Posts

5 Hal untuk Direnungkan Ketika Iri dengan Privilese Orang Lain

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Beberapa dari kita mungkin pernah membuka fitur “explore” Instagram dan menemukan wajah Maudy Ayunda di sana. Semua media rasanya tidak henti-henti mendaraskan pujian dan kalimat positif pada Maudy. Aku bahkan ingat percakapan dengan temanku di telepon:

“Astaga si Maudy. Dia udah lulus S2 aja, gelarnya udah nambah 2, gue masih di sini-sini aja.”

Kalimat itu berhasil membuat kami tertawa. Aku tahu walaupun masih ada sedikit keseriusan dalam diri temanku ketika mengucap kalimat itu, kalimat itu lebih banyak berisi candaan bercampur kesan “yaudahlah” bagi kami. Kami sepakat bahwa aku dan temanku berada pada lingkungan yang berbeda dengan Maudy.

Jika kita mencari tahu soal Maudy Ayunda, rasanya agak sulit untuk tidak terkonsumsi rasa iri dan overwhelming. Apa yang kurang? Maudy diberkati dengan banyak privilese. Keluarganya mampu secara finansial, memiliki ayah, ibu, dan adik yang suportif, networking yang oke, mengenyam pendidikan di institusi bergengsi sejak kecil, punya kecerdasan yang baik, mampu menunjukkan eksistensi di dunia hiburan, dan satu lagi: good looking.

Menelusuri segala hal tentang Maudy Ayunda memunculkan ragam emosi. Ada yang termotivasi dan ada yang kagum. Namun, ada juga yang merasa tidak berdaya dan merasa “kecil”—ingin seperti Maudy, tapi rasanya aku tidak ada apa-apanya. Bagaimana mungkin kuliah di Oxford?

Kita semua mungkin tidak terlahir dengan privilese seperti yang didapatkan oleh para selebriti. Ketika aku kuliah Psikologi, dosenku pernah menyoroti berbagai penelitian yang mengatakan walau impian untuk “mengubah nasib keluarga” dan “meningkatkan perekonomian” terdengar sangat manis dan keren, hasil observasi di berbagai negara menunjukkan bahwa peningkatan yang terjadi dari kondisi ekonomi sekarang dengan di masa depan hanya sedikit. Banyak juga yang menunjukkan rata-rata sama. Arti singkatnya adalah: Kalau sekarang kamu berada pada keluarga menengah, paling-paling kamu juga masih berada pada keluarga menengah di masa depan atau paling tidak dengan segala usahamu, kamu mampu berada pada menengah ke atas. Jadi, untuk mencapai keluarga kalangan sangat atas adalah ketidakmungkinan ya?

Tentu tidak, kita berbicara kemungkinan. Dari seluruh partisipan penelitian, mereka yang berhasil untuk sampai pada tingkat atas sekali jika sebelumnya berasal dari keluarga menengah atau bahkan menengah kebawah jumlahnya sedikit. Minoritas. Aku tidak mencoba untuk menurunkan atau bahkan memberikan motivasi padamu, namun pada masa-masa aku mulai menyerah karena merasakan privilese terbatas, ada beberapa hal terkait privilese yang kurenungkan dan mulai kutemukan jawabannya ketika aku membaca Alkitab.

1. Tuhan tidak memberikan talenta yang sama pada setiap orang

Pernahkah kamu melihat seseorang yang tampaknya unggul di semua bidang dan kamu melihat dirimu yang hanya terampil di 1 bidang? Pertanyaan yang wajar sekali. Mudah bagi kita untuk bertanya kenapa aku tidak sejago A, kenapa aku tak sekreatif B, dan lain-lain. Walaupun ini pertanyaan yang wajar, Tuhan mengajak kita untuk menemukan alasannya dalam Matius 25:14-30. Nas ini bercerita tentang pembagian talenta. Seorang mendapatkan 5, seorang mendapatkan 2, dan seorang lainnya mendapatkan 1. Terdapat satu pasal yang mengatakan bahwa pembagian tersebut adalah menurut kesanggupan orang yang akan menerima. Tapi aku tidak akan berfokus banyak ke hal tersebut, melainkan hal yang satu ini: Tuan dalam cerita itu tidak peduli akan jumlah talenta hambanya. Ia tidak lebih sayang pada hamba dengan 5 talenta daripada hamba 2 talenta. Sikapnya netral saja di awal. Ia lebih memperhatikan bagaimana usaha hamba tersebut dalam menjalankan talenta yang diberikan. Hamba dengan 5 dan 2 talenta kembali dengan beroleh laba yang sebanding, sementara hamba yang memiliki 1 talenta malah menyembunyikan talentanya dalam lubang tanah. Sesedikit apapun talenta yang kau rasakan Tuhan berikan padamu, tak apa. Tuhan tetap menghargaimu. Jauh lebih penting untuk meminta hikmat Tuhan agar mampu mengembangkannya dengan baik. Tidak sulit bagi Tuhan jika Ia mau menambah talenta yang lain kepadamu ketika Ia melihat engkau mampu mengembangkan talenta yang sudah ada dengan baik.

2. Tuhan tidak menuntut kita untuk hidup di rumah tingkat tiga dan memiliki saham berlembar-lembar

Aku pernah secara langsung mengetik “Apakah Tuhan memintaku untuk menjadi kaya” pada Google saking merasa bingung. Sayang, tidak ada jawaban pasti. Tuhan tidak menentang keinginanmu menjadi kaya, tapi pertanyaannya untuk apa?

Kita semua setuju bahwa berkat yang berlimpah bisa membuat kita beribadah dengan maksimal. Namun, yang aku tahu adalah kita bukan milik kita sendiri dan kita tidak hidup untuk diri kita sendiri. Contoh nyatanya adalah Tuhan Yesus sendiri. Ia datang ke bumi bukan untuk merasakan kenikmatan duniawi. Ia rela datang dari singgasana-Nya yang nyaman untuk menyelamatkan kita manusia, yang terlampau sering menyakiti hati Tuhan. Kalau Tuhan datang pada zaman kita, Ia tidak datang untuk mencari tahu sensasi bermain golf, menikmati makan di restoran bintang lima dan lain-lain. Pun kutemukan dalam Alkitab, sebagai seorang Anak Allah, Ia tidak bergaul dengan kaum bangsawan saat ada di dunia. Ia seringkali datang menghampiri orang berdosa, menyapa orang sakit, dan berkunjung ke rumah orang yang dianggap hina.

Poinnya adalah Ia meninggalkan diri-Nya yang berada dalam kelimpahan di samping Bapa, semata-mata untuk memenuhi tujuan Bapa bagi kita: menyelamatkan kita. Ia pun tidak mengagungkan statusnya sebagai Anak Allah. Sebagai puncaknya, Ia mati di kayu salib untuk membayar lunas dosa-dosa kita sehingga kita bisa menikmati hubungan baru dengan Allah. Ia merendah dalam kekayaannya, memberikan kita teladan bahwa yang menyenangkan Tuhan bukanlah tentang seberapa kaya dan seberapa berhasil kita mengumpulkan prestasi, pencapaian, gebrakan, dsb, namun seberapa kita mau menggunakan apa saja yang kita punya untuk menjalani hidup yang berkenan kepada-Nya.

3. Tuhan tidak ingin kita menjadi biasa-biasa saja

Dalam segala sesuatu yang kita lakukan, lakukanlah itu seperti kita melakukannya untuk Tuhan. Walau misalnya kita hanya punya 1 talenta, bukan berarti kita berpikir “Ah, gausah terima tugas yang ini deh, aku kan cuma jago di bidang A, kalau disini tidak jago”.

Jika ada kesempatan datang menghampiri dan hal itu dapat memberikan kita kesempatan untuk bertumbuh, cobalah untuk menjalaninya. Ketika kita menjalaninya pun, usahakanlah yang terbaik. Walau hasil akhir penting, Tuhan pun menghargai segala usaha yang kita buat untuk menjadikan pekerjaan itu baik di mata Tuhan.

4. Kita bisa mengusahakan privilese

Privilese bagi kebanyakan orang mungkin berkisar pada kemampuan finansial, daerah tempat tinggal, dan hal materiil lainnya. Hal-hal tersebut memang menguntungkan. Namun,sebelum terlalu terpaku pada urusan finansial, masih banyak hal-hal penting yang bisa dipersiapkan, terutama kesiapan mental calon orang tua. Kesiapan mental yang baik meliputi cara pengasuhan yang tepat di setiap usia anak, kemampuan mengelola emosi, dan cara penyelesaian masalah ketika keluarga mengalami masalah. Hal ini nantinya dapat berdampak pada kepribadian anak dan juga membentuk pandangannya akan keluarga, lingkungan lainnya, dan bahkan iman.

Pernah suatu ketika aku diceritakan oleh seorang pendeta. Beliau berkata bahwa dalam pengamatannya selama bertahun-tahun melayani, ada keluarga-keluarga yang mengasuh anak dengan cara otoriter, yang nantinya akan cenderung menghasilkan anak yang memandang bahwa Tuhan adalah Tuhan yang selalu penuh perhitungan pada manusia. Contohnya seperti memandang jika setiap kesusahan yang dihadapi adalah hukuman dari Tuhan untuk membuat kita menderita. Hal ini tidak benar. Ibrani 12: 1-13 mengatakan bahwa walau kita mendapat ganjaran dari perbuatan kita, sesungguhnya ganjaran itu atas dasar kasih Tuhan agar kita mau merubah perilaku sesuai dengan yang berkenan pada Tuhan.

Jika kamu sedang berupaya meningkatkan pendapatan, selain tidak lupa membekali diri dengan pengelolaan finansial, jangan lupakan langkah untuk mengasah “pengendalian diri”, sehingga jika suatu saat usahamu terus membuahkan hasil dan semakin sukses, kamu tidak dibutakan dan jatuh dalam kerakusan. Seimbangkan privilese dunia yang kamu usahakan dengan tetap mengejar buah-buah roh terbentuk dalam dirimu. Kalau lupa buah-buah roh ada apa saja, langsung buka Galatia 5:22-26 ya!

5. Tuhan juga memakai orang yang biasa-biasa saja dan mereka yang kerap dipertanyakan

Ditarik lebih jauh, Yesus memiliki nenek moyang bernama Rahab, seorang perempuan yang diceritakan Alkitab sebagai perempuan sundal. Bangsa Israel keluar dari Mesir dengan tuntunan Musa, seseorang yang tidak pandai berbicara. Tuhan mengabulkan doa Sarah, seorang yang dianggap sudah mandul dan secara ilmu pengetahuan punya kemungkinan sangat kecil untuk mengandung. Tuhan memakai Daud, seorang gembala domba bertubuh kecil tanpa peralatan senjata lengkap. Siapakah ia dibandingkan Goliat? Apakah Tuhan memandang mereka sebelah mata seperti orang-orang disekitar Maria, Sara, dan Daud? Tidak, Tuhan memperhatikan mereka baik-baik, secara utuh dan dekat. Namun terkadang kita bertanya mengapa Tuhan tidak kasihan dan mengubah keadaan kita? Aku menemukan jawabannya. Tuhan sesungguhnya ingin yang terbaik pada kita, namun Tuhan pun menginginkan hubungan dua arah yang seimbang. Tuhan juga mau kita datang mengungkapkan apa yang kau rasakan. Tuhan mau Engkau meminta tolong pada-Nya, dan ketika Engkau meminta Tuhan mengubahkan, mungkin sudah saatnya pun engkau berubah. Tuhan memilih mereka yang mau hidup benar dan taat kepada-Nya.Tuhan memilih mereka yang rela diubahkan menurut cara Tuhan.

Di tengah maraknya informasi tentang privilese yang tersebar di media sosial, kadang kekalutan datang menghampiri: 100 juta pertama, apartemen di wilayah terkenal, biaya pertemanan, dan publik figur yang kerap melihatkan saldo rekening. Dalam kekalutan itu, ingatlah bahwa kita memiliki Alkitab sebagai panduan hidup. Di dalamnya sudah tertera bagaimana Tuhan memberikan contoh untuk kita harus hidup.

Privilese duniawi memang nyata, namun kita punya Tuhan yang berkuasa atas isi dunia ini. Menutup artikel ini, izinkan aku mengajakmu membaca dan merenungkan secara pribadi ayat alkitab dalam Matius 7:7-11, Ibrani 13:5, Matius 19:26, dan Matius 6:33.

Semoga kita semua bisa mengejar hal-hal yang menyukakan hati Tuhan!

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Terlibat Memperjuangkan Keadilan Sosial

“Gak bisa lah mengusahakan keadilan di dunia ini.”

Setujukah kamu dengan pernyataan itu?

Yuk jelajahi topik menarik ini lewat artikel yang ditulis oleh Lidya Corry.

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Aku dilahirkan sebagai anak tengah dari lima bersaudara, pada tengah minggu, di tengah bulan, dan tengah tahun. Banyak orang berkata “wah anak tengah tulen, middle child syndrome pastinya.” Karena, anak pertama biasa lebih dominan dan anak terakhir sering dimanja, sedangkan kebanyakan dari anak tengah merasa terabaikan, akibat urut kelahirannya.

Tambahan pula, dengan sifatku yang cukup penurut, sejak masa remajaku, aku sering diberi tanggung jawab oleh kedua orang tua, untuk turut menjaga adik-adikku. Dan sesungguhnya, sempat terlintas di benakku, “apakah aku penting?

Salah satu buku cerita favoritku berjudul, My Sister’s Keeper, yang ditulis oleh Jodi Picoult. Novel tersebut menceritakan tentang dinamika kakak-beradik yang saling mengasihi. Namun, sang adik bergumul dengan kepahitan yang ia rasakan, terhadap kedua orang tua dan sang kakak, yang adalah penderita kanker darah. Pusat perhatian kedua orang tua tentu ada pada sang kakak yang sakit, sedangkan ada ekspektasi tak terucapkan bagi sang adik untuk menjadi donor berkelanjutan bagi kakaknya sendiri.

Ketika membaca buku tersebut, aku merasa dimengerti. Bahwa perasaan sakit hati terhadap seseorang, bukan berarti kita tidak mengasihi mereka. Karena aku sangat mengasihi keluargaku. Namun, dalam hati kecil, ternyata ada sebuah luka yang mengiang dan melontarkan pemberontakan, “apakah aku sekadar penjaga adik-adikku?”

Kain, Penjaga Habel

Kuingat suatu hari ketika aku sedang saat teduh, dan membaca Kejadian 4. Cerita tentang sepasang kakak-beradik, Kain dan Habel. Dalam keirian hati seorang Kain, ia membunuh Habel, adiknya sendiri—ini adalah kali pertama Firman menyatakan seorang manusia membunuh dengan darah dingin. Dan ketika Tuhan menghampiri Kain dan menanyakan keberadaan Habel, ia berkata, “aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (ayat 9).

Ketika membaca kata-kata itu, hatiku tertegur. Bukankah ini pernyataan yang selama ini telah kuucapkan kepada Tuhan? Betapa miripnya keluhanku, dengan tanggapan Kain—dan pada saat itu juga, peringatan Tuhan kepada seorang Kain, menjadi peringatan bagiku: “dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya,” (ayat 7).

Seketika, aku memutuskan untuk segera menyelesaikan kekesalan yang selama ini kusimpan di hati kecilku ini.

Keadilan Tidak Berarti Sama

Setiap orang yang memiliki saudara, pasti pernah merasakan ketidakadilan. Sebuah contoh sederhana adalah ketika kedua anak berebutan mainan, dan orang tua harus melerai dan memihak. Bahkan ketika orang tua mengambil mainan tersebut, dan tidak ada satu dari mereka yang mendapatkannya, mudah bagi seorang anak, terutama yang merasa memiliki mainan tersebut, untuk berkata, “tidak adil! Itu punyaku!”

Dalam sebuah keluarga yang memiliki banyak anak, tentu sebagai orang tua tidak bisa memberlakukan anak-anaknya dengan seragam. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, dan sebagai orang tua, perlu kebijaksanaan untuk menanggapi seorang anak dengan cara yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan anak tersebut. Ada anak yang bawaannya penurut, dan ada yang bersifat lebih pemberontak. Setiap orang juga merasakan kasih dengan cara yang berbeda. Ada yang merasa dikasihi ketika diperhatikan, ada yang lebih membutuhkan pelukan, dan ada yang memerlukan perkataan pujian.

Hal ini baru kusadari ketika aku beranjak dewasa. Ternyata, selama ini, ketika orang tuaku mendidik aku dan saudara-saudaraku dengan cara yang berbeda, mereka bukan sedang memperlakukanku dengan tidak adil. Bukan karena mereka menganggapku tidak penting, atau karena mereka kurang mengasihiku. Sebagai orang tua, mereka terus berusaha untuk mengasihiku sebagaimana aku perlu dikasihi.

Alkitab Penuh Keluarga Disfungsional

Namun, harus kita akui, tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Karena memang, tidak ada orang yang sempurna (Roma 3:23). Firman Tuhan pun penuh dengan cerita tentang keluarga-keluarga disfungsional. Seperti kisah Abraham, Sarah dan Hagar (Kejadian 16), yang menyebabkan permusuhan bebuyutan antara Ishak dan Ismael. Persekongkolan Yakub dengan ibunya, Ribka, untuk menipu Ishak, ayahnya yang sudah rabun, untuk mencuri hak sulung Esau (Kejadian 27)—Alkitab mengajarkan betapa bobroknya manusia, sehingga sulit bagi kita untuk mengasihi orang-orang terdekat kita!

Namun, kita tidak boleh putus asa. Karena walaupun Firman mengungkapkan dengan sangat eksplisit kebobrokan kita, kita melihat bahwa Tuhan dapat menebus kesalahan-kesalahan kita, dan tetap bekerja melalui orang-orang yang tidak sempurna. Oleh salib Kristus, Tuhan telah “mempersatukan kedua pihak…merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, [agar kita dapat menjadi] kawan sewarga…dan anggota-anggota keluarga Allah,” (Efesus 2:14-19). Tuhan sendiri yang datang sebagai Penengah, Pelerai, Pendamai, agar kita dapat dipersatukan dalam keluarga-Nya.

Ketidakadilan Yang Dialami Yesus, Penjagaku

Tetapi apakah kita sepenuhnya menyadari harga yang dibayar oleh Yesus di kayu salib? Firman mengatakan bahwa Ia adalah yang sulung, yang pertama (Kolose 1:18). Satu-satunya Anak Allah (Yohanes 3:16) yang datang ke dunia, dan rela memberikan diri-Nya bagi umat manusia yang tidak mengenal, maupun menerima-Nya (Yohanes 1:9-10). Ia mengalami ketidakadilan yang terbesar, karena Yesus adalah satu-satunya yang tidak berdosa, namun menanggung segala penderitaan dan upah dosa setiap manusia (2 Korintus 5:21). Dan karena kasih dan pengorbanan-Nya, kita sekarang dapat dipanggil anak-anak Allah (Galatia 4:7).

Betapa besar kasih-Nya! Dan betapa berbeda dengan postur seorang Kain, ataupun diriku sendiri. Yesus sebagai Anak Tunggal meletakkan hak-hak-Nya, dan memberikannya kepada aku. Kepada kamu. Maukah kita sekarang mengikuti-Nya? Maukah kita belajar untuk meletakkan hak-hak kita, ke-aku-an yang begitu besar, dan berseru seperti seorang Paulus? “Aku telah disalib bersama Kristus, bukanlah aku lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam aku,” (Galatia 2:20).

“Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mazmur 133:1).

Baca Juga:

Belajar dari 2 Sosok Perempuan yang Jadi Berkat bagi Bangsanya

Kita kerap berpikir kalau hanya orang pilihan saja yang bisa melakukan hal besar. Tapi, cara Tuhan memilih seseorang bukanlah berdasarkan standar manusia.

Anak Bawang Tuhan

Oleh Antonius Martono

Percuma saja. Badanku sudah dibungkus dua selimut, tapi tetap saja dingin menggigil. Seolah-olah ada balok es yang tak dapat cair di dalam tubuhku sekalipun aku berupaya menghangatkan tubuhku.

Kala itu adalah malam yang panjang. Aku menderita masuk angin. Segala usaha pun telah kulakukan agar tubuhku segera merasa hangat kembali. Mulai dari meminum air hangat, menutup tubuh dengan selimut tebal, melaburi tubuh dengan balsam panas, tapi kehangatan yang diharapkan tak kunjung kurasa. Aku seperti kehilangan kemampuan untuk merasakan kehangatan kala itu. Dalam ringkuk tidurku di balik selimut, aku merenungkan kondisi fisik diriku ini. Bukankah kondisi seperti ini juga dapat terjadi dengan hatiku? Ada masa di mana aku “tidak dapat” merasakan kehangatan kasih Tuhan.

Dari dulu aku telah diajarkan bahwa Tuhan itu baik dan aku mempercayainya. Hanya saja bagiku kebaikan Tuhan bersifat eksklusif. Tidak semua anak Tuhan merasakanya secara melimpah termasuk aku. Memang benar aku adalah anak Tuhan, tapi aku memandang diriku sebagai anak bawangnya Tuhan. Jika seandainya Tuhan mau memberkati anak-anak-Nya, pasti aku akan kebagian paling akhir. Sebab Tuhan memprioritaskan berkatnya untuk anak-anak emasnya, sedangkan aku tidak masuk hitungan.

Aku menyimpulkan seperti ini berdasarkan kondisi keluargaku. Aku berasal dari keluarga broken home. Kedua orang tuaku pisah rumah saat aku berumur 15 tahun. Ibuku meninggal saat aku berusia 19 tahun yang membuatku menjadi seorang yatim piatu, sebab ayahku telah tiada 3 tahun sebelumnya. Sejak saat itu aku harus hidup berdua dengan adikku. Berdasarkan kondisi ini aku menyimpulkan bahwa Tuhan tidak mengasihiku seperti Dia mengasihi orang lain yang memiliki keluarga harmonis.

Kesimpulan ini berpengaruh terhadap caraku memandang Tuhan dan kehidupan. Aku jadi menaruh kecurigaan terhadap Tuhan. Aku kesulitan mendoakan pergumulan-pergumulanku sebab bagiku Tuhan tidak terlalu peduli. Aku merasa seperti berjuang sendiri dalam kehidupan ini dan Tuhan menjadi sosok penentu nasib yang harus kulawan. Aku seperti sedang adu kekuatan dengan Tuhan ketimbang bergantung kepada-Nya dan berusaha memenangkan pertandingan agar bisa hidup bahagia.

Dengan sikap seperti ini aku cenderung melihat kehidupan secara negatif. Aku iri dengan kehidupan teman-teman sebayaku dan menjadi orang yang mengasihani diriku sendiri. Aku juga menjadi sulit bersyukur atas berkat-berkat kecil di sekelilingku. Sehingga kebaikan yang aku terima dari orang di sekitarku pun kuanggap biasa saja. Seolah-olah ada atau tidak ada kebaikan itu pun tidak mempengaruhi hidupku. Toh, tidak ada yang berubah juga pada akhirnya. Padahal kebaikan-kebaikan tersebut mungkin adalah cara Tuhan menyatakan kehangatan kasih-Nya, tapi aku bergeming. Hatiku terlalu dingin terfokus pada kondisi keluargaku.

Aku tahu ini adalah pandangan yang tidak tepat tentang Tuhan. Aku ingin mengubahnya, tapi rasanya sulit. Sampai suatu ketika aku diingatkan oleh sebuah bagian dari buku rohani yang kubaca. Buku itu mengatakan bahwa untuk mengubah orientasi hati, kita perlu sadar bahwa kita telah, sedang, dan selalu dicintai Tuhan dengan dalam. Bukan sekadar dicintai melainkan dicintai dengan dalam.

Aku akhirnya tersadar bahwa selama ini Tuhan telah mengasihiku dengan dalam sekalipun lewat kebaikan-kebaikan kecil. Aku telah salah menilai kasih Tuhan. Aku menjadikan kondisiku sebagai sebuah indikator kasih Tuhan. Aku teringat sebuah ayat:

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma5:8).

Salib Kristus adalah bukti solid bahwa Tuhan mengasihiku dengan dalam. Bahkan Dia mengasihiku saat aku masih musuh Tuhan. Kalau Tuhan sendiri telah memberikanku anak tunggal emas-Nya, bukankah adalah perkara kecil bagi Tuhan untuk merawat masa depanku?

Kesimpulanku tentang Tuhan mencerminkan betapa sempitnya hatiku. Aku hanya mau dikasihi dengan satu cara, yaitu berubahnya kondisi kehidupanku secara drastis. Jika Tuhan tidak memberikannya maka benar aku adalah anak bawangnya Tuhan. Padahal Tuhan telah mengasihiku seumur hidupku. Kasih Tuhan begitu luas. Tuhan memiliki banyak cara untuk menunjukan kasih-Nya. Selama ini justru akulah yang membatasinya. Aku mengharuskan Tuhan menunjukan kasih-Nya sesuai ekspektasiku. Sehingga aku tak menyadari kehangatan kasih-Nya yang telah lama Dia berikan.

Setelah kuevaluasi kembali hidupku, ternyata Tuhan telah banyak menunjukan jejak kasih-Nya. Ekspresi kasih-Nya, sekalipun terlihat tidak sesuai kondisiku atau tidak menjawab doaku, tapi selalu melayani kebutuhanku. Selalu saja ada ekspresi kasih-Nya yang selama ini tidak aku sadari. Jika aku mampu bertahan sampai hari ini bukankah itu karena kasih-Nya? Jika aku dapat mengenal komunitas yang mendorongku untuk bertumbuh bukankah itu bentuk kasih-Nya? Jika aku dapat menikmati hubungan pribadi dengan Tuhan, bukankah itu bentuk kasih-Nya?

Perlahan pandanganku terhadap Tuhan dan kehidupan berubah. Aku menjadi pribadi yang lebih positif dan optimis dari sebelumnya. Aku berhenti mengasihani diri sebab aku tersadar bahwa kasih Tuhan yang dalam juga tertuju padaku. Sekarang aku lebih terbuka terhadap bentuk kasih dari Tuhan dan orang sekitarku. Aku bukanlah anak bawang Tuhan meskipun kondisi tidak seideal ekspektasiku.

Bagiku, ketika aku menyadari bahwa aku dikasihi oleh-Nya adalah kunci untuk mengubah cara pandangku melihat Tuhan. Aku yakin perubahan cara pandangku ini pun juga termasuk salah satu cara Dia mengasihiku.

Baca Juga:

Dilema Memutuskan Keluar Kerja di Tengah Pandemi

Meninggalkan pekerjaan yang telah kutekuni selama 15 tahun terasa berat, dan semakin berat ketika itu kulakukan di tengah masa pandemi.

7 Strategi Menghadapi Iri Hati

Iri hati adalah dosa dan perasaan yang menguras banyak energi. Ketika kita iri hati, kita kehilangan sukacita dan sulit melihat kebaikan pada sosok orang yang kita banding-bandingkan.

Tiada kebaikan yang bisa kita raih dari memelihara rasa iri, tetapi melenyapkannya pun seringkali terasa susah. Namun, inilah kabar baiknya: firman Tuhan punya jawabannya. Inilah 7 strategi menghadapi iri hati.

Artspace ini diadaptasi dari artikel “Seven Strategies for Fighting Envy” karya Stephen Witmer di Desiringgod.org

Artspace ini didesain oleh Vika Vernanda.

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Ketika Aku Terjebak Membandingkan Diriku dengan Orang Lain

Oleh Cory Paulina, Surabaya

Aku pernah ada dalam kondisi membandingkan diriku dengan orang lain. Dan orang itu adalah teman terdekatku! Aku merasa temanku itu lebih baik dalam banyak hal, terutama pelayanan yang dia kerjakan. Kami dilayani dalam kelompok pemuridan yang sama, tetapi dia jauh lebih dahulu terpanggil dan mengembangkan pelayanannya di luar kota Surabaya. Hari berganti hari, aku pun melihat bahwa pelayanan yang dikerjakannya jauh membuahkan hasil yang lebih baik. Aku sangat gelisah, kecewa dan sedih dengan diriku yang tidak bisa menghasilkan karya sebaik dia. Aku ingin diterima seperti dia, aku juga ingin terlihat sepertinya.

Aku pernah bertanya kepada Tuhan, “Apakah orang lain juga memandangku baik?

Hatiku bergelut dengan asumsi-asumsi tajam yang menjatuhkan diriku sendiri. Bahkan tanpa aku sadari, jam-jam tidurku lenyap karena memikirkan mengapa aku tak bisa melakukan sebaik yang dilakukan temanku.

Dalam malam yang panjang itu, tiba-tiba aku serasa digerakkan untuk membaca buku The Emotionally Healthy Woman yang bersumber dari kisah Geri Scazzero terbitan Literatur Perkantas Jatim. Sepertinya perjalanan menuju kesehatan emosi dimulai dengan berhenti. Setelah berhenti dan menelaah buku itu, kusadari bahwa persoalannya ialah diriku sendiri. Dengan kata lain, selama ini aku tak menyadari jika aku sangat mengandalkan pengakuan orang lain supaya aku bisa merasa berharga. Namun pada kenyataannya, pemahamanku itu berlawanan dengan kebenaran kitab suci. Firman Tuhan berkata:

  1. Aku diciptakan menurut gambar Tuhan (imago Dei), berarti aku berada dalam standar yang bernilai dan berharga.
  2. Aku memiliki identitas yang baru di dalam Kristus (2 Korintus 5:17) ketika aku menjalin relasi dengan-Nya.

Meski aku menyadari kebenaran itu, tapi nyatanya sebagian besar identitas diriku tak terjamah 100% oleh kebenaran kasih-Nya. Jujur, aku masih bersandar penuh pada persepsi dan asumsi orang lain memandang hidupku. Dampaknya pun terasa, aku sering merasa lebih buruk dan tidak mampu menerima diriku (berdamai dengan diri sendiri) karena ada standar diri yang tidak benar.

Aku juga teringat dengan kisah ketika rasul Petrus menyangkal Yesus (Matius 26:31-75). Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali” (ayat 34). Aku berusaha memahami situasi dan kondisi Petrus saat itu. Mungkin dia merasakan kegalauan atas ucapan yang baru didengarnya. Setelah Yesus ditangkap, para murid-murid meninggalkan-Nya dan lari berserakan. Tapi jika kita telisik, Petrus tetap mengikuti Yesus sampai ke halaman luar saat Dia diadili.

Kemudian, Petrus dikenali oleh beberapa orang yang sadar bahwa dia adalah rekan dan murid Yesus. Lalu, Petrus menyangkal-Nya sebanyak tiga kali. Tindakan Petrus menunjukkan rasa takut terhadap penolakan orang lain. Sebelumnya, Petrus mengakui Yesus sebagai Mesias. Tapi, pengakuan itu tidak tertanam di dalam hatinya, sehingga ketika orang lain mendapatinya sebagai murid Yesus, Petrus segera mengelak. Petrus tak ingin ditolak oleh orang-orang itu karena statusnya sebagai murid Yesus.

Aku merasa diriku seperti Petrus, aku hidup dalam ilusiku sendiri. Kasih Tuhan hanya kuizinkan berada pada tingkatan tertentu, tidak sampai menjangkau kedalaman hatiku. Dalam situasi ini, konsekuensi berharap pada orang lain daripada Tuhan demi memperoleh pengakuan adalah suatu bencana bagi hubunganku dengan Tuhan dan sesama.

Dari perenunganku itu, aku mendapati kerinduanku untuk bisa lepas dan berhenti mencari pengakuan orang lain dapat diciptakan melalui hal paling mendasar dengan mengerjakan dua praktik harian:

  1. Merefleksikan kasih Tuhan.
  2. Sama seperti pengakuan Daud keberadaan kasih Tuhan dalam hidupnya “Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hatiku, aku mau menceritakan segala perbuatan-Mu yang ajaib” (Mazmur 9:1)

    Tentunya meminta pertolongan kasih Tuhan dan oleh Roh kudus agar terjadinya perubahan sejati dalam hidup.

  3. Kontemplasi diri.
  4. Aku memutuskan untuk belajar menyediakan waktu secara teratur supaya disiplin diri dalam membaca dan merenungkan Alkitab dalam ketenangan dan keheningan. Aku percaya ketika aku membuka hatiku untuk menerima kasih Tuhan, kasih itu akan memenuhi serta mengubah setiap aspek kehidupanku.

    “Lihatlah, betapa aku mencintai titah-titah-Mu! Ya TUHAN, hidupkanlah aku sesuai dengan kasih setia-Mu” (Mazmur 119: 159)

“Semakin Anda mendasarkan identitas diri pada kasih Tuhan, semakin kurang anda membutuhkan pengakuan orang lain demi merasa layak dicintai” – Geri Scazzero (The Emotionally Healthy Woman)

Lantas, bagaimana dengan diriku? Apakah perasaan iri hati itu hilang sekejap?

Tentu tidak, menang atas iri hati membutuhkan proses. Aku mulai belajar menerima keberadaan diriku, belajar memahami bahwa aku adalah anak yang sama-sama dikasihi oleh-Nya. Ketika mengingat apa yang telah Tuhan lakukan dan bahkan anugerah kasih-Nya nyata dalam hidupku, seharusnya itu menjadi obat yang mujarab untuk memulihkan diri serta membuatku puas di dalam-Nya.

Menjadi pribadi yang menang atas perasaan iri hati membutuhkan kesediaan diriku untuk membuka setiap ruang hatiku, dan mengizinkan kasih-Nya mengalir di dalamku. Hanya kasih-Nya yang sanggup mengubahkan hidup ini.

Baca Juga:

Dinyatakan Positif COVID-19: Sepenggal Ceritaku Menjalani Isolasi Bersama Tuhan

“Kamu positif”, suara dari balik telepon.

Duniaku serasa runtuh. Aku bahkan marah. Kenapa saat aku memberi diri melayani sebagai petugas medis isolasi Covid, Tuhan malah membiarkanku terjangkit virus ini?

Mengakhiri Iri Hati

Jumat, 21 Juni 2019

Mengakhiri Iri Hati

Baca: Roma 6:11-14

6:11 Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.

6:12 Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.

6:13 Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.

6:14 Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia.

Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri. —Galatia 6:4

Mengakhiri Iri Hati

Seniman Perancis terkenal, Edgar Degas, dikenang di seluruh dunia karena lukisan-lukisan penari baletnya. Namun tidak banyak orang tahu bahwa ternyata ia iri hati kepada rekan seniman dan pelukis andal saingannya, Édouard Manet. Kata Degas tentang Manet, “Setiap hal yang ia lakukan pasti langsung sukses, sementara aku harus bersusah payah, tetapi tetap tidak pernah berhasil.”

Iri hati adalah emosi yang mengherankan—dicatat oleh Rasul Paulus sebagai salah satu sifat terburuk, sama buruknya dengan “rupa-rupa kelaliman, kejahatan, keserakahan dan kebusukan, penuh dengan dengki, pembunuhan, perselisihan, tipu muslihat dan kefasikan” (Rm. 1:29). Paulus menuliskan iri hati datang dari pemikiran yang rusak—karena orang menyembah berhala daripada menyembah Allah (ay.28).

Penulis Christina Fox mengatakan bahwa iri hati berkembang di antara orang percaya “karena hati kita telah berbalik dari kekasih sejati kita.” Ketika kita merasa iri hati, ia berkata, “kita mengejar kesenangan duniawi yang lebih rendah nilainya daripada melihat kepada Yesus. Intinya, kita lupa milik siapa kita sesungguhnya.”

Syukurlah, iri hati dapat diobati. Dengan berpaling kembali kepada Tuhan. “Serahkanlah dirimu kepada Allah,” tulis Paulus (Rm. 6:13)—terutama pekerjaan dan kehidupanmu. Dalam suratnya yang lain, Paulus menulis, “Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain” (Gal. 6:4).

Bersyukurlah kepada Tuhan atas berkat-berkat-Nya—bukan hanya berkat materi, melainkan juga kasih karunia-Nya yang memerdekakan. Saat kita melihat segala karunia yang Allah berikan bagi kita, kita akan kembali mengalami kepuasan. —Patricia Raybon

WAWASAN
Dalam Roma 6, Paulus menyatakan bahwa sebagai orang percaya, manusia lama kita sudah disalibkan bersama Kristus, dan sekarang kita “mati bagi dosa” serta “hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (ay.6-7, 11). Kalau begitu, mengapa kita masih berbuat dosa? Memang, kita masih rentan terhadap dosa dan harus berjaga-jaga melawannya, tetapi dosa tak lagi berkuasa atas kita (ay.14). Dengan mati dan bangkit bersama Yesus, orang percaya menerima kerinduan baru untuk hidup bagi Allah dan membuang cara hidup yang lama. Meski hal ini membutuhkan niat dari pihak kita, Roh Kudus yang tinggal dalam kitalah yang memimpin dan mengubahkan sehingga kita semakin serupa dengan Kristus (Yohanes 16:13; 2 Korintus 3:18). —Alyson Kieda

Apa saja talenta, karunia rohani, dan berkat yang telah Allah berikan bagimu, tetapi yang lupa kamu hargai? Ketika memikirkan semua itu, bagaimana perasaan kamu ketika berpaling kembali kepada Allah Sang Pemberi dan mensyukurinya?

Bacaan Alkitab Setahun: Ester 3-5; Kisah Para Rasul 5:22-42

Handlettering oleh Claudia Rachel

Hati yang Penuh Damai Sejahtera

Kamis, 11 April 2019

Hati yang Penuh Damai Sejahtera

Baca: Amsal 14:29-35

14:29 Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.

14:30 Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.

14:31 Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia.

14:32 Orang fasik dirobohkan karena kejahatannya, tetapi orang benar mendapat perlindungan karena ketulusannya.

14:33 Hikmat tinggal di dalam hati orang yang berpengertian, tetapi tidak dikenal di dalam hati orang bebal.

14:34 Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa.

14:35 Raja berkenan kepada hamba yang berakal budi, tetapi kemarahannya menimpa orang yang membuat malu.

Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang. —Amsal 14:30

Hati yang Penuh Damai Sejahtera

Selama empat puluh lima tahun setelah karirnya sebagai atlet profesional berakhir, nama Jerry Kramer tidak pernah masuk dalam daftar atlet berprestasi (Hall of Fame) dari bidang olahraga yang digelutinya. Ia pernah mendapatkan banyak penghargaan dan pencapaian lain, tetapi yang satu itu belum pernah ia terima. Walaupun sudah sepuluh kali dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan itu, ia belum pernah mendapatkannya. Meski harapannya kandas berulang kali, Kramer tidak sakit hati. Ia berkata, “Saya merasa NFL (badan liga football Amerika) sudah memberi saya 100 hadiah di sepanjang hidup saya, jadi alangkah tololnya bila hanya karena satu penghargaan yang tidak saya dapat, saya lantas kecewa atau marah.”

Orang lain mungkin akan sakit hati apabila dikecewakan berkali-kali dan dikalahkan oleh pemain-pemain lainnya, tetapi Kramer tidak. Perilakunya menunjukkan bagaimana kita bisa menjaga hati kita dari perasaan iri hati yang “membusukkan tulang” (Ams. 14:30). Ketika kita terobsesi dengan apa yang tidak kita punyai—dan gagal menghargai banyaknya hal yang kita punyai—damai sejahtera Allah tidak akan tinggal dalam hati kita.

Setelah dinominasikan untuk kesebelas kalinya, akhirnya Jerry Kramer dinobatkan masuk ke dalam NFL Hall of Fame pada bulan Februari 2018. Mungkin keinginan duniawi kita tidak kunjung terwujud seperti yang akhirnya dialami Kramer. Namun, kita semua bisa memiliki “hati yang tenang” ketika kita memilih memusatkan perhatian pada berbagai bentuk kemurahan hati Allah yang telah kita terima. Apa pun keinginan kita yang tidak kunjung terpenuhi, kita selalu bisa menikmati damai sejahtera dari Allah yang memberi kehidupan. —Kirsten Holmberg

WAWASAN

Pemahaman tentang ragam puisi Ibrani akan sangat membantu saat kita membaca kitab-kitab Hikmat dalam Perjanjian Lama. Bentuk puisi ini disusun dengan berbagai majas seperti metafora, simile, akrostik, dan aliterasi. Salah satu majas lebih kompleks yang ditemukan dalam Amsal adalah paralelisme, yaitu pengulangan pokok pikiran utama sebanyak dua kali dalam satu pepatah.
Paralelisme antitesis terdapat dalam enam dari tujuh amsal yang kita baca hari ini (ay.29,30,31,32,34,35). Dalam bentuk antitesis, suatu konsep disajikan dengan dua kalimat yang saling berlawanan, menggunakan kata sambung tetapi untuk menunjukkan kontras. Paralelisme sinonim ditemukan pada ayat 33. Dalam paralel sinonim, suatu pemikiran disajikan dengan pengulangan serupa menggunakan kata-kata yang berbeda serta kata sambung dan untuk menunjukkan perbandingan. —Bill Crowder

Dalam hal apa Anda tergoda untuk memusatkan perhatian pada apa yang tidak Anda miliki? Langkah-langkah apa yang dapat Anda ambil dalam minggu ini untuk berfokus pada apa yang Allah sudah sediakan?

Allah memberikan kita damai sejahtera dan masih banyak yang lainnya.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 17–18; Lukas 11:1-28

Handlettering oleh Agnes Paulina

Saat Kita Tidak Terpilih

Selasa, 5 Maret 2019

Saat Kita Tidak Terpilih

Baca: Kisah Para Rasul 1:15-26

1:15 Pada hari-hari itu berdirilah Petrus di tengah-tengah saudara-saudara yang sedang berkumpul itu, kira-kira seratus dua puluh orang banyaknya, lalu berkata:

1:16 “Hai saudara-saudara, haruslah genap nas Kitab Suci, yang disampaikan Roh Kudus dengan perantaraan Daud tentang Yudas, pemimpin orang-orang yang menangkap Yesus itu.

1:17 Dahulu ia termasuk bilangan kami dan mengambil bagian di dalam pelayanan ini.”

1:18 —Yudas ini telah membeli sebidang tanah dengan upah kejahatannya, lalu ia jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isi perutnya tertumpah ke luar.

1:19 Hal itu diketahui oleh semua penduduk Yerusalem, sehingga tanah itu mereka sebut dalam bahasa mereka sendiri “Hakal-Dama”, artinya Tanah Darah—.

1:20 “Sebab ada tertulis dalam kitab Mazmur: Biarlah perkemahannya menjadi sunyi, dan biarlah tidak ada penghuni di dalamnya: dan: Biarlah jabatannya diambil orang lain.

1:21 Jadi harus ditambahkan kepada kami seorang dari mereka yang senantiasa datang berkumpul dengan kami selama Tuhan Yesus bersama-sama dengan kami,

1:22 yaitu mulai dari baptisan Yohanes sampai hari Yesus terangkat ke sorga meninggalkan kami, untuk menjadi saksi dengan kami tentang kebangkitan-Nya.”

1:23 Lalu mereka mengusulkan dua orang: Yusuf yang disebut Barsabas dan yang juga bernama Yustus, dan Matias.

1:24 Mereka semua berdoa dan berkata: “Ya Tuhan, Engkaulah yang mengenal hati semua orang, tunjukkanlah kiranya siapa yang Engkau pilih dari kedua orang ini,

1:25 untuk menerima jabatan pelayanan, yaitu kerasulan yang ditinggalkan Yudas yang telah jatuh ke tempat yang wajar baginya.”

1:26 Lalu mereka membuang undi bagi kedua orang itu dan yang kena undi adalah Matias dan dengan demikian ia ditambahkan kepada bilangan kesebelas rasul itu.

Lalu mereka membuang undi . . . dan yang kena undi adalah Matias. —Kisah Para Rasul 1:26

Daily Quotes ODB

Seorang teman di Facebook mengumumkan bahwa ia telah berhasil menyelesaikan sebuah proyek. Teman-teman yang lain mengucapkan selamat kepadanya, tetapi pengumumannya itu menusuk hati saya. Seharusnya saya yang menggarap proyek itu. Namun, saya dilewati, tanpa tahu apa alasannya.

Yusuf yang malang. Ia dilewati oleh Tuhan, dan ia tahu apa alasannya. Yusuf merupakan salah satu dari dua orang yang diusulkan untuk menggantikan Yudas. Para murid berdoa, “Ya Tuhan, Engkaulah yang mengenal hati semua orang, tunjukkanlah kiranya siapa yang Engkau pilih dari kedua orang ini” (Kis. 1:24). Allah tidak memilih Yusuf. Dia pun menunjukkan keputusan-Nya kepada kelompok itu, ketika “yang kena undi adalah Matias” (ay.26).

Ketika para murid mengucapkan selamat kepada Matias, dalam hati saya bertanya-tanya tentang Yusuf. Bagaimana reaksi Yusuf terhadap penolakannya? Apakah ia merasa tertolak, mengasihani diri sendiri, dan menjauhkan diri dari orang? Ataukah ia tetap percaya pada Tuhan dan tetap mendukung pelayanan mereka dengan senang hati?

Saya tahu opsi mana yang terbaik. Saya pun tahu opsi mana yang sebenarnya ingin saya ambil. Sungguh memalukan! Kalau kalian tidak menginginkan saya, terserah. Lihat saja nanti, bisa apa kalian tanpa saya. Pilihan itu terasa lebih menyenangkan, tetapi itu sangat egois.

Yusuf tidak disebut-sebut lagi dalam Alkitab, sehingga kita tidak tahu reaksinya. Yang lebih relevan adalah respons kita saat tidak terpilih. Kiranya kita tetap mengingat bahwa Kerajaan Allah jauh lebih penting daripada kesuksesan kita, dan kiranya dengan senang hati kita melayani dalam peran apa pun yang Dia tentukan bagi kita. —Mike Wittmer

Bagaimana perasaan kamu ketika kamu tidak dipilih atau ditinggalkan? Bagaimana sikap kamu dapat menghalangimu melihat petunjuk Tuhan bagi hidupmu?

Bapa, asalkan aku bisa melayani di dalam Kerajaan-Mu, aku tidak mementingkan bagaimana caranya atau di mana tempatnya.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 34–36; Markus 9:30-50