Posts

Tuhan, Runtuhkanlah Tembokku Agar Aku Bisa Memandang-Mu

Oleh Paramytha Magdalena

Aku lahir dan tumbuh di keluarga Kristen yang cukup taat. Sejak kecil hingga kuliah, hidupku tidak jauh dari dunia pelayanan. Kisah-kisah tentang begitu besarnya cinta kasih Tuhan bagi manusia sudah sering kudengar. Namun, menerima dan mengalami sendiri kasih itu, rupanya adalah hal lain.

Perasaan jauh dari kasih Tuhan itu muncul ketika aku merasa ada yang aneh dengan diriku sendiri. Aku kesulitan mengampuni diriku sendiri atas kegagalanku di masa lalu, dan… yang lebih sulit lagi ialah aku merasa kebas dengan perhatian yang diberikan oleh orang lain. Ketika seseorang berbuat baik kepadaku, aku akan merasa diperhatikan dan dicintai. Namun, perasaan itu hanya muncul di awal. Setelahnya, aku merasa biasa saja, atau parahnya aku merasa tidak lagi dikasihi oleh siapa pun. Pemikiran berlebihan ini menuntutku untuk selalu menerima perhatian, padahal dalam realita kehidupan, untuk segala sesuatu ada waktunya. Berangkat dari titik inilah aku pun menjadi sulit merasa dicintai Tuhan.

Kucoba mencari solusi dengan membaca Alkitab, saat teduh, mendengar khotbah, mencari artikel-artikel rohani, dan juga berdoa. Tapi, upaya itu tidak memberiku jawaban yang memuaskan.

Hingga suatu ketika, pada sebuah khotbah yang kudengar, sang pengkhotbah membahas ayat dari Mazmur 127:1 yang berkata, “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.”

Sepenggal ayat ini menohokku. Mazmur 127 diyakini sebagai mazmur yang mengangkat tema seputar campur tangan Tuhan dalam pembangunan rumah, kota, dan keluarga. Kata ‘rumah’ dalam konteks Perjanjian Lama bisa mengacu kepada bangunan, keluarga, atau rumah tangga di dalamnya. Bangsa-bangsa pada masa itu membangun kota mereka dengan benteng dan pengawal kokoh di sekelilingnya. Tujuannya, agar kota itu dapat makmur sekaligus aman dari serangan musuh.

Aku merenung, menerawang relung-relung hatiku, dan kudapati bahwa selama ini aku memang punya maksud yang baik bagi diriku sendiri. Bertolak dari kegagalan di masa lalu, juga mungkin penolakan yang pernah ada, aku membangun tembok-tembok di sekelilingku. Tapi, tembok itu bukan tembok yang memberikan rasa aman dan tenteram. Tembok itu malah menelanku perlahan-lahan, membuatku kelam dan jauh dari sinar kasih Tuhan yang mewujud melalui banyak hal, salah satunya adalah cinta kasih dari sesama manusia. Saat aku mengalami hal buruk, aku segera membatasi relasi dan membangun jarak dengan orang-orang yang telah menyakitiku. Kutarik diriku masuk dan berlindung di dalam tembok.

Sekilas aku merasa aman. Aku tak akan lagi berurusan dengan sakit hati.

Namun… perasaan aman ini adalah aman yang semu, rasa aman yang justru membuatku semakin terasing dan terisolasi. Tembok inilah yang akhirnya menghalangiku untuk merasakan cinta dan hal-hal baik dari Tuhan dan juga orang-orang di sekitarku.

Tak ada cara lain yang dapat menolongku untuk keluar dari tembok kelam ini selain daripada menghancurkannya, lalu menyerahkan hidupku pada Tuhan agar Dia sajalah yang membangun ‘tembok-tembokku’.

Perlahan, berangkat dari kesadaran ini, aku belajar untuk melatih sikap rendah hati. Ketika tembok yang kubangun itu mulai runtuh, aku pun lebih sering mengalami sakit hati dan kekecewaan. Tapi, kini aku belajar untuk memandang itu semua dari perspektif Tuhan. Bahwasannya dalam relasi antar sesama manusia, kekecewaan dan sakit hati adalah bagian tak terpisahkan dari relasi antar sesama orang berdosa. Mungkin hari ini aku yang tersakiti, tapi bisa jadi pula di momen yang lain aku tanpa sengaja yang menyakiti orang lain.

Rapuhnya relasi antar sesama manusia berdosa tidak seharusnya membuatku menarik diri, tetapi seharusnya aku memandang ke atas, kepada Dia yang kasih-Nya sempurna. Tak peduli seberapa dalam kita menikam-Nya dengan pemberontakan kita, tangan kasih Tuhan Yesus tak pernah tertutup untuk menyambut kita.

Dan, oleh kasih-Nyalah kita dimampukan untuk berelasi dan meneruskan kasih itu kepada sesama kita.

Aku mengimani Mazmur di atas. Rumah yang dibangun Allah tidak akan sia-sia. Oleh karena itu, pastikanlah agar ketika kita membangun ‘tembok’ untuk melindungi diri kita, ‘tembok’ itu dibangun oleh Allah sendiri—tembok kerendahan hati, tembok pengampunan, tembok belas kasihan, dan tembok-tembok yang terdiri dari segala rupa buah roh.

Baca Juga:

Ketika Identitas Diriku Kuletakkan pada Ucapan Orang Lain

Di hadapan seorang yang mengasuhku, semua prestasiku dianggap kurang. Masuk 10 besar, dianggap jelek kalau tidak jadi peringkat 1. Lama-lama aku jadi marah dan berupaya keras untuk mematahkan tiap ucapannya.

Jangan Pernah Berakhir Cerita Cinta Kita

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Akhir-akhir ini aku tengah menikmati sebuah lagu yang dibawakan oleh Arsy Widianto yang berjudul “Cerita Cinta”. Lagu ini dirilis tahun 2020 kemarin, namun lagu tersebut awalnya dipopulerkan oleh grup band Kahitna pada tahun 1994 dan diciptakan oleh Yovie Widianto, yang merupakan ayah dari Arsy Widianto.

Sama seperti lagu-lagu romantis pada umumnya, lagu ini pun menceritakan betapa romantisnya cerita cinta; betapa bahagianya mengalami perasaan mencintai dan dicintai. Tak hanya alunan melodinya yang menyenangkan dan menenangkan, lirik lagu yang diciptakan juga mampu membuat hati tersentuh.

Ketika tengah mendengarkan lagu ini di kantor, aku jadi teringat bagaimana aku juga secara pribadi menikmati perjalanan cerita cinta bersama Sang Pencipta dengan segala lika-liku yang menyertainya.

Saat Teduh: Dari Ritual Jadi Kerinduan

Pertama kali aku mengenal dan mengetahui istilah “saat teduh”, aku merasa tertekan. Mengapa? Waktu itu aku melihat aktivitas saat teduh sebagai suatu bentuk ritual ibadah tambahan yang menyita waktuku. Memang tidak cukup hanya beribadah setiap Minggu? Memang tidak cukup jika aku berdoa? Aku selalu berdoa kok; setiap sebelum makan dan sebelum tidur. Kenapa harus ditambah lagi dengan saat teduh setiap pagi? Kira-kira begitu isi pikiranku waktu itu.

Seiring berjalannya waktu, dalam anugerah-Nya aku mengerti bahwa saat teduh bukanlah salah satu dari rutinitas rohani yang harus kita lakukan karena paksaan kewajiban (mandatory). Saat teduh merupakan waktu yang kita siapkan secara pribadi untuk mendengarkan dan merenungkan apa yang mau Tuhan katakan melalui Firman-Nya untuk kita di hari itu. Namun dalam kasusku pribadi, cara Tuhan melatihku untuk disiplin ber-saat teduh sungguh unik:

Setiap kali aku menyukai seorang teman laki-laki, aku pasti berdoa tentang perasaanku, tentang teman yang tengah disukai, juga tentang kegalauanku. Semua hal ini aku doakan setiap aku saat teduh pagi hari. Tidak terluput satu hari pun. Harapannya, agar apa yang aku inginkan terkabul. Harapannya, agar si teman laki-laki pun membalas perasaanku. Singkat cerita, pengalaman menyukai teman laki-laki pada akhirnya seringkali berakhir gagal dan membawaku pada penyesalan serta sakit hati yang pemulihannya cukup memakan waktu lama. Awalnya aku berpikir bahwa aku sangat tidak pantas menjadi pacar siapapun sehingga semua teman laki-laki tidak ada yang menyukaiku. Awalnya. Namun, jika aku melihat lagi ke masa-masa itu, aku menyadari bahwa Tuhan ingin memberitahu aku bahwa:

  1. Identitas dan penerimaan sejati dalam hidupku tidak terletak pada apakah aku disukai teman laki-laki atau tidak, melainkan pada Kristus, yang telah mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:7).
  2. Saat teduh merupakan salah satu bentuk komunikasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Awalnya motivasiku memang hanya ingin curhat terkait perasaan dan kegalauanku ketika menyukai seseorang. Namun lambat laun Tuhan dengan lembut dan sabar mengubah motivasi hatiku yang tadinya hanya fokus ke perasaan dan kegalauan saja, kepada fokus hati yang rindu untuk selalu menyediakan waktu berkomunikasi dengan-Nya setiap hari melalui pembacaan dan perenungan Firman Tuhan.

Terpujilah Tuhan yang selalu sabar mengajar dan mengasihi aku, kini aku dapat menikmati waktu saat teduh pribadi terlepas dari apakah aku tengah menyukai seseorang atau tidak. Bersyukur kepada-Nya ketika aku menangkap pemahaman bahwa Allah rindu berelasi dengan kita umat-Nya. Aku tidak mengatakan bahwa kegalauan akan pasangan hidup tidak boleh dibawa dalam doa ya. Tentu sangat boleh. Ia Maha Mendengar dan Mengetahui. Namun dalam kasus pribadiku, Ia mengubah fokus hatiku sampai aku benar-benar menikmati relasi pribadi dengan-Nya, menikmati berkomunikasi secara khusus dan pribadi dengan-Nya, melalui sebuah aktivitas bernama: saat teduh.

Cerita Cinta-Nya Membuatku Menerima Diri Apa Adanya

Kisah tentang pengorbanan Yesus di kayu salib sudah aku dengar sejak lama. Namun beberapa waktu terakhir ini, terlebih ketika masa-masa Jumat Agung hingga Paskah kemarin, aku kembali merenungkan peristiwa agung tersebut. Bahkan terkadang, aku bertanya-tanya sendiri:

Kenapa sih Tuhan mau mengasihi aku dengan sebegitunya? Sampai harus merasakan jadi manusia dan segala penderitaannya. Bahkan harus sampai mati menanggung murka Allah akibat dosa-dosanya aku dan manusia-manusia lainnya. Kenapa?

Kenapa aku Engkau kasihi? Aku kan berdosa.

Kenapa aku Engkau layakkan menjadi anak dan murid-Mu yang dikasihi?

Sederetan perenungan pribadi ini dijawab oleh satu lagu yang berjudul: Why Have You Chosen Me. Rodger Strader selaku penulis lagu ini mengungkapkan:

I am amazed to know that a God so great could love me so
He’s willing and wanting to bless
His grace is so wonderful, His mercy’s so bountiful
I can’t understand it, I confess

Apa yang Allah telah perbuat untuk kita ternyata memang tidak dapat kita mengerti, tidak bisa kita pahami. Di sini aku makin menghayati arti dari anugerah dan kasih karunia; bahwa semuanya itu benar-benar hanya pemberian cuma-cuma. Bukan hasil dari sesuatu yang aku lakukan, bahkan bukan dari hasil ibadahku. Memahami dan menghayati hal ini kembali membuatku merasa terenyuh dan baper (bawa perasaan) terhadap kasih Allah yang luar biasa untuk aku. Karya salib Yesus menjadi cerita cinta terindah yang tidak bisa tergantikan dengan kisah cinta apapun yang aku impikan, harapkan, atau bayangkan.

Jika Allah saja menerima diriku yang berdosa ini apa adanya, maka aku pun mulai menerima diriku sendiri juga apa adanya. Aku menerima proses memelajari diriku sendiri; mengenal kelebihanku, kekuranganku, karakterku, serta emosiku. Dari proses mengenal diriku sendiri, aku pelan-pelan juga belajar bagaimana mengasihi dan mengenal orang lain dengan hati yang tulus di dalam keberdosaan dan keterbatasanku. Aku pernah menuliskan sedikit kisahku di awal-awal proses mengenal diri sendiri di sini.

* * *

Jika kasih Allah yang sebesar itu dianugerahkan kepada kita manusia berdosa secara cuma-cuma, aku rasa ungkapan romantis dalam bagian akhir lirik lagu “Cerita Cinta” yang ditulis Yovie Widianto pun pasti diungkapkan oleh Sang Pencipta:

“Jangan pernah berakhir cerita cinta kita.”

Baca Juga:

Kejahatan ‘Terbesar’ di Dunia

Kita hidup di dunia yang jatuh ke dalam dosa, dan dosa itu pun mewujud dalam berbagai kejahatan. Tanpa kita sadari, ada satu kejahatan yang kerap tersembunyi dalam topeng rohani kita.

4 Jurus Melawan Pikiran Negatif

Oleh Melissa Koh, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Truths To Guard Your Mind Against Destructive Thoughts

Hanya dengan scrolling di media sosial kepercayaan diri yang kita bangun bisa runtuh dalam sekejap. Kita memang tahu kalau media sosial tidak menampilkan realitas sesungguhnya, tapi terkadang kita pun terjatuh ke dalam perangkap ini.

Izinkan aku menggambarkan isi pikiranku ketika aku tidak melindunginya dari dampak destruktif media sosial:

Aku jadi sebal ketika ada orang lain yang kariernya lebih sukses dariku, dan yang mampu membeli banyak barang sementara aku cuma bisa melihat-lihat saja.

Aku iri atas jalan hidup yang dipilih orang lain, yang tampaknya lebih berbuah dan menjanjikan daripada hidupku. Dulu dan sekarang, aku takut kalau penghasilanku tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan keinginanku. Jadi, aku mulai mendengarkan diskusi seputar investasi dan aku berpikir, “Ini bisa jadi terobosan di hidupku!”

Tapi, sekarang pun aku tetap jadi orang yang khawatir. Aku menenangkan saraf-sarafku dengan melihat-lihat Instagram…tapi cara ini malahan membuatku merasakan kekosongan yang semakin besar dalam hidupku. Aku terus berpikir, ‘seandainya saja…’, dan lingkaran setan pun terus berlanjut.

Selesai bermain Instagram, rasa kecewa dan tidak puas menghantui. Bagaimana caranya kita bisa tetap bersukacita dan merasa cukup sebagai orang Kristen di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa?

Bertentangan dengan apa yang dunia tawarkan, inilah empat kebenaran dari Alkitab yang meneguhkan kita di tengah tekanan dunia.

1. Kita diberkati melebihi harta-harta duniawi

Kapan pun aku merasa hidupku tidak berdampak, aku dihibur oleh kebenaran bahwa ketika kita memilih untuk percaya pada Yesus kita menjadi ahli waris yang berhak menerima janji-janji Allah (Roma 8:17).

Marshall Segal, penulis dari Amerika dalam artikelnya, “Live Like Sons and Daughters of the King” menuliskan demikian:

Pertama, ketika Allah menebus kita, Dia menjamin kita. Dia tidak pernah melupakan ataupun meninggalkan anak-anak-Nya. Bersama Kristus, kita punya jaminan yang kekal. Kedua, kita memiliki keintiman—relasi yang dalam dan memuaskan dengan Bapa Surgawi, yang mengasihi kita tanpa syarat, dan yang janji-Nya melindungi dan memelihara kita. Ketiga, bersama Kristus, kita menjadi ahli waris dari segalanya—perlindungan, keintiman, dan yang kekayaan yang sejati.

Apa yang Allah berikan pada kita tidaklah sama dengan apa yang dunia tawarkan. Di saat kita diminta untuk mendapat pengakuan dari orang-orang, Kristus menyerahkan hidup-Nya agar kita mendapatkan tempat dalam kerajaan-Nya.

Ketika aku berjalan dekat dengan-Nya dan mengikuti panduan Roh Kudus, aku tahu aku jauh diberkati melampaui apa yang dunia sanggup berikan. Daripada mengizinkan diriku habis digerogoti oleh rasa iri hati dan kepahitan, aku dapat bersandar pada Bapa Surgawi dan mengetahui bahwa Dia menyediakan segala yang kubutuhkan.

2. Kita dapat menyerahkan kekhawatiran kita pada Allah

Pilihan kita untuk mengikut Allah berarti mempercayai Dia sepenuhnya. Ketika ketakutan dan kekhawatiran muncul dalam hati kita, segeralah datang ke hadirat-Nya, seperti Filipi 4:6-7 mengingatkan kita:

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”

Menjaga diri untuk tidak khawatir adalah suatu tantangan, terlebih ketika kita merasa terjebak dalam pekerjaan kita sekarang, atau ketika teman-teman kita tampaknya lebih sukses dalam karier mereka. Tapi, ketika kita mengingat bahwa Allah Sang Pencipta ada bersama kita dan kita memilih untuk tetap berada di dekat-Nya, kita dapat menyerahkan segala yang kita rasakan pada-Nya dalam doa.

3. Fokuslah kepada kasih Allah yang tidak terbatas

Setelah lulus dengan gelar sarjana hukum, aku menantang diriku untuk kerja ke kota besar. Aku melamar dengan semangat dan mendapat kerja di sebuah firma kecil yang mengurus registrasi properti intelektual, sebuah pekerjaan yang memang aku inginkan. Tapi, setelah dua bulan aku kewalahan, dan aku merasa kurang diapresiasi.

Aku keluar dari pekerjaan itu dan kembali lagi jadi job-seeker. Masa-masa ini kugunakan untuk merenung dan mencari tujuan Allah bagi hidupku. Memang berat kembali jadi pengangguran di saat teman-temanku lainnya telah bekerja di tempat yang membuat mereka bertumbuh, tapi aku yakin keputusanku untuk keluar itu tepat. Aku butuh pekerjaan yang memberikanku keseimbangan hidup.

Setelah beberapa waktu, aku diterima di tempat kerja yang lebih dekat dengan rumah dan memungkinkanku untuk pulang setiap hari tanpa merasa kewalahan. Aku juga bisa tetap melayani di gereja. Ketika teman-teman sebayaku pergi merantau dan meninggalkan gereja, tetap berada di kota asalku itu rasanya sangat berarti buatku.

Ketika aku mengingat kembali momen-momen itu, aku diteguhkan bahwa sekalipun kita tidak mengerti apa maksud Tuhan atas apa yang kita alami, kita dapat dengan setia menanti Dia (Mazmur 37:7).

Ketika kita terlalu fokus pada apa yang dunia tawarkan atau kepada apa yang tak kita punya, kita akan sulit melihat kasih Allah dan tujuan-Nya bagi hidup kita. Visi Allah bagi kita mungkin bukanlah tentang mewujudkan keinginan atau gaya hidup yang kita dambakan, tapi ketika kita mengikuti arahan-Nya, hidup kita akan berbuah kebenaran.

4. Berinvestasi pada kerajaan yang kekal

Akhirnya, sebagai pengikut Kristus, kita perlu menginvestasikan hidup kita lebih banyak dalam membangun kerajaan Allah. Matius 6:19-21,33 mengingatkan kita bahwa harta di bumi bisa hancur oleh ngengat dan karat atau raib oleh pencuri, tetapi harta di surga akan ada untuk selamanya.

Bagiku, menginvestasikan hidup dalam membangun kerajaan Allah salah satunya ialah menggunakan gaji yang Tuhan telah berikan dan berkati untukku, untuk mendukung rekan-rekan mahasiswa seminari, atau menggunakannya kepada lembaga yang menolong orang-orang yang berkekurangan, terkhusus yang terdampak karena pandemi.

Aku juga mengambil kesempatan untuk memberkati orang lain melalui hal-hal yang bersifat non-material, seperti memimpin kebaktian daring. Meskipun menyisihkan sedikit gajiku berarti aku tidak bisa membeli tas-tas baru atau peralatan kosmetik yang mahal, menggunakan uang itu untuk hal-hal yang lebih bernilai memberiku kepuasan lebih daripada kesenangan duniawi.

Meskipun kita merasa keadaan sedang mendorong kita melampaui batasan kita, sungguh suatu penghiburan untuk mengingat bahwa tidak ada satu hal pun yang terlalu sulit bagi Allah, dan kita bisa bersandar pada anugerah-Nya yang menguatkan kita setiap hari. Di dalam dunia yang terus memikat kita untuk hidup sesuka hati, marilah berdoa dan mencari hikmat-Nya dalam segala musim hidup kita, agar pondasi iman kita tertancap teguh.

Baca Juga:

Teruntuk Kamu yang Sedang Berbeban Berat

Menguatkan kembali pundak yang didera beban terlampau berat sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu upaya yang akan melibatkan derai air mata, dan bukan tidak mungkin pula keputusasaan selalu mengetuk hati kita. Tetapi ingatlah…

2 Cara untuk Berhenti Membanding-bandingkan Diri Sendiri

Oleh Sherrill Wesley
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Avoid The Comparison Game

Pernahkah kamu terjebak dalam perangkap suka membanding-bandingkan? Aku pernah, bahkan sering.

Seiring aku tumbuh dewasa, aku sering dibandingkan dengan saudari kembarku. Meski kami tidak kembar identik, tapi penampilan, karakter, talenta, dan jalan hidup yang kami pilih sering menjadi bahan perbandingan bagi orang lain. Pertanyaan yang diajukan buatku biasanya diakhiri dengan, “Terus, saudari kembarmu gimana?”

Mungkin kamu merasa tidak ada salahnya dong orang kembar itu dibanding-bandingkan? Untungnya, komentar ini dilontarkan oleh teman dan kerabatku yang baik yang memang tidak memengaruhiku secara negatif. Oleh anugerah Allah dan karena kedekatanku dengan saudariku, mereka mengajariku untuk mengenali sifat dan bakat positif saudariku sendiri, juga untuk menyemangatinya.

Tapi beberapa tahun lalu, aku dibanding-bandingkan pada hal lain yang tidak memberiku pengaruh positif. Aku sudah lulus kuliah tapi aku belum mendapat pekerjaan, jauh dari target yang kuatur untuk diriku sendiri. Seiring kekhawatiranku akan masa depan bertambah, aku mulai membandingkan situasiku dengan teman-teman sebayaku. Kapan Tuhan menjawab doaku untukku mendapat kerja dan mampu mengurangi kekecewaan dalam diriku sendiri?

Saat aku menanti jawaban Tuhan, aku merenungkan bacaan dari Yohanes 21:15-25. Setelah Yesus menubuatkan cara kematian Petrus dan memintanya untuk mengikut Dia, Petrus menyadari ada satu murid lain, Yohanes, yang sedang berjalan di belakang mereka. Petrus lantas bertanya pada Yesus, “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” (ayat 21). Jawaban Yesus mengejutkanku, “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (ayat 22)

Itu bukan urusanmu.

Ouch….

Aku merasa Yesus mengatakan itu buatku sebagai jawaban atas perbandingan yang menjadi pergumulanku. Dan aku tidak tahu menjawab apa. Perkataan itu tidak terduga, tapi menunjukkan kasih yang kuat dari Bapa. Yesus tahu inilah saatku untuk menjinakkan pikiranku sendiri dan berhenti berkubang mengasihani diri.

Terdengar kasar, tapi Yesus ingin Petrus melihat bahwa apa yang kelak terjadi pada Yohanes tidak relevan dengan panggilan Petrus. Dalam pikiranku, aku merasa Tuhan bertanya, “Sherril, kamu harus fokus memenuhi tujuanmu dengan mengarahkan pandanganmu kepada-Ku. Apa urusannya buatmu tentang orang-orang lain yang memenuhi panggilan hidup mereka?”

1. Stop berpikir bahwa Allah pilih kasih

Saat aku memikirkan kata-kata di atas, aku pelan-pelan sadar kalau rasa tidak puasku datang dari kepercayaanku yang salah, bahwa Tuhan lebih mengasihi orang lain daripada aku. Aku rasa kasih dan berkat yang Tuhan berikan itu ada jatahnya. Dan, karena Tuhan menolong orang lain menghidupi panggilan hidup mereka, Dia mungkin tidak punya waktu untuk menolongku. Rasanya lucu bagaimana pikiranku salah menafsirkan keadaanku dan malah membuatku percaya pemahaman-pemahaman tidak berdasar yang jelas-jelas bukan dari Tuhan.

Kenyataannya, kapasitas Allah untuk memberkati anak-anak-Nya itu tidak terbatas. Roma 2:11 mengatakan Allah tidak pilih kasih. Allah punya kasih dan perhatian yang cukup untuk diberikan kepada semua anak-Nya. Tak peduli seberapa kuat aku mencoba, aku takkan pernah bisa memahami betapa luas, lebar, panjang, dan dalam-Nya kasih Allah buatku (Efesus 3:18).

Ketika aku memandang pada apa yang temanku punya dan apa yang tidak kupunya, aku gagal melihat bagaimana Allah mencurahkan kasih-Nya buatku. Ketika aku menyamakan panggilan hidupku dengan pekerjaan yang sempurna yang sesuai dengan mauku, aku membatasi tujuan Tuhan dengan keinginanku sendiri. Aku menjadi buta akan cara Yesus membentuk tujuan mulia-Nya dalam hidupku.

Aku belajar untuk menata langkahku dan menghidupi hari-hariku. Di beberapa hari aku fokus menyiapkan pelajaran sekolah minggu di gerejaku. Di hari-hari lain, aku menolong pekerjaan orang tuaku, atau meluangkan waktuku dengan duduk di kaki Yesus dan mendapat penguatan dari firman-Nya seiring aku bergumul dengan banyak penolakan kerja.

Kulakukan tanggung jawab yang Tuhan beri dengan sungguh-sungguh dan jujur, meskipun itu berbeda dari teman-temanku. Memang terasa sakit ketika rencana kita tidak berjalan, tetapi Allah tetap memegangku, dan aku memilih untuk tetap percaya kepada-Nya.

2. Buang jauh-jauh “seandainya saja..”

Di hari-hari ketika segalanya terasa sulit, aku merenung dan menyelidiki keputusan-keputusan yang kuambil di masa lalu. Seandainya….seandainya dulu aku nggak begitu.

Keraguan dan segudang pertanyaan mendadak muncul ketika aku melamun tentang “seandainya saja”. Ketika mataku berfokus pada apa yang aku tidak punya dan ‘seandainya’, aku dengan cepat bisa terjerumus dalam kepahitan dan frustrasi. Namun, ada satu himne yang judulnya “Pandanglah pada Yesus” mengingatkanku untuk tidak terpana pada dunia ini.

Turn your eyes upon Jesus
Look full in His wonderful face
And the things of earth will grow strangely dim
In the light of His glory and grace

Pandanglah pada Yesus
Pandang wajah-Nya mulia
Isi dunia menjadi redup
Di dalam terang kemuliaan-Nya
(diterjemahkan secara bebas)

Semakin aku memandang pada Yesus, hikmat dan kebijaksanaan-Nya menggiringku untuk melihat apa yang benar-benar penting. Kepercayaan diri kita tidak datang dari pencapaian diri atau pengakuan orang lain, karena akan selalu ada orang yang tampak lebih baik dari kita. Kepercayaan diri kita datang dari mengetahui Siapa yang memegang kendali dan Siapa yang memiliki kita.

Allah tidak pernah berubah. Kebaikan-Nya bagi kita selalu tetap. Inilah kebenaran yang memberi kita sukacita dan kedamaian yang tidak dipengaruhi oleh keadaan, dan membebaskan kita dari tekanan untuk selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Tidak peduli di tahapan manakah hidup kita berada sekarang, akan selalu ada keadaan yang mengaburkan fokus kita—tapi aku telah belajar untuk menetapkan pandanganku pada Allah, penulis dan penyempurna imanku (Ibrani 12:2). Kebenaran inilah yang menolongku untuk tetap berjalan pada jalurku, mengingat betapa dalamnya kasih Allah buatku, dan menjauhkanku dari rasa iri, kepahitan, marah, dan mengasihani diriku sendiri.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Cara Tetap Setia Ketika Hidup Terasa Jalan di Tempat

Memilih setia ketika Allah seolah membiarkan hidup kita tidak berprogress bukanlah perkara yang mudah. Tetapi, dengan tetap bersama Allah, itu adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil.

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Oleh Marta Ferreira
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Trade Your Worries For God’s Peace

Kupikir aku adalah orang yang punya ingatan bagus. Orang-orang sering berkata, “Ingetin aku ya….”. Tapi sekarang, aku terkejut karena betapa mudahnya aku melupakan apa yang seharusnya amat penting—siapa Tuhanku—ketika perasaan insecure dan kebohongan menghampiri pikiranku.

Ketika gelombang pandemi pertama kali menjangkau negaraku, Inggris dan kami menjalani lokcdown, aku berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Lalu, ketika kebijakan karantina skala besar dicabut dan aku mulai menata rutinitasku lagi, rupanya wilayah tempat tinggalku harus menjalani sekali lagi lockdown. Seketika perasaan senang dan bebas terbenam kembali.

Aku orang yang suka bersosialisasi dan menikmati pertemuan dengan orang-orang sepanjang minggu, dan betapa senangnya aku ketika bisa beraktivitas secara normal kembali. Tapi, sekarang aku tidak bisa lagi mengikuti ibadah daring bersama dua temanku di rumah, atau pergi nongkrong di akhir minggu dengan rekan gereja. Yang kulihat adalah: aku akan kembali terisolasi.

Menemukan harapan di tengah kesuraman

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Pagi itu, aku tidak mampu mengendalikan perasaanku dan pikiranku dengan cepat dipenuhi ketakutan. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman. Sebuah doa yang kunaikkan dalam ketakutan, bukan rasa percaya.

Namun, saat aku mulai berdoa, secercah cahaya muncul perlahan di tengah badai pikiranku. Untuk setiap kekhawatiranku, aku mulai mengingat ayat-ayat Alkitab. Semakin aku berdiam dalam pikiran yang tenang, lebih banyak inspirasi dari Alkitab yang kuingat. Aku pun kembali teringat akan siapa Bapa dan firman-Nya. Hatiku tak lagi bergejolak, kendati pikiranku masih terasa kalut. Ada setitik kedamaian yang mulai kurasa.

Ratapan 3:21-25 berkata:

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
Selalu baru tiap pagi;
Besar kesetiaan-Mu!
“Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

Kitab Ratapan dipenuhi jeritan hati dari nabi Yeremia yang melihat Israel, bangsanya dihancurkan dan dijarah oleh bangsa asing. Yeremia sudah mencoba memperingatkan Israel berkali-kali bahwa Tuhan memanggil mereka untuk kembali dan percaya hanya pada Allah, tetapi Isral mengabaikan seruan itu.

Namun, terlepas dari kondisi kehancuran tersebut, Yeremia tetap menaruh harapan. Meskipun di sekelilingnya hanya ada kesuraman, dia tetap memiliki harapan. Mengapa? Karena Yeremia mengetauhui siapa Allah—harapan kepada-Nya tidaklah tergantung pada keadaan dunia yang berubah-ubah, tetapi kepada Allah yang kasih dan kedaulatan-Nya senantiasa tetap. Allah yang berdaulat dan telah berjanji untuk menyambut siapa saja yang mencari dan berpaling pada-Nya. Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Hari itu aku diingatkan kembali bahwa harapan kita terletak pada Allah yang sama. Bagiku, itu artinya aku bisa tetap berharap sekalipun pada kenyataannya semua usaha untuk menekan laju penyebaran virus tidak berhasil. Aku bisa tetap punya harapan meskipun aku harus mengalami lockdown kembali, atau meskipun aku khawatir kalau hari-hariku di depan akan menjadi kelam. Seperti nabi Yeremia, kendati keadaan di sekelilingnya suram, aku tahu aku bisa tetap punya harapan. Aku hanya perlu membangkitkan ingatanku akan apa yang menjadi alasanku untuk berharap.

Cara-cara untuk mengingat kembali kebaikan Allah

Kabar baiknya adalah, Tuhan tahu betapa kita ini pelupa. Karena itu, Dia memberi kita instruksi dalam Ulangan 6:6-9 agar umat-Nya menjaga perintah-perintah-Nya dalam hati mereka dengan cara membicarakannya dengan orang-orang di sekitar, menuliskannya di depan pintu, dan mengingatnya senantiasa.

Perintah Allah adalah tanda dari kasih-Nya. Mengaplikasikan apa yang Allah perintahkan pada umat Israel di masa lampau dapat menolong kita mengingat dan berharap pada janji-Nya. Inilah tiga cara sederhana untuk mempraktikkan Ulangan 6:6-9:

1. Arahkan orang lain pada kebenaran dengan kata-kata sederhana

Kita bisa mengingatkan teman-teman atau orang terdekat kita dengan cara mengirimkan mereka chat atau pesan yang berisikan hikmat Alkitab.

Di hari ketika aku mendapat kabar tentang lockdown kedua, kiriman ayat dan doa dari temanku memberikan perbedaan yang signifikan buatku.

2. Kelilingi dirimu dengan firman Tuhan

Aku menuliskan beberapa ayat dan menempelnya di dinding, atau menjadikannya sebagai lockscreen ponselku. Aku memilih ayat-ayat yang menolongku untuk berfokus pada-Nya.

3. Fokuskan pandanganmu pada kebenaran

Meskipun aku sudah mengelilingi diriku dengan banyak ayat, itu tidak berarti aku selalu membaca dan mengaplikasikan maksud ayat tersebut. Namun, ayat-ayat itu selalu menolongku untuk mengingat Allah dan merasa terhibur ketika aku mulai tergoda untuk khawatir.

Banyak kesempatan selama lockdown kedua ini, ketika aku merasa putus asa, merindukan teman-teman, atau aku berkeluh-kesah, gambaran visual dari 1 Tesalonika 5:16-18 datang ke benakku. Aku meminta agar Tuhan menolongku “bersukacita senantiasa, tetap berdoa, dan mengucap syukur dalam segala keadaan”. Saat aku berdoa, aku menyadari ada perubahan cara pandangku. AKu menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani hari-hariku dengan sukacita dan mulai memperhatikan kebutuhan orang lain.

Menulis ayat-ayat dan menempelkannya di dinding adalah baik, tetapi yang paling penting adalah Allah sendiri memberikan Roh-Nya untuk tinggal bersama kita. Roh itu menolong kita untuk berdoa (Roma 8:26-27) di dalam kelemahan kita, dan Roh jugalah yang memimpin pikiran kita kepada kebenaran yang perlu kita ingat. Kesetiaan Tuhan tak hanya terlihat dari apa yang kita baca di Alkitab, tapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah kita lalui. Dia akan menolong kita memilih pemahaman yang benar akan pencobaan, dan mengingatkan kita akan harapan yang kekal, yang tidak akan mengecewakan kita.

Sekarang aku tidak sedang berkata kalau aku telah berhasil mengatasi kekhawatiranku dengan sempurna, tapi pengalaman ini menolongku untuk lebih percaya diri dalam melangkah. Aku masih terjebak dalam lockdown dan banyak hal tetap terasa berat, tetapi aku tahu Tuhan campur tangan dan mampu memberiku damai sejahtera. Aku berdoa agar Tuhan menguatkanku dan menolongku untuk selalu mengingat siapa Dia. Aku percaya Dia akan melakukannya tak cuma untukku, tapi juga kepada setiap orang yang meminta pada-Nya, sebab Tuhan adalah setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Impian Suksesku Kandas

Kondisi pandemi membuat pekerjaanku terguncang, tetapi aku percaya Tuhan tidak tidur, dan melalui kuasa-Nya yang tidak terbatas, Dia menerbitkan kembali sinar harapan yang telah padam kepada orang-orang yang terdampak pandemi.

Suka dan Luka Mengenal Diri Sendiri

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Pada bulan April lalu, aku mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa patah hati yang kualami. Aku belajar bahwa berharap diterima oleh manusia saja tidak akan pernah bisa membuatku merasa cukup atau memperoleh kepuasan sejati (aku sempat menuliskan prosesnya di sini). Aku pikir peristiwa penolakan itu sudah cukup membuatku sadar akan pentingnya berelasi dengan Tuhan dengan motivasi hati yang murni; bukan hanya rutinitas keagamaan belaka. Namun ternyata Tuhan masih ingin membentuk aku dan menyingkapkan hal-hal baru tentang diriku sendiri, meski rasanya sakit dan aku harus terluka secara emosi dalam prosesnya.

Menyadari Masalah di Dalam Diri dari Konflik Relasi

Salah satu hal yang tidak aku sukai dari masa-masa pandemi ini—aku rasa banyak orang bisa merasakan hal yang sama—adalah menurunnya intensitas pertemuan tatap muka. Sehingga semua alur komunikasi diusahakan sebisa mungkin dilakukan melalui media elektronik dan aplikasi pesan singkat. Sayangnya, bahasa chat yang menjadi fitur utama aplikasi tersebut benar-benar terbatas dalam menyampaikan makna pesan ketika berkomunikasi. Tidak ada bahasa tubuh, ekspresi dan intonasi nada bicara yang sebenarnya bisa makin melengkapi makna dari pesan yang ingin disampaikan. Sehingga, salah paham kerap kali terjadi.

Ceritanya begini. Aku berselisih paham dengan salah satu teman kelompok tumbuh bersama (KTB). Di suatu pagi, kami sedang mengobrol santai melalui grup WhatsApp. Ketika sedang membicarakan sebuah topik, aku merasa ada perubahan gaya bahasa chat dari temanku itu. “Terdengar” lebih cuek dan jutek, menurutku. Lalu aku klarifikasi saja di sana apakah dia memang sedang kesal padaku, atau mungkin aku telah menyampaikan hal yang menyinggung perasaannya. Aku meminta dia untuk jujur saja. Ternyata benar. Dia merasa direndahkan oleh kata-kataku. Padahal, aku mengatakan hal yang dimaksudkan untuk kesehatan mentalnya sendiri (saat itu kami tengah membicarakan topik tentang bermain media sosial). Ironisnya, aku meminta dia jujur tapi aku sendiri ternyata tidak siap untuk menerima kejujuran itu. Aku ikut tersinggung, karena motivasiku sama sekali tidak ingin merendahkan atau menggurui dia. Sakit hati karena merasa dihakimi, aku pun meluapkan emosiku di grup tersebut dan berjanji untuk tidak akan berbagi hal baik apapun lagi di sana.

Aku sedih sekali. Tangis air mata tidak dapat kubendung, padahal saat itu aku sedang berada di kantor (bersyukur sekali aku sedang mendapat shift sendirian jadi tidak akan ada yang melihat). Konsentrasiku hilang saat bekerja. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di dalam pikiran: aku mengasihi dia, kenapa dia malah menilaiku begitu? Aku sudah biasa dihakimi orang lain, tapi mengapa dia, yang adalah teman baikku, ikut menghakimiku juga?

Aku berdoa dengan air mata dan tanpa kata-kata. Saat itu hanya kebingungan dan kesedihan yang melanda. Ketika tangisanku sudah mereda, barulah aku bertanya: Tuhan, aku kenapa ya? Aku arahkan pikiranku sejenak untuk merenung, lalu aku mengontak beberapa orang yang kupercaya untuk mencurahkan isi hati. Dari beberapa orang yang kuceritakan masalah ini, ada benang merah yang kuperoleh untuk “pertolongan pertama pada konflik”: tenangkan diri terlebih dahulu. Akhirnya aku putuskan untuk tidak melanjutkan pertengkaran di grup WhatsApp, bahkan temanku itu pun sudah mengontakku secara personal tapi aku putuskan untuk tidak membuka chat darinya. Pertimbangannya karena emosiku masih belum stabil dan aku belum tenang.

Beberapa hari setelahnya, temanku yang lain—masih satu grup KTB yang sama—mengajakku berbincang-bincang lewat telepon. Kondisinya saat itu aku sudah lebih tenang, tapi aku memang masih belum mau berkomunikasi dengan si teman yang berkonflik. Dalam percakapan di telepon, dia mengatakan bahwa ini bukan soal siapa yang paling benar, tapi apa isu pribadi yang ada di dalam diri kami masing-masing? Lalu ia memulai dengan mengajukan dua pertanyaan yang membuatku merenung:

1. Apa yang kamu rasakan saat ini?
2. Apa yang kamu pikirkan saat ini?

Dalam merenungkan dua pertanyaan ini, aku akhirnya menemukan bahwa aku bergumul dengan rasa takut dihakimi, rasa takut ditolak, sehingga aku sering jatuh pada overthinking, dan akibatnya aku menjadi orang yang sangat minder dan rendah diri di segala situasi.

Menarik sejarah hidupku ke belakang, aku menyadari ternyata memang ada beberapa peristiwa di masa lalu yang membuatku merasa dihakimi dan ditolak sampai rasa minder juga rendah diri menguasai. Salah satunya adalah waktu SD aku sering sekali dibandingkan tinggi badannya dengan teman-temanku yang lebih tinggi. Mereka mengejekku karena memang tubuhku pendek. Posturku yang kecil memang sering menjadi bahan olok-olok beberapa teman atau kerabat pada masa itu. Ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh seperti ini ternyata menjadi akar minder dan rendah diri yang tertanam kuat sampai aku dewasa—ini pun baru aku sadari akhir-akhir ini saat masa pandemi. Dan masih ada beberapa peristiwa ‘traumatik’ lainnya yang tidak dapat aku ceritakan secara rinci di tulisan ini. Intinya, secara tidak sadar aku masih membawa luka-luka di masa lalu yang membuatku penuh dengan ketakutan, rasa minder, rendah diri, dan—parahnya—aku mengkonfirmasikan hal-hal itu menjadi identitas sejatiku; bahwa Meista memang perempuan yang penakut, layak untuk minder, dan tidak patut dihargai meskipun memiliki prestasi atau talenta positif. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang Meista karena hidupnya hanya penuh dengan kesalahan—itu pemikiranku.

Menolak Diri Sendiri, Berpura-pura Menjadi Orang Lain

Merenungkan hasil perbincangan kami di telepon, aku tiba-tiba teringat sebuah lirik lagu tentang menjadi diri sendiri. Judulnya: Reflection yang dipopulerkan oleh Christina Aguilera. Lirik lagu original soundtrack dari film “Mulan” ini cukup membantuku untuk merenung: apakah selama ini aku kurang menjadi diri sendiri demi supaya selalu bisa diterima oleh orang lain? Izinkan aku mengutip beberapa penggalan lirik yang aku nikmati dari lagu tersebut:

“Now I see, if I wear a mask, I can fool the world. But I cannot fool my heart.”
(Sekarang aku paham, jika aku menggunakan topeng, aku bisa menipu dunia. Tapi aku tak bisa menipu hatiku sendiri.)

“Who is that girl I see staring straight back at me?”
(Siapakah perempuan yang kulihat sedang menatap langsung ke arahku?)

“Must I pretend that I’m someone else for all time?”
(Haruskah aku berpura-pura menjadi orang lain sepanjang waktu?)

“Why must we all conceal what we think, how we feel?”
(Mengapa kita harus menyembunyikan apa yang kita pikirkan dan rasakan?)

“I won’t pretend that I’m someone else for all time.”
(Aku tak akan berpura-pura menjadi orang lain sepanjang waktu.)

“When will my reflection show who I am inside?”
(Kapan bayanganku akan menunjukkan siapakah diriku yang sesungguhnya?)

Baris terakhir pada lirik lagu tersebut merupakan pertanyaan refleksi untukku pribadi. Sambil berkaca—dalam arti sesungguhnya, berdiri di depan kaca/cermin—aku merenung: apakah aku menaruh identitasku pada penerimaan orang lain? Siapa role model yang ingin kujadikan identitas sehingga aku bisa diterima orang lain dan tidak ditolak lagi? Sebenarnya siapakah perempuan yang sedang aku lihat di cermin ini? Dalam merenungkan hal ini, aku teringat 3 bagian Firman Tuhan yang sebenarnya telah menyatakan identitasku sebagai manusia:

  1. Kita diciptakan segambar dan serupa dengan Allah Sang Pencipta (Kejadian 1:27)
  2. Karena dosa, gambaran tersebut akhirnya rusak dan diri ini sudah kehilangan kemuliaan Allah. Bahkan relasi kita dengan-Nya pun rusak akibat dosa (Roma 3:23)
  3. Yesus Kristus datang ke dalam dunia karena kasih Allah yang begitu besar kepada kita, sehingga relasi antara kita dengan Tuhan kembali dipulihkan oleh karena karya Kristus di kayu salib (Yohanes 3:16)

Mungkin selama ini aku ingin menjadi si A yang, menurutku, parasnya lebih cantik, tubuhnya lebih langsing dan lebih tinggi. Atau aku ingin menjadi si B yang, lagi-lagi menurutku, lebih berprestasi di sekolah atau kampus, lebih jago main musiknya, lebih banyak teman-temannya, lebih besar gaji di kantornya, lebih sukses dan mapan kelihatannya. Dari keinginan-keinginan yang berakar pada hasrat ‘ingin diterima’ tersebut, aku sebenarnya sedang jatuh pada penolakan diri sendiri. Aku merasa diriku tidak berharga—sangat bertolak belakang dengan apa yang tertulis pada kitab Yesaya 43:4a.

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau…”.

Aku malah cenderung melukai mental diriku sendiri (seorang psikolog bernama Guy Winch—pada sebuah artikel tentang bagaimana menghadapi penolakan—memberi istilah self-inflicted: melukai emosi dan harga diri sendiri, merasa jijik pada diri sendiri, dan berdampak pada emosi yang tidak sehat). Sadar bahwa menolak diri sendiri itu tidak baik, pelan-pelan aku mengizinkan diriku untuk belajar mengenal diriku sendiri. Belajar peka tentang bagaimana responku ketika menghadapi konflik dan masalah, apa yang kurasakan jika aku mengalami hal ini dan itu, bagaimana responku saat ada orang-orang yang ternyata menerimaku apa adanya dengan tulus, juga bagaimana responku ketika lagi-lagi dihakimi atau ditolak. Dan yang terpenting: mengizinkan diri untuk ditolong Tuhan dan menjadi rentan (vulnerable). Curt Thompson dalam bukunya yang berjudul “The Soul of Shame” menuliskan:

“Bagian-bagian dari kita yang terasa paling rusak dan yang paling kita sembunyikan adalah bagian-bagian yang paling butuh dikenal oleh Allah, agar bisa dikasihi dan disembuhkan.”

Dari sini, pelan-pelan aku mengizinkan diriku untuk berproses dalam mengenal diri sendiri. Mengakui kerapuhanku, luka masa lalu, dan akar pahit yang mengganggu ke hadapan Tuhan. Memberi diriku untuk dikasihi dan disembuhkan oleh-Nya—kadang aku hanya tahu secara teoretis bahwa Tuhan mengasihiku, tapi terlalu takut dan mengerikan jika aku harus melakukan penyerahan diri secara total, termasuk menyerahkan luka-luka dan akar pahit hidup ini ke dalam tangan-Nya. Butuh perenungan yang tidak sebentar sampai aku benar-benar siap untuk percaya dan merasa dikasihi oleh-Nya.

Lega dan Bebas Menjadi Diri Sendiri dalam Yesus

Akhirnya aku tidak lagi menjadikan manusia manapun sebagai role model identitasku, karena aku paham satu-satunya Manusia yang sempurna hanyalah Yesus Kristus. Dialah role model identitasku. Benar, bahwa aku hanya manusia berdosa dan bukan Juruselamat seperti Dia. Tapi menyadari dan menghayati hal ini membuatku menikmati fakta bahwa aku akan selalu berhadapan dengan sesama orang berdosa, termasuk menghadapi diriku sendiri yang juga berdosa. Oh iya, namun bukan berarti kita tidak boleh meneladani sesama manusia ya. Tetap boleh, kok. Maksudku, aku yakin Tuhan hadirkan orang-orang di sekitar kita untuk menjadi teladan, panutan, dan inspirasi bagi sesama. Semisal kita mengagumi seorang artis karena talentanya, atau pendeta di gereja karena kebijaksanaannya, atau bahkan teman sepersekutuan kita karena teladannya yang lemah lembut, menurutku itu tidak masalah jika kekaguman tersebut mendorong kita untuk semakin bertumbuh. Yang bisa membuat kita ‘tergelincir’ adalah ketika kita sudah menancapkan identitas kita harus semakin serupa dengan orang yang kita idolakan tersebut. Padahal kita sama-sama orang berdosa, dan padahal seharusnya kita semakin serupa dengan Yesus Kristus (Roma 8:29).

Mengenal diri sendiri dengan baik merupakan proses yang akan berlangsung terus-menerus seumur hidup. Sekarang, dengan kasih karunia Allah, aku bersukacita dan bebas mengenal diriku sendiri lebih dalam. Dulu aku stres memikirkan dan mengharapkan apa yang orang lain pandang tentang diriku. Setelah itu merasa terluka dan kecewa karena ternyata pandangan mereka berbeda dengan apa yang aku pikir dan harapkan. Sekarang aku ‘stres’ kalau tidak menjadi diriku yang apa adanya, karena aku merasa palsu jika tidak jujur dengan diri sendiri. Dan aku percaya: Tuhan pasti menolong kita masing-masing untuk mengenal diri kita yang sebenarnya, lalu di saat yang sama menolong kita juga untuk mengenal dan berelasi dengan Dia di dalam kasih-Nya yang tak terbatas. Maukah kita bersukacita dengan diri sendiri dan menyerahkan luka-luka kita kepada-Nya? (Ngomong-ngomong, aku sudah baikan dengan teman KTB-ku itu, dan konflik tersebut membuat kami justru jadi makin mengenal lebih dalam satu sama lain. Tuhan memperbaiki relasi kami dan menolong kami untuk berdamai melalui kasih dari teman-teman lain dalam grup itu. Terpujilah Tuhan!).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental

Pergi menemui ahli kesehatan mental bukanlah aib. Aku punya pengalaman pribadi bertemu rutin dengan konselor untuk menolongku mengendalikan emosiku. Lewat pertemuan itulah Tuhan menolongku.

Lepas dari Perasaan Insecure? Kita Bisa Kok

Tiap kita punya kelemahan. Mungkin kita merasa fisik kita tidak rupawan, keuangan kita serba pas-pasan, atau prestasi kita yang terpuruk. Ketika dunia memandang sinis kita dan menunjuk kelemahan-kelemahan kita sebagai tanda kekalahan, pandanglah kepada Tuhan. Dia yang membentuk kita, Dia jugalah yang menyertai kita.

Bersama-Nya, kelemahan-kelemahan kita mungkin akan tetap ada, tetapi itu bisa dipakai-Nya untuk memberkati kita dan sesama, sebagaimana kisah Daud yang kala itu berhadapan dengan Goliat.

Kelemahan apa dalam dirimu yang saat ini kamu syukuri? Yuk sharingkan di kolom komentar.

Ketika Tak Diajak Jalan-jalan Membuatku Insecure

Oleh Madeleine Grace
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It Sucks To Not Be Invited

Waktu sudah menunjukkan jam 1 dini hari dan aku masih belum tidur. Hatiku dongkol dan pikiranku kacau.

Seharusnya aku tidak merasa seperti ini. Beberapa hari belakangan aku meluangkan waktu bersama orang-orang yang kukasihi. Tapi, ketika aku melihat Instagram Story mereka pergi dengan orang lain dan aku tidak diajak, rasanya menyakitkan!

Aku merasa dikucilkan, dan aku tahu bukan aku sendiri yang merasakan hal seperti ini. Ketika aku bercerita tentang perasaanku kepada orang-orang di sekitarku, mereka pun mengutarakan yang sama: ditolak, dikucilkan, dilupakan, dan diasingkan.

Perasaan-perasaan negatif itu kudengar dari berbagai orang dalam komunitasku. Bahkan dari orang-orang yang kuanggap “keren, pusat perhatian di grup mereka”, sehingga seharusnya mereka tak pernah merasa dikucilkan.

Tapi kenyataannya, ketika kita menjadi bagian dari komunitas yang besar, kita tidak bisa selalu mengajak semua orang di semua agenda kita. Dan, aku mengerti itu. Ada ruang yang terbatas. Bujet yang pas-pasan. Kita pun tak tahu pergumulan setiap orang.

Kadang, aku jugalah yang mungkin membuat orang lain merasa terkucil. Aku mengunggah Instagram Story karena aku ingin pansos ke teman-temanku betapa asyiknya hidupku. Aku mau mereka tahu kalau aku bahagia dengan hidupku, dan aku tidak (selalu) jadi orang yang introver, duduk sendirian di rumah sambil mengenakan piyama. Dan, sejujurnya, aku ingin menunjukkan ke orang-orang yang tidak mengajakku untuk tahu kalau “aku bisa kok tanpa kalian”, “acaraku lebih asyik daripada acara kalian.”

Bagi beberapa di antara kita, bulan-bulan belakangan ini mungkin semakin membuat kita merasa sepi dan terkucil. Kita dibatasi oleh social distancing, kita bimbang memtusukan siapa saja yang bisa kita undang untuk makan tanpa menyinggung yang tak diundang. Sulit rasanya.

Baru-baru ini, kutumpahkan semua kesedihan dan frustrasiku kepada teman dekatku. “Kenapa kita tidak bisa jadi komunitas yang merangkul semua orang?”, “Bagaimana kita bisa mengubah budaya eksklusivitas ini?” Kami berbicara berjam-jam tentang perubahan apa yang bisa kami lakukan.

Tapi, kami tak mendapat jawabannya. Aku sedang dalam perjalanan untuk belajar seperti apakah komunitas yang nyata itu? Dan, bagaimana membawa Surga ke dalam bumi. Namun, aku mulai percaya bahwa adalah mungkin untuk menciptakan budaya inklusivitas dan komunitas yang sehat; untuk memastikan kita saling membangun satu sama lain, bukannya saling menjatuhkan.

Seiring aku membaca firman Tuhan, aku semakin melihat bahwa Yesus menunjukkan pada kita bagaimana berkomunitas dengan baik. Yesus tidak berteman dekat dengan semua orang, dan (mungkin) tidak mengagendakan duduk mengobrol satu-satu dengan semua pengikut-Nya. Yesus memiliki 12 murid, beberapa pengikut lainnya, dan merekalah orang-orang yang menjadi tujuan Yesus—komunitas-Nya, orang-orang yang kepada mereka Dia membagikan makanan dan berdoa bersama.

Tetapi, melampaui lingkaran orang-orang terdekat-Nya, Yesus tidak menghindari atau menolak orang lain karena mereka bukan dari lingkungan dekat-Nya, atau karena mereka datang di saat yang kurang tepat. Yesus tidak mengucilkan siapa pun hanya karena Dia mendapati orang itu mengganggu atau cuma bikin repot saja. Entah mereka seorang penderita kusta, pelacur, prajurit Romawi, atau bahkan anak-anak kecil, Yesus tidak menolak mereka yang datang pada-Nya. Seperti kisah Zakheus si pemungut cukai dalam Lukas 19:1-10, Yesus menjangkau Zakheus, bertandang ke rumahnya dan makan bersamanya.

Melalui teladan ini, Yesus juga mengajari murid-murid-Nya tentang bagaimana hidup berkomunitas dengan benar, dan kita bisa melihatnya dalam Kisah Para Rasul 2:46-47. Dalam bacaan ini, kita mendapati orang percaya mula-mula rutin bertemu, dan mereka bertumbuh setiap harinya:

“Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati.”

Bagaimana kita bisa meneladani cara berkomunitas dalam Kisah Para Rasul pasal kedua itu dalam dunia kita sekarang? Kita setuju inklusivitas adalah konsep yang bagus, tapi bagaimana menerapkannya? Ada beberapa cara yang kupikir dapat kita lakukan. Bersama-sama kita dapat:

1. Berpikir melampaui lingkaran orang-orang terdekat kita (Roma 12:16)

Tidak ada satu pun dari kita berpikir kalau kitalah penyebab masalah atau sosok yang dihindari sampai akhirnya kita tidak dilibatkan lagi dalam acara-acara teman kita. Sungguh luar biasa untuk memiliki kelompok kecil yang berisi teman-teman dekat, tapi marilah kita lihat lebih jauh dari lingkaran kecil itu, untuk menemukan orang-orang lain yang mungkin terpinggirkan. Siapa yang bisa kita jangkau? Adalah seseorang yang ingin kamu ajak untuk meluangkan waktu bersama?

2. Menguji movitasi kita

Ujilah motivasi hati kita sebelum kita mengunggah foto-foto nongkrong bersama atau menceritakan pengalaman tentang acara akhir pekan dengan orang-orang yang tidak kita ajak (Filipi 2:3-4). Artinya bukan berarti kita perlu merahasiakan acara-acara kita, tapi adalah baik untuk peka kepada siapa dan untuk apa kita membagikan pengalaman kita. Jangan-jangan tujuan kita hanyalah ingin pamer dan sombong demi status sosial.

3. Bersiap sedialah

Bersiap sedialah untuk berkata ya (Roma 12:13). Ya, teman kita bisa mengajak teman lainnya. Ya, saudari mereka bisa ikut. Ya, pasangan mereka boleh datang. Jika seseorang lain ingin bergabung dan kita punya kapasitas untuk mengundang orang lebih, kita bisa berkata “ya”.

4. Jadilah penghubung (Efesus 4:2-3)

Tidak mungkin untuk menjadi teman terbaik bagi tiap orang baru yang kita temui di komunitas kita. Tapi, yang bisa kita lakukan adalah menjadi jembatan agar dia dapat mengenal orang-orang lainnya.

5. Buanglah sikap mengucilkan

Marilah saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih (Ibrani 10:24). Kita bisa tanyakan ke teman kita kenapa si A atau si B tidak diajak, atau dengan lembut merekomendasikan agar mereka ikut diajak. Entah pengucilan itu terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, kita bisa menolong teman kita untuk memikirkan juga orang lain dalam komunitas kita.

6. Tunjukkan kasih kepada orang lain

Ketika kita sendiri yang tidak diajak, tetaplah tunjukkan kasih kepada mereka (Roma 12:17-18). Aku mendapati inilah yang paling sulit kulakukan, tapi aku belajar inilah yang sangat penting. Jika kita tetap berpikir positif dan bersikap baik meskipun kita tidak diajak, kita tidak hanya menghindari diri kita dari kepahitan dan rasa insecure, tetapi kita sedang membangun komunitas yang memahami bahwa tidak semua orang dapat diundang dalam segala hal, dan itu tidaklah masalah.

Aku ingin mengenali betul pikiran-pikiran negatif yang menyelubungiku dan agenda-agenda terselubung dalam hatiku; apakah aku orang yang ingin mencari muka atau mengejar kasih dan integritas.

Aku ingin melakukan segalanya yang kubisa untuk menjadikan komunitasku sebagai tempat di mana ketakutan akan ditolak dan dikucilkan tidak lagi menghantui. Komunitas yang dibangun atas kepercayaan dan kasih, bukan di atas perpecahan atau membanding-bandingkan diri, kepahitan, atau perasaan insecure.

Ayo jadilah orang-orang yang sibuk untuk menyambut hangat orang lain dan memberi dengan murah hati, supaya kita tidak lagi terlalu memusingkan akan apa yang orang-orang akan lakukan jika kita tak berada bersama mereka.

Jadilah orang yang teguh dan tidak mudah berpikir negatif.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Aku Sakit Bukan Berarti Tuhan Tidak Mengasihiku

Hampir saja aku kecewa karena Tuhan memberiku penyakit, tetapi aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti tetap mengasihiku dan ingin mengajarkanku sesuatu melalui penyakit Sindrom Nefrotik yang kuderita.

Kala Instagram Merenggut Sukacitaku

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Suatu ketika, aku melihat status temanku di Facebook. “Untuk saat ini tidak akan aktif dalam media sosial manapun. Seluruhnya telah menjadi racun bagiku dan mungkin hanya bisa menghubungiku lewat WA saja,” tulisnya. Dengan membaca status itu, aku menerka, mungkin saja temanku ini sedang bergumul karena ketergantungan pada media sosial. Aku lalu merefleksikan pada diriku sendiri, apakah aku mengalami yang sama?

Saat aku menjelajah Instagram, kulihat story teman-temanku berjejer. Ketika kubuka, kulihat betapa aktif dan banyaknya kegiatan yang mereka lakukan. Tiba-tiba, aku merasa kepercayaan diriku ambruk. “Kapan aku bisa seperti itu? Fotonya bagus banget! Kalau dibandingin denganku, aku sepertinya tidak ada apa-apanya. Aduh, kok aku gak seberuntung dia. Aku harus posting juga deh foto ini supaya kelihatan keren!” Tanpa kusadari, aku melewatkan waktu dua jam untuk melihat story teman-temanku dan membandingkannya dengan diriku sendiri, bahwa aku sepertinya selalu kurang jika dibandingkan dengan unggahan teman-temanku itu.

Segera kututup Instagramku dan berdoa, “Tuhan, ampunilah aku yang menganggap diriku tidak lebih baik dari orang lain, terlebih aku telah membuat Engkau terpojokkan. Engkau yang telah menciptakanku dengan sangat baik adanya, tapi aku tidak mensyukuri karya-Mu yang luar biasa dalam diriku ini.”

Aku ingat khotbah dari pendetaku saat kebaktian Minggu di gereja. Kira-kira beginilah kata-katanya, “Jikalau kamu merasa dirimu berharga (sebab Allah telah menciptakan kamu), maka hal-hal berharga lainnya (uang, jabatan, kemewahan) yang tidak kamu miliki bukanlah standar yang membuat dirimu berharga.” Jika saat ini kita tak punya baju bagus, rumah mewah, kendaraan yang keren, itu tidaklah masalah. Kepemilikan atas benda-benda tersebut bukanlah indikator seberapa berharganya diri kita. Kita berharga karena Allah yang telah menciptakan kita. “Untuk mencapai kepuasan diri, maka lihatlah betapa berharganya dirimu di hadapan Tuhan.” Dari perenungan itu, aku menyadari bahwa kunci kebahagiaan sejatinya bukanlah ada pada apa yang belum kita miliki atau apa yang ingin kita tambahkan, melainkan pada apa yang sudah kita miliki: talenta dan karunia yang telah Allah berikan.

Manusia adalah imago Dei, segambar dan serupa dengan Allah seperti tertulis dalam Kejadian 1:26a-27. Citra kita sebagai gambaran Allah adalah sebuah keistimewaan. Meski kita telah jatuh ke dalam dosa, Allah tetap menjadikan kita istimewa hingga Dia datang ke dunia dalam rupa Kristus untuk menyelamatkan kita.

Aku adalah satu-satunya di antara sekian banyak umat manusia di dunia ini. Saat aku belajar biologi, aku mengetahui bahwa tidak ada satu pun dari antara seluruh umat manusia memiliki DNA yang sama. Bahkan, dua orang yang kembar identik pun DNA-nya berbeda. Tak ada satu pun manusia yang tak berharga. Semuanya diberi talenta dan kemampuan yang berbeda-beda, supaya setiap dari kita bisa saling melengkapi di dalam persekutuan yang bertumbuh dalam Tuhan.

Aku sangat bersukacita membayangkan betapa beruntungnya aku memiliki Tuhan yang sangat besar dan menyayangiku dengan sangat istimewa. Terlebih lagi, Tuhan mengenali satu persatu umat-Nya, yang Dia bentuk dengan tangan-Nya sendiri (Yeremia 1:5). Aku masih terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Godaan memang selalu datang. Ilah-ilah palsu dunia ini merayuku dan menarikku untuk menjauh dari Tuhan dengan mengajakku untuk memercayai bahwa diriku kurang ataupun tidak berharga.

Menikmati media sosial dengan perspektif baru

Aku tidak menutup akun media sosialku. Menurutku, banyak hal positif yang aku dapatkan dari media sosial, seperti berita dan informasi, kondisi teman-teman lamaku, keluargaku yang jauh, bahkan bekerja pun lewat media sosial. Hal yang aku lakukan agar media sosial tidak lagi membuatku tidak bersukacita yaitu dengan cara menggunakannya sesuai porsi yang tepat. Aku juga belajar untuk mengatur waktu dan mengendalikan diriku sendiri saat bermain media sosial. Saat ini aku sangat bersukacita dengan apa yang sudah aku miliki dari Sang Pemilik itu sendiri.

Ravi Zacharias, penulis buku “The Grand Weaver” menyebut-Nya dengan istilah “Sang Penenun Agung”. Aku sangat menyukai sebutan itu. Tuhan telah “menenunku” sedemikian rupa dalam suatu tujuan dan ketetetapan yang kekal. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 139:13-17 “Engkaulah yang membuat bagian-bagian halus di dalam tubuhku dan menenunnya di dalam rahim ibuku. Terima kasih karena Engkau telah membuat aku dengan begitu menakjubkan! Sungguh mengagumkan kalau direnungkan! Buatan tangan-Mu sungguh ajaib—dan semua ini kusadari benar. Pada waktu aku dibentuk di tempat tersembunyi, Engkau ada di sana. Sebelum aku lahir, Engkau telah melihat aku. Sebelum aku mulai bernafas, Engkau telah merencanakan setiap hari hidupku. Setiap hariku tercantum dalam Kitab-Mu! Tuhan, sungguh indah dan menyenangkan bahwa Engkau selalu memikirkan aku. Tidak terhitung betapa seringnya pikiran-Mu tertuju kepadaku. Dan ketika aku bangun pada pagi hari, Engkau masih juga memikirkan aku.” (FAYH).

We are so precious, kita sungguh berharga.

Baca Juga:

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Mengatasi khawatir itu susah-susah gampang. Kita tahu janji Tuhan, tapi hati ini kerap menolaknya. Yuk simak 4 jurus ini untuk mengatasinya.