Posts

Terjatuh di Tempat Aku Membangun

Oleh Agustinus Ryanto 

Di suatu pelatihan yang pernah kuikuti, pembicaranya bilang begini, “Jangan bandingkan diri kita dengan orang lain, bandingkanlah dengan diri kita sendiri versi kemarin.”

Wow. Kutipan itu segera kucatat di HP, juga di pikiran. Benar, gumamku. Memang kalau membandingkan diri dengan orang lain ya nggak akan ada habisnya toh.

Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, kutipan yang kupupuk di otak ini bekerja efektif. Ia membuat hari-hari kerjaku yang monoton terasa berwarna. Aku merasa diriku versi hari ini sudah mengalami banyak kemajuan dibanding yang dulu.

Sampai tibalah di bulan Agustus, pada momen ketika orang tuaku sakit. Mau tak mau, aku harus pulang untuk merawat mereka. Kupulanglah ke rumah dengan naik motor, supaya sampai di kota asalku, aku bisa mudah wira-wiri.

Aku telah bekerja lima tahun pada sebuah lembaga nirlaba yang aku cintai. Meskipun aku tak terlalu suka dengan rutinitas kerjaanku yang monoton—kebanyakan duduk di depan laptop, kesepian hampir di sepanjang hari, tapi aku tahu apa yang kulakukan memberi dampak bagi orang lain, kendati dampaknya memang tak kasat mata dan tak langsung. Oleh karena itulah, aku memutuskan bertahan dan mengembangkan diri di tempat ini saban tahun berganti. Singkat kata, aku percaya bahwa inilah jalan yang memang saat ini perlu aku tempuh.

Seminggu setelah urusan mengurus orang tuaku rampung, datanglah sebuah pesan yang ditujukan buatku.

Pesan ini kubaca pelan-pelan. Narasinya lembut, tetapi aku bingung akan intensinya. Apakah itu bertujuan untuk memotivasiku atau menggugat apa yang sedang kukerjakan sekarang. 

Konotasi yang kutangkap dari teks-teks itu adalah bahwa aku seorang yang egois, yang hanya mementingkan diri sendiri. Usiaku tahun ini 27 tahun, tidakkah aku terpikir untuk memiliki karir yang lebih menghasilkan secara finansial? Tidakkah aku ingin berbakti lebih pada orang tuaku? Aku tahu pesan itu muncul sebagai respons atas caraku menangani orang tuaku yang sakit. Karena tak punya mobil, aku membawa ayahku ke rumah sakit dengan menaiki taksi daring, sementara ibuku pergi ke laboratorium rontgen dengan naik motor. Cara ini dianggapnya tak elok bagiku yang sudah lulus sarjana, yang seharusnya mendapatkan sesuatu yang lebih bonafide. Tetapi, dalam hati aku membela diri, aku tak sanggup melakukan itu semua. Terlalu banyak faktor yang saling berkelindan yang membuatku sendiri kadang bertanya-tanya mengapa aku terlahir di keluarga ini—terpecah oleh perceraian yang diteruskan turun-temurun sejak buyut, utang dari bank, kepahitan, kekerasan rumah tangga, dan lainnya, yang memikirkannya membuatku semaput. 

Dadaku seperti tertikam. Jari-jemariku kelu. 

Aku tak ingin memantik keributan, tapi ingin sekali membalas pesan itu dengan membela diri. Lagipula, kepada sang pengirim pesan, aku tak pernah dibiayai hidup olehnya, sehingga apa gerangan dia mengomentari jalan karirku. Tapi, kutenangkan diriku. HP kumatikan dan aku berdiam. Setelah tenang, kubalaslah pesan itu dengan sopan. Kuucapkan terima kasih atas intensi baiknya memikirkanku, sembari kuluruskan keadaannya mengapa setelah lima tahun bekerja aku belum mampu membeli kendaraan roda empat ataupun rumah. 

Namun, hari-hariku setelahnya tak lagi sama. Pesan yang dikirim sore itu menghancurkan kepercayaan diriku. 

Setiap hari, aku dihantui imaji akan kegagalan. Aku menghukum diriku dengan merasa aku seorang yang melarat, bodoh, tak mampu membayar bakti pada orang tua dengan memberi mereka kenyamanan ragawi. Perasaan gagal itu semakin menjadi-jadi ketika Instagram yang sedianya kujadikan wadah untuk mengekspresikan jiwa petualanganku seolah berubah jadi arena pamer dari teman-temanku, yang menumpukkan bara panas ke atas kepalaku. Lihat tuh, si dia udah tinggi jabatannya. Aduh, keren banget ya dia udah bisa beli rumah, beli mobil. Duh, dia ajak orang tuanya liburan ke sana sini. Lalu aku membandingkannya dengan diriku sendiri. Kubandingkan yang telah punya mobil denganku yang cuma ada motor. Kubandingkan yang telah menikah dan punya rumah enak denganku yang masih LDR beda kota dengan baik bus malam. 

Bak diberondong peluru, akhirnya aku tumbang. Pahitlah hatiku, patahlah semangatku, sakitlah badanku. Menatap layar laptop yang biasanya kulakukan dengan tatapan tajam kini menjadi sayu. Langkahku gontai. Agar kepahitan ini tak semakin menjadi, kuputuskan untuk memutus kontakku dengan dunia maya sejenak. Aku keluar dari Instagram, dan selama tiga minggu hanya berkomunikasi menggunakan WhatsApp saja. 

Menolong? Agak. Menyembuhkan? Tidak. 

Perasaan gagal itu muncul sejatinya bukan karena aku secara de facto telah gagal dalam pertempuran hidup. Tetapi, karena aku membangun harga diriku pada tempat yang tidak teguh, pada tempat yang value-nya berubah-ubah seiring waktu: yakni apa kata orang. Aku tidak menampik bahwa kita ingin selalu tampil berhasil di depan orang, dan cenderung menutupi kerapuhan kita. Tetapi, keberhasilan seperti apakah yang sebenarnya patut disebut berhasil? Indikatornya tentu berbeda-beda. Bagi seorang yang hidup dalam kepahitan sejak kecil, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membuka pintu maaf dan mengizinkan damai dari pengampunan mengisi hari-harinya. Bagi seorang yang telah gagal dalam hubungan asmara, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membangun relasi yang teguh dan utuh di tengah segala kendala yang merintanginya. 

Abraham Maslow mencetuskan teori piramida kebutuhan, dengan kebutuhan fisiologis ada di dasar dan kebutuhan aktualisasi diri di puncak piramida. Teori ini bilang kalau setelah satu tingkatan kebutuhan dipenuhi, manusia akan mulai memenuhi kebutuhan lainnya. Kebutuhan aktualisasi diri letaknya ada di puncak, tidak ada lagi kebutuhan di atasnya yang perlu dipenuhi. Ini berarti, menurutku, apabila kebutuhan ini dipenuhi dengan sumber atau cara yang tak tepat, itu akan menjadikan kita terjebak dalam upaya pemenuhan yang tiada berakhir. Kesadaran ini menghantamku. Jika kebutuhan untuk membuktikan diriku pada orang lain didasarkan pada apa kata orang, bukankah itu akan jadi proses yang tak akan berujung? Bukankah omongan orang selalu berubah dari hari ke hari? Bukankah omongan orang itu sifatnya dangkal karena mereka tak melihat seluruh realitas hidup kita? 

Aku pun pulang kembali ke rumah dengan keadaan fisik yang sangat lelah. Dari subuh sampai siang aku memotret upacara pernikahan. Ini adalah kerja sambilanku yang puji syukur, diberkati Tuhan dengan pesanan dari banyak klien. Melihatku kelelahan dan meringkuk di kasur seperti orang meninggal, ibuku bilang, “Jangan terlalu capek!”

Kubilang lagi, “Nggak kok, biasa ini mah.” 

“Tapi itu kemaren Senen bisa sampe diare, ke wc sampe belasan kali terus lemes?”

“Ah, itu kan gara-gara salah makan,” sanggahku. “Ya udah, hayu kita pergi deh cari makan dulu,” kuajak ibuku pergi motoran keliling kota. Aku mau traktir dia makan enak. 

Ibuku di usianya yang hampir enam dekade masih sangat aktif. Dia terbiasa motoran sendirian ke luar kota. Siang itu dia mengajak aku makan ikan bakar di tepi waduk, yang jaraknya nyaris dua jam naik motor. Perjalanan kami lalui dengan sensasi panas dingin—panas saat matahari tak tertutup awan, dan dingin karena basah saat diterpa hujan. 

“Mama nggak menuntut anak harus gimana-gimana, kalian yang jalanin hidup, kalian yang atur sendiri,” tuturnya. 

“Maksud?” tanyaku mengernyit. 

Karena bulan sebelumnya aku pernah bertutur soal perasaan gagalku ini, dia menjawab dengan lebih lugas. “Kamu nggak perlu pusing-pusing harus bayar utang atau beliin harta ini itu. Itu kesalahan bukan kesalahan kamu, bukan kamu yang harus pusingin. Yang penting kamu bisa hidup, nggak utang sama orang lain, dan cukup…” 

Kupandangi muka air waduk yang tak berombak. Ikan nila aneka warna tampak di permukaannya. Seperti itulah kurasa tenangnya hatiku. 

Aku tahu betul masa lalu ibuku tidak baik. Ia lahir dalam keluarga yang dikoyak perceraian. Dia tak diasuh oleh ibu bapak kandungnya sejak balita. Luka itu membuatnya kembali terluka dengan perceraian di usia dewasa mudanya. Tapi, dia tahu bahwa aku, sebagai anaknya yang paling bontot, ingin berusaha membahagiakannya dengan beragam benda yang kupikir akan membuatnya senang. 

“Kamu begini aja udah seneng kok mama…” 

Pelan-pelan bangkitlah kesadaran dalam diriku bahwa matematikaku dengan matematika Tuhan terkadang berbeda cara. Dalam rumusku, untuk menjadi bahagia dan sukses harus meraih prestasi lahiriah yang dipandang oleh banyak orang sehingga namaku harum. Tetapi, rumus Tuhan lain cerita. Mungkin Dia memang belum memberiku limpahan harta lahiriah, tapi Dia selalu memberikan apa yang aku dan ibuku butuhkan, sebagaimana Dia memelihara burung-burung di udara (Matius 6:26). Ibuku bilang kalau meski dia tidak punya mobil, tapi Tuhan memberinya kesehatan dan kekuatan untuk punya fisik yang prima, yang masih awas dan kuat untuk naik motor tiap hari. 

“Bayangin kalau kena stroke, mau punya mobil mahal sekalipun juga, memang kepake?” guyonnya. 

Kesadaran ini membawaku kembali pada soal panggilan. Kuyakini lagi bahwa panggilan hidup setiap orang itu unik. Tuhan, Sang Ilahi yang memanggil setiap kita, tentu punya maksud dan tujuan-Nya bagi kita masing-masing. Tidak semua pekerjaan memberikan kelimpahan materi, tetapi jika pekerjaan itu berasal dari-Nya dan kita melakukannya bersama-Nya, selalu ada kecukupan dan damai sejahtera setiap hari bagi kita. 

Untuk saat ini, inilah panggilanku. Untuk besok hari, aku tak tahu, dan aku perlu mencari tahunya. Dengan apa? Dengan mengerjakan apa yang diberikan padaku sekarang dengan sebaik mungkin, agar ketika nanti Dia memanggilku untuk satu tanggung jawab yang lebih besar, aku telah siap laksana seorang prajurit yang diutus ke palagan dengan gagah berani. 

Hari ini aku belajar kembali untuk membangun diriku pada tempat yang lebih teguh. 

4 Jurus Melawan Pikiran Negatif

Oleh Melissa Koh, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Truths To Guard Your Mind Against Destructive Thoughts

Hanya dengan scrolling di media sosial kepercayaan diri yang kita bangun bisa runtuh dalam sekejap. Kita memang tahu kalau media sosial tidak menampilkan realitas sesungguhnya, tapi terkadang kita pun terjatuh ke dalam perangkap ini.

Izinkan aku menggambarkan isi pikiranku ketika aku tidak melindunginya dari dampak destruktif media sosial:

Aku jadi sebal ketika ada orang lain yang kariernya lebih sukses dariku, dan yang mampu membeli banyak barang sementara aku cuma bisa melihat-lihat saja.

Aku iri atas jalan hidup yang dipilih orang lain, yang tampaknya lebih berbuah dan menjanjikan daripada hidupku. Dulu dan sekarang, aku takut kalau penghasilanku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan keinginanku. Jadi, aku mulai mendengarkan diskusi seputar investasi dan aku berpikir, “Ini bisa jadi terobosan di hidupku!”

Tapi, sekarang pun aku tetap jadi orang yang khawatir. Aku menenangkan saraf-sarafku dengan melihat-lihat Instagram…tapi cara ini malahan membuatku merasakan kekosongan yang semakin besar dalam hidupku. Aku terus berpikir, ‘seandainya saja…’, dan lingkaran setan pun terus berlanjut.

Selesai bermain Instagram, rasa kecewa dan tidak puas menghantui. Bagaimana caranya kita bisa tetap bersukacita dan merasa cukup sebagai orang Kristen di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa?

Bertentangan dengan apa yang dunia tawarkan, inilah empat kebenaran dari Alkitab yang meneguhkan kita di tengah tekanan dunia.

1. Kita diberkati melebihi harta-harta duniawi

Kapan pun aku merasa hidupku tidak berdampak, aku dihibur oleh kebenaran bahwa ketika kita memilih untuk percaya pada Yesus kita menjadi ahli waris yang berhak menerima janji-janji Allah (Roma 8:17).

Marshall Segal, penulis dari Amerika dalam artikelnya, “Live Like Sons and Daughters of the King” menuliskan demikian:

Pertama, ketika Allah menebus kita, Dia menjamin kita. Dia tidak pernah melupakan ataupun meninggalkan anak-anak-Nya. Bersama Kristus, kita punya jaminan yang kekal. Kedua, kita memiliki keintiman—relasi yang dalam dan memuaskan dengan Bapa Surgawi, yang mengasihi kita tanpa syarat, dan yang janji-Nya melindungi dan memelihara kita. Ketiga, bersama Kristus, kita menjadi ahli waris dari segalanya—perlindungan, keintiman, dan yang kekayaan yang sejati.

Apa yang Allah berikan pada kita tidaklah sama dengan apa yang dunia tawarkan. Di saat kita diminta untuk mendapat pengakuan dari orang-orang, Kristus menyerahkan hidup-Nya agar kita mendapatkan tempat dalam kerajaan-Nya.

Ketika aku berjalan dekat dengan-Nya dan mengikuti panduan Roh Kudus, aku tahu aku jauh diberkati melampaui apa yang dunia sanggup berikan. Daripada mengizinkan diriku habis digerogoti oleh rasa iri hati dan kepahitan, aku dapat bersandar pada Bapa Surgawi dan mengetahui bahwa Dia menyediakan segala yang kubutuhkan.

2. Kita dapat menyerahkan kekhawatiran kita pada Allah

Pilihan kita untuk mengikut Allah berarti mempercayai Dia sepenuhnya. Ketika ketakutan dan kekhawatiran muncul dalam hati kita, segeralah datang ke hadirat-Nya, seperti Filipi 4:6-7 mengingatkan kita:

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”

Menjaga diri untuk tidak khawatir adalah suatu tantangan, terlebih ketika kita merasa terjebak dalam pekerjaan kita sekarang, atau ketika teman-teman kita tampaknya lebih sukses dalam karier mereka. Tapi, ketika kita mengingat bahwa Allah Sang Pencipta ada bersama kita dan kita memilih untuk tetap berada di dekat-Nya, kita dapat menyerahkan segala yang kita rasakan pada-Nya dalam doa.

3. Fokuslah kepada kasih Allah yang tidak terbatas

Setelah lulus dengan gelar sarjana hukum, aku menantang diriku untuk kerja ke kota besar. Aku melamar dengan semangat dan mendapat kerja di sebuah firma kecil yang mengurus registrasi properti intelektual, sebuah pekerjaan yang memang aku inginkan. Tapi, setelah dua bulan aku kewalahan, dan aku merasa kurang diapresiasi.

Aku keluar dari pekerjaan itu dan kembali lagi jadi job-seeker. Masa-masa ini kugunakan untuk merenung dan mencari tujuan Allah bagi hidupku. Memang berat kembali jadi pengangguran di saat teman-temanku lainnya telah bekerja di tempat yang membuat mereka bertumbuh, tapi aku yakin keputusanku untuk keluar itu tepat. Aku butuh pekerjaan yang memberikanku keseimbangan hidup.

Setelah beberapa waktu, aku diterima di tempat kerja yang lebih dekat dengan rumah dan memungkinkanku untuk pulang setiap hari tanpa merasa kewalahan. Aku juga bisa tetap melayani di gereja. Ketika teman-teman sebayaku pergi merantau dan meninggalkan gereja, tetap berada di kota asalku itu rasanya sangat berarti buatku.

Ketika aku mengingat kembali momen-momen itu, aku diteguhkan bahwa sekalipun kita tidak mengerti apa maksud Tuhan atas apa yang kita alami, kita dapat dengan setia menanti Dia (Mazmur 37:7).

Ketika kita terlalu fokus pada apa yang dunia tawarkan atau kepada apa yang tak kita punya, kita akan sulit melihat kasih Allah dan tujuan-Nya bagi hidup kita. Visi Allah bagi kita mungkin bukanlah tentang mewujudkan keinginan atau gaya hidup yang kita dambakan, tapi ketika kita mengikuti arahan-Nya, hidup kita akan berbuah kebenaran.

4. Berinvestasi pada kerajaan yang kekal

Akhirnya, sebagai pengikut Kristus, kita perlu menginvestasikan hidup kita lebih banyak dalam membangun kerajaan Allah. Matius 6:19-21,33 mengingatkan kita bahwa harta di bumi bisa hancur oleh ngengat dan karat atau raib oleh pencuri, tetapi harta di surga akan ada untuk selamanya.

Bagiku, menginvestasikan hidup dalam membangun kerajaan Allah salah satunya ialah menggunakan gaji yang Tuhan telah berikan dan berkati untukku, untuk mendukung rekan-rekan mahasiswa seminari, atau menggunakannya kepada lembaga yang menolong orang-orang yang berkekurangan, terkhusus yang terdampak karena pandemi.

Aku juga mengambil kesempatan untuk memberkati orang lain melalui hal-hal yang bersifat non-material, seperti memimpin kebaktian daring. Meskipun menyisihkan sedikit gajiku berarti aku tidak bisa membeli tas-tas baru atau peralatan kosmetik yang mahal, menggunakan uang itu untuk hal-hal yang lebih bernilai memberiku kepuasan lebih daripada kesenangan duniawi.

Meskipun kita merasa keadaan sedang mendorong kita melampaui batasan kita, sungguh suatu penghiburan untuk mengingat bahwa tidak ada satu hal pun yang terlalu sulit bagi Allah, dan kita bisa bersandar pada anugerah-Nya yang menguatkan kita setiap hari. Di dalam dunia yang terus memikat kita untuk hidup sesuka hati, marilah berdoa dan mencari hikmat-Nya dalam segala musim hidup kita, agar pondasi iman kita tertancap teguh.

Baca Juga:

Teruntuk Kamu yang Sedang Berbeban Berat

Menguatkan kembali pundak yang didera beban terlampau berat sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu upaya yang akan melibatkan derai air mata, dan bukan tidak mungkin pula keputusasaan selalu mengetuk hati kita. Tetapi ingatlah…

Kala Instagram Merenggut Sukacitaku

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Suatu ketika, aku melihat status temanku di Facebook. “Untuk saat ini tidak akan aktif dalam media sosial manapun. Seluruhnya telah menjadi racun bagiku dan mungkin hanya bisa menghubungiku lewat WA saja,” tulisnya. Dengan membaca status itu, aku menerka, mungkin saja temanku ini sedang bergumul karena ketergantungan pada media sosial. Aku lalu merefleksikan pada diriku sendiri, apakah aku mengalami yang sama?

Saat aku menjelajah Instagram, kulihat story teman-temanku berjejer. Ketika kubuka, kulihat betapa aktif dan banyaknya kegiatan yang mereka lakukan. Tiba-tiba, aku merasa kepercayaan diriku ambruk. “Kapan aku bisa seperti itu? Fotonya bagus banget! Kalau dibandingin denganku, aku sepertinya tidak ada apa-apanya. Aduh, kok aku gak seberuntung dia. Aku harus posting juga deh foto ini supaya kelihatan keren!” Tanpa kusadari, aku melewatkan waktu dua jam untuk melihat story teman-temanku dan membandingkannya dengan diriku sendiri, bahwa aku sepertinya selalu kurang jika dibandingkan dengan unggahan teman-temanku itu.

Segera kututup Instagramku dan berdoa, “Tuhan, ampunilah aku yang menganggap diriku tidak lebih baik dari orang lain, terlebih aku telah membuat Engkau terpojokkan. Engkau yang telah menciptakanku dengan sangat baik adanya, tapi aku tidak mensyukuri karya-Mu yang luar biasa dalam diriku ini.”

Aku ingat khotbah dari pendetaku saat kebaktian Minggu di gereja. Kira-kira beginilah kata-katanya, “Jikalau kamu merasa dirimu berharga (sebab Allah telah menciptakan kamu), maka hal-hal berharga lainnya (uang, jabatan, kemewahan) yang tidak kamu miliki bukanlah standar yang membuat dirimu berharga.” Jika saat ini kita tak punya baju bagus, rumah mewah, kendaraan yang keren, itu tidaklah masalah. Kepemilikan atas benda-benda tersebut bukanlah indikator seberapa berharganya diri kita. Kita berharga karena Allah yang telah menciptakan kita. “Untuk mencapai kepuasan diri, maka lihatlah betapa berharganya dirimu di hadapan Tuhan.” Dari perenungan itu, aku menyadari bahwa kunci kebahagiaan sejatinya bukanlah ada pada apa yang belum kita miliki atau apa yang ingin kita tambahkan, melainkan pada apa yang sudah kita miliki: talenta dan karunia yang telah Allah berikan.

Manusia adalah imago Dei, segambar dan serupa dengan Allah seperti tertulis dalam Kejadian 1:26a-27. Citra kita sebagai gambaran Allah adalah sebuah keistimewaan. Meski kita telah jatuh ke dalam dosa, Allah tetap menjadikan kita istimewa hingga Dia datang ke dunia dalam rupa Kristus untuk menyelamatkan kita.

Aku adalah satu-satunya di antara sekian banyak umat manusia di dunia ini. Saat aku belajar biologi, aku mengetahui bahwa tidak ada satu pun dari antara seluruh umat manusia memiliki DNA yang sama. Bahkan, dua orang yang kembar identik pun DNA-nya berbeda. Tak ada satu pun manusia yang tak berharga. Semuanya diberi talenta dan kemampuan yang berbeda-beda, supaya setiap dari kita bisa saling melengkapi di dalam persekutuan yang bertumbuh dalam Tuhan.

Aku sangat bersukacita membayangkan betapa beruntungnya aku memiliki Tuhan yang sangat besar dan menyayangiku dengan sangat istimewa. Terlebih lagi, Tuhan mengenali satu persatu umat-Nya, yang Dia bentuk dengan tangan-Nya sendiri (Yeremia 1:5). Aku masih terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Godaan memang selalu datang. Ilah-ilah palsu dunia ini merayuku dan menarikku untuk menjauh dari Tuhan dengan mengajakku untuk memercayai bahwa diriku kurang ataupun tidak berharga.

Menikmati media sosial dengan perspektif baru

Aku tidak menutup akun media sosialku. Menurutku, banyak hal positif yang aku dapatkan dari media sosial, seperti berita dan informasi, kondisi teman-teman lamaku, keluargaku yang jauh, bahkan bekerja pun lewat media sosial. Hal yang aku lakukan agar media sosial tidak lagi membuatku tidak bersukacita yaitu dengan cara menggunakannya sesuai porsi yang tepat. Aku juga belajar untuk mengatur waktu dan mengendalikan diriku sendiri saat bermain media sosial. Saat ini aku sangat bersukacita dengan apa yang sudah aku miliki dari Sang Pemilik itu sendiri.

Ravi Zacharias, penulis buku “The Grand Weaver” menyebut-Nya dengan istilah “Sang Penenun Agung”. Aku sangat menyukai sebutan itu. Tuhan telah “menenunku” sedemikian rupa dalam suatu tujuan dan ketetetapan yang kekal. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 139:13-17 “Engkaulah yang membuat bagian-bagian halus di dalam tubuhku dan menenunnya di dalam rahim ibuku. Terima kasih karena Engkau telah membuat aku dengan begitu menakjubkan! Sungguh mengagumkan kalau direnungkan! Buatan tangan-Mu sungguh ajaib—dan semua ini kusadari benar. Pada waktu aku dibentuk di tempat tersembunyi, Engkau ada di sana. Sebelum aku lahir, Engkau telah melihat aku. Sebelum aku mulai bernafas, Engkau telah merencanakan setiap hari hidupku. Setiap hariku tercantum dalam Kitab-Mu! Tuhan, sungguh indah dan menyenangkan bahwa Engkau selalu memikirkan aku. Tidak terhitung betapa seringnya pikiran-Mu tertuju kepadaku. Dan ketika aku bangun pada pagi hari, Engkau masih juga memikirkan aku.” (FAYH).

We are so precious, kita sungguh berharga.

Baca Juga:

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Mengatasi khawatir itu susah-susah gampang. Kita tahu janji Tuhan, tapi hati ini kerap menolaknya. Yuk simak 4 jurus ini untuk mengatasinya.

3 Hal yang Kupikirkan Sebelum Memposting di Media Sosial

Oleh Michelle Lai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Would Jesus Like Your Post On Social Media?

Kalau Tuhan memiliki akun di media sosial, apakah Dia akan menyukai postingan yang kamu buat?

Dulu aku adalah orang yang selalu memposting foto ke Instagram setiap hari. Di bawah foto itu aku menuliskan caption untuk memberitahu para followers-ku tentang apa yang kurasakan saat itu. Aku memposting cerita refleksi diri yang sedih, cerita lucu, dan bahkan kemarahan. Itulah caraku untuk mengekspresikan diriku, juga mengatasi kebosanan dan kesepianku. Aku bisa “bicara” kepada para followers-ku tanpa harus benar-benar berdiskusi atau bertemu langsung dengan mereka.

Namun, kemudian aku belajar satu kenyataan yang keras, bahwa meskipun kita punya kebebasan untuk mengekspresikan diri, kita juga seharusnya bertanggung jawab atas apa yang kita ekspresikan atau unggah di ruang publik.

Aku telah belajar bagaimana seharusnya aku bertindak di media sosial dengan cara yang sehat, dan inilah tiga pertanyaan yang seringkali kuajukan kepada diri sendiri sebelum aku memposting sesuatu:

1. Apakah postinganku bermanfaat buat temanku?

Aku suka mendengarkan lagu-lagu bernuansa sedih, dan sering memposting liriknya dengan atau tanpa maksud pribadi. Karena postingan itu bersifat emosional, temanku sering bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku tidak mau menjelaskan apapun kepada mereka, sebab aku cuma ingin mendapatkan respons dari mereka. Tapi, seringkali respons yang kudapat tidak seperti itu. Mereka yang bukan teman terdekatku malah mengomentari seputar hidup dan aktivitasku. Sedangkan teman-teman yang kuanggap paling dekat malahan menjadi orang yang paling akhir mengetahui masalah-masalah yang kualami karena mereka tidak melihat postinganku di Instagram.

Semuanya ini membuatku merasa rentan tapi aku ingin dikenal oleh dunia. Ini adalah dilema yang lucu. Di satu sisi aku merasa lega ketika mengungkapkan perasaanku di media sosial, tapi aku juga merasa kosong kalau tidak ada orang yang menanggapiku. Dan, di sisi lainnya, aku pun merasa kewalahan kalau semisal teman-temanku menanggapiku.

Aku tidak sedang memuliakan Tuhan dengan perkataan mulutku dan perenungan di hatiku (Mazmur 19:15). Kebiasaanku di media sosial itu tidak hanya menghadirkan masalah dalam relasiku dengan teman-temanku, itu juga membuatku menjadi seorang yang haus akan penerimaan, menjelaskan diriku, dan mencari kepuasan yang instan.

Jika dahulu aku memperlakukan media sosial seperti buku harianku, sekarang aku menggunakannya sebagai alat untukku terhubung dengan teman-teman dekatku. Sebagai contoh, aku memposting puisi-puisi Kristen untuk menguatkan teman-temanku, atau membagikan sedikit pencapaianku untuk merayakannya bersama teman-temanku dan menyemangati mereka. Aku juga berusaha untuk mengurangi intensitasku mengunggah sesuatu tentang kehidupan sehari-hariku, dan hanya memposting gambar bersama orang yang kukasihi. Aku mengingatkan diriku untuk tidak terus mengecek media sosialku setelah aku mengunggah sesuatu, menanti like demi like yang diberikan oleh followers-ku. Ketika aku melihat sesuatu yang menarik yang dibagikan temanku di media sosial, seperti foto-foto dari perjalanan mereka, aku coba untuk bertemu mereka secara langsung dan mengobrol lebih banyak tentang apa yang sudah mereka unggah.

2. Sudahkah aku mengambil waktu sejenak untuk memikirkan kembali apa yang mau kuposting?

Sekarang, aku tidak segera menuliskan status ketika aku merasa ingin melakukannya. Aku memberi waktu sejenak kepada diriku untuk berpikir apakah postingan ini diperlukan, apakah itu baik, dan apakah itu membuatku memanjakan diri

Aku belajar bahwa menceritakan perasaanku kepada seseorang—daripada mempostingnya di media sosial—memberikanku privasi untuk menjaga isu itu tetap pribadi dan profesional dalam situasi tertentu. Ketika aku membagikan pergumulanku kepada temanku atau pembimbingku, aku seringkali bisa mendapatkan perspektif yang lain. Ini memberikanku waktu untuk memproses pemikiranku. Aku menyadari ketika aku memberikan jeda beberapa saat untuk memikirkan apakah aku akan mengunggah sesuatu atau tidak, seringkali keinginan itu pudar dan kuanggap tidak lagi mendesak. Aku perlu berhati-hati dengan emosiku untuk tidak gegabah mengunggah sesuatu.

3. Apakah aku memuliakan Tuhan atau menjadi batu sandungan buat orang lain?

Aku pernah bekerja kelompok dengan seorang rekan sekelas. Ketika aku berselisih pendapat dengan salah satu dari mereka, aku mengirimkan emoji marah di grup chat kami. Akibatnya relasiku dengan seluruh kelompok jadi terganggu.

Media sosial memang diciptakan bukan untuk sekadar berbagi hal-hal yang membahagiakan, tapi sebagai pengikut Kristus kita tidak seharusnya mengunggah sesuatu yang dapat menjadi batu sandungan buat orang lain. Aku tidak seharusnya beraktivitas di media sosial tanpa mempertimbangkan bagaimana kata-kata yang kutulis nanti akan berdampak kepada orang lain.

Pemazmur dalam Alkitab tidak takut untuk menuliskan mazmur yang sedih dan marah, tetapi yang paling utama adalah segala tulisannya, pemazmur selalu berfokus kepada Tuhan. Meski aku tidak berpikir bahwa kita harus menahan diri dari memposting sesuatu tentang isu-isu seperti depresi, atau bahkan membagikan cerita pengalaman kita bahwa kita lelah atau merasa sedih pada suatu hari, aku belajar dari pemazmur bahwa postinganku harus selalu mengarahkan orang lain kembali pada Tuhan. Contohnya, ketika aku menuliskan puisi-puisi terkait depresi, aku menyertakan Tuhan di dalamnya. Aku juga menyertakan link yang ketika diklik akan mengarahkan pembacaku kepada lembaga yang mampu menolong mereka secara profesional. Aku memastikan untuk mengakhiri puisi-puisiku dengan harapan.

Meskipun tidak mudah untuk mengubah kebiasaanku bermedia sosial, aku belajar bahwa kita semua dipanggil untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, dan menjaga kata-kata yang keluar dari mulut atau ketikan jari kita adalah permulaan yang baik.

Baca Juga:

Menjadi Pemimpin di Kelompok Kecil, Cara Tuhan Mengubahkan Hidupku

Aku pernah menolak panggilan untuk melayani sebagai pemimpin kelompok kecil. Aku merasa tidak layak dan dak mampu. Namun, Tuhan menggerakkan hatiku hingga akhirnya aku menjadi pemimpin dari kelompok kecil beranggotakan 8 orang, dan melalui inilah Tuhan mengubahkanku.

Hal yang Kulupakan Ketika Aku Asyik Menggunakan Instagram Story

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Sekitar setahun lalu, Instagram menciptakan inovasi baru yang sangat digemari oleh para penggunanya hingga saat ini: Instagram Story—yang sering disingkat menjadi Instastory ataupun Snapgram. Melalui fitur ini, kepada followers-nya, seseorang bisa membagikan gambar dan video yang dapat diedit terlebih dahulu secara real-time atau dalam waktu yang hampir bersamaan saat peristiwa tersebut terjadi.

Awalnya, seperti kebanyakan teman-temanku, aku menikmati fitur Instastory dengan cukup aktif. Setiap harinya aku bisa mengunggah 1-5 konten pada Instastoryku. Namun, sampai di satu titik, aku memutuskan untuk berhenti menggunakan fitur ini hingga waktu yang tidak ditentukan. Alasan aku berhenti menggunakan Instastory bukanlah karena fitur ini salah. Akan tetapi, aku berhenti karena kelemahanku sendiri, yang mungkin juga merupakan kelemahan bagi banyak orang, yaitu self-esteem, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “harga diri”.

Jika ditilik lebih dalam, melalui bacaan dari Wikipedia maupun beberapa jurnal psikologi yang pernah kubaca, pada dasarnya self-esteem berarti bagaimana seseorang menilai harga dirinya sendiri.

Dalam pergumulanku pribadi, aku merasa bahwa Instastory telah merusak caraku menilai harga diriku sendiri.

Aku cenderung menempatkan dan mencari harga diriku melalui pengakuan-pengakuan dan pandangan dari orang lain. Ketika zaman beralih menjadi digital, cara yang paling mudah dan efektif untuk ‘menghitung’ harga diriku adalah melalui media sosial. Instastory memberiku kesempatan untuk meliput kehidupanku secara real-time. Para followers-ku bisa mengetahui apa yang sedang aku kerjakan, apa yang sedang aku makan, apa yang sedang aku rasakan, dan banyak hal lainnya melalui tiap-tiap gambar atau video yang kuunggah.

Inilah hal yang menurutku membuat Instastory lebih berbahaya daripada media sosial lainnya seperti Path, Facebook, ataupun Twitter. Melalui visual dan audio yang disajikan secara real-time, tanpa sadar aku telah menjadikan Instastory sebagai sarana untukku memamerkan kehidupanku kepada orang lain. Aku bisa menunjukkan betapa menyenangkannya aktivitas yang kulakukan, betapa enak dan mahalnya makanan yang aku makan, betapa sibuk dan kerennya pekerjaanku, dan banyak hal lainnya.

Tanpa kusadari, aku berjuang untuk melihat diriku terlihat lebih berharga dengan memamerkan kehidupan yang kujalani. Aku jadi sangat tergoda untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang betapa kerennya dan menyenangkannya hidupku. Bahkan, seringkali, tanpa kusadari aku ingin supaya orang lain iri melihat diriku dan kehidupanku.

Sebenarnya, bukanlah hal yang salah untuk mencari dan menemukan harga diri. Dalam pandangan dunia, self-esteem adalah hal yang penting karena hal ini akan mendorong manusia termotivasi untuk menjalani hidupnya. Bahkan, Abraham Maslow, seorang psikolog yang juga teoritikus menempatkan self-esteem atau harga diri sebagai peringkat kedua dalam piramida kebutuhan psikologis manusia.

Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan self-esteem selama kita mencarinya di tempat yang benar. Namun, sayangnya adalah dunia kita saat ini telah kehilangan tempat mencari self-esteem yang benar.

Dalam pergumulanku saat itu, aku membaca sebuah artikel berjudul “Find Your Self-esteem in Someone Else” yang ditulis oleh Jon Bloom. Kutipannya adalah sebagai berikut:

Sekitar pergantian abad ke-20, teori tentang “self-esteem” muncul di bidang psikologi, dan pada tahun 1960 teori ini diterima oleh budaya Barat dan dianggap sebagai salah satu akar utama dari kesehatan mental. Tetapi sesungguhnya teori ini tidak mengatasi masalah mendasar, yaitu keterpisahan dari Allah. Setelah lebih dari 50 tahun mencoba menerapkan teori ini sebagai obat untuk penyakit kita akan identitas, kita mendapati bahwa diri kita hanya semakin terisolasi dan hubungan kita dalam komunitas dan masyarakat hanya menjadi lebih retak. Semua ini terjadi karena kita kita mencari harga diri kita di tempat yang salah dan untuk alasan yang salah.

Perjuanganku untuk menaikkan nilai harga diriku melalui pengakuan dan penghargaan dari orang lain melalui media sosial sesungguhnya berasal dari keterpisahanku dengan Allah. Sadar atau tidak sadar, seringkali aku merasa tidak ada seorangpun yang bisa ataupun mau mengapresiasi, menghargai, mengasihi, dan mengakui diriku kalau aku tidak tampil menawan di hadapan orang lain. Hal ini jelas tidaklah benar. Alkitab dengan jelas mengatakan:

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:4).

“Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekorpun dari padanya yang dilupakan Allah, bahkan rambut kepalamupun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Lukas 12:6-7).

Firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa diriku begitu berharga di hadapan-Nya. Aku diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sang pencipta alam semesta. Bahkan, kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak sedikitpun menghilangkan kasih-Nya kepadaku dan juga kepada seluruh umat manusia. Kita tetap dipandang-Nya berharga, begitu berharga hingga Allah sendiri melalui Yesus Kristus datang ke dunia, mati di kayu salib dan bangkit untuk menebus dosa-dosa kita.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

Mungkin bagi beberapa orang, ayat-ayat di atas terasa seperti hapalan di luar kepala. Namun, ayat tersebut adalah bukti nyata bahwa kasih-Nya kepada kita telah dinyatakan di atas kayu salib. Darah-Nya yang tercurah sudah membuktikan betapa berharganya aku dan kamu di hadapan Allah.

Harga diriku tidak ditentukan dari seberapa banyak likes atau comment yang aku dapatkan di tiap-tiap gambar atau story yang kuunggah. Harga diriku dan harga dirimu begitu mahal, seharga darah yang telah Yesus curahkan untuk menebus dosa-dosa kita.

Pada akhirnya, aku sadar bahwa ketika aku menggunakan Instastory dan media sosial lainnya, seharusnya aku tidak mencari harga diriku di sana. Harga diriku tidak ditemukan pada media sosial. Harga diriku yang sesungguhnya hanya kutemukan pada salib Kristus.

“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19).

Baca Juga:

Ketika Keraguan akan Imanku Membawaku Pada Yesus

Aku dilahirkan di keluarga bukan Kristen yang cukup taat beribadah. Bahkan, kedua orangtuaku pernah menyekolahkanku di sebuah sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Namun, sampai di satu titik, aku mulai meragukan iman yang kupercayai yang pada akhirnya menuntunku kepada Yesus.

Ketika Instagram Menjadi Candu Bagiku

ketika-instagram-menjadi-candu-bagiku

Oleh Amy Ji, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Day My Instagram Account Was Stolen

Beberapa hari yang lalu, ketika aku baru saja terbangun, beberapa pesan muncul di layar ponselku dan memberitahuku bahwa akun Instagram pribadiku telah diretas.

Sepertinya, setelah aku tertidur kemarin malam, seseorang tak dikenal mencoba meretas akun pribadiku, kemudian dia mengunggah beberapa foto menggunakan namaku. Aku pun menjadi panik tatkala melihat linimasa Instagramku dipenuhi dengan foto-foto aneh dan iklan-iklan dalam bahasa yang tidak kumengerti. Hanya dalam satu malam, aku telah kehilangan identitas yang telah kubangun selama bertahun-tahun lewat akun Instagram.

Aku tidak dapat lagi mengontrol foto-foto apa yang diunggah karena aku telah kehilangan kendali atas akun Instagramku. Si peretas telah mengubah pengaturan Instagramku dari akun yang bersifat pribadi menjadi publik, sehingga setiap orang dapat melihat setiap foto yang telah aku unggah.

Aku mencoba segala cara yang aku tahu. Aku coba untuk melapor ke Instagram bahwa akunku telah diretas. Sementara aku berusaha memulihkan akun itu, teman-temanku mulai memperingatkanku bahwa akunku telah diretas. Mereka mengirimkan aku screenshot dari tampilan akunku, lalu aku pun menjadi semakin khawatir. Di dalam rumah, aku berjalan mondar-mandir sambil bergumam, “Apa yang harus aku lakukan?”

Melihat reaksiku yang kebingungan, suamiku melontarkan sebuah pertanyaan yang membuatku tersentak. “Apa yang membuatmu sangat gelisah? Itu kan hanya akun Instagram,” katanya.

Aku menjawab pertanyaannya dengan nada tinggi, “Itu bukan sekadar akun Instagram!” Bagiku, akun Instagramku adalah sebuah harta karun yang menyimpan banyak kenangan dari berbagai peristiwa istimewa. Di dalam akun ini ada foto-foto pernikahan kami. Aku takut kalau aku tidak akan pernah bisa mendapatkan akun itu kembali, dan saat itu juga aku merasa diselimuti oleh perasaan kehilangan.

Namun, aku menyadari bahwa ucapan suamiku itu ada benarnya. Aku hanya kehilangan sebuah akun Instagram. Mengapa aku bisa sampai merasa begitu frustrasi dan kecewa?

Aku mencoba tenang dan melewatkan seharian itu tanpa mengakses Instagram, kemudian aku menemukan jawaban dari pertanyaanku. Akun Instagramku sangat berarti karena di sanalah aku meletakkan identitasku. Koleksi-koleksi foto yang telah aku unggah itu kuanggap sebagai cerminan diriku, kehidupanku, dan juga keluargaku.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mengunggah foto-foto itu ke Instagramku, tapi aku terlalu banyak meluapkan energiku hanya untuk sekadar mempercantik akun itu. Aku memilah foto-foto mana yang bagus, menyuntingnya, dan melakukan segala cara supaya setiap foto yang kuunggah itu terlihat elok. Secara tidak kusadari, apa yang kuperbuat itu telah membentuk diriku.

Rasa kecewaku karena tidak dapat mengakses Instagram itu menunjukkan bahwa aku telah menghabiskan begitu banyak waktu yang pada akhirnya membuat aku begitu terobsesi akan citra diriku di dunia maya.

Peristiwa diretasnya akun Instagramku ini membukakan pandanganku bahwa begitu mudah aku mengalihkan diri dari perjalanan bersama Tuhan. Dengan mudah aku membuang-buang waktu, emosi, dan tenagaku hanya untuk sesuatu yang fana. Aku lebih khawatir akan identitasku di dunia maya daripada bersyukur atas pengorbanan Yesus di kayu salib.

Keesokan harinya, pengelola Instagram telah memulihkan akunku. Semua foto-foto aneh telah dihapus dan aku dapat mengakses kembali setiap foto yang telah aku unggah. Walaupun aku masih belum tahu bagaimana caranya akunku dapat diretas, peristiwa ini mengajariku untuk mengubah sikapku dalam menyikapi Instagram. Jika dulu aku meletakkan identitasku pada sebuah akun Instagram, sekarang aku hanya akan menganggap akun Instagram ini sebagai sekadar tempat untuk membagikan sukacita dan mengapresiasi rekan-rekanku lewat foto-foto yang diunggah.

Aku bersyukur karena akun Instagramku telah pulih, akan tetapi aku terlebih bersyukur karena hubunganku dengan Tuhan juga dipulihkan.

Baca Juga:

Apakah Media Sosial Membuat Kita Lebih Banyak Berdosa?

Saat membuka Facebook, perhatianku tertuju kepada dua buah video. Hanya dalam beberapa detik aku menyadari bahwa video itu menyajikan realitas zaman ini yang begitu ironi. Ada jutaan konten yang entah itu baik atau buruk tersebar di media sosial. Lantas, apakah media sosial membuat kita lebih banyak berdosa?