Posts

Tentang Doa yang Tidak Terkabul: Apakah Kita Kurang Sungguh Berdoa?

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Ada seseorang yang telah berdoa dengan bersungguh-sungguh dan meneteskan banyak sekali air mata. Dia berseru kepada Tuhan bagai pengemis kurus kelaparan yang sedang meminta-meminta, memohon belas kasihan dari Tuhan yang kuasanya tak terbatas.

Namun, sayang sekali, kegigihannya berdoa itu tidak memberikan hasil yang diinginkannya. Orang yang amat dia cintai berakhir tak berdaya, tanpa nyawa dalam sebuah ruangan di rumah sakit. Tindakan operasi tidak menyelamatkan anaknya dari penyakit mematikan yang telah menyiksa selama bertahun-tahun. Singkat kata, perjuangan bertahan hidup diakhiri dengan getir.

Penyakit kronis itu telah merusak kondisi tubuh sang anak. Kepalanya membengkak. Tanpa terganggu dengan penampakan jenazah, dengan wajah datar sang ibu memandangi tubuh anaknya tercinta yang telah kaku.

Setelah upacara pemakaman selesai, dia berteriak keras, menembakkan ribuan peluru keluhan yang menghujam hati para pelayat. “Aku telah berdoa pada Allah yang Mahakuasa. Aku tahu tentang kisah-Nya yang mengubah air dalam tempayan menjadi anggur dengan kualitas nomor satu hanya untuk sebuah pesta, dan aku tidak meminta lebih. Aku hanya meminta-Nya setetes belas kasihan.” Lanjutnya lagi, “Aku mau menagih sebuah janji yang disampaikan ribuan tahun lalu oleh Dia yang tak pernah ingkar melalui hamba-Nya, ‘Doa orang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya’” (Yakobus 5:16b).

* * *

Kisah pilu di atas berbicara tentang seorang Kristen yang telah menghabiskan begitu banyak energi saat dia berjuang demi kesembuhan orang terkasihnya. Dia membeli obat yang mahal, mengunjungi dokter terbaik, memanjatkan doa bertubi-tubi. Namun, ketika pada akhirnya keadaan berkata lain, jauh dari apa yang diharapkan, dia, dan juga banyak orang percaya menjadi kebingungan.

Fenomena ini membangkitkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang terkesan usang tetapi terus bergema di sepanjang zaman bagi para pengikut Kristus. Apakah tidak terkabulnya doa itu karena seseorang kurang bersungguh-sungguh? Apakah perkataan Yakobus dapat dipercaya?

Suka atau tidak suka, tentu saja pada saat kita melihat ayat-ayat dalam Alkitab kita tidak bisa sembarangan mengartikannya sesuai dengan kemauan kita. Sebenarnya, bukan hanya Alkitab, prinsip yang sama juga berlaku pada semua tulisan di mana konteks harus benar-benar diperhatikan. Kegagalan melihat konteks dapat membuat kita gagal paham, atau tragisnya: tersesat. Sampai di sini, aku harap kamu tidak bingung atau takut, lalu berhenti membaca tulisan ini. Aku tidak akan mengajakmu untuk mempelajari Hermeneutika (ilmu menafsir Alkitab) sebanyak tiga sampai empat SKS.

Aku ingin mengajakmu menaruh perhatian lebih serius pada isu krusial ini. Jika kamu belum berdoa saat membaca tulisan ini, adalah baik untuk berdoa memohon hikmat dari-Nya.

Menelaah maksud tulisan Yakobus

“Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yakobus 5:16b).

Ada satu hal yang harus kita ketahui terlebih dulu saat membaca perkataan Yakobus ini. Di sana, setelah ayat 16, Yakobus turut menyertakan kisah tentang Elia yang berdoa agar langit menahan dan menurunkan hujan yang dikutip dari 1 Raja-raja 8:41-46. Bagi kita yang telah membaca kisah itu, secara cepat kita mungkin langsung tahu bahwa tujuan utama dari mukjizat Elia bukanlah untuk dirinya sendiri. Elia tidak meminta Allah mengendalikan langit agar dia dipuji oleh mereka yang menyaksikannya, atau sekadar demi kepuasan hati Elia semata. Semua hal menakjubkan yang dilakukan Elia ditujukan bagi kemuliaan Allah yang mengasihi umat-Nya. Hal ini mungkin terasa asing bagi sebagian orang yang pemahamannya tentang doa adalah mengenai pemenuhan dan pemuasan bagi si pendoa. Dari kisah Elia, kita mendapati bahwa fokus utama dari doa Kristen bukanlah untuk itu, melainkan untuk kemuliaan Allah.

Maksud dari pernyataanku pada paragraf di atas bukan berarti kita tidak boleh mencurahkan isi hati dan permohonan kita kepada Allah. Aku dan kamu dapat menangis di hadapan-Nya. Allah adalah sahabat kita. Namun di sini, aku mendorong kita untuk memusatkan segala kerinduan hati kita kepada kemuliaan-Nya ketika kita sedang berdoa. Mungkin pandangan ini terkesan keras, tetapi kita perlu mengingat bahwa ketika kita memiliki fokus lain selain Allah dalam hidup kita—termasuk di dalam doa—itu dapat dikategorikan sebagai ‘pemujaan berhala’. Hal-hal baik yang kita lakukan, jika didasari pada pandangan kita yang keliru bisa menuntun kita kepada dosa.

Itulah sebabnya, Yakobus menekankan kebenaran di dalam doa. Dia dengan jelas berkata tentang doa orang yang benar. Kata-kata ini tidak bisa kita sepelekan. Kata ‘benar’ menentukan begitu banyak hal yang telah dan yang akan kita definisikan dalam hidup kita.

Jika kita melihat secara keseluruhan pasal dalam ayat ini, sebenarnya ada banyak hal yang dibicarakan oleh Yakobus, tetapi perhatian kita akan kita arahkan secara khusus untuk ayat yang sering disalahpahami ini.

Jadi, apa yang dimaksud dengan “orang yang benar” oleh Yakobus?

Ada tiga hal yang sebenarnya sangat erat yang kita akan bedah bersama agar lebih mudah dipahami.

1. Orang yang benar adalah orang yang dibenarkan oleh darah Kristus

Orang yang benar adalah orang yang telah beriman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan satu-satunya Juru selamat, yang telah memberinya jaminan keselamatan melalui pengorbanan-Nya di Kalvari, sebagaimana tertulis “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Roma 5:1). Yesus memberikan kepastian akan hari esok, bukan teka-teki.

2. Orang yang benar adalah orang beriman yang hidup benar di hadapan Allah

Poin kedua ini tidak sedang berkata bahwa ada manusia yang dapat hidup sempurna tanpa cacat. Yang kumaksudkan di sini adalah orang yang telah dibenarkan karena beriman kepada Kristus yang akan berjuang hidup benar bagi-Nya. Dengan kata lain, imannya diwujudnyatakan dalam perjuangan hidupnya (Yakobus 2:14).

3. Orang yang benar adalah orang yang doanya benar

Poin ketiga ini sebenarnya mengembalikan kita pada poin yang sudah kita bicarakan sebelumnya mengenai fokus doa. Mungkin kita adalah orang yang telah dibenarkan oleh darah Kristus dan sedang berjuang hidup benar bagi kemuliaan-Nya, tetapi dalam motivasi berdoa, kita terkadang salah. Dan, sebenarnya inilah yang telah Yakobus bahas dalam pasal sebelumnya (Yakobus 4:3). Doa orang yang besar kuasanya bukan sekadar siapa pendoanya, melainkan juga apa isi doanya.

Allah tidak mengabulkan doa yang didasari atas motivasi yang salah, segigih apa pun itu.

Beberapa tahun yang lalu, seseorang memberikan kesaksian padaku saat dia kehilangan anaknya. Hatinya hancur. Dia telah berdoa agar anaknya selamat, namun hal yang diinginkannya tidak terkabul. Lalu, di suatu momen, dia mengubah isi doanya. Dia ingin agar nama Tuhan dimuliakan.

Dengan tersenyum, dia memandangku dan berkata, “Tahukah kau, Fandri, pada saat upacara pemakaman anakku, ada banyak orang dengan dengan latar belakang yang berbeda datang. Dan hari itu, mereka mendengarkan kisah kasih Injil keselamatan, kasih Tuhan melalui pengorbanan Kristus lewat sang pengkhotbah.”

Iman Kristen sejatinya bukanlah iman yang sadis, yang seolah Allah hanya bisa dimuliakan ketika kita mengalami penderitaan berat. Tapi, bukan juga iman yang dangkal, yang hanya mengharap hal-hal baik dan takut terhadap penderitaan. Dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, rupa-rupa kemalangan seringkali tidak terelakkan dalam kehidupan kita, tetapi dalam segalanya: entah baik atau buruk, Allah dapat memakai kita sebagai alat-Nya untuk memberi kebaikan bagi kita (Roma 8:28), sekaligus membawa kemuliaan bagi nama-Nya (Roma 11:36).

Kuasa kebenaran di dalam doa terjadi ketika kita telah jujur tentang apa yang kita inginkan, tetapi tetap berani berkata, “Jadilah kehendak-Mu untuk kemuliaan-Mu.”

Baca Juga:

Melajang di Usia 30+: Menyerah atau Bertahan dengan Pendirian?

Melepaskan seseorang yang cukup layak dalam standar masyarakat zaman ini menjadi sangat susah saat berada di usiaku. Aku bisa merasakan pikiranku bergulat untuk menemukan semacam kompromi.

3 Pelajaran Berharga Dariku, Seorang Penyintas Covid-19

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Pada tanggal 14 April 2021 aku kaget ketika membaca kertas dihadapanku. Surat keterangan hasil swab tes antigen tersebut menyatakan bahwa aku positif Covid-19. Kemudian aku beranjak dari gedung laboratorium klinik swasta itu dengan perasaan campur aduk. Di atas motor yang kukendarai aku bertanya-tanya “Lalu bagaimana, Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?”

Sesampainya di rumah kontrakan, aku menelepon salah satu rekan yang juga pernah mengalami positif Covid-19. Dia menenangkanku dan memberikan beberapa saran. Aku harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari ke depan karena gejala yang aku alami tidak parah. Aku mulai kehilangan penciuman sejak 3 hari sebelum aku memutuskan untuk swab antigen. Selebihnya aku tidak merasakan gejala seperti sesak nafas atau pun demam. Sehingga aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa meski semuanya dilakukan di rumah saja.

Aku juga menghubungi keluarga dan beberapa orang yang aku temui selama satu minggu belakangan. Hal yang paling aku takutkan adalah jika aku menularkan penyakit itu pada orang lain. Aku tidak bisa membayangkannya. Penyesalan dan rasa bersalah yang akan menghantuiku jika mereka harus menderita sakit karena tertular olehku. Aku bersyukur ketika tahu bahwa orang-orang yang berinteraksi denganku selama satu minggu terakhir tidak mengalami gejala Covid-19. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keluhan sakit.

Pengalaman terinfeksi dan isolasi mandiri memberiku beberapa pelajaran, dan inilah yang ingin kubagikan pula untukmu.

1. Aku tidak sendirian di masa yang sulit ini

Di kota tempatku bekerja dan melayani, aku tinggal seorang diri di rumah kontrakan, tapi meski jauh dari keluarga aku bersyukur memiliki saudara seiman di sini. Ketika tahu bahwa aku positif Covid-19 dan harus melakukan karantina mandiri, Allah memakai mereka untuk memenuhi kebutuhanku. Mulai dari membelikan multivitamin, susu, bahan makanan dan bahkan oximeter (alat pengukur kadar oksigen dalam darah). Bukan hanya saudara seiman yang ada di kota yang sama denganku, mereka yang di luar kota juga menunjukkan kasihnya dengan bertanya kabar dan mengirimkan makanan. Jarak tidak menjadi penghalang untuk bisa menunjukkan kepedulian.

Aku merasa bahwa ayat firman Tuhan di Galatia 6:2 ini benar-benar aku alami “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Allah seringkali menunjukkan kasih-Nya melalui uluran tangan saudara seiman. Aku semakin tidak ragu akan kebaikan dan pemeliharaan Allah dalam hidupku.

Tuhan menginginkan kita mengambil bagian dalam kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, mulai dari mendoakan, mengirim pesan singkat, menelepon, memberi apa yang bisa kita berikan. Dengan saling tolong-menolong inilah kita menjadi perpanjangan tangan Allah bagi saudara kita.

2. Aku semakin mengenal siapa Allah dan diriku sendiri

Sebagai seorang ekstrovert yang menjalani masa karantina mandiri, tidak bertemu atau berinteraksi langsung dengan manusia lain adalah suatu bencana bagiku. Aku mulai merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang sulit untuk dijelaskan. Aku merasa tidak sanggup untuk menjalani satu hari lagi tanpa bertemu dengan seorang pun. Aku merindukan sebuah pertemuan! Ada waktu di mana aku pergi tidur dan menangis tanpa tahu apa sebabnya. Aku berusaha untuk terus optimis dan bersukacita, namun rasa sedih itu tidak mau kunjung pergi. Aku berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberiku kekuatan dan damai sejahtera. Aku bertanya “Apa yang Kau inginkan untuk aku pelajari dari kejadian ini?”

Aku diperhadapkan dengan diriku sendiri. Tidak ada yang lain selain aku dan Tuhan. Dia mulai membukakan kepadaku, luka yang selama ini aku sembunyikan. Ternyata selama ini aku menyimpan kekecewaan yang berasal dari masa lalu. Alih-alih menyembunyikannya, Tuhan ingin aku merengkuh setiap luka itu dan menghadapinya bersama-sama. Dia rindu untuk memulihkanku, bukan hanya dari penyakit Covid-19 tetapi terlebih lagi dari luka yang ada di hatiku. Selama masa karantina mandiri, aku mengenal diriku sendiri bahwa ternyata aku tidak setangguh kelihatannya dan itu tidak apa-apa.

Dia adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dia adalah Allah yang setia. Ketika kita tidak percaya pada diri kita sendiri dan ingin menyerah, Allah tidak pernah menyerah untuk terus membentuk kita menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya. Mungkin kita memiliki banyak bekas luka, itu tidak apa-apa. Bekas luka itu akan mengingatkan kita bahwa kita telah melalui banyak hal dalam hidup ini. Bekas luka itu juga mengingatkan kita jika kita boleh ada hingga saat ini, itu semua karena penyertaan dan kemurahan Tuhan semata.

3. Kita perlu punya iman tetapi juga kewaspadaan

Aku tidak bangga dengan pengalaman menjadi penyintas Covid-19, karena aku sadar ini terjadi akibat kelalaianku sendiri. Meski aku tidak begitu yakin kapan dan di mana aku terkena virus itu, nampaknya ini karena aku tidak segera membersihkan diri setelah menaiki bus angkutan umum. Aku berharap semoga sikapku ini tidak ditiru. Aku mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa kebal terhadap Covid-19: kaya-miskin, tua-muda, hitam-putih, orang dengan agama apa pun, dapat terjangkit virus ini.

Iman adalah hal penting dalam hidup orang percaya, namun bukan berarti itu meniadakan tindakan kita untuk mewaspadai supaya tidak terkena Covid-19. Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Dengan mematuhi protokol kesehatan, membatasi pertemuan dengan kerumunan orang, dan terus menjaga pola hidup yang sehat adalah wujud iman kita juga. Hal ini dapat membuat kita terhindar dari Covid-19 dan menolong orang lain untuk tidak tertular.

Kita memang sedang menghadapi masa yang tidak mudah. Mungkin kita sudah kehilangan orang terkasih di masa pandemi ini, ada juga yang sedang berjuang untuk sembuh, ada yang sabar mendampingi kerabat yang sedang sakit. Tidak ada yang tahu pasti tahu kapan Covid-19 akan segera berakhir, namun kiranya kita mau tetap percaya bahwa Dia adalah Allah yang peduli. Jika Dia sangat peduli dengan hal yang paling penting dalam hidup umat manusia yaitu keselamatan kekal mereka, maka terlebih lagi dalam menghadapi Covid-19 ini.

Aku tidak tahu pasti alasan mengapa Tuhan mengizinkan pandemi ini terjadi, dan mungkin memang tidak perlu tahu. Satu hal penting yang aku tahu, Dia adalah Tuhan yang mengetahui setiap kesedihan, rasa sakit, dan penderitaan yang kita alami karena Dia pernah menjadi manusia, sama seperti kita. Kiranya Tuhan memampukan kita menghadapi masa-masa sulit ini. Kiranya damai sejahtera dan sukacita dari Allah melimpah dalam hati kita.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Belajar Mengasihi Orang Asing: Aku vs Ketakutanku

Kehadiran orang asing dalam hidup seringkali bukan sekadar kebetulan. Apa yang harus kita lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Kejahatan ‘Terbesar’ di Dunia

Oleh Ananda

Perang Dunia bukan sekadar kisah yang hadir di buku sejarah. Itu adalah peristiwa kelam yang pernah dialami oleh umat manusia. Ketika aku berkunjung ke Ereveld—sebuah pemakaman khusus korban Perang Dunia II di Ancol—aku terperanjat melihat dan mendengar kisah-kisah yang tak tertuliskan di buku pelajaran sekolah dulu.

“Kalau makam yang di sana milik siapa, Pak?”, tanyaku kepada petugas.

“Apakah kamu punya adik laki-laki?”, dia balik bertanya.

“Punya pak, ada dua”, jawabku. Aku agak bingung kok malah aku balik ditanya.

“Makam yang di sana itu adalah makam seorang kakak perempuan bernama Luchien Ubels. Kabarnya, Ia menyerahkan diri untuk dieksekusi pada saat pemerintah Jepang mencari adik laki-lakinya.”

Dari ribuan makam yang ada di Ereveld, makam milik Luchien Ubels mencuri perhatianku. Makam itu lokasinya menyendiri, terpisah dari makam-makam lain. Ada kisah pilu di balik kematian Luchien Ubels.

Luchien Ubels (Luut) memiliki seorang adik yang bernama Lambert Ubels. Masyarakat Eropa pada era kolonial dulu lebih sering mengenal seseorang dengan nama keluarganya ketimbang nama depan. Setelah pasukan Jepang berhasil menginvasi Jawa, Lambert dan teman-temannya yang merupakan pegawai dari Sindikat Pertanian Umum (ALS) melakukan perlawanan dengan membuat petisi. Akibatnya, pasukan Jepang pun memburunya. Pasukan Jepang lantas mendatangi rumah Lambert untuk menahannya, tapi Lambert tidak ada di sana, hanya kakaknya saja yang tertinggal. Di dokumen petisi itu tertulis nama L. Ubels. Pihak Jepang tidak tahu apabila nama Ubels yang tertera di petisi ialah Lambert. Untuk menyelamatkan adiknya, Luut pun mengakui bahwa dia yang telah menandatangani petisi itu. Luut akhirnya dieksekusi bersama 18 orang lainnya. Untuk menghormati jasanya, keluarga Ubels kemudian memohon agar makam Luut ditempatkan secara istimewa di Ereveld Ancol.

Dalam kemelut perang, mengorbankan nyawa demi seseorang adalah tindakan heroik yang tak dapat dilakukan oleh semua orang. Keberanian Luchien Ubels demi menyelamatkan sang adik mengingatkanku kepada kisah Seseorang yang juga mengorbankan diri-Nya di Golgota dua ribu tahun silam. Bukan hanya demi menyelamatkan satu orang, Ia menyerahkan diri-Nya bagi seluruh dunia. Agar setiap orang yang percaya kepada-Nya, beroleh hidup yang kekal.

Orang itu tak lain adalah Kristus. Anak Allah yang rela merendahkan diri-Nya dan berkorban bagi kita, manusia yang kecil dan hina ini. Bukan atas hasil usaha kita, melainkan oleh karena kasih karunia-Nya kita Ia selamatkan.

Seringkali kita lupa bahwa keselamatan yang kita peroleh itu sungguh merupakan sebuah anugerah dari Allah. Alih-alih menerimanya dengan perasaan syukur dan rendah hati, tak jarang kita malah bersikap arogan, merasa lebih tahu dan bahkan merasa lebih pantas menerima keselamatan jika dibandingkan dengan orang-orang yang belum mengenal Kristus. Kita lupa bahwa oleh karena kemurahan hati-Nya sajalah, kita dimampukan untuk mengenal Dia. Sebab seperti yang Paulus katakan, bahwa manusia duniawi sejatinya tidak dapat menerima dan memahami Roh Allah (1 Korintus 2:14-15).

Aku terlahir di dalam non-Kristen. Ketika akhirnya aku mengenal Kristus dan menjadi Kristen, aku sangat bersemangat dalam mengabarkan Kabar Baik ini kepada anggota keluarga yang belum mengenal Kristus. Namun seringkali, semangatku tidak dibarengi dengan sikap hati yang baik dalam menyampaikannya. Sikap arogan pun muncul tanpa kusadari ketika orang-orang yang kuceritakan tentang Kabar Baik itu malah meresponsku dengan buruk. Alih-alih berfokus memberitakan kisah Kabar Baik itu, aku malah berupaya tampil lebih unggul daripada mereka. Aku berfokus untuk “menang” dalam setiap lontaran pertanyaan yang mereka berikan buatku. Dan, tak hanya itu, aku tanpa sadar menuntut mereka untuk melihat dengan cara pandang yang sama sepertiku.

Sekilas upayaku menyampaikan Kabar Baik itu terkesan baik, tetapi aku sesungguhnya sedang lupa dan salah. Aku telah menempatkan diriku lebih tinggi dari Allah, seolah akulah yang memegang kendali untuk meyakinkan mereka. Aku lupa bahwa hanya melalui pekerjaan Roh Kudus sajalah, orang lain dapat terbuka mata dan hatinya.

Aku terlalu sibuk dengan egoku sehingga enggan memberi ruang bagi Kristus untuk dapat terlibat di dalam perjalanan pengenalan akan kasih-Nya kepada mereka. Aku terlalu angkuh untuk mengingat bahwa aku pun pernah mengalami kesulitan untuk untuk benar-benar memahami kasih Kristus yang mulia.

Aku lupa bahwa sesungguhnya aku tidak layak bermegah atas pengertian yang telah Tuhan berikan kepadaku mengenai anugerah keselamatan-Nya. Bukan atas hasil usahaku, juga bukan karena banyaknya buku yang telah habis kubaca, melainkan oleh karena kasih karunia-Nya saja.

Keangkuhanku itu bukan hanya menjauhkan relasiku dengan keluargaku, tetapi juga menjauhkanku dari Allah. Meski aku telah bersaksi tentang Allah melalui perkataanku, nyatanya aku telah gagal memperkenalkan kasih-Nya yang nyata melalui diriku. Sungguh mengerikan ketika menyadari kebobrokan yang telah kulakukan di dalam selubung iman ini.

C.S. Lewis dalam bukunya Mere Christianity mengatakan bahwa “kejahatan yang terbesar di dunia ini adalah kesombongan.” Kesombongalah yang pada awalnya menggiring Adam dan Hawa merasa lebih mengetahui apa yang baik dan menentang kehendak Allah. Melalui kesombongan pula, Lucifer diusir dari surga dan menjadi Iblis.

Kesombongan yang terbalut oleh kehidupan rohani dapat mengaburkan pengenalan yang benar akan kasih Allah yang rendah hati. Itu jugalah yang menyebabkan seteru antara manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan Tuhannya. Jika kesombongan terus dibiarkan tumbuh di dalam dunia, bukankah wajar jika perseteruan antar manusia semakin marak bermunculan?

Kita tahu bahwa dunia memang sudah tercemar oleh pelbagai rupa kejahatan, mulai dari kejahatan kecil sampai kejahatan besar seperti aksi teror yang terjadi di Makassar beberapa waktu lalu. Namun, alangkah baiknya jika kita tidak semakin menambah jumlah daftar kejahatan yang terjadi, dengan cara merendahkan hati dan membagikan kasih yang sudah Yesus ajarkan kepada kita.

Mari kembali merenungkan, sudahkah kita benar-benar merendahkan hati kita dalam memberitakan kasih-Nya, melalui setiap perkataan dan perbuatan kita kepada mereka yang belum mengenal Dia?

Kiranya kita yang telah mengenal Dia, serta diubahkan oleh kasih karunia-Nya, boleh senantiasa dimampukan untuk meneladani kerendahan hati-Nya melalui kasih terhadap sesama. Amin.

Baca Juga:

4 Jurus Melawan Pikiran Negatif

Bagaimana caranya kita bisa tetap bersukacita dan merasa cukup sebagai orang Kristen di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa?

Satu Penyebab Kekalahan dalam Bertanding

Oleh Antonius Martono

“Hampir master nasional,” begitu komentar GM Susanto terhadap permainan catur Pak Dadang Subur.

Pak Dadang Subur dikalahkan secara telak dalam duel persahabatan dengan WGM Irene Sukandar. Duel ini disiarkan langsung dari kanal Youtube miliki Deddy Corbuzier dan ditonton oleh jutaan orang. Menariknya, dari polling yang dibuat oleh Deddy Corbuzier, banyak netizen yang menunggu kemenangan Pak Dadang ketimbang Irene. Padahal, Pak Dadang tidak mendedikasikan hidup dan pengalamannya untuk dunia catur seperti Irene. Sepertinya netizen ingin melihat kisah Pak Dadang mengulang keberhasilan Daud muda mengalahkan Goliat, prajurit yang memiliki segudang pengalaman perang. Terlepas dari keperkasaan Goliat, sebenarnya dia kehilangan satu pengalaman penting di hidupnya yang menjadi penyebab kekalahannya kelak.

Dalam kisah Daud melawan Goliat, kita cenderung melihat Daud dari sudut pandang Saul, yang menganggap remeh. Ketika Goliat menantang pasukan Israel untuk bertarung, Daud berinisiatif untuk menghadapinya. Daud lalu menemui Raja Saul dan meminta izin untuk bertarung dengan Goliat. Saul ragu, dia memandang Daud dan Goliat bukanlah lawan yang sepadan. Goliat telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berperang dan bertarung, sedangkan Daud masih sangat muda dan tidak memiliki pengalaman bertarung yang memadai. Namun, Daud tidak sependapat dengan Saul. Alkitab mencatatnya demikian:

Tetapi Daud berkata kepada Saul: “Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup.” Pula kata Daud: “TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” Kata Saul kepada Daud: “Pergilah! TUHAN menyertai engkau.” (1 Samuel 17:34-37)

Jika kita cermati sosok Daud, dia bukanlah pemuda polos tanpa persiapan dan pengalaman. Dia tidak mengandalkan keberuntungan. Sebagai gembala, padang rumput adalah tempat pelatihannya, sehingga bisa dibilang kalau Daud sama berpengalamannya dengan Goliat untuk bertarung. Namun, Daud cukup bijak untuk tidak hanya mengandalkan pengalamannya bertarung sebagai satu-satunya modal kemenangan. Justru dalam pengalamannya, Daud sadar bahwa sumber kemenangannya berasal dari Tuhan. Pengalaman inilah yang menjadi titik buta bagi Goliat yang tidak pernah merasakannya.

Berkali-kali sudah Daud merasakan bagaimana Tuhan menyelamatkannya dari mulut singa dan beruang. Telah berulang kali Tuhan membuktikan diri-Nya sebagai pribadi yang sanggup dan mau melindungi Daud. Pengalaman ini memupuk iman percaya Daud kepada Tuhan. Bayangkan pengalaman pertama Daud dalam menghadapi seekor singa lapar. Jika dia bisa selamat dari cakar dan mulut singa tersebut tentu itu adalah pengalaman luar biasa yang dimilikinya. Bagaimana mungkin seorang anak muda dapat selamat melawan seekor singa lapar? Daud melihat keselamatan dirinya bukan berasal dari keahliannya melawan binatang buas, melainkan terletak pada Tangan yang sama yang membentuk gigi-gigi tajam seekor singa. Tangan yang sama juga yang akan melepaskan Daud dari tangan Goliat yang kecil.

Sedangkan Goliat sendiri tidak pernah mengalami pengalaman ini. Selama hidupnya Goliat hanya mengandalkan kekuatan, ketangkasan, dan kemahirannya untuk bertarung. Dia sudah terbiasa bergantung pada semua hal itu untuk menyelamatkan hidupnya. Dia tidak tahu tempat lain selain dirinya untuk diandalkan. Goliat tidak mengerti betapa amannya hidup ketika bersandar kepada Tuhan yang hidup.

Lantas, bagaimana dengan kita? Apa yang selama ini menjadi sumber kekuatan kita? Sangat mungkin bagi kita untuk mengandalkan Tuhan di setiap pengalaman pertama kita mencoba sesuatu. Namun, seiring berjalannya waktu, kita semakin terbiasa. Kita merasa semakin mahir dan semakin tahu apa yang harus kita lakukan. Pelan-pelan kita akhirnya tidak lagi memiliki tingkat kebergantungan yang sama kepada Tuhan seperti saat awal kita mencoba hal tersebut. Kita mulai mempercayai pengalaman-pengalaman dan hikmat yang pernah kita pelajari di dalamnya.

Budaya di sekitar kita terus mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang dapat menolong kita selain diri sendiri. Secara tidak sadar hal ini membuat diri kita frustasi. Kita sibuk terus meng-upgrade diri tapi, tetap merasa tidak cukup. Kita merasa hidup masa depan bergantung pada besarnya kapasitas diri. Di lain pihak, lubuk hati kita sadar bahwa diri ini tidak sanggup diandalkan.

Tuhan sendiri tahu betapa rapuhnya manusia yang tidak mampu menebak masa depan. Dia selalu membuka lebar tangan-Nya agar setiap orang yang mau berpegang pada-Nya dapat menikmati penyertaan-Nya. Sehingga setiap kali kita mengalami kesulitan atau kemustahilan tidak lagi menjadi penghalang untuk mencapai tujuan kita. Melainkan kesulitan diubah menjadi sebuah kesempatan untuk memperdalam iman percaya kita kepada Tuhan, seperti Daud.

Pada akhirnya kita memang harus melatih diri dan memiliki jam terbang yang tinggi. Tuhan tidak meminta kita hanya berpangku tangan menunggu hujan keajaiban dari langit. Namun, adalah hal naif jika kita pikir kemampuan diri kita saja sanggup diandalkan. Selalu banyak faktor di luar diri yang sanggup merobohkan kita. Jangan sampai kita terlalu berfokus kepada diri dan kehilangan pengalaman yang utama dalam hidup kita, yaitu pengalaman kekal bersandar pada Tuhan yang perkasa.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

“Dengan Segenap Keberadaan”: Mengenal Tuhan Lewat Disiplin Rohani Belajar

Disiplin rohani pada dasarnya adalah sebuah ‘disiplin’. Kita perlu komitmen, juga perjuangan untuk melakukannya dengan sungguh.

Yuk baca artikel terakhir dari #SeriDisiplinRohani ini.

4 Fondasi Disiplin Rohani

Oleh Yosheph Yang

Jika seseorang bertanya, “Mengapa kamu melakukan disiplin rohani?” Mungkin jawaban yang diberikan kebanyakan orang Kristen bernada positif: ingin bertumbuh dalam iman, ingin berelasi erat dengan Tuhan, dan sebagainya.

Namun, melakukan disiplin rohani itu tidak selalu mudah. Salah satu tantangan yang terjadi ialah kita mudah jenuh. Melalui tulisan ini, aku mengajakmu untuk menggali empat fondasi kita berdisiplin rohani. Seperti orang yang membangun rumah di atas fondasi batu yang kuat (Lukas 6:48), memiliki fondasi disiplin rohani yang benar menolong kita untuk tetap semangat dan konsisten.

Empat fondasi ini terambil dari Kitab Yudas yang pesan utamanya ditujukan kepada kita yang terpanggil, yang dikasihi dalam Allah Bapa, dan yang dipelihara untuk Yesus Kristus.

“Akan tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, bangunlah dirimu di atas dasar imanmu yang paling suci dan berdoalah dalam Roh Kudus. Peliharalah dirimu demikian dalam kasih Allah sambil menantikan rahmat Tuhan kita, Yesus Kristus, untuk hidup yang kekal (Yudas 1:20-21).

1. Membangun diri di atas dasar iman yang paling suci

Nasihat Yudas pada frasa ini mengajak kita untuk tidak hanya beriman di dalam hati dan perkataan, tetapi juga mengungkapkannya melalui tindakan sehari-hari. Iman yang terpaut kuat pada Kristus menolong kita untuk selalu bisa merasakan hadirat Tuhan di setiap waktu dan tempat. Ketika kita percaya bahwa hadirat Tuhan ada dalam setiap langkah kaki kita, inilah yang akan menolong kita untuk hidup kudus, menjauhi dosa, merasakan damai sejahtera dan sukacita dalam hidup kita.

Iman juga berarti kita sungguh-sungguh mencari Kristus. Yeremia 29:13 berkata jika kita sungguh-sungguh mencari Tuhan, maka kita akan menemukan-Nya.

Mengapa iman menjadi fondasi yang penting? Jawabannya dapat kita lihat dalam Ibrani 11:6, “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.”

2. Berdoa dalam Roh Kudus

Salah satu wujud dari disiplin rohani adalah berdoa. Dulu, aku tidak menganggap doa sebagai bagian yang penting. Jika aku ingin rohaniku bertumbuh, kupikir aku bisa melakukannya dengan fokus menumbuhkan pengetahuan agamaku. Membaca Alkitab dan buku-buku rohani rasanya sudah cukup untuk membantuku mengerti siapa Kristus. Namun, di sini aku lupa bahwa Tuhan ingin aku tidak hanya bertumbuh dalam pengetahuanku, tetapi juga di dalam kasih karunia-Nya (2 Petrus 3:18). Dan, pertumbuhan dalam kasih karunia ini hanya bisa dialami ketika kita benar-benar berserah pada Kristus dan datang kepada-Nya dalam doa.

Paulus menuliskan suatu doa yang indah kepada jemaat di Filipi, beginilah isinya: “Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah” (Filipi 1:9-11).

Isi doa Paulus di atas yang memohon “kepenuhan dengan buah kebenaran” sejatinya hanya dapat dikerjakan oleh Yesus saja untuk kemuliaan Allah. Doa-doa Paulus kepada jemaat lainnya (Efesus 3:16-19; 2 Tesalonika 2:16-17; Kolose 1:9-12) juga berisikan bagaimana pentingnya peran Roh Kudus dalam kehidupan rohani kita. Tanpa bantuan Roh Kudus, semangat kita berdisiplin rohani tidak akan bertahan lama.

Salah satu caraku membangun kehidupan doaku adalah dengan mendoabacakan Mazmur setiap hari. Melalui puji-pujian dari Mazmur, aku bisa melihat lebih jelas siapa Tuhan di dalam kehidupanku dan bagaimana ajaibnya kasih karunia Tuhan di kehidupanku. “Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau” (Mazmur 63:4).

3. Memelihara diri dalam kasih Allah

“Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (2 Korintus 5:14-15).

Ayat di atas ialah isi hati Paulus terhadap apa yang telah Kristus lakukan dalam kehidupannya. Paulus benar-benar paham betapa besarnya kasih Kristus. Walaupun Paulus dalam pelayanannya telah melakukan memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus, dia tetap menanggap dirinya adalah orang yang paling berdosa di antara orang berdosa (1 Timotius 1:15). Paulus tahu dengan benar betapa berdosanya hidupnya sebelum mengenal Kristus dan bagaimana besarnya kasih Kristus untuk memakai dia buat kemuliaan Kritus. Paulus diselamatkan dan juga hidup oleh kasih karunia Tuhan.

Ketika kita melihat dan memahami betapa berdosanya kita dan betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalamnya kasih Kristus di kayu salib bagi kita (Efesus 3:18), kita akan merasakan bahwa tidak ada hal yang sia-sia bila dilakukan untuk Kristus. Kegiatan disiplin rohani yang kita lakukan tidak akan kita lihat sebagai kewajiban yang menyusahkan hidup kita, melainkan sebagai ucapan syukur kita kepada kasih Kristus yang begitu besar bagi kita yang berdosa ini. Memelihara diri di bawah kasih karunia Allah akan membebaskan kita dari motivasi disiplin rohani yang keliru. Kita akan lebih terfokus hanya untuk mengasihi Tuhan melalui disiplin rohani kita. Kita tidak lagi hidup untuk diri kita sendiri, tetapi bagi Kristus yang telah mati dan dibangkitkan untuk kita.

4. Menantikan rahmat Tuhan kita, Yesus Kristus, untuk hidup yang kekal

“Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran. Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia” (2 Petrus 3:13-14).

Kita tahu bahwa kemuliaan Tuhan dan hidup yang kekal bersama Kristus nantinya adalah sesuatu yang tidak pernah kita lihat oleh mata kita (1 Korintus 2:9). Tetapi, kita juga tahu bahwa semua ini disediakan kepada kita yang mengasihi Tuhan dan percaya kepada Kristus sebagai pemilik sejati hidup kita.

Kita tidak akan bisa menikmati hidup kekal bersama Kristus apabila kita selama di dunia ini tidak menikmati hidup bersama Kristus. Persekutuan bersama Kristus melalui disiplin rohani selama kita hidup di dunia ini adalah persiapan untuk tujuan hidup kita. Tanpa ada persekutuan yang dalam bersama Kristus, kita tidak akan bisa memahami betapa indah dan berharganya hidup kekal bersama Kristus.

Seiring kita bertumbuh dalam pengertian tentang hidup kekal bersama Kristus, harapan akan hidup kekal ini juga akan membantu kita untuk menjadi mempelai Kristus yang tak bercacat dan bercela di hadapan-Nya. Kasih karunia Tuhan yang memberikan kita hidup kekal kepada kita yang tidak layak ini harus menjadi fondasi yang kuat di dalam kehidupan disiplin rohani kita.

Sebagai penutup, upaya kita bertumbuh menyerupai Kristus melalui disiplin rohani adalah proses yang tidak akan pernah selesai selama kita hidup di dunia ini. Jerry Bridges di dalam bukunya “The Discipline of Grace” berkata Hari-hari terburuk kita tidak pernah seburuk itu sehingga kita berada di luar jangkauan kasih karunia Tuhan. Dan hari-hari terbaik kita tidak pernah begitu baik sehingga kita berada di luar kebutuhan kasih karunia Tuhan. Bagaimanapun baik atau buruknya kondisi ketaatan atau disiplin rohani kita saat ini, kita memerlukan kasih karunia Tuhan untuk hidup hari lepas hari. Aku berharap dan berdoa agar aku dan teman-teman selalu hidup di bawah kasih karunia Tuhan dan terus bertumbuh untuk menyerupai Kristus melalui disiplin rohani.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Salah Kaprah Tentang Kasih

Aku pernah berelasi hangat dengan seseorang, tapi relasi itu kandas karena kekecewaan yang berujung pada munculnya trust-issue dalam diriku.

Dinyatakan Positif COVID-19: Sepenggal Ceritaku Menjalani Isolasi Bersama Tuhan

Oleh Dian Mangedong, Makassar
*Kisah ini ditulis berdasarkan kesaksian dari NA

“Hasil tes swab pegawai sudah keluar, dan kamu hasilnya positif…”

Aku NA, salah satu anggota tim perawatan isolasi Covid di rumah sakit swasta. Mendengar kabar itu dari balik telepon, seketika duniaku runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan sakit sekali, mengabari bapak di kampung yang hari itu tepat berulang tahun. Aku tiba-tiba menyesal, kenapa mesti menjadi bagian tim Covid di rumah sakit tempatku bekerja. Masa depanku kurasa hilang begitu saja. Semangat yang biasa kuberi kepada pasien Covid yang kurawat, sekarang hanya sekadar kata-kata belaka. Sebab aku sudah tertular dan positif!

“Jangan panik, jangan stress, percaya saja Tuhan selalu lindungi..” suara direktur rumah sakit dari balik telepon. Walau pagi itu ucapan semangat bertubi-tubi datang kepadaku, baik dari orang tua, sahabat, teman kerja, sungguh tidak ada pengaruhnya. Kukunci kamar dan kubanjiri kasurku sampai basah dengan air mata. Rasa bersalah karena dapat menjadi pembawa virus bagi orang sekitar. Rasa hancur karena diberikan cobaan seperti ini dari Tuhan. Bahkan marah! Kenapa saat aku memberi diri melayani sebagai petugas medis isolasi Covid, Tuhan malah membiarkanku terjangkit virus ini.

Melalui beberapa waktu sendiri, aku bangkit dan bersiap menuju rumah sakit. Aku akan menjalani perawatan isolasi. Di saat itu aku bahkan kesal saat orang-orang hanya mengirimkanku pesan tanpa berani menjengukku. Seketika ilmu yang kupelajari mengenai Covid hilang begitu saja. Aku panik, khawatir, egois, bahkan marah oleh karena pikiran yang kuciptakan sendiri.

Setelah melalui hari yang panjang. Aku merasa lelah dan tetap tidak damai. Aku masuk kategori orang tidak bergejala (OTG) dan perlahan mulai menerima keadaan ini. Satu-satunya cara adalah kembali kepada Tuhan. Seorang pendeta meneleponku dan mengingatkanku lagi tentang kisah Yusuf. Ia dibuang saudaranya, dijual, difitnah, tetapi di balik itu semua Tuhan punya rencana yang besar. Pula tentang Ayub yang tetap bersyukur dan memuliakan Tuhan di setiap pergumulan yang ia hadapi.

Di ruang isolasi aku merenungi semua yang terjadi. Saat itu aku berdoa dan mencurahkan semua kesedihanku kepada Tuhan. Air mata mengalir tetapi hati benar-benar damai. Kutahu Tuhan sudah menunggu saat-saat seperti ini bersamaku. Berdua saja. Intim dan khidmat. Kuingat lagi kata mamaku bahwa kejadian ini bukan petaka namun menjadi waktuku bersama Tuhan, untuk lebih dekat lagi, membaca Alkitab, berkomunikasi dengan-Nya, bahkan berserah penuh.

Sebagai manusia biasa, aku sadar telah melalui masa-masa penolakan dan stress luar biasa. Tetapi dibalik semua aku sangat bersyukur dan jiwaku lega menyadari ada satu jalan tempatku kembali dan merasakan damai, yaitu di dalam Tuhan. Bahkan Tuhan bukannya membuatku terasing di ruangan isolasi ini. Setiap hari kulihat bagaimana cinta nyata-Nya terwujud melalui sesama manusia terhadapku. Mendukungku dengan segala macam cara dan bentuk. Sungguh manis dan mengharukan kasih Tuhan melalui kehadiran kasih mereka.

“Perang baru dimulai!” kataku dengan penuh kekuatan. Aku berusaha menjalani hari-hariku di ruang isolasi dengan energi positif dari firman Tuhan yang senantiasa menguatkan dan menemaniku setiap hari. Hari-hari kulalui dengan bersyukur. Selain menjalani terapi fisik, perbaikan hubungan bersama Tuhan adalah yang paling kurasakan. Bagaimana sempurnanya kasih Tuhan yang bahkan mencintaiku disaat-saat terpuruk sekalipun.

“Satu kali Allah berfirman, dua hal yang aku dengar: bahwa kuasa dari Allah asalnya, dan dari pada-Mu juga kasih setia, ya Tuhan” (Mazmur 62:12-13a).

Ya, aku percaya Tuhan berkuasa atas hidupku, maka aku tenang.

Hari-hari isolasiku telah usai. Hasil tes swab keduaku sudah negatif. Puji Tuhan… Masih perlu satu kali swab lagi untuk menyatakan aku benar-benar bersih dari virus ini. Sampai kumenulis ini tidak ada gejala sama sekali yang kurasakan. Sungguh Tuhan teramat baik terhadap umat-Nya.

Baca Juga:

Kehendak-Nya Tidak Selalu Tentang Mauku

Ketika sesuatu terjadi tak sesuai mau kita, kita mungkin membombardir Tuhan dengan deretan pertanyaan kenapa. Tapi, mengapa tidak menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melihat dari sudut pandang-Nya?

Melihat Jelas Batas Antara Hidup dan Mati, Ini Kisahku Menjadi Perawat di Masa Pandemi Covid-19

Oleh Galang Siregar

Sudah enam tahun aku tinggal merantau jauh dari keluarga. Bersama tiga temanku, kami bekerja sebagai perawat di unit perawatan intesif (ICU) di sebuah rumah sakit swasta di Jawa Barat. Ketika virus corona mewabah di Tiongkok, aku tak berpikir kalau virus itu akan masuk ke Indonesia dan menjangkiti banyak orang. Namun, inilah kenyataannya sekarang. Kita sedang bertarung melawan virus-virus tak kasat mata.

Rumah sakit tempatku bekerja sebenarnya bukanlah rumah sakit rujukan untuk COVID-19, namun rumah sakit kami tetap berusaha menangani pasien ODP dan PDP sampai mereka mendapatkan fasilitas rujukan. Tapi, untuk mendapatkan fasilitas rujukan tidak mudah, apalagi jika keadaan pasien semakin memburuk. Pihak rumah sakit kami pun membentuk tim khusus penanganan COVID-19 untuk menangani pasien yang kondisinya memburuk dan tak mendapat rujukan.

Aku terpilih menjadi bagian dari tim tersebut. Tak lama setelah tim terbentuk, datang pasien PDP dengan kondisi sakit berat. Tim kami bertugas di ICU isolasi. Dalam sekali tugas, ada empat perawat yang bertugas dan dibagi menjadi 3 shift bergantian: pagi, siang, dan malam. Dalam setiap shift, satu perawat bertugas merawat dua pasien. Setiap kali melakukan handover dari shift sebelumnya ke shift kami, kami memulainya dengan berdoa.

Kami saling memeriksa apakah sudah aman untuk masuk menangani pasien. Pasien 1, Tn. G, usianya 51 tahun. Dia datang dari UGD dengan kondisi tidak sadar. Nafasnya sudah diintubasi, dibantu oleh mesin ventilator. Tn. G masuk dalam kategori pasien PDP karena berdasar hasil CT-scan terdapat pnemumonia di paru-parunya. Pasien juga sudah menjalani rapid test dan hasilnya reaktif, dan sekarang sedang menunggu giliran diambil sampel swab untuk menegaskan diagonosisnya. Kondisi Tn. G terus memburuk. Tensinya menurun dan harus mengonsumsi obat yang mendukung tensi darahnya. Keluarga sudah diberikan informasi mengenai consent, dan mereka memilih opsi DNR (do not resuscitation) atau tidak perlu diresusitasi untuk mencoba mengembalikan kesadaran. Keluarga menganggap risiko Tn. G untuk kembali sembuh kecil, dan jika opsi resusitasi dilakukan, risiko penularan virus ke petugas medis akan lebih besar.

Meski keadaan Tn. G bisa dikatakan amat buruk, kami tetap berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Kami selalu rutin membilas lambung Tn. G yang kotor dan mengobservasinya, supaya saat lambung itu telah bersih kami bisa memberinya nutrisi. Puji Tuhan! Mukjizat terjadi. Keadaan Tn. G perlahan membaik. Tensinya mulai naik dan Tn. G tidak lagi bergantung pada obat untuk menaikkan tensinya. Kemudian, kami mulai menyetop pemberian obat sedasi (obat penenang) untuk menilai sejauh mana kesadaran Tn. G.

Suatu ketika, aku membangunkan Tn. G dan dia membuka matanya. Kucoba berikan perintah untuk mengedipkan mata dan menggerakkan kaki serta tangan, dan Tn. G mampu melakukannya. Tn. G masih mengenakan ventilator sehingga dia tak dapat bicara. Saat itu aku yakin kesadaran Tn. G sudah membaik, hanya nafasnya saja masih harus dibantu oleh ventilator.

Aku berkata kepada Tn. G. “Bapak jangan khawatir.” Lalu kutanya, “Apakah bapak percaya Tuhan Yesus?” Dia mengedipkan matanya.

Kulanjutkan kalimatku bahwa Tuhan Yesus ada di sini, Tn. G tak perlu khawatir karena keluarganya mendoakan dia, dan aku pun senantiasa ada di dekatnya untuk melayaninya. Setiap kali aku memberikan makan dan obat, aku mengajak Tn. G untuk berdoa bersama. Hasil tes swab sudah diambil, semoga hasilnya baik. Saat ini Tn. G masih dalam perawatan.

Pasien kedua, Ny. P, usianya 77 tahun. Ny. P menjadi PDP karena memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri lalu mengalami gejala sesak. Ny. P dibawa dari UGD dalam keadaan sadar namun nafasnya berat. Timku yang terdiri empat perawat bersehati mendoakan Ny. P, merawatnya, sembari memotivasi Ny. P untuk juga berdoa dalam hatinya. Karena nafasnya semakin berat, kami menggunakan ventilator dan dua obat pendukung tensi. Puji Tuhan, keadaan Ny. P semakin membaik. Saat ini kondisi Ny. P tak lagi bergantung pada ventilator dan dia sudah bisa makan menggunakan mulutnya.

Cerita yang kutulis ini adalah sekelumit pengalamanku melayani sebagai petugas medis di garda terdepan. Jika kamu membaca kesaksianku ini, aku mohon kiranya kamu pun berdoa bagi setiap orang yang sakit tanpa melihat latar belakang orang tersebut.

Pandemi virus corona ini hadir secara nyata di tengah kita, namun kita pun yakin bahwa Tuhan Yesus berkarya di tengah-tengah pandemi ini. Dia sanggup menyembuhkan, memulihkan, menghibur, dan memberi kedamaian bagi setiap kita.

Baca Juga:

Menghadapi Disrupsi: Mencoba, atau Menyerah?

Disrupsi, artinya tercabut dari akar. Aktivitas yang dulu dengan mudah kita lakukan secara tatap muka, sekarang terpaksa dikurangi atau ditiadakan. Kita mengubah kebiasaan lama untuk menyesuaikan dengan pola baru. Bagaimana ke depannya?

Karena Cinta-Nya, Tuhan Menjawab “Ya” dan “Tidak” Atas Doa Kita

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Mengimani sesuatu dengan sungguh-sungguh tidak lantas membuat apa yang diimani itu menjadi benar. Hal ini jugalah yang terjadi ketika kita berdoa. Kita tahu berdoa adalah kebutuhan setiap orang percaya. Kita yang percaya pada Yesus Kristus “dituntut” oleh-Nya untuk berdoa.

Bisa dikatakan fondasi hidup kita sebagai orang Kristen dalam menghadapi tantangan adalah berdoa. Kupikir ini bukanlah rahasia bagi kita. Kalau pun rahasia, ini rahasia yang sudah lama bocor. Mungkin kita adalah orang yang selalu mengawali atau menutup hari dengan doa. Atau, mungkin pula kita merupakan bagian dari kelompok doa. Kita berdoa dengan yakin. Kita berdoa dengan iman. Namun, kita merasa doa itu tidak ada dampaknya.

Aku sering berbincang tentang doa dengan beberapa orang yang wajah dan nada bicaranya memancarkan kepedihan hati. Mereka kecewa dengan doa. Salah satu orang yang sangat dekat denganku mengatakan hal yang mengejutkanku, “Aku tidak akan lagi berdoa karena doa hanya menipu perasaan manusia.”

Aku tahu latar belakang keluarganya, sehingga tak mungkin aku tidak bersimpati. Aku memahami perasaannya. Dia bekerja mencari nafkah sedemikian keras, meninggalkan istri dan anaknya, menahan dingin dan lapar di daerah pertambangan emas yang bahkan membahayakan nyawanya, dan menyerahkan semua itu dalam doanya kepada Tuhan.

Namun, dia tidak mendapatkan hasil apa pun. Malahan, setelah bertahun-tahun berjuang dan tanpa hasil, dia kembali ke rumah dan mendapati keluarganya telah berantakan akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan. Istrinya pun sakit dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa menahan tangis saat memandang ia berbicara dengan suara terbata-bata karena menahan air mata.

Selama ini aku mengenalnya sebagai seorang pria yang tegas dan kuat, setidaknya sebelum momen itu muncul. Mendengarkan jeritan hati dari kasus-kasus semacam itu benar-benar dapat meruntuhkan hati pendengar yang lebih keras dari tembok Yerikho sekalipun. Dan, siapa lagi yang dapat kita andalkan selain Allah sendiri?

Tentu saja kita tahu persis Allah tidak pernah membohongi kita. Dia mengirimkan bagi kita Alkitab yang bisa dipercaya. Yesus memberikan pesan yang sangat sederhana namun kuat ketika Dia berkata: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Matius 7:7).

Ada tiga bagian yang harus kita cermati dari perkataan Yesus ini: minta, cari, ketok.

  • Yang pertama: “mintalah”

Meminta berarti kita menempatkan diri kita sebagai pihak yang rendah dan membutuhkan. Kita pasti tidak membusungkan dada pada saat kita meminta atau memohon sesuatu dari orang lain.

Selain itu, kita pun tentu tidak akan meminta sesuatu pada seseorang yang kita tahu persis tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan kita. Contohnya, aku tidak akan minta uang sejumlah 500 milyar pada ibuku karena aku tahu jumlah tabungannya. Tetapi, jika ada penjual cilok di tanggal tua yang lewat di depan rumah kami dan aku meminta ibuku membelikannya bagiku seharga 5 ribu, aku yakin dia sanggup. Dengan demikian, aku melihat inilah cara Tuhan Yesus mengajarkan kita supaya kita merendahkan diri di hadapan Allah dan menaruh penuh kepercayaan kepada-Nya. Kita diajar untuk percaya bahwa Allah pemilik dunia ini bisa diandalkan.

  • Yang kedua: “carilah”

Allah tidak melemparkan uang dari langit. Bukan karena Dia tidak sanggup, tetapi karena Dia mau manusia berusaha dan bekerja. Yesus adalah Allah yang bertindak dengan turun ke bumi memberikan teladan supaya kita mengikuti cara-Nya. Allah tahu, memenuhi kebutuhan manusia yang tahunya hanya meminta akan mencelakakannya. Manusia akan jadi pemalas dan bermental kerupuk. Kasih sayang Allah yang besar itu membuat-Nya melatih anak-anak-Nya supaya mau bertindak aktif sebagai pemberani.

  • Yang ketiga: “ketoklah”

Setelah poin pertama dan kedua, Yesus kemudian berkata “ketoklah”. Dapat dipastikan kita semua pernah bertamu ke rumah orang lain dan tentunya kita tidak akan masuk secara diam-diam. Kita mengetok pintu, kecuali mungkin kita punya tujuan lain. Pada saat mengetok, kita menunggu. Jika belum ada jawaban, kita mengetok lagi, bukan? Kita mengetoknya berkali-kali, mungkin dengan semangat yang berlipat-lipat.

Aku yakin, di sini Yesus sedang mengajar kita untuk bertekun. Bertekun dalam apa? Bertekun dalam dua langkah sebelumnya: berdoa dan bekerja. Paulus juga mengingatkan kita untuk hal yang sama ketika dia meminta jemaat Roma untuk bertekun dalam doa (Roma 12:12).

Lantas, dengan mengikuti pola dalam ayat ini, apakah doa kita, setiap orang percaya, pasti dijawab oleh Tuhan? Meskipun penjelasannya terdengar sedikit filosofis, kita harus merenungkan satu hal penting bahwa “Allah tidak pernah tidak menjawab doa orang percaya”. Artinya, Dia selalu menjawab doa kita. Benarkah? Mungkin banyak dari kita akn berdiri dari tempat duduk kita dan menginterupsi, “lalu mengapa, apa yang salah dengan doaku? (padahal 3 langkah tadi telah aku lakukan). Mengapa Allah tidak menjawabnya?”

Sekali lagi, aku katakan bahwa Allah terus menjawab doa kita. Persoalannya adalah, apakah kita mendengar suara-Nya atau tidak? Persoalannya adalah apakah kita menerima jawaban-Nya atau tidak. Karena sering sekali Allah telah menjawab “Tidak” kepada doa kita, tapi kita menuduh Allah tidak menjawab karena kita ngotot bukan jawaban “tidak” yang kita inginkan. Yang kita inginkan adalah jawaban “Iya!” dari Allah. Ketika kita meminta sesuatu, bahkan yang berpotensi mencelakakan kita, Allah berkata “Tidak, anak-Ku”. Allah sudah menjawab, bukan? Kitalah yang tak mau dengan jawaban-Nya.

Menjawab dengan dan karena cinta

Masih pada pasal yang sama, pada ayat 9 dan 10, Yesus membawa sebuah gambaran yang amat menarik dan cukup “merakyat”. Adakah orang tua yang memberi batu kepada anak yang meminta roti? Ini pertanyaan retoris. Tidak perlu jawaban. Seandainya aku dipaksa menjawab, aku akan berteriak “tidak” sebanyak tujuh kali. Seakan sangat mudah untuk dipahami, sebenarnya perkataan ini juga sangat mudah diselewengkan.

Berdasarkan ayat ini, banyak dari kita yang membangun dasar berpikir kita menjadi seperti ini: “Jika aku minta roti kepada Allah, maka Dia akan memberi roti.” Padahal, ayatnya tidak berkata begitu. Yesus tidak berkata bahwa kalau minta roti pasti diberi roti. Perhatikan kembali ayatnya. Yesus berkata bahwa kalau minta roti, tidak mungkin diberi batu. Artinya, Allah akan memberikan yang terbaik kepada kita. Karena seringkali apa yang kita sangka roti, ternyata adalah batu. Yang kita pikir madu, ternyata adalah racun. Itu terjadi karena kita seperti anak kecil yang tergila-gila akan keinginan kita.

Jika ada anak kecil berusia 3 tahun meminta pisau untuk bermain, apakah kita yang menyayanginya akan memberinya? Bayangkan jika anak itu menangis dan mulai membenci kita, apakah kita akan berubah pikiran dan memberinya pisau itu? Tetap tidak! Mengapa? Karena kita menyayanginya. Itulah risiko yang Allah ambil. Dia dibenci karena ketidakpahaman kita pada karakter-Nya yang kudus dan keputusan-Nya yang benar. Ada banyak hal yang tidak diberikan Allah karena sayang-Nya pada kita. Ketika Allah memberi, Dia memberi dengan cinta. Ketika Allah tidak memberi, itu pun karena cinta. Itu sebabnya, jika aku harus memberikan sebuah definisi pendek, maka aku akan mengatakan bahwa doa adalah “menyatakan ucapan syukur dan kerinduan/keinginan hati kita kepada Allah, meminta-Nya mengoreksi keinginan kita jika keinginan itu salah, meminta-Nya memberi pengertian dan kekuatan akan keputusan-Nya”.

Itu sebabnya, ketika permohonan Paulus tidak dikabulkan saat dia berseru kepada Allah agar duri dalam dagingnya disingkirkan, Paulus tidak menjadi kecewa (2 Korintus 12:7). Karena Paulus mengerti bahwa ketika Allah menjawab tidak, Allah mungkin tidak memberi roti yang dimintanya, namun Allah pasti memberi sesuatu yang jauh lebih baik dari roti itu.

Tahun berlalu dan aku mulai memahami bahwa doa itu bukan sekadar tempat kita berbicara, tetapi juga Allah berbicara. Dia membentuk kepribadian kita dengan jawaban “iya” dan “tidak” terhadap doa kita, sama seperti seorang bapa kepada anaknya.

Keyakinan kita bukan terletak pada apa yang kita minta, melainkan kepada Dia yang kita mintai adalah Allah yang baik, dan lebih dari semua itu, Dia Allah yang benar.

Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Jawaban Doa yang Tak Terduga

Jika doaku dikabulkan Tuhan sesuai dengan apa yang kuinginkan, tentu aku merasa senang. Namun, ada sebuah peristiwa dalam hidup yang bagiku unik. Tuhan menjawab doaku lebih baik dari yang kuharapkan, tapi aku malah tidak bersukacita karenanya.

Refleksi Mazmur 91: Belajar Memahami Janji Tuhan dengan Benar

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Merebaknya pandemi virus COVID-19 di seluruh dunia telah menghadirkan kecemasan dan ketakutan. Ketika jumlah pasien di Nusantara semakin meningkat dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia tidak lagi bisa menganggap sepi ancaman pandemi ini. Semua orang, termasuk orang-orang Kristen, berusaha untuk menyikapi situasi ini sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Seperti yang bisa diduga, tidak semua orang Kristen berbagi keyakinan yang sama. Sebagian mengalami ketakutan yang berlebihan. Sebagian yang lain tampak tenang. Kelompok yang terakhir ini meyakini bahwa wabah dan tulah tidak akan menimpa orang yang beriman. Banyak ayat dimunculkan sebagai dukungan. Salah satunya adalah Mazmur 91.

Penafsiran historis terhadap teks ini menunjukkan bahwa Mazmur 91 memang telah menjadi penghiburan dan pengharapan bagi bangsa Yahudi maupun umat Kristen di sepanjang zaman. Sebagian orang bahkan menjadikan teks ini sebagai mantera maupun bacaan wajib tiap malam, terutama ketika bencana datang menghadang. Beberapa misionaris yang menghadapi tantangan besar di ladang juga menjadikan teks ini sebagai ayat favorit mereka.

Menjadikan Mazmur 91 sebagai penghiburan di tengah bahaya yang datang memang wajar. Beragam kata yang berkaitan dengan perlindungan muncul berkali-kali dalam teks ini: lindungan (ayat 1), naungan (ayat 1), perlindungan (ayat 2, 9), pertahanan (ayat 2), perisai dan pagar tembok (ayat 4), perteduhan (ayat 9), keselamatan (ayat 16). Begitu pula pelbagai kata kerja yang mengarah pada ide yang sama: melepaskan (ayat 3), menudungi (ayat 4), menjaga (ayat 11), menatang (ayat 12), meluputkan dan membentengi (ayat 14). Sehubungan dengan kasus virus Corona Covid-19, mazmur ini menjanjikan bahwa penyakit sampar dan menular tidak akan menakutkan bagi orang yang beriman (ayat 5-6). Walaupun ribuan orang akan rebah, kita hanya akan menonton saja (ayat 7-8).

Benarkah mazmur ini menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya? Benarkah orang Kristen tidak mungkin tertular suatu wabah? Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah peristiwa buruk sama sekali tidak akan menimpa orang percaya.

Pertama, fungsi awal mazmur ini dalam konteks ibadah. Jika kita memerhatikan dengan cermat, mazmur ini menggunakan kata ganti orang yang berlainan. Di ayat 1-2 pemazmur berbicara tentang “orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa”. Mulai ayat 3-13 pemazmur menggunakan sapaan “engkau”. Ayat 14-16 menampilkan Allah sebagai pembicara. Perbedaan kata ganti ini diyakini oleh banyak penafsir sebagai petunjuk ke arah penggunaan mazmur ini dalam konteks ibadah (liturgi). Ada kemungkinan mazmur ini dinyanyikan secara bersahut-sahutan selama ibadah.

Jika benar demikian, semua janji dalam mazmur ini hanya berlaku secara umum bagi umat Allah. Keadaan spesifik masing-masing orang mungkin akan berbeda. Allah mungkin memiliki rencana tertentu bagi individu tertentu. Walaupun demikian, mazmur ini secara umum bisa dijadikan penghiburan di tengah ketakutan.

Kedua, jenis bahaya yang dimaksud. Semua bahaya yang disebutkan dalam mazmur ini—peperangan (ayat 5), penyakit (ayat 6), malapetaka dan tulah (ayat 10)—sebaiknya dipahami sebagai hukuman dari Allah kepada orang-orang fasik. Dugaan ini didukung secara eksplisit oleh ayat 8: “Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orang fasik”. Selain itu, penggunaan istilah “jerat penangkap burung” (ayat 3) dan “tulah” (ayat 10) mengarah pada maksud jahat dari orang-orang fasik yang mencoba menciderai orang percaya, tetapi Allah merespons itu dengan hukuman. Dalam situasi seperti ini, kita bisa meyakinkan diri kita bahwa semua upaya jahat itu tidak akan berhasil. Kalau pun berhasil, hal itu justru akan mengerjakan kebaikan bagi kita (lihat Kejadian 50:20).

Jika maksud pemazmur memang seperti itu, Mazmur 91 tidak boleh diterapkan secara mutlak dalam konteks persebaran virus COVID-19. Tidak ada tanda-tanda bahwa wabah ini merupakan hukuman Allah bagi orang fasik. Ini adalah persoalan biasa. Siapa saja bisa terpapar. Beberapa pasien adalah orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.

Ketiga, jenis sastra teks ini yang puitis. Untuk memahami maksud suatu teks, pembaca perlu mengetahui jenis sastra (genre) dari teks tersebut. Kita tidak akan membaca buku sejarah layaknya membaca sebuah puisi, begitu pula sebaliknya. Masing-masing jenis sastra memiliki karakteristik dan aturan penafsiran sendiri-sendiri. Hal yang sama berlaku pada Mazmur 91.

Teks ini ditulis dalam bahasa puisi: beragam metafora, permainan kata, pengulangan ide, dan ungkapan-ungkapan figuratif. Sebagai contoh, marilah kita melihat ayat 13: “Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga”. Apakah kita seharusnya menafsirkan bagian ini secara harfiah? Tentu saja tidak! Akan sangat konyol dan memalukan kalau ada orang Kristen yang secara gegabah melangkahi dan menginjak binatang-binatang buas sambil berharap dia akan baik-baik saja. Teks ini tidak untuk diterapkan secara harfiah.

Keempat, cakupan penerima janji. Semua janji di mazmur ini bersifat bersyarat (kondisional). Janji-janji itu tidak berlaku untuk semua orang atau siapa saja. Di awal mazmur ini sudah diajarkan bahwa kebaikan Allah di sini hanya ditujukan kepada mereka yang “duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa” (ayat 1). Kata “duduk” (Ibrani yāshab) seharusnya diterjemahkan “berdiam”. Bukan sekadar duduk, tetapi memang tinggal di sana (lihat semua versi Inggris). Terjemahan “bermalam” (lûn) menyiratkan istirahat atau ketenangan setelah bepergian jauh (LAI:TB “bermalam”). Dengan kata lain, orang yang berdiam dan bermalam dalam TUHAN adalah mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan kubu pertahanan (ayat 2). Metafora di ayat 1-2 ini selanjutnya diulang lagi di ayat 9. Jadi, sekali lagi, janji ini hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan.

Apakah yang dimaksud dengan “menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan”? Pemazmur menjelaskan itu di ayat 14-15. Berlindung dan berteduh pada TUHAN berarti memiliki relasi personal dengan Allah yang intim (ayat 14). Keintiman ini diungkapkan melalui frasa “hatinya melekat kepada-Ku” (LAI:TB). Kata Ibrani di balik terjemahan ini bisa berarti “mengasihi” atau “menempel pada sesuatu”. Beberapa versi Inggris menggabungkan dua makna ini sekaligus (ESV “he holds fast to me in love”; RSV “he cleaves to me in love”). Ungkapan lain yang menggambarkan keintiman tersebut adalah “mengenal nama-Ku”. Kata kerja “mengenal” di sini tentu saja bukan sekadar tahu, tetapi benar-benar dekat. Istilah “nama” di sini pun bukan sekadar sebutan atau panggilan. Nama berbicara tentang Pribadi. Dengan kata lain, mengenal nama berarti mengenal secara dekat.

Menjadikan TUHAN sebagai perlindungan dan perteduhan juga berarti menyandarkan diri pada Allah melalui doa (ayat 15). Yang mendapatkan janji TUHAN adalah mereka yang “berseru kepada-Ku”. Doa ini lahir dari kelemahan, keterbatasan, dan ketidakberdayaan (“dalam kesesakan”). Di samping itu, doa ini juga muncul dari iman, dari hati yang berani berkata: “Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai” (ayat 2).

Kelima, pemahaman Tuhan Yesus tentang mazmur ini. Pada momen pencobaan di padang gurun, Iblis mengutip salah satu ayat dari mazmur ini (ayat 11-12). Yang dikutip tentu saja yang berisi janji ilahi bahwa TUHAN akan menyuruh para malaikat untuk menopang orang benar sehingga kakinya tidak akan terantuk (Matius 4:6). Bukankah Yesus orang yang benar? Bukankah para malaikat pasti akan menatang Dia? Lalu apakah Yesus akhirnya benar-benar melompat dari bubungan bait Allah? Tentu saja tidak! Tuhan Yesus memahami bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan dan diterapkan secara sembarangan. Menggunakan ayat ini secara sembrono berarti mencobai TUHAN (Matius 4:7).

Dengan memahami 5 (poin) di atas, kita tidak akan kaget ketika melihat seorang yang sungguh-sungguh beriman ternyata terkena suatu wabah atau bencana. Janji-janji di Mazmur 91 memang berlaku secara umum. TUHAN pasti memiliki rencana yang lebih baik bagi orang tersebut. Sikap Tuhan Yesus ketika dicobai oleh Iblis dengan menggunakan ayat ini memberikan pencerahan penting untuk memandang janji-janji ilahi ini dengan benar. Bagi Yesus Kristus, yang terpenting bukan perlindungan bagi diri sendiri, melainkan penggenapan rencana Allah. Untuk apa memperoleh perlindungan tetapi gagal memenuhi panggilan Allah? Bukankah perlindungan dari Allah seharusnya ditujukan untuk penggenapan rencana-Nya? Jika Allah memandang bahwa kematian seseorang lebih memuliakan Dia, untuk apa Dia memberikan kelepasan dari kematian? Namun, jika kelepasan memang lebih bermanfaat bagi penggenapan rencana-Nya, Allah pasti akan campur tangan. Intinya, baik hidup atau mati, semua untuk kepentingan Allah. Mana saja yang lebih memuliakan TUHAN, itu yang kita jadikan pilihan.

Pemahaman di atas juga menghindarkan kita dari gaya hidup yang sembrono. Semua upaya untuk menghindarkan diri dari pandemi virus ini harus dilakukan: sering mencuci tangan dengan benar, menjaga pola makan yang sehat, beristirahat dengan cukup, tidak stres, rajin berolah raga dan menghindari kerumunan orang. Kita juga berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadi penyebar atau perantara virus. Hindari aktivitas yang bisa membuat kita terpapar. Sama seperti Kristus yang tidak mau sembarangan menerapkan janji-janji Allah di mazmur ini, demikian pula dengan kita. Bagian kita adalah menjaga diri sebaik mungkin sambil terus mendekat kepada Allah. Jika sesuatu yang buruk tetap terjadi, hal itu berarti Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik daripada sekadar perlindungan. Allah sedang menyertakan kita dalam rencana-Nya.

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang penulis:

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Andra Tutto Bene, Semua Akan Baik-baik Saja

Ketika keadaan tampak kelam, jalan keluar tak terlihat, harapan tetaplah ada. Tuhan kita setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya.