Sam. 18:7 BIS). Saul menjadi sangat marah dan “sejak hari itu ia iri hati kepada Daud” (ay.9 BIS). Begitu murkanya Saul sehingga ia berusaha membunuh Daud!

Membanding-bandingkan diri adalah tindakan yang bodoh dan merusak diri sendiri. Orang lain akan selalu memiliki sesuatu yang kita tidak miliki atau menikmati pengalaman yang berbeda dengan apa yang kita alami. Allah telah memberi kita banyak berkat, termasuk hidup di atas bumi ini dan janji hidup kekal kepada semua orang yang percaya kepada-Nya. Mengandalkan pertolongan-Nya dan menujukan ucapan syukur kita kepada-Nya dapat menolong kita mengatasi perasaan iri hati. —Alyson Kieda

Tuhan, Engkau telah memberi kami hidup dan janji hidup kekal saat kami mempercayai-Mu sebagai Juruselamat kami. Untuk itulah— dan untuk banyak berkat lainnya—kami memuji-Mu!

Iri hati hanya dapat diobati dengan rasa syukur kepada Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Tawarikh 25-27; Yohanes 9:1-23

Tuhan, Aku Ingin Seperti Dia!

Oleh: Christin Siahaan

When-I-Wanted-to-Be-Like-Her

Orang itu keren banget! Punya banyak talenta, berprestasi, populer, dan sangat menyenangkan. Betapa aku ingin seperti dia! Pernahkah pemikiran semacam ini muncul dalam benakmu? Awalnya kamu hanya mengamati seseorang, entah itu teman baikmu atau kenalan biasa, kemudian kamu mulai mengaguminya, lalu tanpa disadari, rasa cemburu sudah menguasai hatimu.

Saat aktif melayani di kampus, seorang teman pernah membagikan pengalamannya dalam kelompok doa. Dengan sangat bersemangat ia menceritakan sahabat doanya yang baru (agar mudah, sebut saja namanya Joy), katanya: “Orang itu benar-benar hidup kudus!” Ia bukan sedang bercanda atau menyindir sikap religius Joy. Dari nadanya aku tahu ia benar-benar mengagumi sahabat yang kehidupan doanya patut diteladani itu. Aku tidak mengenal Joy secara dekat, meski ia satu fakultas denganku, tetapi aku tahu bahwa Joy sangat aktif dalam pelayanan, dan tampaknya selalu haus untuk belajar tentang Tuhan. Mendengarkan pujian tulus yang ditujukan kepadanya, rasa cemburu tiba-tiba menyelinap di benakku, “Ah Tuhan, aku juga ingin seperti dia!”

Perasaan cemburu itu membawaku memeriksa kembali hubunganku dengan Tuhan. Memang harus diakui, meski aku juga adalah seorang aktivis di kampus, aku jarang meluangkan waktu bersama dengan Tuhan. Dalam banyak hal, aku bahkan masih sering tidak taat pada firman Tuhan. Dengan sikap yang demikian, bagaimana mungkin aku bisa memiliki kedekatan hubungan dengan Tuhan seperti yang dimiliki Joy?

Tuhan mengingatkan aku pada Rasul Paulus. Ada banyak orang yang sudah lebih dulu mengikut Yesus, bahkan menjadi para rasul-Nya. Akan tetapi, Paulus tidak memusingkan dirinya dengan bagaimana ia dapat menyaingi pelayanan rasul-rasul lain, atau bagaimana ia dapat lebih dihargai oleh orang-orang yang ia layani. Sebaliknya, Paulus menetapkan hatinya untuk mengenal Kristus dan untuk hidup makin serupa dengan-Nya (Filipi 3:10). Ia mengerjakan bagiannya untuk taat dan setia, Tuhan yang mengurus hasilnya, membuat kehidupan dan pelayanannya menjadi berkat bagi banyak orang.

Teladan Rasul Paulus mengingatkan aku bahwa pada akhirnya, yang terpenting adalah penilaian Tuhan atas hidup kita. Ketika kita melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih baik, jangan biarkan rasa cemburu dan iri hati menguasai kita, membuat kita bertanya mengapa Tuhan tidak membiarkan kita sukses seperti mereka. Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk mengejar keserupaan dengan orang lain. Dia memanggil kita untuk menjadi serupa dengan Kristus. Sebab itu, kita dapat merayakan proses pertumbuhan dan keberhasilan-keberhasilan orang lain sembari terus bertekun dalam proses pertumbuhan kita sendiri, dengan keyakinan bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang berbeda-beda dalam kehidupan setiap orang, untuk kebaikan kita. Dia sedang membentuk hidup kita agar dapat mempermuliakan-Nya di mana pun Dia menempatkan kita.

Apa Yang Kita Inginkan?

Sabtu, 7 Juni 2014

Apa Yang Kita Inginkan?

Baca: Mazmur 73:1-3, 21-28

73:1 Mazmur Asaf. Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya.

73:2 Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset, nyaris aku tergelincir.

73:3 Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik.

73:21 Ketika hatiku merasa pahit dan buah pinggangku menusuk-nusuk rasanya,

73:22 aku dungu dan tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat-Mu.

73:23 Tetapi aku tetap di dekat-Mu; Engkau memegang tangan kananku.

73:24 Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku, dan kemudian Engkau mengangkat aku ke dalam kemuliaan.

73:25 Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.

73:26 Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.

73:27 Sebab sesungguhnya, siapa yang jauh dari pada-Mu akan binasa; Kaubinasakan semua orang, yang berzinah dengan meninggalkan Engkau.

73:28 Tetapi aku, aku suka dekat pada Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Tuhan ALLAH, supaya dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya.

Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. —Mazmur 73:25

Apa Yang Kita Inginkan?

Teman saya, Mary, mengatakan kepada saya bahwa ia tidak selalu menyanyikan semua lirik himne dan puji-pujian yang dinaikkan dalam kebaktian di gereja. Ia berkata, “Rasanya seperti tidak jujur saat menyanyikan, ‘Yang kurindu hanya Yesus’, sementara hatiku sebenarnya merindukan banyak hal yang lain.” Saya menghargai kejujurannya.

Lewat tulisannya dalam Mazmur 73:25, Asaf terdengar seperti seseorang berpikiran saleh yang hanya menginginkan Allah: “Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi.” Namun ia tidak mengawali mazmur itu dengan sikap demikian. Awalnya, Asaf mengakui bahwa ia menginginkan kemakmuran yang dimiliki orang-orang di sekitarnya: “Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual” (ay.3). Namun semakin dekat dirinya dengan Allah, ia pun menyadari kebodohan dari sikap iri hatinya (ay.21-22,28).

Sekalipun kita mengenal Allah, kita masih sering terusik oleh kemakmuran orang lain di sekitar kita. C. S. Lewis pernah menulis, “Tampaknya Tuhan kita menganggap keinginan kita tidaklah terlalu kuat, tetapi justru terlalu lemah. . . . Kita terlalu mudah merasa puas” pada hal-hal yang lebih kecil dan remeh daripada Allah.

Apakah yang kita pelajari tentang Allah dalam mazmur ini yang bisa menolong kita ketika hasrat diri mengalihkan perhatian kita dari kehendak Allah yang terbaik? Kita melihat bahwa meskipun kita mungkin tergoda untuk merasa iri terhadap milik orang lain, Allah terus membimbing dan membawa kita kembali untuk memusatkan perhatian kepada-Nya. Kita dapat berkata, “Gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (ay.26). —AMC

Tuhan, kami percaya bahwa Engkaulah sumber kepuasan yang sejati.
Namun kami lemah, berdosa, dan perhatian kami mudah teralihkan
dari kehendak-Mu yang terbaik. Ajarlah kami untuk mendekat
kepada-Mu, dan kiranya Engkau pun senantiasa mendampingi kami.

Menikmati hikmat Allah tiap-tiap hari akan menyembuhkan penyakit iri hati.

Melawan Iri Hati

Senin, 24 September 2012

Melawan Iri Hati

Baca: 1 Korintus 3:1-10

Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi? —1 Korintus 3:3

Ada suatu kisah yang menceritakan tentang dua orang pemilik toko yang saling bersaing. Mereka menghabiskan waktu hari demi hari dengan saling melacak usaha masing-masing. Jika yang satu mendapat pelanggan, ia akan tersenyum penuh kemenangan dengan maksud menyindir saingannya.

Suatu malam seorang malaikat muncul di dalam mimpi salah satu dari mereka dan berkata, “Aku akan memberikan apa saja yang kau minta. Namun, apa saja yang kau terima, sainganmu itu akan menerimanya dua kali lipat. Apa keinginanmu?” Pria itu mengerutkan keningnya, lalu berkata, “Buatlah mataku buta sebelah.” Sungguh ini suatu bentuk iri hati yang paling buruk!

Perasaan iri hati yang merusak diri sendiri berpotensi besar memecah belah jemaat di Korintus. Jemaat ini telah menerima Injil tetapi mereka tidak memberi kesempatan kepada Roh Kudus untuk mengubah hati mereka. Akibatnya, mereka saling iri hati, dan ini menyebabkan terpecahnya kebersamaan mereka. Paulus melihat iri hati mereka sebagai tanda ketidakdewasaan dan keduniawian (1 Kor. 3:3). Jemaat di Korintus tidak bersikap layaknya orang-orang yang hidupnya telah diubah oleh Injil.

Salah satu indikator yang paling jelas bahwa Roh Kudus sedang bekerja dalam hidup kita adalah ketika kita merasa puas dan bersyukur atas apa yang kita miliki. Dengan demikian, daripada diliputi oleh rasa iri hati, kita dapat dengan tulus menghargai karunia dan berkat yang diterima orang lain. —MLW

Allah, Engkau begitu baik! Engkau telah menyediakan seluruh
kebutuhan kami, bahkan yang lebih dari itu. Tolong kami untuk
merasa puas dengan apa yang kami miliki, dengan menyadari bahwa
tanpa-Mu kami tak memiliki baik napas maupun hidup ini sendiri.

Iri hati dapat diobati dengan sikap mengucap syukur kepada Allah.