Posts

3 Hal yang Harus Orang Kristen Lakukan di Media Sosial

Oleh Jasmin Patterson, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Disagree on Facebook

Waktu kuliah dulu aku membantu pelayanan di kampus dengan menjadi ketua. Suatu ketika, aku berselisih pendapat dengan ketua lainnya. Entah bagaimana, aku kehilangan kendali dan berteriak padanya. Saat itu, rekan-rekan pelayanan kami dan mahasiswa lainnya menonton kami dari dalam ruangan. (Ya, aku tahu, ini tindakan yang buruk. Aku meminta maaf dan kami menyelesaikan masalah itu. Kami tetap berteman sampai hari ini.)

Aku membayangkan apa yang mahasiswa lainnya pikirkan. Mereka mungkin merasa aneh melihat dua orang berdebat di muka umum. Apa yang mereka pikirkan? Dan teladan apakah yang kami tunjukkan kepada mereka?

Aku pun berpikir hal yang sama ketika aku melihat bagaimana orang-orang Kristen bertindak di dunia maya.

Di dalam budaya kita yang dibuat jenuh oleh media sosial, kita kehilangan kemampuan untuk menyatakan ketidaksetujuan dengan cara yang sopan. Kita kehilangan kemampuan untuk dengan hormat menghargai setiap pendapat yang berbeda. Sebagian besar masyarakat kita tampaknya berpikir bahwa kita tidak bisa mengungkapkan ketidaksetujuan kita kepada seseorang tanpa menggunakan kata-kata dan sikap kita untuk menyerang mereka. Sebagai pengikut Kristus, kita pun bisa saja jatuh ke dalam pemikiran seperti itu.

Media sosial adalah alat dan wadah luar biasa untuk saling terhubung yang aku syukuri. Mungkin kamu pun sama. Media seperti Facebook dan Twitter menolongku tetap terhubung dengan teman-temanku, kelompok musik yang kusukai, dan konten-konten yang membangun imanku. Namun, dengan kita menggunakan media sosial, kita pun bertanggung jawab untuk memastikan bagaimana cara kita berinteraksi di dalamnya itu menghormati orang lain dan menunjukkan Kristus.

Di media sosial, sebuah pendapat publik antara pemimpin-pemimpin dapat disaksikan oleh lebih dari sekadar beberapa pengamat. Lewat apa yang kita lakukan di media sosial, kita mungkin sedang memberi contoh bagi seluruh dunia untuk melihat dan menarik kesimpulan tentang kita ataupun Juruselamat kita. Risikonya cukup tinggi.

Bagaimana kita menjaga karakter Kristen dan kesaksian kita di dalam dunia maya, terutama saat kita merasa tidak setuju? Inilah beberapa hal yang bisa membantu:

1. Hargailah lawan bicaramu

Setiap orang yang kita ajak bicara adalah orang-orang yang diciptakan Allah seturut rupa-Nya, yang dicintai oleh-Nya, dan yang sangat berharga bagi Allah hingga Dia mengutus Anak-Nya untuk mati bagi mereka, untuk memulihkan relasi mereka dengan-Nya.

“Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (1 Yohanes 4:20).

Ketika kita berbicara dengan orang lain di dunia maya, apakah kita menghargai mereka seperti yang Tuhan lakukan? Apa yang Tuhan rasakan kalau Dia melihat cara kita memperlakukan orang lain yang juga adalah anak-anak-Nya yang dikasihi-Nya? (Tuhan tentu melihat).

Kadang, berada di balik layar memberi kita keberanian untuk mengatakan hal-hal yang tidak akan kita katakan kepada seseorang secara pribadi dan langsung. Sebelum kita mengunggah sesuatu, kita bisa menanyakan diri kita sendiri apakah kita akan mengatakan ini kepada orang itu kalau kita bertemu muka dengannya? Akankah kita memanggil nama mereka? Akankah kita menganggap remeh pandangan mereka? Akankah kita bicara kasar dan merendahkannya?

Ingatlah ini: cara kita memperlakukan orang lain adalah ekspresi kasih kita kepada Tuhan, dan Tuhan dapat menunjukkan kasih-Nya kepada orang lain melalui cara kita memperlakukan mereka. Berinteraksi secara baik dengan orang lain di dunia maya bisa menjadi salah satu tindakan penyembahan kita kepada Tuhan, serta menjadi suatu kesaksian yang berbicara kuat untuk orang lain.

2. Dengar dulu, bicara kemudian

Aku telah memperhatikan hal ini, mungkin kamu juga. Ketika seseorang memiliki pengalaman atau sudut pandang yang berbeda dari orang lain, mereka sering memulai percakapan dengan cara mempertahankan sudut pandang mereka sendiri. Mereka pun mungkin dapat meremehkan pendapat dan pengalaman orang lain bahkan sebelum mereka mendengarkannya.

Berulang kali kita melihat hal ini ketika orang berbicara tentang masalah ras, politik, teologi, dan lain-lain. Daftar ini terus berlanjut.

Alkitab memanggil pengikut Kristus untuk melakukan hal yang sangat berbeda.

“Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah” (Yakobus 1:19-20).

Dengarkanlah dulu, bicara kemudian. Dengarkan orang-orang. Pikirkan yang terbaik tentang mereka. Dengarkanlah untuk memahami, bukan sekadar menanggapi. Dengarkanlah tanpa menyela mereka.

Di dalam budaya kita, kita cenderung memutuskan bahwa orang yang kita ajak bicara itu tidak memiliki sesuatu yang penting untuk dibagikan kepada kita, bahkan sebelum kita mendengarkan mereka bicara. Kita segera menyimpulkan bahwa kita tidak peduli dengan mereka. Kita secara tidak sadar berpikir bahwa apa yang harus kita katakan itu lebih penting daripada apa yang mereka katakan. Tetapi, janganlah kita hidup menurut standar budaya kita—mari kita hidup menurut standar Alkitab.

Ketika aku memberikan komentar di dunia maya, aku suka menyebut nama mereka ketika aku membalas komentar-komentar mereka. Aku juga tidak sungkan untuk mengakui apabila aku setuju dengan apa yang mereka katakan atau malah jadi merasa tertantang untuk berpikir lebih lanjut. Aku tetap melakukan hal-hal ini meski kemudian aku mengutarakan apa yang jadi ketidaksetujuanku di komentar. Menjalin relasi secara personal dan memulai dengan meneguhkan orang lain adalah cara untuk menunjukkan kebaikan, kerendahan hati, dan bukti nyata bahwa kita benar-benar membaca dan menghargai komentar mereka.

Kita bisa menghindari banyak amarah di dalam masyarakat kita, di dalam percakapan kita, dan di media sosial kalau saja kita belajar untuk “cepat mendengar, lambat bicara.” Aku percaya Tuhan bisa memakai kita untuk membawa pemulihan dan kedamaian di media sosial jika kita mau belajar merendahkan diri, menghormati sesama kita, mendengarkan terlebih dulu dan berbicara kemudian.

3. Gunakanlah kata-kata yang membangun

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Efesus 4:29).

Sebelum kita berkomentar, berkicau di Twitter, atau meng-update status, kita bisa bertanya kepada diri kita: Apakah yang akan aku katakan itu bermanfaat untuk membangun orang lain dan sesuai dengan yang mereka butuh dengarkan? Apakah caraku mengatakannya dapat membawa manfaat buat mereka yang membacanya? Apakah kata-kata ini menunjukkan kualitas diriku bahkan ketika aku mengungkapkan ketidaksetujuanku?

Aku pernah menerima beberapa komentar kasar di postingan blog yang kutulis dan sesuatu yang aku pelajari dari ini adalah untuk memperkatakan hal-hal penuh kasih daripada membalasnya dengan amarah. Ketika seseorang memberi komentar dengan sarkas atau amarah, abaikan saja jika percakapan itu tidak bermanfaat, atau tanggapilah dengan semangat kebaikan. Kalau kita berhenti meletakkan kayu di atas api, api itu perlahan-lahan akan mati.

Sejalan dengan hal itu, ketahuilah juga kapan harus menarik diri dengan penuh kasih. Kadang percakapan kita di grup-grup media sosial melampaui batasan untuk disebut sebagai percakapan yang sehat dan menolong. Dalam kasus ini, cobalah untuk bercakap secara lebih personal, misalkan lewat chat personal atau berdiskusi tatap muka, atau dengan hormat undur diri dari grup itu.

Selama kita melakukan apa yang Alkitab katakan, kita bisa hadir di media sosial, memiliki percakapan bermakna, dan menjaga karakter Kristen kita. Mari kita jadikan kehadiran kita di dunia maya sebagai teladan buat orang lain. Aku siap. Bagaimana denganmu?

Baca Juga:

Doaku untuk Hari Ulang Tahunku

Terima kasih Tuhan untuk 24 tahun yang Kau percayakan kepadaku. Aku tidak tahu berapa tahun lagi yang Kau sediakan bagiku, tapi biarlah Tuhan sampai akhirnya nanti, Kau temukan aku tetap setia.

Ketika Aku Melepaskan Diri dari Kecanduan Media Sosial

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Di dalam bukunya, “Being Jesus Online”, Dennis Moles menulis bahwa kehadiran alat komunikasi yang luar biasa di masa sekarang ini tidak hanya mengubah cara kita berhubungan dan berkomunikasi, tetapi juga mengubah cara kita menjalani hidup dalam komunitas.

Ya. Tidak dipungkiri kalau perubahan alat komunikasi dan fitur-fitur di dalamnya yang semakin canggih juga mempengaruhi perilaku penggunanya, termasuk aku. Sepuluh tahun lalu, aku masih jadi siswi SMP. Waktu itu ada media sosial yang sangat terkenal di kalangan generasi 90-an, Friendster namanya. Jika dibandingkan dengan Facebook di masa sekarang, Friendster adalah Facebooknya masa itu. Di Friendster aku bisa bertemu banyak orang, mengedit halaman profilku supaya bagus dan menarik perhatian, juga mendapatkan kabar-kabar terbaru dari teman-temanku.

Sekali dua kali menggunakan Friendster, aku semakin tertarik. Di rumah ataupun di luar, waktu-waktuku banyak tersita untuk asyik sendiri dengan ponselku. Banyak teman-teman baru yang kudapat dari Friendster. Tapi, meski daftar temanku di dunia maya itu semakin bertambah, di dunia nyata malah kebalikannya. Aku kehilangan komunikasi yang hangat dengan orang-orang di sekelilingku karena setiap kali bertemu mereka, aku lebih banyak tertunduk dan asyik sendiri dengan ponselku. Aku tidak lagi memedulikan komunikasi tatap muka karena kupikir komunikasi dengan layar ponsel inilah yang lebih mengasyikkan. Aku telah kecanduan media sosial.

Kecanduan ini terus berlangsung hingga aku duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatku dan aku pun dibaptis. Tapi, aku tetap hidup seperti sedia kala. Aku masih asyik sendiri dengan dunia maya, bahkan saat ibadah di gereja pun aku tidak bisa fokus. Kadang bermain ponsel sendiri, atau pikiranku melayang-layang memikirkan teman-teman yang ada di media sosial.

Hingga suatu ketika, seorang hamba Tuhan di gereja menegurku. “Sudah dibaptis harusnya bertobat dan tidak mengulangi kebiasaan lama yang sia-sia,” katanya. Aku bingung. Apanya yang sia-sia? Apakah keasyikanku dengan media sosial ini adalah kesia-siaan? Ah, sepertinya tidak. Kupikir ini bukanlah dosa, lagipula tidak ada ayat di Alkitab yang mengatakan kalau keasyikanku dengan media sosial ini adalah dosa.

Hamba Tuhan itu tidak hanya sekali menegurku. Berulang kali dia terus mengingatkan dan membimbingku supaya aku bisa mengendalikan diriku dari media sosial, tapi aku selalu mengabaikannya.

Sebenarnya, saat itu aku tahu kalau terlalu asyik dengan media sosial bukanlah sesuatu yang baik. Tapi, aktivitas ini terasa nyaman buatku. Ini bukanlah sebuah anomali, pikirku, karena manusia memang pada dasarnya menyukai hal-hal yang membuatnya nyaman. Hanya, di sinilah sebenarnya masalah terjadi: nothing grows in the comfort zone. Kenyamanan ini membuatku tidak bertumbuh. Setelah menerima Kristus, alih-alih tumbuh berakar dan berbuah, aku malah begitu-begitu saja, atau mungkin tidak bertumbuh sama sekali. Selain kehilangan komunikasi yang hangat dengan manusia, aku pun kehilangan relasi dengan Tuhan. Aku jarang membaca Alkitab dan berdoa, kalau ke gereja pun tidak fokus. Dan, kupikir di sinilah pertanyaanku terjawab. Memang tidak ada ayat Alkitab yang secara langsung menyebutkan kalau keasyikan bermain medsos itu dosa, tapi bukankah Alkitab berkata:

“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).

Kemudian, di sebuah camp khusus perempuan yang kuikuti, Tuhan menegurku dengan keras. Dalam salah satu sesinya, seorang pembicara berkata bahwa Tuhan Yesus sudah membeli hidupku lewat pengorbanan di kayu salib, yang harganya teramat mahal. Pengorbanan Kristus itu tidak main-main, maka seharusnya aku pun tidak main-main dalam menerima anugerah itu. Aku harus hidup sepenuhnya untuk Tuhan, tidak lagi mengisinya dengan kesia-siaan.

Di akhir sesi itu, pembicara menantangku untuk membuat komitmen baru. Aku harus hidup sungguh-sungguh dalam Tuhan. Aku mau mengurangi keaktifanku di media sosial. Aku mau lebih fokus kepada orang-orang di dunia nyataku: keluarga dan teman-temanku. Aku mau membangun relasiku dengan-Nya melalui waktu bersaat teduh.

Aku bersemangat menghidupi komitmen itu. Sebagai langkah awal, aku mulai menerapkan pembatasan waktu bermedia sosial. Jika dulu aku bisa online hampir tiap saat, aku melatih diriku hanya online tiga kali seminggu. Menjalankan komitmen ini tidak mudah, sampai-sampai aku ingin menangis. Tapi, kakak mentor yang mendampingiku di camp itu selalu mendukungku. Dia mengingatkanku ayat dari 1 Korintus 10:13 bahwa Tuhan pasti memampukanku untuk melalui ini.

Latihan ini perlahan mulai membuahkan hasil. Aku tidak lagi sedih ketika tidak membuka media sosial. Malah, aku merasakan peningkatan kualitas komunikasi dengan orang-orang di dunia nyataku, juga dengan Tuhan. Aku bisa merasakan kehangatan keluarga saat makan malam bersama. Aku bisa ceria dan tertawa bersama dengan teman-temanku saat kumpul bersama. Dan, aku pun bisa memiliki waktu pribadi bersama Tuhan. Ya, pendek kata, aku merasa komunikasi yang kulakukan menjadi lebih hidup.

Sekarang, bertahun-tahun sudah berlalu sejak aku berkomitmen untuk melepaskan diri dari kecanduan media sosial. Aku tidak menjadi orang yang anti dengan media sosial, juga tidak anti dengan sesuatu yang membuatku nyaman. Hanya, aku perlu berhikmat dalam segala sesuatunya, dan hikmat itu bisa kudapat dari menjalani hidup yang takut akan Tuhan.

Baca Juga:

Satu Hal yang Kupelajari dari Kegagalanku di SNMPTN

Aku masih ingat bagaimana campur aduknya perasaanku saat hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri diumumkan. Kecewa, sedih, juga takut bercampur menjadi satu di dalam diriku saat aku dinyatakan tidak lolos.

Di Balik Potret Bahagia di Media Sosial

Oleh M. Tiong, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 你真如朋友圈上那样快乐吗?

Tatkala jariku asyik menjelajah Facebook atau media sosial lainnya, terkadang aku merasa iri terhadap teman-temanku. Ada yang mengunggah foto-foto liburan, barang-barang yang baru dibeli, juga makanan-makanan enak yang mereka nikmati. Berdasarkan apa yang kulihat dari foto-foto itu, aku pikir hidup mereka tampak amat berbahagia. Kemudian, aku membandingkannya dengan diriku sendiri: Mengapa hidupku begitu membosankan?

Suatu hari, seorang temanku yang biasanya sering mengunggah foto-foto bagus memberitahuku kalau sebenarnya dia sedang stres. Katanya, hidupnya itu kurang berarti. Mendengar cerita darinya, aku mulai menyadari bahwa orang-orang yang kupikir hidupnya enak itu ternyata tidak lebih berbahagia dari aku.Ini membuatku bertanya-tanya: “Apakah orang-orang memang benar-benar bahagia seperti foto-foto yang mereka tampilkan di media sosial?”

Mengapa kita merasa seolah hidup kita tidak pernah bahagia? Alkitab mencatat bahwa manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya; kita selalu menginginkan sesuatu yang lebih. “Dunia orang mati dan kebinasaan tak akan puas, demikianlah mata manusia tak akan puas” (Amsal 27:20). Raja Salomo, seorang yang kaya raya dan penulis kitab Pengkhotbah mengerti keadaan ini. Dia berkata, “Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari” (Pengkhotbah 2:11).

Lantas, mengapa kita selalu tidak pernah puas? Mungkin itu karena segala sesuatu yang kita miliki tidak dapat benar-benar mengisi kekosongan hati kita. Walaupun kita berupaya mengumpulkan kekayaan, cinta, kemasyhuran, ataupun rasa kagum dari orang lain, semua hal itu tidak akan pernah membawa kita kepada kepuasan yang sejati.

Mengejar prestasi, kesuksesan, dan pengakuan itu tidak sepenuhnya salah. Namun, yang terlebih penting adalah menyadari bahwa semuanya itu bukanlah yang menentukan nilai diri kita. Semuanya itu bersifat sementara, tidak kekal.

Kepuasan nilai diri dan makna hidup kita yang sejati harus datang dari Allah sendiri. Hanya Allah saja, yang menciptakan kita, yang mampu memberi kita yang adalah ciptaan-Nya suatu kepuasan. Hanya Allah sajalah yang benar-benar mengerti apa yang kita butuhkan.

Jadi, janganlah iri hati dengan apa yang orang lain miliki. Amsal 14:30 mengatakan, “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” Lalu, Mazmur 16:11 juga mengatakan, “Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.”

Aku mengucap syukur kepada Tuhan karena Dia mengingatkanku kembali tentang hal-hal yang seharusnya menjadi fokus hidupku—kebutuhan orang-orang di sekitarku, menaati kehendak-Nya, dan menghidupi hidup yang menyenangkan-Nya. Aku berdoa supaya hidup kita tidak hanya berkutat tentang seberapa sering kita bepergian, seberapa banyak uang yang kita keluarkan untuk membeli makanan ataupun berbelanja. Biarlah hidup kita dapat berfokus hanya kepada Allah.

Semoga kita semua bisa menemukan dan membagikan sukacita yang sejati dari Tuhan. Dan semoga kita juga bisa menjadi pengikut Kristus yang rindu menyenangkan Allah.

Baca Juga:

5 Alasan Kamu Perlu Bertobat Lagi dan Lagi

Apakah pertobatan itu? Apakah orang-orang Kristen perlu bertobat? Kapan terakhir kali kamu bertobat?

3 Tanda Aku Menggunakan Ponsel dengan Berlebihan

3-tanda-aku-menggunakan-ponsel-dengan-berlebihan

Oleh Olivia Ow, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Signs of My Handphone Addiction

Nomophobia (no-mobile-phobia): Rasa takut akan kehilangan kontak dengan ponsel.

Mungkin inilah yang aku alami. Aku suka menonton video-video Youtube dan konten-konten media sosial di ponselku, dan aku bisa menghabiskan semalam penuh dan semua waktu luangku hanya bersama ponselku itu.

Aku sangat sering menggunakan ponsel (juga untuk bekerja). Begitu seringnya sampai-sampai aku merasa amat panik ketika aku tidak dapat menemukan ponselku yang sedang dalam mode “silent”. Jari kakiku juga turut menjadi korban ketika aku tidak sengaja tersandung saat sedang terburu-buru mencari charger untuk ponselku yang baterainya sedang sekarat.

Namun, selain kedua hal di atas, ada 3 tanda lain yang muncul dalam hidupku sebagai akibat dari penggunaan ponsel yang berlebihan.

1. Aku jadi suka membandingkan

Kamu mungkin bisa memahaminya kalau kamu sering menggunakan media sosial. Ketika mengecek konten-konten di media sosial dan menemukan barang-barang bagus terbaru yang dimiliki oleh teman-teman kita, sebuah pikiran ini mungkin melintas di benak kita: “Wow, dia punya banyak sepatu bagus. Kalau saja aku lebih kaya, aku yakin aku bisa mendapatkan yang lebih bagus dari dia.” Ini menunjukkan ketidakpuasan dalam hati kita. Dan itu bahkan bisa membuat kita rela tidak makan agar kita dapat menabung untuk membeli barang-barang yang kita inginkan, sehingga kita bisa memamerkannya kepada orang lain.

Namun sikap membanding-bandingkan ini dapat membuat kita menjadi iri hati. Kita mungkin juga mengalami kepahitan atau mengasihani diri sendiri. Amsal 14:30 berkata: “Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.” Berhentilah membanding-bandingkan dan ingatlah bahwa nilai diri kita tidaklah ditentukan oleh apa yang kita pakai atau apa yang kita miliki (atau yang tidak kita miliki). Kita berharga di mata Tuhan sebagaimana adanya diri kita.

2. Aku membuang-buang waktu

Waktu itu berharga, kita semua tahu itu. Tapi kalau boleh jujur: kita menghabiskan begitu banyak waktu bersama ponsel kita. Setiap 30 detik, kita mengecek akun media sosial kita untuk melihat apakah ada update baru. Seringkali, aku tergoda untuk browsing internet di ponselku daripada menyediakan waktu bersama Tuhan. Sejujurnya, aku menikmati mencari berita-berita tentang orang-orang yang tak pernah kutemui seumur hidupku atau menonton video atau iklan yang tidak memberikanku apa-apa—dan aku tahu aku bukanlah satu-satunya orang yang melakukan ini semua.

Namun Alkitab mengingatkan kita untuk memperhatikan dengan saksama bagaimana kita hidup, dan menggunakan waktu yang ada sebaik-baiknya, karena hari-hari ini adalah jahat (Efesus 5:15-16). Marilah gunakan waktu kita yang berharga untuk sesuatu yang bernilai lebih besar. Ada sebuah kalimat terkenal dari C. T. Studd yang mengingatkanku, “Kita hanya hidup satu kali, dan itu akan segera berlalu; hanya apa yang kita lakukan bagi Kristus yang akan bertahan selamanya.” Aku tidak tahu sampai kapan aku hidup, dan aku sadar bahwa hidupku adalah milik Yesus. Sejak saat itu aku memutuskan, daripada terus-menerus browsing internet di ponselku, aku akan menyisihkan waktu untuk berdoa bagi para anggota kelompok kecilku.

3. Aku menjauh dari komunitas

Ada beberapa Youtubers yang aku ikuti, sampai ke titik di mana aku merasa seperti mengenal mereka dengan dekat. Aku menjadi bahagia ketika mereka bahagia, seperti saat mereka mengumumkan bahwa mereka akan menikah. Sebaliknya, aku juga merasa sedih saat mereka merasa sedih.

Mudah bagi kita untuk masuk ke dunia media sosial dan berhenti berinteraksi dengan orang-orang secara langsung karena kita pikir kita cukup berinteraksi di dunia maya. Mudah bagi kita untuk kehilangan keinginan untuk bertemu orang-orang secara langsung, karena kita lebih suka melihat mereka di dunia maya. Bagaimanapun, aku tidak harus berhadapan dengan konflik antar-individu jika aku tidak terhubung langsung dengan mereka, kan?

Namun, berdasarkan pengamatanku akan diriku sendiri dan orang lain, aku menemukan bahwa salah satu keburukan dari menggunakan ponsel dengan berlebihan adalah berkurangnya kemampuan kita untuk berelasi dengan orang lain secara sehat. Kita menjadi kesulitan dalam bercakap-cakap. Kita jadi kurang bisa memberikan perhatian yang panjang, dan kita juga cenderung kurang mampu mendengarkan orang lain dan memberikan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan mereka.

Seorang teman pernah mengeluh kepadaku karena dia begitu sulit memimpin sebuah acara di persekutuan pemuda gerejaku karena para pemuda itu sibuk mengecek ponsel mereka dan tidak memperhatikan instruksi yang diberikan. Dan ketika tiba waktunya untuk masuk ke dalam kelompok kecil untuk berdiskusi, mereka tidak mengikuti karena mereka masih terpaku dengan ponsel mereka dan tidak memperhatikan. Bukankah itu menyedihkan?

Hidup ini dimaksudkan untuk kita hidupi, bukan untuk kita tonton. Jadi marilah hidupi hidup kita daripada menonton kehidupan orang lain.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Sharon Putri. Dia adalah anak bungsu dari tiga orang bersaudara yang sangat aku kasihi. Tidak pernah terlintas di benakku bahwa Sharon ternyata mengidap kelainan mental. Tapi, darinyalah aku belajar bagaimana seharusnya aku mengasihi dengan tulus.