Posts

Sebuah Salib yang Menegurku

Oleh Irene

Bulan demi bulan berlalu. Satu per satu sahabatku di masa kuliah mulai mendapatkan pekerjaan. Ada yang dipanggil ke Jakarta, ada pula yang menetap di kampung halamannya. Malam Natal tahun 2016, aku menyatakan kerinduanku kepada Tuhan untuk mendapatkan pekerjaan di kota besar.

Sudah beberapa bulan aku belum juga mendapatkan pekerjaan. Sejujurnya, aku mulai lelah dan pesimis, doaku tak kunjung juga dijawab Tuhan. Rasa malas berdoa pun muncul, padahal aku tahu Alkitab mengatakan, “Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus” (Efesus 6:18).

Saat aku mulai mengabaikan doa, pikiranku jadi sering memikirkan hal-hal buruk. Pikiran buruk itu menerjangku seperti derasnya ombak yang menyapu pasir pantai. Aku merasa minder karena masih menganggur di saat teman-temanku sudah mendapat pekerjaan mereka. Nasihat dari orangtua dan sahabatku untuk aku terus berdoa, berusaha, dan bersabar pun tak mempan. Aku jadi bebal dan memandang masa depanku sendiri seolah gelap.

Sebulan berlalu, Januari pun tiba. Komunitas lektor di gerejaku mengundangku untuk ikut acara kebersamaan di akhir masa Natal. Setiap orang diminta membawa kado untuk nanti ditukar dengan anggota lainnya. Kami duduk melingkar dan bertukar kado dengan cara memilih nomor urut yang sudah diacak. Saat mendapatkan kadoku, kusobek sedikit-sedikit bungkusnya.

“Ah, paling isinya gelas, mug, pigura, atau dompet,” kataku dalam hati.

Namun, tebakanku salah.

Bukan benda biasa yang ada dalam kado itu, melainkan sebuah salib kecil. Warnanya coklat tua dan terdapat sosok Tuhan Yesus yang terpaku di salib itu dengan lengan yang terentang.

Aku tertegun.

Salib kecil yang kuterima dalam sebuah kado itu rasanya begitu menegurku. Sejak aku merasa doaku tak dijawab, aku tak lagi mendekatkan diri pada Tuhan. Aku malas berdisiplin rohani dan meragukan penyertaan-Nya. Namun, lewat sebuah kado yang mungkin terkesan seperti kebetulan, Tuhan mengingatkanku bahwa Dia senantiasa menyertaiku. Tuhan Yesus tetap tinggal bersamaku dan Dia bersedia membuka tangan-Nya kembali untuk menyambutku, tak peduli aku pernah melupakan dan meninggalkan-Nya.

Di dalam Lukas 15:4-6, tertulis demikian: “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan.”

Kado salib itu meneguhkanku bahwa Kristus, sang Gembala Baik, datang mencariku. Aku seperti satu domba yang sesat, yang menghilangkan diri dari kawanan. Aku menaikkan doa demikian: “Tuhan, sekarang ini aku tengah bergumul dan belum memiliki pekerjaan. Di tengah kekuranganku, aku berharap Engkau menunjukkanku jalan dan jawaban. Tempatkanlah aku di tempat kerja di mana aku bisa belajar dan memberikan yang terbaik bagi-Mu.”

Sejak teguran itu, aku pelan-pelan membangun kembali relasiku yang renggang dengan Tuhan. Doaku memang tidak dijawab dengan segera, tetapi ada kedamaian dan kekuatan yang melingkupi hatiku. Ada iman yang bertumbuh di hatiku, bahwa dalam upayaku mencari pekerjaan, Tuhan senantiasa menolongku. Masa penantian mendapat pekerjaan itu pun menjadi sebuah masa-masa pendisiplinan rohani buatku, yang menolongku untuk memperbaiki kehidupan doaku.

Puji Tuhan, beberapa bulan kemudian, Tuhan menganugerahiku pekerjaan yang hingga kini aku masih menekuninya. Apa yang kudapatkan bukanlah karena aku kecapakanku semata, melainkan karena anugerah dan tuntunan Tuhan.

Mengawali tulisanku dengan sekelumit kisahku mencari pekerjaan, aku menyadari bahwa di balik anugerah pekerjaan yang kuterima, ada hal lain yang sejatinya jauh lebih indah. Allah kita adalah Allah yang setia, yang tak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Ketika manusia ciptaan-Nya jatuh ke dalam dosa, Allah tidak tinggal diam. Allah merencanakan sebuah misi penyelamatan yang agung: Allah mengambil rupa manusia, datang ke dunia, untuk menebus dosa-dosa kita. Karena karya Kristuslah kita dapat menghampiri Allah dan memangil-Nya sebagai Bapa (1 Yohanes 3:1). Kita dapat menaikkan doa secara langsung dan meminta kepada-Nya, sebab Bapa mendengar setiap anak-anak-Nya (Matius 6:6).

Hari ini, ketika kita menikmati kehangatan suasana Natal, maukah kita membuka hati kita untuk Kristus? Jika selama ini kita menyimpan kekecewaan karena ada doa-doa yang belum dijawab, aku mau berdoa untukmu: kiranya kedamaian ilahi besertamu dan kamu tetap bertekun dalam doamu. Sebab sejatinya doa tak hanya bicara soal meminta dan memohon, melainkan tentang relasi antara kita dengan Bapa.

Ketika Aku Tak Tahu Apa yang Harus Kudoakan

Oleh Irene

Matahari terbenam, langit menggelap, dan rembulan dengan malu-malu mulai muncul dari peraduan. Aku menatap ke langit sebelum masuk ke dalam kamar untuk tidur. Namun, semakin aku berusaha untuk tidur, semakin pula aku tidak bisa memejamkan mata. Kegelisahan menghampiriku, membuat kepalaku terasa begitu penuh.

Pintu kamarku terbuka. Ibuku yang melihat gelagat kegelisahan dari bahasa tubuhku di atas ranjang pun menegurku.

“Ada apa?” tanyanya.

“Aku gelisah dan bingung. Aku bingung mau berdoa apa malam ini,” jawabku jujur.

Malam itu perasaanku berkecamuk, seakan ada banyak hal yang aku pikirkan mulai dari pekerjaan, agenda pindahan rumah sampai keputusanku untuk ingin pindah kota dan keluar kerja Namun, jujur, saat itu aku tak tahu harus mulai berdoa dari mana.

Mendengar perkataanku, ibuku pun menjawab, “Berdoalah kepada Tuhan. Kamu tak perlu bicara banyak, cukup katakan, Tuhan, aku bingung.”

Jujur, mendengar perkataan ibuku, aku jadi tambah bingung. Bagaimana mungkin doa yang selama ini aku panjatkan panjang lebar berisi banyak kata diganti hanya dengan dua kata itu saja?

“Hah?” jawabku kepada ibuku sembari dahiku mengernyit.

Ibuku kembali mengulangi perkataannya. Dia tersenyum dan menasihatiku dengan suara lembut, “Cukup bilang, Tuhan, aku bingung. Tuhan itu sudah ngerti kamu kok. Tuhan tahu apa yang kamu alami, apa yang kamu pikirkan. Cukup ngobrol itu saja sama Tuhan, Tuhan pasti sudah tahu.”

Wow! Mendengar itu, aku merasa takjub. Iya ya, kok aku nggak berpikir sampai ke sana? Tuhan tahu apa yang aku butuhkan, bahkan ketika aku bergumam dan mengeluh di dalam hatiku sekalipun, Dia tahu. Dia Mahatahu akan semua masalah hidupku, akan pekerjaanku dan seluruh pergumulanku sebab Tuhan mengenalku seutuhnya, jauh lebih daripada aku mengenal diriku sendiri.

Seperti tertulis dalam Yeremia 1:5, kita diingatkan kembali bahwa Allah kita adalah Allah yang mengerti dan memahami kita seutuhnya, bahkan jauh sebelum kita diciptakan dan dibentuk dalam rahim. Seperti Nabi Yeremia yang diutus Tuhan untuk menjadi sosok nabi bagi bangsa-bangsa, kita pun diutus dan telah dikuduskan oleh Allah dalam kehidupan yang telah Dia anugerahkan. “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yeremia 1:5).

Dari situlah, ketika aku merasa terlalu sulit untuk berkata-kata, dengan jujur aku mengucapkan pada Tuhan “Tuhan, aku bingung.” Aku tidak perlu malu mengakui keadaan diriku di hadapan Tuhan, sebab Tuhan selalu menyambutku setiap kali aku datang kepada-Nya. Rasul Paulus menulis demikian, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenernya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

Kadang, aku masih menambahi doaku dengan menceritakan pergumulan-pergumulan yang aku alami. Namun, aku tahu, bahwa ketika aku berdoa, ketika aku mengobrol dengan-Nya, Dia mendengarkanku. Dia ada di sampingku setiap hari, setiap menit, setiap detik. Tuhan peduli dan takkan meninggalkan aku seperti yang ada tertulis dalam kitab Ibrani 13:5 – 6, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. Sebab itu, dengan yakin kita dapat berkata: “Tuhan adalah Penolongku. Aku tidak akan takut.”

Baca Juga:

Penginjilan lewat Media Sosial, Bagaimana Caranya?

Media sosial menolong kita memberitakan Kabar Baik dengan lebih mudah dan menjangkau lebih banyak. Namun, sebelum melakukannya, yuk simak 5 tips dalam artikel ini.