Posts

Pekerjaan Impian Tak Selalu Datang di Awal

Oleh Chia Poh Fang

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things I Learned When I Couldn’t Find a Job

Setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk mendedikasikan satu tahunku melayani di organisasi nirlaba yang menjangkau anak-anak muda. Kupikir, Hei! Aku kan masih muda. Aku punya gelar dari universitas yang bagus. Pastinya aku gak akan susah buat dapetin kerja.” 

Tapi, aku salah.

Setahun kemudian, krisis ekonomi melanda kawasan Asia pada tahun 1997. Atau di Indonesia dikenal dengan sebutan “krismon”. Jumlah pencari kerja jauh lebih banyak dibandingkan lapangan kerjanya sendiri. Butuh waktu sembilan bulan sampai akhirnya aku mendapatkan pekerjaan full-time. 

Meski tahun perjuangan kita berbeda, mungkin ada salah satu di antara kita yang pernah mengalami hal yang sama sepertiku—merasa muda, yakin akan masa depan cerah, tapi kemudian ketika dihadapkan pada keadaan yang sulit, kamu merasa ingin menyerah saja. Tapi, kuharap apa yang kubagikan dalam tulisan ini dapat menolongmu melewati masa-masa sulitmu. 

Tak peduli seoptimis apa pun kamu, akan ada saatnya ketika kamu meragukan dirimu sendiri… dan itu wajar

Waktu kamu mengirimkan lamaran yang jumlahnya mungkin tak terhitung, ikut wawancara, lalu menunggu hasilnya, mungkin kamu berharap banyak pada momen itu, tapi kemudian malah kecewa. Ketika perjuanganmu seperti jalan di tempat, mungkin kamu akan jadi sepertiku yang meragukan kemampuan sendiri. Apakah aku tidak cukup baik? 

Aku telah melewati dua masa berbeda. Jika dulu aku yang diwawancara, sekarang akulah yang mewawancarai orang. Izinkan aku meyakinkanmu bahwa kalau kamu sudah masuk ke tahapan wawancara, artinya kamu punya keterampilan yang diperlukan. Tapi, proses rekrutmen kerja itu sangat subjektif dan bergantung pada banyak faktor. Jadi, kalau kamu gagal mendapat pekerjaan setelah proses yang panjang, itu bukan berarti kamu gagal.

Selama berbulan-bulan menganggur, Mazmur 139:14-18 jadi ayat yang menyemangatiku. “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya… Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam Alkitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.”

Ketika aku meragukan diri sendiri, aku diingatkan bahwa Tuhan menciptakanku dengan begitu indah, dan hidupku ada dalam kendali-Nya. Aku senantiasa ada dalam pikiran-Nya dan Dia selalu bersamaku. Tuhan tahu apa yang aku dan kamu alami. Dia peduli pada segala ketakutan dan kekhawatiranmu. Karena Dialah yang menciptakan dan memegang tangan kita, Dia jugalah yang akan memimpinmu pada pekerjaan yang tepat untukmu, pada waktu yang tepat juga.

Kamu pun mungkin akan meragukan Tuhan…

Selama masa menanti pekerjaan tetap, aku membuat jurnal dan menulis dalam satu catatan: “Apakah aku menjadi batu sandungan bagi orang tuaku? Ayahku membuang-buang waktu setelah lulus dengan bekerja di organisasi nirlaba. Aku tidak ingin jadi beban bagi siapa pun, tapi aku merasa kalau sekarang akulah beban itu. Alih-alih bisa memberi gajiku buat orang tuaku, aku malah masih menerima uang dari mereka.”

Waktu itu aku bertanya-tanya tentang janji Tuhan di Matius 6:33, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.” Apakah janji ini benar? Aku sudah melakukan perintah ini dengan melayani di lembagai nirlaba, tapi sepertinya Tuhan tidak memenuhi janji-Nya untuk memberikanku “semua yang kuingini.” 

Bisakah aku benar-benar mempercayai firman-Nya? Bahkan, apakah mengikut Tuhan itu memberi manfaat buatku? Saat itu, sebuah buklet dari Our Daily Bread Ministries yang berjudul “Mengapa Orang Kristen Ragu?” memberiku banyak dorongan. Buku itu meyakinkanku bahwa aku dapat menyampaikan keraguanku kepada Tuhan dengan jujur, dan Dia bersedia membantu kita mempercayai-Nya.

Kehidupan nabi Habakuk menggemakan kebenaran ini karena dia sulit memahami karakter Tuhan dengan perbuatan-Nya. Habakuk meratap (Habakuk 1:1), dan Tuhan tidak menolaknya. Dengan sabar Tuhan menjelaskan rencana-Nya, sehingga di akhir kitab, Habakuk dapat mengumandangkan dengan yakin, “Sekalipun pohon ara tidak berbunga… aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (3:17-19).

Saat aku bergumul dengan Tuhan melalui keraguanku, Dia membawaku ke tingkatan iman dan pengenalan yang lebih dalam akan Pribadi-Nya. Semua ini kudapatkan lewat berdoa dan mempelajari firman-Nya. Aku belajar melihat sifat Allah yang tetap, alih-alih membiarkan keadaanku sendiri yang berubah-ubah untuk menentukan penilaianku akan karakter-Nya. 

Selanjutnya, aku menulis ini di jurnalku: “Hidup oleh iman, bukan karena melihat” mengharuskan kita untuk melepas kecenderungan kita menebak-nebak masa depan kita sendiri. Kita harus percaya dan patuh sepenuhnya pada firman Tuhan sekalipun jalan di depan kita terasa suram.

Tuhan mengundang kita untuk percaya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya. Tuhan dapat kita andalkan sepenuhnya. Saat kamu menyiapkan berkas lamaran, bersiap ikut tes seleksi, dan menghadiri wawancara, percayakanlah prosesnya kepada Tuhan. Proses ini ada dalam kedaulatan Tuhan. Lolos atau tidaknya kita, Tuhan selalu menyertai dan memberikan jalan keluar. 

Hidupmu seperti naik roller-coaster, tapi kamu tidak naik sendirian. Ada Tuhan menemanimu. 

Masa-masa mencari kerja bisa jadi masa yang menyenangkan untuk kita mengalami perjalanan iman, tapi bisa juga jadi seperti naik roller-coaster yang menguji adrenalinmu. Ada hari ketika kamu penuh iman dan harapan, tapi ada juga hari ketika kamu ragu dan putus asa. Aku ingat bagaimana antusiasnya aku menanti panggilan wawancara, tapi pernah juga aku putus asa saat tak ada jawaban pasti. Namun dalam segalanya, Tuhan tetap beserta. 

Mungkin kamu khawatir tabunganmu akan habis atau kamu tidak punya cukup uang untuk membiayai diri sendiri kalau belum juga dapat kerja. Naluri kita sebagai manusia lebih suka jika Tuhan seketika memberi dengan berlimpah, alih-alih memberi kita “jatah” hari demi hari. Tetapi, Bapa kita yang pengasih berbisik, Percayalah kepada-Ku. Sama seperti Dia menggunakan gagak dan janda untuk memelihara Elia (1 Raja-raja 17:1-9), tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Kita dapat mengandalkan kasih dan kuasa-Nya untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari.

Kembali pada pengalamanku dulu, setelah sembilan bulan mencari pekerjaan, akhirnya aku diterima sebagai staf marketing. Sejujurnya, posisi itu tidak persis seperti yang kucari, dan itu bukanlah karier yang kuimpikan. Tapi aku menerimanya karena aku mengikuti saran penulis Kristen, Elizabeth Elliot, untuk Do the next thing yang bagiku saat itu adalah mencari penghasilan.

Tetapi, Tuhan tidak membuat kesalahan, dan rencana-Nya sempurna. Kalau melihat ke belakang, aku menyadari bahwa itu adalah pekerjaan yang tepat untukku karena aku mempelajari keterampilan penting, seperti etika berkirim email dan bagaimana bekerjasama dengan berbagai departemen dalam organisasi besar untuk mencapai suatu tujuan, yang pada gilirannya mempersiapkanku pada pekerjaan impianku yang sebenarnya—peranku saat ini, sebagai redaktur pelaksana di Our Daily Bread Ministries.

Jadi, jika kamu sedang mencari pekerjaan, inilah pesanku untukmu: Tetaplah dekat pada Tuhan dan Firman-Nya, Dia akan memimpinmu. Di akhir perjalanan, kamu tidak hanya akan menemukan pekerjaan, tetapi juga keintiman yang lebih dalam dengan Tuhan. Percayalah kepada-Nya!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Membongkar Ulang Makna Sukses

Oleh Jovita Hutanto

Bulan Januari buatku adalah bulan yang terasa intens. Teman-teman di sekitarku sudah pasang ancang-ancang membuat ini itu untuk capai target sepanjang tahun. Seram rasanya buatku.

Tapi, kurasa tak cuma teman-temanku. Banyak dari kita pun mulai memikirkan goals dan resolusi supaya hidup kita makin dengan dengan kesuksesan. Atau, pada ekstrem yang lain, ada pula orang yang memosisikan diri di kubu ‘bohwat’. Istilah ini sering digunakan oleh teman-teman etnis Tionghoa yang berarti keadaan ketika seseorang sudah bingung mau berbuat apa lagi.

Terlepas dari di kubu mana kita berada, jika bicara soal sukses kurasa semua orang ingin sukses. Itu mimpi semua orang. Tapi, sebelum kita bergerak mengejar sukses, izinkan aku mengkaji ulang definisi dan standar dari sebuah kesuksesan.

Apa sih arti sukses buat kamu? Apakah itu banyak uang? Jadi terkenal? Punya gelar pendidikan tinggi? Punya usaha? Bisa mengubah dunia? Apa pun yang jadi dambaan kita, setiap kita punya standar hidup sukses yang berbeda. Namun, apakah kita bisa yakin bahwa yang kita inginkan itu adalah sukses yang sesungguhnya? Untuk menemukan jawaban yang benar, kita harus kembali pada Alkitab dan melakukan sedikit riset mengenai definisi sukses dari point of view Alkitab, alias dari sudut pandang Allah sendiri.

Aku mengambil satu contoh dari tokoh yang kisahnya pasti familiar kita dengar. Tokoh ini bernama Yusuf. Dalam Perjanjian Lama, dia dikisahkan menderita kemalangan bertubi-tubi. Dari seorang anak kesayangan ayahnya, dia dibuang dan dijual oleh saudara-saudaranya yang iri kepadanya. Tetapi, menariknya, pada teks Kejadian 39:2, tertulis demikian: “Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Jika kita tilik ayat ini dari terjemahan bahasa Inggris versi ESV, tertulis: “The LORD was with Joseph, and he became a succesful man…” Terjemahan ESV secara gamblang menggunakan kata success.

Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa kalimat yang digunakan bukanlah kalimat sebab-akibat. Bukan “sebab Tuhan menyertai Yusuf”, akibatnya “ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa penyertaan Tuhan akan selalu diikuti oleh keberhasilan Yusuf. Penggunaan kata “tetapi” menjadi kalimat penghubung yang mengkontraskan kalimat sebelum dan sesudahnya.

Isi ayat sebelumnya berkata, “Adapun Yusuf telah dibawa ke Mesir; dan Potifar, seorang Mesir, pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja, membeli dia dari tangan orang Ismael yang telah membawa dia ke situ” (Kejadian 39:1). Penggunaan kata “tetapi” pada ayat selanjutnya memperkuat konsep penyertaan Tuhan yang sifatnya independen (atau mandiri), tidak bergantung pada malangnya latar belakang hidup Yusuf dan Yusuf pun tetap berhasil dalam setiap pekerjaannya.

Ada hal lain lagi yang menarik buatku dari ayat ini, yaitu terdapat kata “selalu”. Tidak seperti manusia yang tidak pasti dan tidak bisa diandalkan, dari kisah Yusuf kita yakin bahwa penyertaan Tuhanlah yang selalu mendatangkan kesuksesan. Inilah kunci keberhasilan yang paling jitu.

Nah, apa sih hidup yang disertai Tuhan?

Kata “serta” mengandung unsur partisipasi aktif dari pihak yang menyertai, yaitu “Tuhan”. Artinya, sebagai umat Kristen sudah sepatutnya kita melibatkan Dia dalam setiap langkah kita, bahkan menyerahkan hidup kita sepenuhnya pada Tuhan. Cukup abstrak ya konsep melibatkan Tuhan ini kalau kita pikir-pikir. Tapi, yuk kita kembali lagi ke cerita Yusuf.

Di ayat-ayat berikutnya, saat Yusuf digodai untuk meniduri istri Potifar, Yusuf menolak. Yusuf mengatakan, “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?” (Kejadian 39:9).

Coba perhatikan. Yusuf tidak berkata bahwa dosa tersebut akan menjadi pertanggungjawaban dia terhadap Potifar, tetapi pada Allah. Yusuf menunjukkan jelas bahwa hidupnya tertuju pada Tuhan, meskipun konteksnya dia berada di Mesir dan di istana Potifar

Sampai di sini, kita bisa simpulkan bahwa hidup di dalam penyertaan Tuhan adalah hidup yang menjadikan Tuhan Yesus tuan atas setiap aspek hidup kita.

Lantas, apa sih indikator sukses itu?

Mungkin banyak dari kita beranggapan bahwa kesuksesan Yusuf merupakan status dan harta yang diberikan Potifar kepadanya. Aku kira ini merupakan asumsi yang salah besar. Jangan kita salah kaprahkan ya bonus dari Tuhan dengan arti kesuksesan yang Tuhan maksud.

Coba kita baca baik-baik, pada Kejadian 39:2, yang tertulis adalah “berhasil dalam pekerjaannya”, bukan berhasil mendapatkan uang atau harta. “Berhasil dalam pekerjaannya” dalam pengertian lain adalah Yusuf telah menggenapi kehendak dan panggilan-Nya. Bahkan, Alkitab menyatakan bahwa Yusuf tetap berhasil saat dia dipenjarakan Potifar tanpa status dan harta (Kejadian 39:20-23). Dalam situasi apa pun kita ditempatkan, jika kita hidup dalam penyertaan Tuhan, maka Dia akan memberikan kebijaksanaan-Nya kepada kita agar kita dapat mensukses pekerjaan yang telah Dia titipkan. Status dan harta yang Yusuf terima pada akhirnya hanyalah bonus semata yang Tuhan berikan karena dia telah berhasil menggenapi pekerjaan Tuhan.

Jadi, cukuplah jelas di sini bahwa standar hidup sukses itu adalah pemenuhan target Tuhan, bukan target kita sendiri.

Hidup di dalam penyertaan Tuhan itu merupakan relasi dua arah, antara kita dengan Tuhan, dan titik fokusnya kepada Tuhan. Kalau bahasa yang lebih mendaratnya itu, berjalan dan berjuang bersama Tuhan dan untuk Tuhan. Tapi, di sinilah pr beratnya buat kita. Tuhan tidak terlihat wujudnya, maka bentuk perjalan dan perjuangan bersama Tuhan itu memerlukan skill “melek jiwa”, atau bahasa kerennya “mindfulness”.

Penyertaan Tuhan itu senantiasa, tetapi seringkali kasusnya bukan Tuhan yang tidak mau menyertai, tetapi kitanya yang tidak mau disertai atau kerap kali kita malah melupakan Tuhan di dalam keseharian kita. Kalau mau dipikir-pikir, seberapa banyak dari kita yang melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan yang kita ambil? Seberapa sering kita menggumulkan firman-Nya? Memang terdengar klise dan mungkin sudah banyak dari kita yang rajin berdoa dan baca Alkitab. Tapi, jujur aja nih. Apakah kita memaknai aktivitas tersebut? Susah loh untuk membentuk sebuah habit yang penuh arti. Jujur, aku pun sering lupa kalau sudah doa makan atau belum saking aku sudah terbiasa dan kurang memaknai artinya lagi. Bahkan, kurasa kita ini sering loh seperti zombie, yang gak sadar hari-hari lewat begitu saja. (Hayoo, ngaku yang sering nanya hari ini hari apa, gak taunya sudah Jumat lagi aja.) Mungkin jika aku berimajinasi Tuhan itu seperti anak gaul, mungkin Dia akan berkata, “sadar woy, sadar.”

Tentunya skill mindfullness alias melek jiwa ini adalah proses yang panjang dan sulit karena dibutuhkan disiplin, konsistensi, dan anugerah Tuhan. Disiplin berdoa dan bergumul. Konsisten bertanya apakah aku melakukan ini untuk diriku atau Tuhanku; dan tidak lupa memohon anugerah Tuhan supaya kita sering-sering dibuat melek dan yang paling penting supaya kita bisa diatur karena kita sendiri adalah orang-orang keras kepala.

Tips jitu yang agak guyon dariku ialah kita bisa setting wallpaper HP kita diganti jadi kalimat yang mengingatkan kita sama Tuhan. Semisal kita tulis, “Inget Tuhan!” Setiap pagi kebanyakan kita mengawali aktivitas dengan…. Buka HP! Betul sekali! Jadi, pas pagi-pagi kita membuka HP dan lihat tulisan “inget Tuhan”, cepat-cepatlah kita berdoa. Kalau lagi kesel dan buka HP, lihat tulisan “inget Tuhan”, eits gak boleh marah-marah. Mesti sabar. Mau tidur, main HP dong pastinya, lihat lagi tulisan “inget Tuhan”, lalu coba refleksikan hari ini kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan.”

Capek tapi kan ya diingetin terus? Buatku ya capek sih. Tapi, kalau ingat inilah jurus jitu hidup sukses, harusnya kita nggak akan capek lagi dong ya hehehe.

Goals-goals yang kita bilang kesuksesan itu bukanlah tuntutan karena Tuhan sebenarnya tidak pernah menuntut kita untuk mencapai impian-impian tersebut. Kalau kita bilang itu tuntutan masyarakat, yuk kita sama-sama saling mengingatkan bahwa yang pegang kunci surga sudah pasti bukan teman atau keluarga kita hehe. Jangan salah pahamkan tuntutan yang kita buat sendiri dengan tuntutan yang memang dari Tuhan karena keduanya bagaikan langit dan bumi.

Ekspektasi sukses kita seringkali sifatnya fana dan tidak sesuai dengan maunya Tuhan. Ingat, Dia adalah Tuhan loh! Kalau Dia ingin berikan, maka sekejap maka saja kita akan mendapatkannya. Apa yang Tuhan utamakan adalah proses dan perjalanan keseharian kita bersama Dia.

Resolusiku di tahun ini sesuai dengan pesan yang sudah kusampaikan kepada kita semua, yaitu lebih setia, melek jiwa, dan berjalan bersama Tuhan. Bukan berarti kita hidup tanpa goals ya. Maksudku, kita tidak perlu menjadikan goals kita sebagai standar patokan arti kesuksesan.

Fokus kita hidup seharusnya tertuju pada proses kita berjalan dan berjuang dengan Tuhan Yesus setiap harinya, supaya bisa berhasil memenuhi panggilan-Nya. Kalau memang ternyata semua goals tercapai, aku menganggap semuanya itu bonus dari Tuhan.

Buat tim ‘bohwat’, gak ada salahnya kok dengan ide “just surviving”, yang penting ditambah jadi “just surviving with God.”

Tahun 2023 kita bisa fokuskan resolusi kita pada satu yang pokok: setia berjalan bersama Tuhan semaksimal mungkin.

Terjatuh di Tempat Aku Membangun

Oleh Agustinus Ryanto 

Di suatu pelatihan yang pernah kuikuti, pembicaranya bilang begini, “Jangan bandingkan diri kita dengan orang lain, bandingkanlah dengan diri kita sendiri versi kemarin.”

Wow. Kutipan itu segera kucatat di HP, juga di pikiran. Benar, gumamku. Memang kalau membandingkan diri dengan orang lain ya nggak akan ada habisnya toh.

Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan, kutipan yang kupupuk di otak ini bekerja efektif. Ia membuat hari-hari kerjaku yang monoton terasa berwarna. Aku merasa diriku versi hari ini sudah mengalami banyak kemajuan dibanding yang dulu.

Sampai tibalah di bulan Agustus, pada momen ketika orang tuaku sakit. Mau tak mau, aku harus pulang untuk merawat mereka. Kupulanglah ke rumah dengan naik motor, supaya sampai di kota asalku, aku bisa mudah wira-wiri.

Aku telah bekerja lima tahun pada sebuah lembaga nirlaba yang aku cintai. Meskipun aku tak terlalu suka dengan rutinitas kerjaanku yang monoton—kebanyakan duduk di depan laptop, kesepian hampir di sepanjang hari, tapi aku tahu apa yang kulakukan memberi dampak bagi orang lain, kendati dampaknya memang tak kasat mata dan tak langsung. Oleh karena itulah, aku memutuskan bertahan dan mengembangkan diri di tempat ini saban tahun berganti. Singkat kata, aku percaya bahwa inilah jalan yang memang saat ini perlu aku tempuh.

Seminggu setelah urusan mengurus orang tuaku rampung, datanglah sebuah pesan yang ditujukan buatku.

Pesan ini kubaca pelan-pelan. Narasinya lembut, tetapi aku bingung akan intensinya. Apakah itu bertujuan untuk memotivasiku atau menggugat apa yang sedang kukerjakan sekarang. 

Konotasi yang kutangkap dari teks-teks itu adalah bahwa aku seorang yang egois, yang hanya mementingkan diri sendiri. Usiaku tahun ini 27 tahun, tidakkah aku terpikir untuk memiliki karir yang lebih menghasilkan secara finansial? Tidakkah aku ingin berbakti lebih pada orang tuaku? Aku tahu pesan itu muncul sebagai respons atas caraku menangani orang tuaku yang sakit. Karena tak punya mobil, aku membawa ayahku ke rumah sakit dengan menaiki taksi daring, sementara ibuku pergi ke laboratorium rontgen dengan naik motor. Cara ini dianggapnya tak elok bagiku yang sudah lulus sarjana, yang seharusnya mendapatkan sesuatu yang lebih bonafide. Tetapi, dalam hati aku membela diri, aku tak sanggup melakukan itu semua. Terlalu banyak faktor yang saling berkelindan yang membuatku sendiri kadang bertanya-tanya mengapa aku terlahir di keluarga ini—terpecah oleh perceraian yang diteruskan turun-temurun sejak buyut, utang dari bank, kepahitan, kekerasan rumah tangga, dan lainnya, yang memikirkannya membuatku semaput. 

Dadaku seperti tertikam. Jari-jemariku kelu. 

Aku tak ingin memantik keributan, tapi ingin sekali membalas pesan itu dengan membela diri. Lagipula, kepada sang pengirim pesan, aku tak pernah dibiayai hidup olehnya, sehingga apa gerangan dia mengomentari jalan karirku. Tapi, kutenangkan diriku. HP kumatikan dan aku berdiam. Setelah tenang, kubalaslah pesan itu dengan sopan. Kuucapkan terima kasih atas intensi baiknya memikirkanku, sembari kuluruskan keadaannya mengapa setelah lima tahun bekerja aku belum mampu membeli kendaraan roda empat ataupun rumah. 

Namun, hari-hariku setelahnya tak lagi sama. Pesan yang dikirim sore itu menghancurkan kepercayaan diriku. 

Setiap hari, aku dihantui imaji akan kegagalan. Aku menghukum diriku dengan merasa aku seorang yang melarat, bodoh, tak mampu membayar bakti pada orang tua dengan memberi mereka kenyamanan ragawi. Perasaan gagal itu semakin menjadi-jadi ketika Instagram yang sedianya kujadikan wadah untuk mengekspresikan jiwa petualanganku seolah berubah jadi arena pamer dari teman-temanku, yang menumpukkan bara panas ke atas kepalaku. Lihat tuh, si dia udah tinggi jabatannya. Aduh, keren banget ya dia udah bisa beli rumah, beli mobil. Duh, dia ajak orang tuanya liburan ke sana sini. Lalu aku membandingkannya dengan diriku sendiri. Kubandingkan yang telah punya mobil denganku yang cuma ada motor. Kubandingkan yang telah menikah dan punya rumah enak denganku yang masih LDR beda kota dengan baik bus malam. 

Bak diberondong peluru, akhirnya aku tumbang. Pahitlah hatiku, patahlah semangatku, sakitlah badanku. Menatap layar laptop yang biasanya kulakukan dengan tatapan tajam kini menjadi sayu. Langkahku gontai. Agar kepahitan ini tak semakin menjadi, kuputuskan untuk memutus kontakku dengan dunia maya sejenak. Aku keluar dari Instagram, dan selama tiga minggu hanya berkomunikasi menggunakan WhatsApp saja. 

Menolong? Agak. Menyembuhkan? Tidak. 

Perasaan gagal itu muncul sejatinya bukan karena aku secara de facto telah gagal dalam pertempuran hidup. Tetapi, karena aku membangun harga diriku pada tempat yang tidak teguh, pada tempat yang value-nya berubah-ubah seiring waktu: yakni apa kata orang. Aku tidak menampik bahwa kita ingin selalu tampil berhasil di depan orang, dan cenderung menutupi kerapuhan kita. Tetapi, keberhasilan seperti apakah yang sebenarnya patut disebut berhasil? Indikatornya tentu berbeda-beda. Bagi seorang yang hidup dalam kepahitan sejak kecil, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membuka pintu maaf dan mengizinkan damai dari pengampunan mengisi hari-harinya. Bagi seorang yang telah gagal dalam hubungan asmara, mungkin keberhasilan terbesar baginya adalah ketika dia mampu membangun relasi yang teguh dan utuh di tengah segala kendala yang merintanginya. 

Abraham Maslow mencetuskan teori piramida kebutuhan, dengan kebutuhan fisiologis ada di dasar dan kebutuhan aktualisasi diri di puncak piramida. Teori ini bilang kalau setelah satu tingkatan kebutuhan dipenuhi, manusia akan mulai memenuhi kebutuhan lainnya. Kebutuhan aktualisasi diri letaknya ada di puncak, tidak ada lagi kebutuhan di atasnya yang perlu dipenuhi. Ini berarti, menurutku, apabila kebutuhan ini dipenuhi dengan sumber atau cara yang tak tepat, itu akan menjadikan kita terjebak dalam upaya pemenuhan yang tiada berakhir. Kesadaran ini menghantamku. Jika kebutuhan untuk membuktikan diriku pada orang lain didasarkan pada apa kata orang, bukankah itu akan jadi proses yang tak akan berujung? Bukankah omongan orang selalu berubah dari hari ke hari? Bukankah omongan orang itu sifatnya dangkal karena mereka tak melihat seluruh realitas hidup kita? 

Aku pun pulang kembali ke rumah dengan keadaan fisik yang sangat lelah. Dari subuh sampai siang aku memotret upacara pernikahan. Ini adalah kerja sambilanku yang puji syukur, diberkati Tuhan dengan pesanan dari banyak klien. Melihatku kelelahan dan meringkuk di kasur seperti orang meninggal, ibuku bilang, “Jangan terlalu capek!”

Kubilang lagi, “Nggak kok, biasa ini mah.” 

“Tapi itu kemaren Senen bisa sampe diare, ke wc sampe belasan kali terus lemes?”

“Ah, itu kan gara-gara salah makan,” sanggahku. “Ya udah, hayu kita pergi deh cari makan dulu,” kuajak ibuku pergi motoran keliling kota. Aku mau traktir dia makan enak. 

Ibuku di usianya yang hampir enam dekade masih sangat aktif. Dia terbiasa motoran sendirian ke luar kota. Siang itu dia mengajak aku makan ikan bakar di tepi waduk, yang jaraknya nyaris dua jam naik motor. Perjalanan kami lalui dengan sensasi panas dingin—panas saat matahari tak tertutup awan, dan dingin karena basah saat diterpa hujan. 

“Mama nggak menuntut anak harus gimana-gimana, kalian yang jalanin hidup, kalian yang atur sendiri,” tuturnya. 

“Maksud?” tanyaku mengernyit. 

Karena bulan sebelumnya aku pernah bertutur soal perasaan gagalku ini, dia menjawab dengan lebih lugas. “Kamu nggak perlu pusing-pusing harus bayar utang atau beliin harta ini itu. Itu kesalahan bukan kesalahan kamu, bukan kamu yang harus pusingin. Yang penting kamu bisa hidup, nggak utang sama orang lain, dan cukup…” 

Kupandangi muka air waduk yang tak berombak. Ikan nila aneka warna tampak di permukaannya. Seperti itulah kurasa tenangnya hatiku. 

Aku tahu betul masa lalu ibuku tidak baik. Ia lahir dalam keluarga yang dikoyak perceraian. Dia tak diasuh oleh ibu bapak kandungnya sejak balita. Luka itu membuatnya kembali terluka dengan perceraian di usia dewasa mudanya. Tapi, dia tahu bahwa aku, sebagai anaknya yang paling bontot, ingin berusaha membahagiakannya dengan beragam benda yang kupikir akan membuatnya senang. 

“Kamu begini aja udah seneng kok mama…” 

Pelan-pelan bangkitlah kesadaran dalam diriku bahwa matematikaku dengan matematika Tuhan terkadang berbeda cara. Dalam rumusku, untuk menjadi bahagia dan sukses harus meraih prestasi lahiriah yang dipandang oleh banyak orang sehingga namaku harum. Tetapi, rumus Tuhan lain cerita. Mungkin Dia memang belum memberiku limpahan harta lahiriah, tapi Dia selalu memberikan apa yang aku dan ibuku butuhkan, sebagaimana Dia memelihara burung-burung di udara (Matius 6:26). Ibuku bilang kalau meski dia tidak punya mobil, tapi Tuhan memberinya kesehatan dan kekuatan untuk punya fisik yang prima, yang masih awas dan kuat untuk naik motor tiap hari. 

“Bayangin kalau kena stroke, mau punya mobil mahal sekalipun juga, memang kepake?” guyonnya. 

Kesadaran ini membawaku kembali pada soal panggilan. Kuyakini lagi bahwa panggilan hidup setiap orang itu unik. Tuhan, Sang Ilahi yang memanggil setiap kita, tentu punya maksud dan tujuan-Nya bagi kita masing-masing. Tidak semua pekerjaan memberikan kelimpahan materi, tetapi jika pekerjaan itu berasal dari-Nya dan kita melakukannya bersama-Nya, selalu ada kecukupan dan damai sejahtera setiap hari bagi kita. 

Untuk saat ini, inilah panggilanku. Untuk besok hari, aku tak tahu, dan aku perlu mencari tahunya. Dengan apa? Dengan mengerjakan apa yang diberikan padaku sekarang dengan sebaik mungkin, agar ketika nanti Dia memanggilku untuk satu tanggung jawab yang lebih besar, aku telah siap laksana seorang prajurit yang diutus ke palagan dengan gagah berani. 

Hari ini aku belajar kembali untuk membangun diriku pada tempat yang lebih teguh. 

Meski Kuanggap Diriku Gagal, Tuhan Punya Alur Cerita yang Berbeda

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Aku, salah satu siswa kelas 12 IPA di salah satu SMA Negeri di Jawa Tengah. Tahun 2010 merupakan tahun yang penting bagiku, itu tahun kelulusanku. Untuk merayakan kelulusan, teman-temanku melakukan konvoi dan corat-coret seragam. Tapi, berbeda dari teman-temanku, aku malah bingung dengan kelulusanku sendiri.

Aku tidak tahu apakah aku lulus atau tidak. Kalaupun lulus, orang tuaku pasti memarahiku kalau aku ikut-ikutan konvoi atau corat-coret seragam. Padahal dulu aku ingin sekali melakukan itu, ketika melihat kakakku terlihat asyik melakukan konvoi dan corat-coret seragam, bahkan rambutnya dibuat berwarna.

Pada hari pengumuman, aku tidak mengambil surat pengumuman kelulusan. Aku takut mengambil surat itu karena aku belum melunasi uang sekolah selama satu semester. Pekerjaan orang tuaku memang tidak bisa diharapkan untuk membiayai pendidikanku. Bapakku bekerja sebagai tukang becak dan ibuku sebagai penjual makanan keliling setiap sorenya. Kami bisa makan sehari-hari saja sudah untung.

Suatu siang, teman sekolahku, Made namanya, bertanya, “Kamu lulus nggak?”

“Tidak tahu.”

Kok nggak tahu?”

“Ya aku belum mengambil surat pengumumannya, karena bayaran sekolahku belum lunas.”

“Loh, buat ngambil surat itu, syaratnya nggak harus lunas SPPnya (uang sekolah).”

Aku cuma diam saja. Aku ragu apakah tahun ini aku lulus. Waktu ujian berlangsung, aku kesulitan mengerjakan mata pelajaran Biologi. Aku hanya bisa mengerjakan 5 dari 50 soal. Sisanya kukerjakan dengan ngawur. Aku bisa memastikan kalau aku tidak akan lulus di mata pelajaran ini.

Selain Made, ada teman gerejaku juga datang ke rumahku. Dia melontarkan pertanyaan yang sama, “Tri, gimana? Lulus?”

“Belum tahu.”

Loh kok belum tahu?”

Jawaban yang sama kusampaikan kepadanya. Masalah tunggakan biaya membuatku tidak berani ke sekolah untuk mengambil surat pengumuman kelulusan. Temanku lalu melontarkan ide untuk meminta bantuan gereja. Katanya di gereja kami ada alokasi anggaran untuk pendidikan. Kuiyakan ide itu dan kuhitung jumlah kekurangan biaya sekolahku satu semester itu, jumlahnya kira-kira ada enam ratus ribu.

Keesokan harinya, beberapa majelis gereja datang ke rumahku. Mereka bertemu dengan ibuku, lalu pergi ke sekolah. Bukannya senang, aku mlaah takut bukan kepalang. Aku merasa pasti tidak lulus karena nilai Biologiku yang jeblok. Jam satu siang, ibuku pulang dari sekolah dan menyerahkan surat pengumuman.

LULUS!

Ya, aku lulus, meskipun nilai Biologiku cuma 5,25.

Tuhan mengarang alur cerita yang indah

Setelah lulus, masalah selanjutnya yang kuhadapi adalah apakah aku harus lanjut kuliah jika kutahu kemampuan finansial keluargaku lemah? Tanpa diketahui orang tuaku, aku mendaftar ujian masuk tertulis ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dulu namanya SNMPTN. Aku hanya memilih satu jurusan: Pendidikan Matematika. Meskipun sebenarnya aku ingin kuliah di MIPA Matematika agar nanti ketika lulus bisa menjadi seorang matematikawan, tetapi setelah diskusi dengan guru Matematikaku, aku memilih pendidikan Matematika yang setelah lulus nanti aku bisa jadi guru. Aku tak punya bayangan yang jelas untuk tujuan belajarku ini. Tekad adalah salah satu modalku saat itu. Keyakinanku bahwa otak adalah modal belajar.

Pada waktu ujian tulis selama tiga hari, aku mengerjakannya semaksimal mungkin. Tapi, hasilnya tidak lolos. Kecewa dan malu. Ingin menangis, tapi sungkan. Bahkan kadang pikiranku meragukan keberadaan Tuhan, Kenapa Tuhan diam saja dan membiarkanku gagal seperti ini? Apa kata orang kalau melihatku menganggur, atau tidak lanjut kuliah? Kata orang aku pintar, tapi malah gagal masuk PTN? Sebaliknya, temanku yang dianggap kurang pintar dan kuajari tiap malam untuk persiapan ujian, malah lolos. Sungguh mengecewakan dan tidak adil.

Setelah pengumuman itu, kakak rohaniku meneleponku. “Tri, bagaimana? Kamu lolos tidak?”

“Tidak, kak.”

“Lalu, apa rencanamu?”

“Nunggu SPMBTN tahun depan kak.”

“Kalau gagal lagi?”

“Ya nunggu tahun depannya lagi.”

Jawaban itu kuucapkan spontan, tanpa berpikir lebih dulu. Perasaan gagal masih menyelimuti pikiranku. Jarang sekali aku gagal soal akademik, tetapi kali ini aku gagal. Aku merasa malu dan juga bingung apa yang harus kukerjakan selama setahun ke depan.

Tiga hari kemudian, tetanggaku tiba-tiba mendatangiku dan menawariku pekerjaan sebagai penjaga warnet. Pekerjaan ini dikelola oleh menantunya. Aku diminta menjaga warnet sekitar jam 4 sore sampai 12 malam. Tapi, tak cuma itu. Teman-temanku menawariku pekerjaan sebagai tutor atau guru les buat adik mereka yang masih SMA. Aku merasa aneh, mengapa mereka mempercayaiku untuk mengajari adik mereka? Padahal statusku kan hanya lulusan SMA. Selama setahun, aku mengerjakan dua pekerjaan ini.

Tak jarang ada orang tua murid lesku yang bertanya, “Mas, kuliah di mana?”

“Saya tidak kuliah.”

“Kenapa tidak kuliah, Mas?”

“Karena gagal ujian masuk kemarin, Bu.”

Ibu itu lalu terdiam. Mungkin ia kecewa karena jawabanku. Mungkin juga ia takut kalau anaknya diajari oleh seorang yang gagal. Pikiranku diselimuti oleh jawaban ‘mungkin’. Tapi jika terlalu lama berpikir mengenai ini juga, aku hanya akan berjalan di tempat. Lambat laun, keraguanku akan keberadaan Tuhan mulai terkikis, karena pekerjaan demi pekerjaan mulai bertambah di tahun 2011. Aku sadar bahwa aku salah menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena aku gagal masuk PTN. Meski Tuhan mungkin terlihat diam bagiku, namun Dia sedang mengerjakan sesuatu untukku.

Jika aku melihat ke belakang, kurasa aku adalah orang yang terlena dengan kepandaian hingga aku melihat semuanya bisa kuatasi sendiri. Namun nyatanya, aku kecewa dan malu ketika gagal. Orang selalu memujiku sebagai anak pandai, tetapi kegagalan menghinaku sebagai anak bodoh. Tapi, melalui keadaan ini, Tuhan menerima “anak bodoh” ini untuk belajar di luar sekolah.

Alur cerita yang Tuhan sediakan berbeda dengan apa yang kurencanakan. Apakah aku harus marah kepada-Nya jika pendapatku berbeda dengan-Nya? Kupikir tidak, karena yang aku ketahui hanyalah keinginanku saja, tetapi Tuhan jauh lebih mengetahui melampaui sekadar keinginanku. Tuhan tahu apa yang kubutuhkan. Tuhan tahu bahwa aku butuh uang untuk kuliah, maka Dia memberiku kesempatan untuk bekerja terlebih dulu untuk mengumpulkan uang itu. Hingga akhirnya di tahun 2011, Tuhan mengizinkanku lolos di SBMPTN 2011 dengan jurusan Pendidikan Ekonomi.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Baca Juga:

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Kobaran api menghanguskan rumahku. Segala harta benda hilang dalam sekejap. Hari-hari setelahnya jadi momen terendah dalam hidupku. Namun, dari musibah inilah aku belajar tentang kebaikan Tuhan dan penyertaan-Nya yang sempurna.

Jangan Membuat Resolusi

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Ada banyak orang yang sering membuat resolusi di awal tahun yang baru. Aku salah satunya. Tapi, tahun ini aku tidak melakukannya.

Mengapa banyak orang yang membuat resolusi di tahun baru? Kukira ada dua alasan besar.

Pertama, pergantian tahun adalah “tonggak waktu” yang Tuhan berikan untuk menandai hidup kita. Bahwa “satu bab” sudah berlalu dan kita membuka “bab yang baru”. Maka pergantian tahun mendorong kita untuk mengingat “bab yang lalu”, mengevaluasinya, dan mengharapkan “bab yang baru”.

Kedua, kita sangat sadar bahwa hidup kita belum cukup baik di tahun yang lalu. Kita tahu segala kelemahan dan kegagalan kita. Berat badan yang tidak ideal. Kehidupan keluarga yang kurang harmonis. Pembagian waktu yang berantakan. Gaya hidup yang kurang baik. Maka, kita ingin berubah.

Tahun baru, resolusi baru. Kita berharap segalanya lebih baik. Kita bertekad menjadi lebih baik.

Tetapi, resolusi cenderung fokus pada hasil (tidak selalu, tapi biasanya begitu). Kita ingin menjadi orang yang lebih ramah. Kita ingin berat badan kita turun 8 kilogram. Kita ingin hidup sehat. Kita ingin berhasil dalam pekerjaan. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Tetapi, tidak ada hasil tanpa proses! Kita sering membuat resolusi tanpa memikirkan bagaimana mencapainya. Maka tidak heran pada bulan Februari banyak orang yang meninggalkan resolusi yang dibuat pada bulan Januari.

Resolusi juga cenderung fokus pada kesimpulan tanpa memberikan detail apa yang dimaksudkan. Misalnya, “aku mau lebih banyak menolong orang” tidak akan berhasil tanpa diperjelas apa sebetulnya yang ingin kita lakukan. Untuk bisa lebih banyak menolong orang, perlu ada kebiasaan baru yang kita bentuk. Kebiasaan apa? Kapan? Apa komitmennya? Tanpa semua itu, resolusi akan percuma.

Maka menjelang akhir 2018, aku coba membuat aturan bagaimana aku ingin hidup di tahun 2019. Aturan itu seperti proses. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya nanti, walaupun seharusnya kalau prosesnya benar maka hasilnya pasti baik. Aku tidak ingin fokus hanya memimpikan hasil, tetapi aku ingin fokus mengerjakan proses.

Di akhir 2018 dan di awal 2019, aku membaca artikel tentang resolusi yang sangat baik dan menegaskan apa yang ingin kulakukan. Di artikel tersebut, penulis menyarankan untuk kita membuat aturan hidup yang mencakup lima wilayah kehidupan kita: (1) Relasi dengan Tuhan, (2) Kehidupan/kesehatan pribadi, (3) Relasi dengan orang di sekitar, (4) Gereja, (5), Pekerjaan.

Misalnya, kita bisa membuat aturan hidup:

1. Setiap hari Senin-Jumat aku akan bangun jam 05:15, olah raga selama 45 menit. Setelah sarapan, aku akan saat teduh selama 30 menit. Kemudian berangkat kerja.
2. Aku akan tidur paling lambat jam 22:30.
3. Setiap hari Minggu aku akan mengevaluasi kehidupanku selama seminggu ke belakang dan merencanakan hidupku seminggu yang akan datang.
4. Setiap Senin malam, aku akan membaca buku rohani selama 1.5 jam.
5. Setiap hari Minggu malam, aku akan mengajak orang tuaku makan bersama.
6. Setiap akhir bulan aku akan mengevaluasi kondisi keuanganku dan mendiskusikannya dengan pasanganku.
7. Selain perpuluhan yang kuberikan, aku akan menyisihkan 2% lagi dari pendapatanku untuk menolong orang yang membutuhkan.
8. Dan seterusnya…

Sebelum memulai itu semua, kita dapat memulai dengan berdoa bagian manakah dalam kehidupan kita yang harus berubah. Pikirkan baik-baik apa yang ingin kita capai di tahun ini. Kemudian, pikirkan juga bagaimana kita bisa mencapainya? Kebiasaan apa yang harus kita mulai? Komitmen apa yang harus kita jalani untuk membentuk kebiasaan itu?

Komitmen akan membentuk kebiasaan dan kebiasaan pasti akan mengubah. The power of commitment. The power of habits.

Selamat membuat aturan hidup dan membentuk kebiasaan yang baru.

Baca Juga:

Dari Kejadian Sampai Wahyu, Pengalamanku Membaca Habis Alkitab dalam Setahun

Apakah kamu sudah pernah selesai membaca habis seluruh Alkitab? Bagaimana caramu melakukannya? Melalui tulisan ini, aku hendak membagikan sekelumit pengalamanku membaca habis Alkitab dari Kejadian hingga Wahyu.

Saat Tuhan Tidak Mengabulkan Doaku

Oleh Yuliani Trifosa, Bandung

“Aku ingin begini, aku ingin begitu
Ingin ini, ingin itu, banyak sekali…”

Pernah mendengar lagu dengan lirik di atas? Bagi generasi 90-an sepertiku, lirik tersebut bukanlah lirik yang asing. Itu adalah lirik lagu dari film kartun kesukaanku, Doraemon, yang dulu selalu hadir di layar televisi setiap hari Minggu.

Sejak kecil, aku sangat senang dengan cerita-cerita di film Doraemon. Tak jarang, aku pun jadi berandai-andai: seandainya saja aku punya teman seperti Doraemon yang bisa mengabulkan semua permintaanku, sepertinya hidupku akan bahagia.

Tapi, dari cerita-cerita Doraemon, aku mendapati bahwa sekalipun banyak keinginan Nobita yang dikabulkan oleh Doraemon, seringkali pada akhir cerita justru keinginan tersebut malah menjadi bencana untuk Nobita. Dalam salah satu episodenya, Nobita pernah meminta Doraemon untuk memajukan waktu hingga ke masa depan untuk menghindari masalah. Tapi, karena Nobita terlalu asyik menghindari masalah dan ingin lebih cepat mengetahui apa yang menjadi masa depannya, tanpa sadar Nobita segera menjadi tua dan tak lagi punya kesempatan untuk kembali ke masa sekarang. Pada akhirnya, aku jadi berpikir: andai saja Doraemon tidak memberikan semua yang Nobita mau, mungkin Nobita tidak akan jadi begitu.

Melihat karakter Nobita yang suka merengek supaya permintaanya dikabulkan Doraemon, aku mendapati bahwa diriku pun terkadang menjadi seperti Nobita. Aku meminta kepada Tuhan dengan penuh percaya diri bahwa akulah yang paling tahu tentang diriku sendiri. Tapi, saat itu aku lupa bahwa sesungguhnya Tuhanlah yang lebih tahu tentang aku karena Dia adalah penciptaku. Tuhan tahu betul setiap detail kehidupanku, bahkan Alkitab pun berkata bahwa setiap helai rambutku pun terhitung jumlanya oleh Tuhan (Matius 10:30).

Suatu ketika, aku pernah meminta pada Tuhan supaya ayahku disembuhkan dari sakitnya.
Dalam kondisi terserang penyakit stroke yang menyerang rongga mulut, ayahku tidak mampu lagi menelan makanan yang masuk ke mulutnya. Keadaannya terus menurun hingga dia pun mengalami koma.

Saat itu, di masa kritisnya, aku memohon pada Tuhan supaya memperpanjang umur ayahku satu bulan saja. “Tuhan, Engkau punya banyak orang yang mengasihi-Mu di surga. Tetapi aku tidak punya banyak. Tolong jangan ambil ayahku,” mohonku pada Tuhan. Namun, belakangan aku sadar bahwa doa itu adalah doa yang egois. Dalam kondisi tak mampu menelan makan, ayahku harus dipasangi selang supaya perutnya dapat menerima makanan. Tentu ini sungguh menyakitkan buatnya.

Tuhan berkehendak lain. Dia memberi kesembuhan secara total kepada ayahku dengan cara memanggilnya ke pangkuan-Nya. Kecewa? Ya, tentu aku kecewa saat itu. Aku masih merasa bahwa seharusnya ini tidak terjadi kepadaku. Kehilangan sosok yang begitu kukasihi rasanya begitu pedih. Namun, di tengah kesedihan itu aku diingatkan akan surat Paulus kepada jemaat di Roma, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Ayat ini menyentakku. Tuhan tahu yang terbaik untuk Ayah dan juga untukku. Ketika Dia memilih untuk memanggil pulang Ayah, kupikir itu adalah cara-Nya untuk memberi kesembuhan dan melepaskan Ayah dari penderitaan karena sakitnya. Pada akhirnya, melalui peristiwa ini aku belajar untuk menerima dengan iman bahwa Allah adalah Allah yang Mahatahu dan rancangan-Nya adalah yang terbaik.

Ada begitu banyak hal dalam hidup ini yang sulit untuk dimengerti, termasuk ketika Tuhan menjawab doa permohonan kesembuhan ayahku dengan memanggilnya pulang. Namun, satu hal yang aku tahu dengan pasti yaitu Allah adalah kasih. Allah baik bukan karena dia memberikan kesembuhan atau kesuksesan, tetapi karena Dia adalah baik. Allah mengasihi bukan hanya ketika Dia memberikan berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Oleh karena itu, aku belajar menerima bahwa segala hal dalam kehidupanku terjadi seturut hikmat dan kasih-Nya untukku.

Aku bersyukur bahwa Allah itu tidak seperti Doraemon. Dia tidak semena-mena memberikan apa saja yang diminta oleh manusia. Memang pada kenyataannya, sebagai manusia aku tidak suka ketika Tuhan menjawab “tidak” atas apa yang aku mau. Jawaban yang diinginkan pasti “ya”, atau setidaknya “tunggu”. Namun, ada satu ayat yang aku ingat ketika aku meminta sesuatu kepada Tuhan. Yesaya 55:8 mengatakan:

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.”

Kita tidak bisa memaksakan keinginan kita kepada Tuhan, karena kita seperti domba yang pandangan matanya terbatas. Kita tidak tahu betul apa yang paling baik buat kita. Mungkin kita menganggap apa yang kita minta sekarang inilah yang terbaik dan jika kita mendapatkannya, kita pasti bahagia. Tetapi, ada seorang Gembala Agung, yang bisa melihat lebih jauh dan lebih luas dari apa yang kita bisa lihat. Dialah Gembala yang Mahatahu dan yang telah merancang masa depan kita dengan rancangan damai sejahtera.

Sebagai manusia yang terbatas, kita tentu perlu seorang sandaran yang lebih besar dan berkuasa dari kita. Satu-satunya pribadi yang bisa memuaskan keinginan itu adalah Tuhan Yesus. Dialah Bapa yang sempurna. Dia tahu yang terbaik untuk setiap kita, dan ketika kita menyerahkan kehidupan kita ke dalam tangan-Nya dan membiarkan Dia bekerja sesuai kehendak-Nya, kita akan memperoleh sukacita kekal.

Baca Juga:

Empat Fakta Tentang Persahabatan

Memelihara hubungan dengan sahabatku adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah kubuat. Dan, melalui proses ini, inilah 4 hal yang telah aku pelajari.

Satu Hal yang Kulupakan Ketika Semua Impianku Tidak Terwujud

Oleh Evant Christina, Jakarta

Setiap orang boleh memiliki keinginan dan cita-cita. Tetapi, pada kenyataannya, terlepas dari sekeras apapun upaya kita untuk mewujudkannya, tidak semua yang kita harapkan bisa terjadi sesuai keinginan kita. Inilah realita kehidupan. Pernahkah kamu mengalaminya? Aku pernah.

Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dalam keadaan tuli, saat memasuki masa-masa TK, kedua orangtuaku menyekolahkanku di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB). Di sana aku pernah diberi tugas untuk membuat buku harian oleh guruku. Setiap hari, sepulang sekolah aku menuliskan cerita-cerita, kemudian mengumpulkannya kepada guruku keesokan harinya. Bermula dari sekadar tugas, lama-kelamaan menulis menjadi kegemaranku, hingga aku pun bercita-cita kelak ingin menjadi seorang penulis.

Beberapa tahun setelahnya, kedua orangtuaku memindahkanku ke sebuah sekolah umum. Saat duduk di bangku SMP, aku melihat kalau ternyata teman-temanku punya cita-cita yang beragam. Ada yang ingin menjadi seorang dokter, pilot, perawat, pengusaha, juga cita-cita lainnya. Karena saat itu aku belum pernah mendengar ada seorang penyandang tunarungu yang menekuni profesi-profesi tersebut, aku jadi tertantang untuk memiliki cita-cita seperti mereka, profesi yang biasa dilakoni oleh orang-orang yang kondisi fisiknya sempurna. Waktu itu aku bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta, psikolog, desainer grafis, bahkan juga seorang chef.

Menjelang kelulusan SMA, aku bergumul tentang rencana mau melanjutkan kuliah ke mana. Aku berdoa pada Tuhan dan juga bertanya kepada orangtuaku tentang pilihan apa yang harus kuambil. Waktu itu orangtuaku menyarankan agar aku tidak memilih tempat kuliah dengan lokasi yang lokasinya jauh dari rumah. Saat itu aku berbicara jujur pada ibuku tentang cita-citaku dan rencana kuliah. Namun, jawaban ibuku membuatku kecewa.

“Wah kalau kamu menjadi pendeta rasanya mustahil sekali. Apakah kamu bisa? Kamu kan tuli. Bagaimana kalau sampai kamu salah dalam sharing atau ngomong yang tidak jelas malah membuat orang- orang tidak mengerti atau malah tertawa? Untuk psikologi rasanya kamu tidak akan bisa…bla bla bla…. Ibu juga takut dan khawatir jika terjadi sesuatu apa- apa dengan kamu selama kuliah nanti, nak.” Kemudian ibuku memberikan jawaban lain yang cukup panjang.

Ibuku tidak setuju dengan pilihan cita-cita yang kuinginkan sedangkan ayahku hanya diam saja seolah tidak peduli, sehingga sejak saat itu aku merasa segala impian yang kucita-citakan pun kandas. Kemudian ayahku menyarankanku untuk kuliah di jurusan Ilmu Komputer saja karena menurutnya prospek karier di jurusan ini bagus. Aku pun menuruti saran ayahku dan mengambil jurusan Teknik Informatika. Sepanjang waktu studiku selama empat tahun, aku berjuang dengan keras supaya bisa mendapatkan nilai yang baik dan juga lulus sebagai Sarjana. Namun, karena jurusan yang kuambil bukanlah jurusan yang benar-benar kuinginkan, semangatku dalam kuliah sering naik turun. Ketika semangatku turun, sebuah ayat dari Yeremia 29:11 selalu menjadi pengingat dan memberiku kekuatan. Ya, aku percaya bahwa Tuhan akan memberiku masa depan yang penuh harapan.

Setelah aku dinyatakan lulus sebagai seorang Sarjana, seperti para fresh graduate lainnya aku pun mencari informasi lowongan pekerjaan baik melalui media sosial ataupun informasi dari orang-orang. Lamaran sudah kumasukkan melalui berbagai situs penyedia jasa lowongan pekerjaan. Tetapi, semuanya nihil. Padahal setelah aku cermati, tidak ada yang salah dengan CV-ku. Lalu, aku juga tidak lupa dengan waktu teduh, selalu berdoa dan bekerja (ora et labora) serta memohon hikmat pada Tuhan supaya ada perusahaan yang mau menerima penyandang tunarungu. Selain itu, aku juga sering bertanya kepada teman- teman tentang informasi pekerjaan, sembari meminta saran dari mereka untuk mencoba kerja di kantor lama tempat aku magang dulu. Tetapi apalah dayaku ternyata hasilnya sama.

Satu bulan, dua bulan, hingga setahun berlalu tanpa ada kejelasan. Semua perusahaan yang meresponsku hanya memberikan harapan palsu. Ceritanya, setelah mengikuti interview untuk keempat kalinya di perusahaan yang berbeda, katanya aku akan dikabari lebih lanjut melalui e-mail. Tapi, sekian lama menanti, tak kunjung ada e-mail yang kuterima. Aku menjadi bingung, putus asa, dan juga berprasangka buruk. Apakah mungkin karena keadaan disabilitasku yang membuat perusahaan-perusahaan jadi tidak mau menerimaku bekerja? Atau, apakah karena posisi yang kuambil tidak sesuai dengan jurusan kuliahku dulu?

Sampai di titik ini aku merasa ini adalah momen terendahku sebagai seorang pencari kerja selama setahun. Aku merasa kecewa dan putus asa, bahkan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku merasa bahwa semua yang telah kulakukan itu sia-sia sehingga akhirnya aku berhenti untuk mencari pekerjaan.

Sebuah pelajaran dari kegagalan dan impian yang kandas

Di balik momen-momen sulitku sebagai seorang pencari kerja, aku sadar bahwa aku tidak bisa hanya sekadar berpangku tangan. Bagaimanapun juga aku harus memiliki penghasilan sendiri. Aku mulai mencari cara-cara lain. Jika aku tidak bisa menemukan perusahaan yang bisa memberiku pekerjaan, maka aku bisa menciptakan pekerjaan untuk diriku sendiri. Sejak saat itu, aku mencoba memulai usaha kecil-kecilan dengan berjualan pulsa elektronik. Hasil dari jualan ini memang tidaklah seberapa, akan tetapi aku percaya bahwa ini adalah langkah terbaik untukku belajar memulai usaha dari nol.

Selain berjualan pulsa, aku juga membantu melanjutkan usaha bersama keluargaku di rumah. Walaupun aku tidak menyukai pekerjaan itu karena aku cukup kesulitan untuk berkomunikasi terhadap pembeli, tetapi aku coba menikmatinya sebagaimana mestinya saat mengingat betapa beratnya hidupku. Aku bersyukur karena keluargaku dan beberapa orang pembeli tersebut mengenalku dengan baik dan mereka akhirnya memahami keadaanku.

Sebelumnya itu, aku juga pernah berencana mencoba bisnis online yaitu mempromosikan sebuah produk melalui media sosial berdasarkan permintaan dari beberapa temanku. Tetapi, setelah aku berunding dengan ibuku tentang bisnis online ternyata tidak mendapat persetujuan dari ibuku dengan beberapa alasan yang membuatku kecewa. Padahal itu satu-satunya cara terbaik untuk mendapat penghasilan. Aku pun sedih, putus asa, dan tidak tahu harus berbuat apa setelah mendengar hal tersebut.

Ketika aku mengingat kembali momen-momen terendah dalam hidupku, kadang aku merasa kalau diriku itu bodoh dan kacau. Bahkan, dulu aku sempat bertanya kepada Tuhan: Mengapa aku selalu gagal? Apakah karena imanku kurang? Saat itu aku hanya berfokus pada kegagalan demi kegagalan. Aku berfokus pada impianku yang kandas hingga aku melupakan satu hal yang teramat penting: Tuhan tetap berlaku baik. Kasih setia-Nya tidak berkesudahan dan rahmat-Nya tak pernah habis (Ratapan 3:22).

Ada banyak hal dalam kehidupan ini yang sulit dimengerti, termasuk mengapa Dia mengizinkanku dilahirkan dalam keadaan tuli, mengalami banyak kegagalan, dan seolah membiarkan setiap impianku kandas. Tetapi, satu hal yang aku tahu dengan pasti bahwa Tuhan itu baik bukan hanya karena dia memberikanku kesuksesan, tetapi karena Dia memang baik. Tuhan mengasihiku bukan hanya karena Dia memberiku berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Seperti Ayub yang mengakui kebesaran Tuhan, aku pun yakin bahwa karena Dia adalah Tuhan yang Mahabesar, maka tak ada sesuatupun yang mustahil bagi-Nya. “Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Aku tidak menyesal karena telah gagal berkali-kali. Aku juga tidak menyesal karena impian-impian yang kudambakan sejak dahulu pada akhirnya tidak terwujud. Aku percaya bahwa hidupku itu ibarat pensil dan kertas. Aku bisa menuliskan banyak keinginanku di atas kertas itu. Tetapi, aku tidak boleh lupa bahwa Tuhan memiliki alat tulis yang lebih lengkap. Ketika ada keinginanku yang tidak baik, Dia bisa menghapusnya dan menuliskan yang lebih baik dan tentunya terbaik untukku.

Aku percaya bahwa pekerjaan sederhana yang aku kerjakan saat ini adalah kesempatan berharga yang Tuhan berikan kepadaku. Ketika aku melakukannya dengan setia dan bertanggung jawab, aku yakin bahwa kelak Tuhan akan memberiku tanggung jawab yang lebih besar.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”
(Roma 8:28).

Baca Juga:

Hal yang Kulupakan Ketika Aku Asyik Menggunakan Instagram Story

Awalnya, seperti kebanyakan teman-temanku, aku menikmati fitur Instastory dengan cukup aktif. Setiap harinya aku bisa mengunggah 1-5 konten pada Instastoryku. Namun, sampai di satu titik, aku memutuskan untuk berhenti menggunakan fitur ini hingga waktu yang tidak ditentukan.

Ketika Tuhan Mengizinkan Hal-hal yang Kurang Baik Terjadi

ketika-tuhan-mengizinkan-hal-hal-yang-kurang-baik-terjadi

Oleh Gracella Sofiani Mingkid, Surabaya

Aku mengernyit tatkala mendengar seorang temanku berkata, “Aku tidak bisa menyebutkan momen yang menyedihkan dalam hidupku, rasanya tidak ada.” Waktu itu, kami sedang berada dalam sebuah kelompok kecil dan diminta untuk menyebutkan sedikitnya 3 kejadian yang membuat kami tidak bahagia. “Wow, luar biasa sekali jika hidupnya selalu bahagia,” pikirku. Tapi, dalam hati aku jadi bertanya, “Masa sih? Atau, mungkin memang ada orang yang hidupnya seperti itu ya, Tuhan?”

Aku tidak dapat memungkiri bahwa hidupku juga pernah dihiasi kejadian-kejadian yang tidak membahagiakan. Ketika aku duduk di kelas XI SMA dulu, untuk pertama kalinya aku mendapatkan juara 3 umum. Padahal, sebelumnya aku selalu mendapatkan juara 1 umum. Mungkin ini terdengar lebay, tapi secara psikologis saat itu aku merasa begitu down. Sedih bukan main. Aku terus menyalahkan diriku: kamu kurang belajar!

Saat itu aku memang sangat perfeksionis, terutama apabila menyangkut soal nilai. Harus menjadi yang terbaik, pikirku. Tapi, karena kejadian itu, aku bahkan sempat mengurung diri di kamar dan menangis tanpa diketahui orangtuaku. Ketika aku menceritakan kesedihan itu kepada beberapa teman, sontak mereka berkata, “Kamu lebay ah! Toh turunnya juga hanya dua tingkat, Ella. Kenapa mesti sedih begitu?” Tapi, bagiku dua tingkat itu sangatlah berarti. Mungkin karena aku tidak terbiasa berada di posisi bawah.

Ketika tahun ajaran baru dimulai, aku berusaha membangkitkan semangatku kembali. Namun, hal ini tidaklah mudah. Aku jadi tidak percaya diri dan merasa tidak lagi diandalkan oleh teman-temanku. Beberapa dari mereka mulai pindah ke kelompok belajar lain. Sepanjang semester, aku tidak menikmati proses belajar di sekolah. Ketika sekarang aku mengingat bagaimana peristiwa itu terjadi, ada tawa kecil dalam hatiku. Tapi, pengalaman itu membuatku mengerti akan satu hal. Kita tidak selalu berada di atas. Kadang-kadang, Tuhan memakai momen-momen saat kita berada di bawah untuk membentuk kita.

Saat kuliah, perlahan aku mulai mengerti. Tuhan kembali mengizinkan aku untuk mengalami momen-momen berada di bawah. Ada kalanya ketika aku membuka kartu hasil studi, nilai sempurna yang aku dapat. Tapi, ada kalanya juga meski aku sudah berusaha sekuat tenaga, hasil yang kudapat tetap tidak sesuai harapanku. Harus kuakui, ketika hal ini terjadi, aku tidak serta merta menerimanya dengan lapang dada. Sifat perfeksionisku sejak dari SD hingga SMA dulu sedikit banyak masih menempel di hidupku hingga masa kuliah.

Seiring berjalannya waktu, dari hal-hal yang kurang baik yang terjadi dalam hidupku, Tuhan mengajarku untuk memiliki sikap hati yang benar saat apa yang aku harapkan tidak terjadi, bahkan berbanding terbalik. Pengalaman-pengalaman inilah yang perlahan mengubah orientasiku dari yang semula berfokus pada hasil, menjadi seorang yang memahami bahwa proses itu sungguh berharga. Aku jadi lebih mudah menerima dan merespons hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan atau ekspektasiku, termasuk nilai-nilai yang tidak selalu sempurna.

Banyak hal yang bisa kita banggakan dari hidup ini. Entah itu kekayaan, ketenaran, prestasi, keluarga yang bahagia, ataupun relasi yang luas dan harmonis. Tapi, kadang kala semua itu bisa jadi memanjakan kita. Kita gagal untuk belajar bahwa hidup ini tidak selalu berjalan mulus. Saat kondisi menjadi tidak seperti yang kita harapkan, kita mulai mengeluh. Kenapa seperti ini? Biasanya kan tidak begini? Bahkan, mungkin dengan mudahnya kita juga berkata, “Ah, Tuhan tidak mengasihiku!”

Waktu itu, ketika prestasiku turun, aku tidak berani bersaksi. Padahal, biasanya aku selalu bersaksi di ibadah-ibadah rayon ketika Tuhan terasa begitu baik dengan menganugerahkan prestasi yang gemilang kepadaku. Ketika aku merenungkannya kembali, memang sebagian besar kesaksian anak Tuhan yang aku dengar, dan yang juga pernah aku ucapkan biasanya hanya berbunyi demikian, “Puji Tuhan aku selalu berkecukupan. Puji Tuhan aku diberikan kesehatan. Puji Tuhan aku lulus dengan nilai tertinggi”. Semua hal luar biasa ini kita ceritakan dengan memuji-muji Tuhan atas campur tangan-Nya yang ajaib. Hal ini memang benar dan seharusnya menjadi kesaksian kita. Tetapi, bagaimana jika seseorang yang baru saja di PHK datang dan bertanya: berarti Tuhan tidak baik padaku? Atau seorang yang menderita kanker stadium akhir datang dan bertanya: berarti Tuhan tidak mengasihi aku? Atau seorang mahasiswa yang tidak lulus sidang akhir dan bertanya: berarti Tuhan tidak mengasihiku? Buktinya, Dia tidak menolongku untuk lulus. Bagaimana kita akan menjawabnya?

Seorang hamba Tuhan dalam khotbahnya pernah memberi masukan supaya kita dapat menambahkan beberapa kata dalam kesaksian kita menjadi salah satu bukti kebaikan Tuhan adalah Dia memberikanku nilai-nilai yang bagus. Salah satu bukti dari kasih Tuhan adalah Dia memberikanku kesehatan. Salah satu bukti bahwa aku dikasihi Tuhan adalah aku mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal baik yang terjadi dalam kehidupan kita itu hanyalah salah satu dari sekian banyak karya Tuhan yang terjadi dalam kehidupan kita. Dengan berkata bahwa segala hal baik yang terjadi itu sebagai salah satu dari karya Tuhan, kita sedang membantu diri kita untuk belajar memahami bahwa Tuhan tidak selalu memberikan hal-hal yang menurut kita baik dan luar biasa. Bahkan, lewat hal-hal yang kurang baik seperti kekecewaan, sakit hati, kekalahan, dan kerugian, Tuhan hendak menunjukkan bahwa Dia tetap mengasihi kita. Ketika Ayub sedang terpuruk dan istrinya memintanya untuk menyangkal Allah, Ayub berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Kita tahu bahwa Allah bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikan bagi kita.

Cerita tentang anak SMA yang pernah terpuruk karena sifat perfeksionisnya ini mungkin terlihat kecil. Namun, karena itulah dia belajar tentang kesabaran, ketulusan, kerendahan hati, penguasaan diri, dan sikap hati yang benar. Dia belajar betapa Tuhan sangat mengasihinya, dan bahwa Tuhan berdaulat penuh mengatur dan membentuk hidupnya menjadi semakin murni. Dia belajar untuk mengandalkan hikmat dan kekuatan Tuhan. Apa jadinya jika dia tidak pernah berada di “bawah”? Mungkin saja dia akan semakin bermegah dengan kekuatannya sendiri.

Baca Juga:

Kita Harus Berhenti Memasarkan Kekristenan

Di Sabtu pagi yang tenang, seorang temanku mengajukan pertanyaan di grup Whatsapp yang kebanyakan anggotanya bukan orang Kristen. Dari pertanyaan itu, lahirlah diskusi panjang yang akhirnya berakhir dengan aman dan damai. Tapi, hasil diskusi itu mengagetkanku. Ada banyak kesalahpahaman antara persepsi teman-temanku mengenai Kekristenan.

Kita Harus Berhenti Memasarkan Kekristenan

kita-harus-berhenti-memasarkan-kekristenan-(2)

Oleh Christan Reksa, Tangerang Selatan

Di hari Sabtu pagi yang tenang, seorang teman seangkatanku di kuliah bertanya di sebuah grup Whatsapp:

“Untuk mas-mas yang Nasrani, dari perspektif pribadi, menurut mas agama memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari gak? Apakah itu sesuatu yang penting untuk dipelajari?“

Pertanyaan yang hadir tiba-tiba itu cukup mengagetkanku. Grup Whatsapp itu adalah grup yang beranggotakan sekitar 30 orang teman-teman kulihaku dulu yang berasal dari berbagai latar belakang. Sebagian besar dari mereka bukanlah orang Kristen.

Aku pun memberanikan diri untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut secara perlahan dan runut, tapi juga sesederhana mungkin. Aku menjelaskan bahwa inti dari Kekristenan adalah hidup yang berpusat kepada Kristus, dan bersyukur atas pengorbanan-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya yang menyelamatkan kita dari kematian kekal karena dosa. Oleh karena itu, penting bagiku untuk mempelajari ajaran Kristus, agar aku dapat meneladani Kristus dan menjadi semakin serupa dengan-Nya.

Setelah aku memberikan jawabanku, mengalirlah sebuah diskusi yang lumayan panjang di grup itu. Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dan aku mencoba menjawabnya untuk mempertanggungjawabkan iman yang aku percayai. Namun, aku juga berhati-hati agar tidak memicu perdebatan yang dapat menimbulkan kepahitan.

Diskusi itu akhirnya berakhir dengan aman dan damai, namun hasil diskusi itu cukup mengagetkanku. Ada banyak kesalahpahaman antara persepsi teman-temanku mengenai Kekristenan dan iman Kristen yang sesungguhnya aku percayai. Mereka hanya mendengar tentang Kekristenan dari tokoh agama mereka, dan tidak mendapatkan cukup penjelasan yang memadai dari orang Kristen sendiri.

Diskusi hari itu membuatku berpikir dan mencoba mengintrospeksi diriku. “Kalau teman-temanku memiliki pemahaman yang salah tentang Kekristenan, siapakah yang salah?” pikirku. Harus kuakui, sebagai orang Kristen, kadang aku juga takut untuk memulai diskusi dengan orang lain yang berbeda iman, apalagi jika topiknya mengarah kepada pembahasan tentang iman masing-masing. Kita mungkin takut menyinggung perasaan orang lain dan akhirnya memilih untuk diam. Tapi, sikap diam kita justru membuat banyak orang mendengar tentang iman Kristen dari sumber yang salah.

Di ekstrem yang lain, ada juga seminar-seminar penginjilan yang berfokus untuk mengorek-ngorek kelemahan kepercayaan lain, dan mengajarkan cara memasarkan Kekristenan, seolah-olah Kekristenan itu adalah sebuah produk yang superior dan semua kepercayaan di luar Kristen adalah kompetitor kita. Cara berpikir seperti ini bisa jadi malah membuat kita memandang rendah orang-orang dari kepercayaan lain. Bukannya melihat mereka sebagai objek untuk dikasihi, kita malah melihat mereka sebagai objek untuk dihakimi. Dan sedihnya lagi, tidak jarang itu juga yang dilakukan pemuka-pemuka agama dan diturunkan kepada umatnya.

Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Mungkin kita perlu berhenti sejenak dan memikirkan kembali bagaimana kita seharusnya memberitakan Injil. Yang harus kita lakukan bukanlah memasarkan Kekristenan, tetapi membagikan kasih Kristus. Ya, kasih Kristus, Sang Sumber Kasih yang telah mati untuk menebus dosa kita (Roma 5:8).

Bukalah dialog. Nyatakan kasih Kristus kepada teman-teman yang berbeda iman dengan penuh rasa hormat. Janganlah kita menghakimi mereka, melainkan tunjukkanlah bahwa kita memang benar-benar mengasihi mereka dan ingin mengenal mereka. Aku percaya, mengasihi harus dimulai terlebih dahulu dengan mencoba memahami mereka.

Melalui kasih Kristus yang kita bagikan, niscaya pintu dialog akan terbuka pelan-pelan, dan bila Tuhan berkenan, Roh Kudus akan membukakan kesempatan bagi kita untuk membagikan kesaksian kita—kesaksian tentang kasih Kristus yang tanpa batas, yang telah menyentuh kita, dan yang kita rindukan juga untuk dapat menyentuh semua orang di dunia ini.

Ketika kita membagikan kasih Kristus, ada satu pertanyaan penting yang perlu kita tanyakan kepada diri kita: “Apakah kita melihat diri kita lebih layak daripada orang lain? Apakah kita merasa diri lebih baik dan lebih unggul karena telah mengenal Kristus?” Bila kita menjawab “ya”, kita mungkin perlu menarik diri sejenak dan mengingat kembali bahwa sesungguhnya kita semua adalah manusia berdosa. Jika kita bisa diselamatkan, dan terus hidup dan berkarya hingga saat ini, itu hanya karena kasih karunia Allah (Roma 3:23-24). Kasih Kristus yang telah kita terima itulah yang perlu kita bagikan kepada orang lain.

Akhirnya, marilah kita meminta bimbingan Roh Kudus untuk membukakan kesempatan yang tepat untuk membagikan kasih Kristus dan kesaksian iman kita.

Baca Juga:

PustaKaMu: Doa Itu Bukan Sekadar Meminta Pada Tuhan

Dalam sebuah sesi pendalaman Alkitab bersama mentorku, kami membahas tentang seberapa pentingnya doa dalam kehidupan orang Kristen. Terus terang, aku bukanlah termasuk orang yang rajin berdoa. Ketika berdoa, aku lebih memfokuskan doaku untuk meminta Tuhan memenuhi apa yang menjadi keinginan hatiku.