Posts

Ketika Tak Diajak Jalan-jalan Membuatku Insecure

Oleh Madeleine Grace
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It Sucks To Not Be Invited

Waktu sudah menunjukkan jam 1 dini hari dan aku masih belum tidur. Hatiku dongkol dan pikiranku kacau.

Seharusnya aku tidak merasa seperti ini. Beberapa hari belakangan aku meluangkan waktu bersama orang-orang yang kukasihi. Tapi, ketika aku melihat Instagram Story mereka pergi dengan orang lain dan aku tidak diajak, rasanya menyakitkan!

Aku merasa dikucilkan, dan aku tahu bukan aku sendiri yang merasakan hal seperti ini. Ketika aku bercerita tentang perasaanku kepada orang-orang di sekitarku, mereka pun mengutarakan yang sama: ditolak, dikucilkan, dilupakan, dan diasingkan.

Perasaan-perasaan negatif itu kudengar dari berbagai orang dalam komunitasku. Bahkan dari orang-orang yang kuanggap “keren, pusat perhatian di grup mereka”, sehingga seharusnya mereka tak pernah merasa dikucilkan.

Tapi kenyataannya, ketika kita menjadi bagian dari komunitas yang besar, kita tidak bisa selalu mengajak semua orang di semua agenda kita. Dan, aku mengerti itu. Ada ruang yang terbatas. Bujet yang pas-pasan. Kita pun tak tahu pergumulan setiap orang.

Kadang, aku jugalah yang mungkin membuat orang lain merasa terkucil. Aku mengunggah Instagram Story karena aku ingin pansos ke teman-temanku betapa asyiknya hidupku. Aku mau mereka tahu kalau aku bahagia dengan hidupku, dan aku tidak (selalu) jadi orang yang introver, duduk sendirian di rumah sambil mengenakan piyama. Dan, sejujurnya, aku ingin menunjukkan ke orang-orang yang tidak mengajakku untuk tahu kalau “aku bisa kok tanpa kalian”, “acaraku lebih asyik daripada acara kalian.”

Bagi beberapa di antara kita, bulan-bulan belakangan ini mungkin semakin membuat kita merasa sepi dan terkucil. Kita dibatasi oleh social distancing, kita bimbang memtusukan siapa saja yang bisa kita undang untuk makan tanpa menyinggung yang tak diundang. Sulit rasanya.

Baru-baru ini, kutumpahkan semua kesedihan dan frustrasiku kepada teman dekatku. “Kenapa kita tidak bisa jadi komunitas yang merangkul semua orang?”, “Bagaimana kita bisa mengubah budaya eksklusivitas ini?” Kami berbicara berjam-jam tentang perubahan apa yang bisa kami lakukan.

Tapi, kami tak mendapat jawabannya. Aku sedang dalam perjalanan untuk belajar seperti apakah komunitas yang nyata itu? Dan, bagaimana membawa Surga ke dalam bumi. Namun, aku mulai percaya bahwa adalah mungkin untuk menciptakan budaya inklusivitas dan komunitas yang sehat; untuk memastikan kita saling membangun satu sama lain, bukannya saling menjatuhkan.

Seiring aku membaca firman Tuhan, aku semakin melihat bahwa Yesus menunjukkan pada kita bagaimana berkomunitas dengan baik. Yesus tidak berteman dekat dengan semua orang, dan (mungkin) tidak mengagendakan duduk mengobrol satu-satu dengan semua pengikut-Nya. Yesus memiliki 12 murid, beberapa pengikut lainnya, dan merekalah orang-orang yang menjadi tujuan Yesus—komunitas-Nya, orang-orang yang kepada mereka Dia membagikan makanan dan berdoa bersama.

Tetapi, melampaui lingkaran orang-orang terdekat-Nya, Yesus tidak menghindari atau menolak orang lain karena mereka bukan dari lingkungan dekat-Nya, atau karena mereka datang di saat yang kurang tepat. Yesus tidak mengucilkan siapa pun hanya karena Dia mendapati orang itu mengganggu atau cuma bikin repot saja. Entah mereka seorang penderita kusta, pelacur, prajurit Romawi, atau bahkan anak-anak kecil, Yesus tidak menolak mereka yang datang pada-Nya. Seperti kisah Zakheus si pemungut cukai dalam Lukas 19:1-10, Yesus menjangkau Zakheus, bertandang ke rumahnya dan makan bersamanya.

Melalui teladan ini, Yesus juga mengajari murid-murid-Nya tentang bagaimana hidup berkomunitas dengan benar, dan kita bisa melihatnya dalam Kisah Para Rasul 2:46-47. Dalam bacaan ini, kita mendapati orang percaya mula-mula rutin bertemu, dan mereka bertumbuh setiap harinya:

“Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati.”

Bagaimana kita bisa meneladani cara berkomunitas dalam Kisah Para Rasul pasal kedua itu dalam dunia kita sekarang? Kita setuju inklusivitas adalah konsep yang bagus, tapi bagaimana menerapkannya? Ada beberapa cara yang kupikir dapat kita lakukan. Bersama-sama kita dapat:

1. Berpikir melampaui lingkaran orang-orang terdekat kita (Roma 12:16)

Tidak ada satu pun dari kita berpikir kalau kitalah penyebab masalah atau sosok yang dihindari sampai akhirnya kita tidak dilibatkan lagi dalam acara-acara teman kita. Sungguh luar biasa untuk memiliki kelompok kecil yang berisi teman-teman dekat, tapi marilah kita lihat lebih jauh dari lingkaran kecil itu, untuk menemukan orang-orang lain yang mungkin terpinggirkan. Siapa yang bisa kita jangkau? Adalah seseorang yang ingin kamu ajak untuk meluangkan waktu bersama?

2. Menguji movitasi kita

Ujilah motivasi hati kita sebelum kita mengunggah foto-foto nongkrong bersama atau menceritakan pengalaman tentang acara akhir pekan dengan orang-orang yang tidak kita ajak (Filipi 2:3-4). Artinya bukan berarti kita perlu merahasiakan acara-acara kita, tapi adalah baik untuk peka kepada siapa dan untuk apa kita membagikan pengalaman kita. Jangan-jangan tujuan kita hanyalah ingin pamer dan sombong demi status sosial.

3. Bersiap sedialah

Bersiap sedialah untuk berkata ya (Roma 12:13). Ya, teman kita bisa mengajak teman lainnya. Ya, saudari mereka bisa ikut. Ya, pasangan mereka boleh datang. Jika seseorang lain ingin bergabung dan kita punya kapasitas untuk mengundang orang lebih, kita bisa berkata “ya”.

4. Jadilah penghubung (Efesus 4:2-3)

Tidak mungkin untuk menjadi teman terbaik bagi tiap orang baru yang kita temui di komunitas kita. Tapi, yang bisa kita lakukan adalah menjadi jembatan agar dia dapat mengenal orang-orang lainnya.

5. Buanglah sikap mengucilkan

Marilah saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih (Ibrani 10:24). Kita bisa tanyakan ke teman kita kenapa si A atau si B tidak diajak, atau dengan lembut merekomendasikan agar mereka ikut diajak. Entah pengucilan itu terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, kita bisa menolong teman kita untuk memikirkan juga orang lain dalam komunitas kita.

6. Tunjukkan kasih kepada orang lain

Ketika kita sendiri yang tidak diajak, tetaplah tunjukkan kasih kepada mereka (Roma 12:17-18). Aku mendapati inilah yang paling sulit kulakukan, tapi aku belajar inilah yang sangat penting. Jika kita tetap berpikir positif dan bersikap baik meskipun kita tidak diajak, kita tidak hanya menghindari diri kita dari kepahitan dan rasa insecure, tetapi kita sedang membangun komunitas yang memahami bahwa tidak semua orang dapat diundang dalam segala hal, dan itu tidaklah masalah.

Aku ingin mengenali betul pikiran-pikiran negatif yang menyelubungiku dan agenda-agenda terselubung dalam hatiku; apakah aku orang yang ingin mencari muka atau mengejar kasih dan integritas.

Aku ingin melakukan segalanya yang kubisa untuk menjadikan komunitasku sebagai tempat di mana ketakutan akan ditolak dan dikucilkan tidak lagi menghantui. Komunitas yang dibangun atas kepercayaan dan kasih, bukan di atas perpecahan atau membanding-bandingkan diri, kepahitan, atau perasaan insecure.

Ayo jadilah orang-orang yang sibuk untuk menyambut hangat orang lain dan memberi dengan murah hati, supaya kita tidak lagi terlalu memusingkan akan apa yang orang-orang akan lakukan jika kita tak berada bersama mereka.

Jadilah orang yang teguh dan tidak mudah berpikir negatif.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Aku Sakit Bukan Berarti Tuhan Tidak Mengasihiku

Hampir saja aku kecewa karena Tuhan memberiku penyakit, tetapi aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti tetap mengasihiku dan ingin mengajarkanku sesuatu melalui penyakit Sindrom Nefrotik yang kuderita.

Lebih Dari Kain Kering Bekas

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Rabu, 1 Januari 2020

Pagi itu, sekitar jam setengah lima, aku dan keluarga cukup panik saat mengetahui genangan air banjir mulai memasuki rumah. Sambil memindahkan beberapa barang ke tempat yang lebih tinggi, aku masih terus berharap dan berdoa hujan deras bisa segera reda supaya genangan air tidak makin naik. Namun alam sepertinya berkata lain. Hujan tak kunjung reda, tetap deras, dan air di dalam rumah naik perlahan-lahan, menyebabkan bencana banjir Jakarta dan wilayah sekitarnya kembali terjadi di awal tahun 2020.

Dalam kebingungan dan ketakutanku, pertanyaan yang kulontarkan pada Tuhan dalam doa adalah: “Tuhan, ini aku harus ngapain lagiiiii?”. Akhirnya aku beranikan diri mengambil keputusan. “Pa, ini hujannya enggak berhenti. Airnya makin tinggi. Apa enggak sebaiknya kita keluar dulu aja?” Papa mamaku setuju. Kami masukkan beberapa baju dan makanan kering seadanya secara cepat ke dalam tas, lalu berjalan perlahan-lahan ke luar rumah. Saat itu kondisi banjir di dalam rumah sudah mencapai tinggi di atas lutut. Mama dan adikku berjalan bersama di bawah payung—karena saat itu hujan masih turun dengan sangat deras— sedangkan aku dan papa melakukan pemeriksaan terakhir sebelum meninggalkan rumah, mulai dari mengunci pintu hingga mematikan arus listrik utama. Karena belum menentukan tujuan, kami berempat memutuskan untuk berteduh sebentar di area berkanopi depan komplek yang memang lokasinya lebih tinggi sehingga tidak terdampak banjir.

Singkat cerita, kami akhirnya mengungsi ke kontrakan tanteku yang lokasinya satu komplek dengan kami namun lokasinya lebih tinggi. Kontrakan yang ditinggali tanteku berada di lantai 2, sehingga kami bisa aman sementara di sana. Dari tempat tersebut aku bisa melihat ke area lapangan belakang kontrakan. Biasanya aku melihat beberapa ekor rusa yang berjalan, berlarian, ataupun sedang makan dedaunan dari semak-semak. Namun saat itu, yang kulihat hanyalah genangan air layaknya sungai beserta tetesan air hujan yang masih sangat deras. Aku memikirkan kemana rusa-rusa itu pergi? Aku juga memikirkan apa yang akan terjadi dengan rumahku? Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi dan belum ada tanda-tanda hujan memperlambat derasnya. Akhirnya aku memilih tidur karena tidak tahu bisa melakukan apa lagi.

Aku terbangun pukul delapan pagi dan langsung melihat ke luar. Hujan sudah agak reda namun masih terus turun. Mungkin ini yang biasa disebut sebagai ‘hujan awet’. Saat itu aku tidak bisa mendefinisikan emosiku; perasaan yang campur aduk antara cemas, panik, takut, sedih, tapi di saat yang sama tetap berusaha berpikir jernih supaya bisa tahu apa yang harus dilakukan. Aku hanya bisa menunggu melewati waktu yang terus berjalan. Ketika sedang melamun, tanteku membuatkan sarapan dan aku sangat bersyukur dalam kondisi tersebut aku masih bisa menikmati berkat Tuhan berupa makanan. Sambil menikmati sarapan, aku mendengar kabar dari ayah bahwa ternyata komplek kami kebagian banjir kiriman dari komplek sebelah. Dinding perbatasan yang memisahkan antar komplek entah mengapa jebol—hingga kini pun aku masih belum mengetahui alasan jebolnya kenapa; apakah perbuatan sengaja tangan manusia yang jahil, atau memang ada kerusakan yang belum sempat diperbaiki. Ayahku juga mengatakan bahwa air banjir di komplek semakin tinggi. Ketika mendengar berita ini jujur aku mati rasa. Tidak tahu apakah harus makin sedih, atau makin takut, yang aku ketahui saat itu adalah aku sedang sarapan dan aku harus menghabiskannya.

Sekitar jam dua belas, ayah menyampaikan informasi bahwa sepupunya—yang adalah pamanku—meminta kami untuk mengungsi ke rumahnya yang ada di Tanjung Priok. Kondisi di sana ternyata aman dari banjir. Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan banyak hal, akhirnya kami menyetujuinya. Sebelum kami berangkat, aku dan ayah sekali lagi pulang ke rumah untuk mengambil berkas-berkas pendidikan aku dan adik untuk diselamatkan sementara ke kontrakan tanteku. Ketika sampai di rumah, tinggi airnya sudah mencapai dadaku, itupun berdirinya sambil jinjit. Aku sudah ‘tutup mata’ dengan kondisi tersebut dan hanya fokus pada tujuan utama. Aku tidak bisa menangis lagi melihat pianoku yang posisinya sudah miring dan speaker-nya nyelup ke dalam air, TV yang sudah nyebur, kulkas yang mengapung, dan entah harta benda apa lagi yang aku sudah tidak mau lihat kondisinya. Sebelum keluar rumah, aku sempat berkata dalam hati sambil mengelus dinding: “Baik-baik ya, rumah. Nanti kita bersihin kamu.”

Singkat cerita, kami akhirnya menempuh perjalanan ke salah satu tempat di area Senayan untuk janjian dengan pamanku yang akan mengantar kami ke Tanjung Priok. Kami pergi menggunakan mobil online—ini sungguh pertolongan Tuhan juga karena masih ada bapak driver yang mau mengambil orderan kami. Padahal kondisi jalanan Jakarta banyak yang putus akibat banjir. Beliau mau dan rela mengantar kami, si pengungsi yang belum mandi dari pagi dan kebanjiran, sambil memutar-mutar Jakarta mencari jalan yang bisa ditembus ke arah tujuan. Syukur kepada Tuhan, kami sampai dengan selamat di tempat bertemu, kemudian pamanku mengantarkan kami ke rumahnya, dan tiba juga dengan selamat di Tanjung Priok sekitar pukul enam sore.

Kain kering bekas

Di malam kedua menginap, kami berdiskusi tentang langkah apa yang harus diambil selanjutnya. Setelah mengetahui dari tetangga bahwa banjir di komplek sudah surut, aku dan ayah memutuskan untuk pulang ke rumah duluan di hari Jumat pagi untuk menyicil bersih- bersih rumah. Aku sudah membuat daftar perencanaan, mulai dari alat-alat kebersihan apa saja yang harus dibeli, hingga urutan pekerjaan yang harus dilakukan nanti sesampainya di rumah. Lalu tiba-tiba terbesit suatu hal di dalam benakku: aku butuh kain kering bekas untuk setidaknya mengeringkan kaki dan tangan kami yang pastinya akan selalu basah saat bersih- bersih nanti. Namun aku tidak tahu bisa mendapatkannya di mana. Kemudian aku mencoba iseng mengunggah status di Instagram Story bahwa aku membutuhkan kain kering bekas. Jujur, aku tidak terlalu berharap banyak. Aku bukan tipe yang senang meminta pertolongan dari orang lain. Malah kalau bisa, aku harus berjuang sendiri menyelesaikan masalah hidupku. Aku tidak mau merepotkan orang lain atau melibatkan mereka di dalamnya. Namun, kali ini Tuhan lagi-lagi sedang mengajari aku sesuatu.

Aku sungguh tidak menyangka bahwa apa yang kudapat melebihi harapanku. Pertolongan dalam berbagai bentuk mulai berdatangan; mulai dari kain kering bekas yang aku minta, kiriman makanan dan minuman, alat-alat kebersihan, alas tidur beserta bantal, dan masih banyak lagi bantuan lainnya yang tidak bisa kujelaskan satu-satu. Bahkan beberapa teman- temanku sampai ada yang datang membantu membersihkan rumah. Sungguh pertolongan- pertolongan yang sangat mengejutkanku. Padahal yang aku minta di awal hanyalah kain kering bekas, tapi Tuhan berikan jauh lebih banyak dari itu. Rumahku bersih dalam waktu 2 hari, waktu yang lebih cepat dibandingkan ketika kami mengalami banjir besar yang sama di tahun 2007 silam.

Hal yang menjadi perenunganku dari peristiwa ini adalah bahwa pertolongan Tuhan selalu tepat waktu, dan Ia mampu memberikan lebih dari yang kita mau. Aku tidak menyesal sama sekali telah meminta tolong lewat status Instagram Story tersebut, meski sempat dilanda rasa gengsi dan takut tidak ada yang mau menolongku. Aku menyadari bahwa rasa gengsi ini berakar dari perasaan tidak ingin dikasihani. Karena kalau dikasihani, harga diriku rasanya jatuh. Tadinya aku lebih memilih untuk menyelesaikan berbagai masalahku sendirian, termasuk dalam penanggulangan serta pemulihan dari bencana. Inilah yang kadang menghambatku dalam hal mencari pertolongan. Namun syukur kepada Tuhan dari bencana banjir ini aku belajar bahwa meminta pertolongan adalah hal yang baik untuk dilakukan, dan tidak perlu dikaitkan dengan harga diri atau takut ditolak. Aku percaya kok jika pun aku tidak meng-update status tersebut, anugerah pertolongan Tuhan tetap tersedia. Namun aku sadar saat itu aku tengah dilatih dan diajari sesuatu yang baru oleh-Nya, yang sungguh mengubah pandanganku terkait meminta pertolongan.

Aku belajar bahwa sukacita tidak ditentukan oleh kondisi atau keadaan yang kita kehendaki. Seperti yang pernah aku tuliskan dalam tulisanku sebelumnya, bahwa sukacita identik dengan rasa syukur dan rasa cukup, meski apa yang dialami tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan dan inginkan. Tentu, aku pun tidak ingin kena banjir lagi. Hingga saat ini, kami sekeluarga tetap berupaya sedikit demi sedikit meminimalisir risiko banjir dengan cara melakukan beberapa perbaikan di rumah yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi aku dan ayah. Namun di saat yang sama, kami juga mau percaya kalau pertolongan Tuhan akan selalu ada.

Aku tidak tahu bencana apa yang pernah atau sedang dialami teman-teman saat ini. Terdampak COVID-19, sakit, kehilangan pekerjaan, kehilangan orang yang dikasihi, kondisi ekonomi yang memburuk, atau apa pun itu, tapi aku harap kita bisa sama-sama belajar percaya bahwa Tuhan akan selalu menolong kita. Mungkin dengan cara yang tidak sama dengan yang kita mau. Mungkin dengan waktu yang tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Tak lupa, sukacita itu pun juga tersedia meski kita dilanda penderitaan. Apakah percaya pada Tuhan itu susah? Karena keberdosaan kita: iya, tapi kepercayaan itu bisa dilatih kalau kita mau dan memberi diri ditolong Tuhan.

To GOD be the glory!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tuhanlah Sumber Kekuatan, Sebuah Surat Dariku yang Pernah Kehilangan

Berlarut-larut dalam rasa kehilangan, mungkin bagi sebagian kita itu membuat kita tidak lagi bersemangat, tidak nafsu makan, dan tidak berdaya. Namun, aku percaya bahwa Tuhan Yesus memberikan damai sejahtera bagi kita.