Posts

Kalah atau Menang?

Sabtu, 18 Juni 2016

Kalah atau Menang?

Baca: 1 Yohanes 5:1-13

5:1 Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga Dia yang lahir dari pada-Nya.

5:2 Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.

5:3 Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat,

5:4 sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita.

5:5 Siapakah yang mengalahkan dunia, selain dari pada dia yang percaya, bahwa Yesus adalah Anak Allah?

5:6 Inilah Dia yang telah datang dengan air dan darah, yaitu Yesus Kristus, bukan saja dengan air, tetapi dengan air dan dengan darah. Dan Rohlah yang memberi kesaksian, karena Roh adalah kebenaran.

5:7 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian (di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.

5:8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi): Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu.

5:9 Kita menerima kesaksian manusia, tetapi kesaksian Allah lebih kuat. Sebab demikianlah kesaksian yang diberikan Allah tentang Anak-Nya.

5:10 Barangsiapa percaya kepada Anak Allah, ia mempunyai kesaksian itu di dalam dirinya; barangsiapa tidak percaya kepada Allah, ia membuat Dia menjadi pendusta, karena ia tidak percaya akan kesaksian yang diberikan Allah tentang Anak-Nya.

5:11 Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya.

5:12 Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup.

5:13 Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Allah, tahu, bahwa kamu memiliki hidup yang kekal.

Sebab semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita. —1 Yohanes 5:4

Kalah atau Menang?

Setiap tahun pada tanggal 18 Juni di Belgia diadakan peringatan atas pertempuran besar Waterloo. Pada 18 Juni 1815, tentara Prancis yang dipimpin Napoleon ditaklukkan oleh kekuatan sekutu yang dipimpin oleh Duke of Wellington. Sejak saat itu, ungkapan “mengalami momen Waterloo” mempunyai arti “dikalahkan oleh seseorang yang lebih kuat atau ditumbangkan oleh masalah yang terlalu sulit”.

Demikan juga dengan kehidupan rohani kita. Ada orang-orang yang merasa bahwa kegagalan total tidak mungkin dihindari dan setiap orang, cepat atau lambat, pasti akan “mengalami momen Waterloo”. Namun Yohanes menolak pandangan pesimis itu ketika ia menulis kepada para pengikut Yesus: “Semua yang lahir dari Allah, mengalahkan dunia. Dan inilah kemenangan yang mengalahkan dunia: iman kita” (1Yoh 5:4).

Yohanes menjalin tema kemenangan rohani itu di sepanjang suratnya yang pertama, di mana ia mendorong kita untuk tidak mengasihi segala sesuatu yang ada di dunia ini dan yang akan segera lenyap (2:15-17). Sebaliknya, kita harus mengasihi dan melakukan kehendak Allah, “dan inilah janji yang telah dijanjikan-Nya sendiri kepada kita, yaitu hidup yang kekal” (2:25).

Meskipun adakalanya kita mengalami pasang-surut dalam hidup ini, bahkan mungkin sesekali tumbang dan kalah, yakinlah bahwa kemenangan mutlak akan kita raih dalam Kristus ketika kita mengandalkan kuasa-Nya. —David McCasland

Tuhan Yesus, kemenangan-Mu yang mutlak atas dunia yang berdosa ini sudah terjamin, dan Engkau meminta kami untuk mengalami kemenangan itusetiap hari. Oleh anugerah-Mu, mampukanlah kami untuk mengalahkan dunia lewat iman dan ketaatan kami kepada-Mu.

Untuk mengatasi masalah, percayalah kepada Allah saat kamu melaluinya.

Bacaan Alkitab Setahun: Nehemia 10-11; Kisah Para Rasul 4:1-22

Pengumuman

Hai sobat WarungSaTeKaMu. Bagi kamu pengguna aplikasi Android WarungSaTeKaMu yang tidak mendapatkan update renungan dan artikel terbaru di homepage aplikasi hari ini, kamu dapat melakukan langkah berikut untuk memperbaikinya:

1. Buka menu Settings di dalam ponselmu, lalu pilih pengaturan aplikasi (“Application Manager / Apps”).

2. Pilih aplikasi WarungSaTeKaMu dalam daftar tersebut.

3. Tekan tombol “Clear cache”.

Silakan hubungi kami melalui menu [Bantuan >> Kontak Kami] jika kamu masih menemui kendala. Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati!

Artikel Terkait:

Kegagalan yang Membawaku Kembali Kepada Tuhan

Habis sudah impian Chronika Febrianti untuk diliput sebagai orang sukses. Optimisme yang tadinya membakar semangatnya kini berganti dengan rasa ingin menyerah. Adakah pelajaran yang bisa diambil dari kegagalannya ini? Bagaimana dia bisa bangkit kembali?

Pengetahuan dan Tindakan

Selasa, 31 Mei 2016

Pengetahuan dan Tindakan

Baca: Markus 10:17-27

10:17 Pada waktu Yesus berangkat untuk meneruskan perjalanan-Nya, datanglah seorang berlari-lari mendapatkan Dia dan sambil bertelut di hadapan-Nya ia bertanya: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”

10:18 Jawab Yesus: “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja.

10:19 Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengurangi hak orang, hormatilah ayahmu dan ibumu!”

10:20 Lalu kata orang itu kepada-Nya: “Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku.”

10:21 Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”

10:22 Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.

10:23 Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya di sekeliling-Nya dan berkata kepada mereka: “Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

10:24 Murid-murid-Nya tercengang mendengar perkataan-Nya itu. Tetapi Yesus menyambung lagi: “Anak-anak-Ku, alangkah sukarnya masuk ke dalam Kerajaan Allah.

10:25 Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.”

10:26 Mereka makin gempar dan berkata seorang kepada yang lain: “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?”

10:27 Yesus memandang mereka dan berkata: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.”

Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah. —Markus 10:27

Pengetahuan dan Tindakan

Seorang filsuf Tiongkok, Han Feizi, memberikan komentarnya tentang kehidupan, “Mengetahui fakta itu mudah. Yang sulit adalah mengetahui bagaimana bertindak sesuai fakta itu.” Seorang pria kaya dengan masalah tersebut pernah datang kepada Yesus. Ia tahu betul hukum Musa dan yakin bahwa ia telah menaati semua perintah Allah sejak muda (Mrk. 10:20). Namun tampaknya ia penasaran apakah ada fakta-fakta lain yang dikemukakan Yesus. “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (ay.17).

Jawaban Yesus mengecewakan orang kaya itu. Yesus memerintahkannya untuk menjual segala miliknya, memberikan uang hasil penjualan itu kepada orang miskin, lalu mengikuti Dia (ay.21). Yesus menyingkapkan sebuah fakta yang tak ingin didengar orang itu. Pria kaya itu lebih mencintai dan mengandalkan kekayaannya daripada mempercayai Yesus. Perintah untuk melepaskan jaminan keuangannya dan menjadi pengikut Yesus itu dianggapnya sebagai risiko yang terlalu besar, maka ia pun pergi dengan sedih (ay.22).

Apa yang dimaksud oleh Sang Guru? Murid-murid-Nya sendiri gempar dan bertanya, “Siapakah yang dapat diselamatkan?” Yesus menjawab, “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah” (ay.27). Yang dibutuhkan adalah keberanian dan iman. “Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Rm. 10:9). —Poh Fang Chia

Ya Allah, terima kasih untuk kabar baik tentang Yesus. Beri kami keberanian untuk menindaklanjuti kebenaran yang kami ketahui, dan untuk menerima keselamatan yang Yesus berikan. Terima kasih karena Engkau memberi kami kekuatan untuk bertindak menuruti fakta yang ada.

Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat. —Kisah Para Rasul 16:31

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 13-14; Yohanes 12:1-26

Artikel Terkait:

Tsunami yang Mengubah Hidupku

Tsunami dahsyat di tahun 2004 adalah peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan Kelty seumur hidup. Melalui peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya itu, Tuhan mengubahkan cara pandangnya tentang kehidupan.

Pergumulanku sebagai Seorang Kristen-Generasi-Kedua

pergumulanku-sebagai-seorang-kristen-generasi-kedua

Oleh Ellen, China
Artikel asli dalam bahasa Traditional Chinese: 二代基督徒的苦惱

Aku adalah seorang “Kristen-generasi-kedua” (terlahir dalam keluarga Kristen —red). Sepanjang sebagian besar hidupku, aku merasa terjebak dengan label ini. Aku percaya orang-orang Kristen-generasi-kedua lainnya tahu apa yang akan aku bagikan berikut ini.

Sejak muda, aku sudah pergi ke gereja bersama orangtuaku. Gereja seperti rumah kedua buatku. Itu adalah sebuah tempat aku bermain dengan teman-teman dan menyanyikan lagu-lagu Kristen. Itu juga menjadi tempat di mana aku belajar menjadi seorang anak yang dikagumi oleh semua orang. Saat itu, aku adalah seorang anak dengan mata yang berbinar yang akan mendengarkan pelajaran di Sekolah Minggu dengan penuh perhatian dan berpartisipasi secara aktif ketika sang guru Sekolah Minggu melemparkan pertanyaan. Aku juga mengambil bagian dalam acara Natal tahunan yang gerejaku selenggarakan, memakai kostum yang cantik dan menyanyi sepenuh hati dan dengan bangganya di pinggir panggung.

Mengikuti acara-acara seperti itu sudah sangat biasa untukku, aku tidak pernah berpikir mengapa aku melakukan semua itu. Di dalam pikiranku, aku tahu ada Tuhan yang menciptakan alam semesta dan memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk mati untuk manusia yang terhilang. Tapi aku tidak bisa menjelaskan apa hubungan itu semua dengan diriku secara pribadi.

Jadi aku hanya terlihat Kristen dari luarnya saja. Meskipun aku melayani di gereja, aku jauh dari Tuhan. Aku tinggal dalam keyakinan yang dipinjamkan oleh guru Sekolah Minggu dan orangtuaku, seringkali aku hanya mengulangi mengatakan apa yang mereka ajarkan padaku tanpa pernah meyakininya secara pribadi. Setiap kali orang-orang yang baru percaya mengekspresikan kekaguman mereka akan anugerah luar biasa yang diberikan oleh Yesus Kristus, sang Tuhan dan Juruselamat, aku tetap tidak bergeming—aku sudah terlalu biasa mendengar tentang anugerah Tuhan, dan menjadi mati rasa dengan apa yang menjadi arti dari itu semua. Namun pada saat yang sama, aku juga merasa sedikit iri dengan mereka yang begitu berapi-api akan iman mereka kepada Allah—sedangkan aku tidak merasakan apa-apa.

Namun seiring waktu aku mulai merasa terganggu dengan rasa apatisku terhadap imanku; aku tahu aku harus berubah. Saat itu aku kelas 3 SMA dan aku terbebani oleh tekanan untuk masuk ke sebuah universitas yang bagus. Aku ingat aku masuk ke gereja di sebuah hari Natal, merasa begitu khawatir dan tidak pasti tentang masa depanku. Meskipun pendetaku dan orangtuaku mendoakanku secara rutin, aku berada di ambang keputusasaan.

Malam itu, aku memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan—tapi aku bingung. Aku tidak tahu harus berkata apa atau harus memulai dari mana, jadi aku memejamkan mata, berharap bahwa Tuhan akan mengungkapkan sesuatu kepadaku. Pada saat itu, kata-kata dari lirik sebuah lagu muncul di pikiranku. “Banyak hal tak kupahami dalam masa menjelang. Tapi terang bagiku ini, tangan Tuhan yang pegang.” Setelah mendengar kata-kata ini, air mata mulai mengalir dari mataku. Saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan tahu persis apa yang aku alami, meskipun aku sulit mengekspresikannya.

Sampai saat itu, aku pikir aku berjuang sendirian. Tetapi kenyataannya, Tuhan selalu bersamaku; Dia menggunakan lagu itu untuk mengingatkanku bahwa meskipun masa depan tampak tidak jelas, itu semua ada di dalam tangan-Nya. Itu juga saat di mana akhirnya aku mengerti bahwa hubunganku dengan Tuhan adalah suatu hal yang pribadi, bukan sesuatu yang diajarkan oleh orangtuaku atau guru Sekolah Mingguku. Allah mengasihiku karena aku adalah anak-Nya. Dia ingin membimbing dan menghiburku secara pribadi. Dia tahu setiap hal yang aku pikirkan, dan Dia memiliki rencana yang sempurna bagiku.

Sebagai orang Kristen-generasi-kedua, kita memiliki hak istimewa untuk mengenal Tuhan kita yang luar biasa sejak kita lahir. Kita tidak perlu menghadapi banyak penghalang atau perlawanan sengit untuk mengenal-Nya. Kita mungkin tidak sadar betapa kita telah begitu diberkati! Bahkan, kita mungkin menyepelekan hak istimewa ini, dan kehilangan rasa kagum dan rasa syukur kita kepada-Nya.

Aku belajar untuk bersyukur kepada Tuhan untuk hak istimewa yang kudapatkan untuk mengenal Dia sejak masa mudaku. Namun sementara orangtuaku telah menjalankan peran mereka yang penting untuk memperkenalkanku dengan Tuhan, aku belajar bahwa itu adalah tanggung jawab pribadiku untuk membangun hubungan dengan-Nya. Aku sadar bahwa satu-satunya cara kita dapat mematahkan stereotip tentang orang “Kristen-generasi-kedua” adalah dengan menemukan Tuhan secara pribadi, dan mengalami kasih-Nya yang luar biasa bagi kita.

Artikel Lain:

Hal Penting yang Kulupakan Ketika Aku Melayani Tuhan

Aku senang dan sangat aktif melayani Tuhan sejak muda. Bisa dibilang hari Minggu adalah hari yang sangat sibuk buatku. Hingga suatu hari firman Tuhan menegurku di sebuah ibadah remaja. Ada satu hal penting yang selama ini aku lupakan ketika melayani Tuhan. Baca kesaksian Maleakhi selengkapnya di dalam artikel ini.

Bagaimana Jika Kekristenan Adalah Sebuah Kebohongan?

Penulis: Leslie Koh
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What If Christianity Was A Lie?

What-if-Christianity-Was-a-Lie-

Bertahun-tahun silam, seorang temanku pernah berkata, “Keberadaan Tuhan itu tergantung pada iman kita.”

Pada saat itu aku berpikir, wah, masuk akal. Ini pemikiran orang cerdas.

Pernyataan itu memang ada benarnya. Tampaknya sangat logis: jika suatu hari aku memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan, tidak akan ada lagi yang namanya Tuhan dalam hidupku. Dia akan segera lenyap. Kehidupan akan berjalan seperti biasa. Bahkan, aku mungkin akan bertanya: Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Tuhan? (Jangan protes dulu sebelum selesai membaca).

Meski aku telah lama menjadi orang Kristen—aku dibesarkan dan dididik sebagai orang Kristen—harus kuakui bahwa adakalanya sejumlah pertanyaan mengusik hatiku: Bagaimana jika ternyata kekristenan adalah sebuah kebohongan? Bagaimana jika semua yang aku percayai ternyata terbukti tidak benar? Bagaimana jika ternyata Allah atau Yesus sesungguhnya tidak ada dan selama ini aku telah mempercayai omong kosong belaka? Bagaimana hal itu akan memengaruhi hidupku? Apa yang harus aku lakukan?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku mulai berpikir bagaimana caranya menguji imanku sendiri. Perlu kutegaskan bahwa aku tidak lantas mencari sesama orang Kristen untuk memperdebatkan konsep-konsep teologis atau berusaha mencari tahu kebenaran iman Kristen—itu di luar kemampuanku! Yang aku lakukan adalah mencoba melihat apakah aku bisa meyakinkan diriku sendiri untuk melepas imanku.

Pada dasarnya aku bertanya pada diriku sendiri: Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kekristenan telah membohongiku? Apa kerugiannya jika aku tidak lagi mempercayai Yesus?

1. Aku harus membuktikan bahwa Yesus adalah seorang pembohong

Mengapa? Karena Yesus terang-terangan berkata, Dialah satu-satunya jalan kepada Allah—jalan, dan kebenaran, dan hidup—dan setiap orang yang percaya kepada-Nya akan mendapatkan hidup yang kekal (Yohanes 14:6; 3:16). Dia tidak menyatakan diri sebagai seorang guru atau pemimpin agama yang hebat, tetapi sebagai Anak Allah. Dengan sangat jelas Dia berkata bahwa setiap orang yang tidak percaya kepada-Nya akan binasa.

Jika apa yang dikatakan Yesus itu benar, aku akan sangat bodoh untuk tidak mempercayainya. Sama seperti sedang mengabaikan seseorang yang menasihatiku untuk tidak melompat dari atas gedung karena adanya hukum gravitasi. Jika aku memutuskan untuk tidak mempercayai Yesus, aku harus bisa membuktikan bahwa pernyataan-Nya itu adalah sebuah kebohongan, sesuatu yang benar-benar menyesatkan. Tidak heran C.S. Lewis, seorang penulis terkenal, berkata bahwa Yesus bisa jadi adalah seorang pembohong, seorang yang gila, atau benar-benar Sang Anak Allah.

Tampaknya mudah—kita cukup menganggap Yesus sedang berbohong—namun faktanya, ada banyak saksi mata yang mendengar dan melihat sendiri berbagai klaim dan tindakan Yesus, termasuk orang-orang yang tidak percaya, para pemimpin Yahudi, penguasa Romawi, dan beberapa tokoh yang menentang-Nya. Tidak hanya itu, orang-orang yang mendengar-Nya memahami dengan jelas perkataan dan tindakan-Nya yang sangat konsisten, bahkan musuh-musuh-Nya memberi tanggapan yang sangat serius—begitu seriusnya sehingga mereka mau Dia dihukum mati.

Dengan kata lain, aku perlu mencari penjelasan untuk semua tanda dan mukjizat yang tercatat dilakukan Yesus, juga memastikan kebenaran catatan para saksi mata yang pernah melihat mukjizat itu—termasuk yang mengatakan bahwa Yesus bangkit dari kematian. Aku juga harus bertanya, mengapa ada begitu banyak orang yang sangat yakin dengan apa yang dikatakan dan diperbuat Yesus hingga mereka rela mati demi iman mereka. Apakah mereka telah melakukan kesalahan besar? Ataukah Yesus memang sedemikian meyakinkan sehingga musuh-musuh-Nya pun memberi tanggapan yang sangat serius?

2. Aku harus membuktikan bahwa Alkitab itu keliru

Aku bisa berusaha menjawab semua pertanyaanku tanpa menghiraukan Alkitab sedikit pun. Aku juga bisa mengabaikan semua ajaran Kristen yang didasarkan pada apa kata Alkitab tentang Yesus.

Namun, ada banyak catatan Alkitab yang sudah terbukti akurat dalam sejarah (meski ada juga yang masih mempertanyakannya). Catatan tentang para raja, tokoh-tokoh penting, dan peristiwa-peristiwa besar yang ada dalam Alkitab, juga diteguhkan oleh sumber-sumber non-Kristen. Tentu saja aku masih bisa berdalih bahwa hanya sebagian Alkitab yang bisa dipercaya atau akurat.

Masalah lainnya adalah pesan Alkitab yang begitu konsisten tentang Yesus. Dari kitab Kejadian hingga Wahyu, terdapat berbagai nubuatan tentang kedatangan Yesus dan laporan tentang apa yang terjadi ribuan tahun kemudian, sampai pada detail-detail terkecil, seperti di kota mana Dia akan dilahirkan. Dan yang mengejutkan, semua nubuatan itu digenapi.

Data-data tersebut bisa saja dianggap khayalan belaka bila Alkitab dikarang oleh seorang penulis cerita yang berusaha meyakinkan atau membingungkan para pembacanya. Namun, karena pada faktanya Alkitab ditulis oleh sekitar 40 orang dalam rentang waktu 1500 tahun, mau tidak mau kita harus bertanya, bagaimana bisa semua penulis itu begitu menyatu dan konsisten dalam pesan dan deskripsi mereka tentang Allah? Bila orang-orang ini berusaha membuat sebuah kebohongan besar tentu akan ada hal-hal yang sangat berlawanan dalam tulisan mereka, namun mengapa kontradiksi itu tidak bisa ditemukan?

Jika benar kekristenan adalah sebuah kebohongan, bagaimana bisa semua penulis ini—yang terdiri dari beragam orang, mulai dari para nabi, raja-raja, hingga para nelayan, dan hidup dalam generasi yang berbeda ratusan tahun—entah bagaimana berkonspirasi untuk memproduksi sebuah cerita yang konsisten?

3. Aku harus menganggap semua pengalamanku tidak penting

Jujur saja, aku tidak pernah secara pribadi melihat sebuah mukjizat yang dramatis atau penglihatan tentang Yesus. Namun, aku telah berulang kali mengalami kehadiran-Nya dalam hidupku. Aku telah melihat contoh-contoh spesifik dari pemeliharaan dan berkat-Nya dalam keluarga dan pekerjaanku. Bila kekristenan itu palsu, artinya semua yang telah kualami itu tidaklah nyata. Aku bisa saja menganggap beberapa kejadian luar biasa yang kualami itu sebagai kebetulan belaka, namun beberapa kejadian terlalu luar biasa untuk disebut sebuah kebetulan.

Aku harus mengabaikan penghiburan yang diberikan Tuhan di dalam momen-momen yang paling gelap dan menyedihkan. Anggap saja itu sekadar kehangatan aneh yang datang entah dari mana. Namun, karena aku adalah orang yang sangat menggunakan logika—bahkan bisa dibilang skeptis—aku sendiri akan sulit menerima penjelasan semacam itu. Apakah aku telah begitu hebatnya dikelabui atau telah berusaha meyakinkan diriku sendiri tentang sesuatu yang tidak nyata? Apakah aku telah menggunakan logika di semua aspek hidupku kecuali imanku?

Semua pengalaman pribadi yang membangun hubunganku dengan Yesus ini harus kuabaikan jika aku mau meyakinkan diriku bahwa kekristenan itu tidak benar. Bagi sebagian orang, iman Kristen berarti mempercayai seorang Sahabat yang tak terlihat, dan itulah yang aku alami. Aku telah mendengar suara Yesus, berbicara kepada-Nya (dan mendengar jawaban-Nya), juga menikmati penyertaan dan penghiburan-Nya. Akankah sekarang aku bisa berpura-pura bahwa hubungan ini sepenuhnya hanyalah produk imajinasiku?

Aku juga harus mencari alasan lain di balik perubahan hidup yang begitu besar (dan lebih baik) dari orang-orang yang aku kenal. Seorang gangster kejam kini menjadi pendeta yang penuh kepedulian terhadap sesama. Seorang tante menyebalkan kini menjadi seorang tante yang penuh kasih sayang. Seorang teman yang kasar kini menjadi sangat sangat santun. Mereka semua berubah setelah percaya kepada Yesus. Tentu saja orang bisa berubah karena niat mereka sendiri atau keinginan kuat untuk memulai lembaran baru. Tetapi, jika Yesus bukanlah Pribadi seperti yang dikatakan-Nya, sulit untuk memahami mengapa orang-orang ini bisa terdorong untuk berubah saat mengenal-Nya.

Tetapi, Kristus itu terlalu nyata …

Sebagian orang mungkin menganggap kekristenan sebagai salah satu agama dan menggambarkannya seperti sebuah kruk/penyangga untuk orang lemah. Sebagian orang lainnya mungkin menganggap kekristenan sebagai sebuah keyakinan pribadi atau cara hidup yang bisa membuat pandangan hidup seseorang menjadi lebih positif, tetapi tidak ada bukti atau dasar yang kuat bahwa yang diyakini itu benar-benar nyata. Menurut mereka, keberadaan Tuhan itu tergantung dari apa yang kita percayai.

Namun, setelah mempertanyakan imanku sendiri, aku akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa iman Kristen—setidaknya bagiku—memiliki dasar yang dapat dipercaya, baik menurut Alkitab maupun apa yang kualami secara pribadi. Aku percaya dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab, karena aku menilai yang kubaca itu benar, logis, dan faktual. Selain itu, aku juga mengingat semua yang telah aku alami secara pribadi. Dengan kata lain, aku percaya dengan segenap pikiran dan hatiku.

Bagiku, itu berarti bahwa keberadaan Tuhan tidaklah bergantung pada imanku. Entah aku memilih untuk mengikuti Dia atau tidak, Tuhan itu sungguh ada. Meminjam kembali contoh tentang hukum gravitasi di awal tulisanku, aku “percaya” pada hukum gravitasi bukan karena aku telah melihat akibat yang ditimbulkannya jika aku melompat dari atas sebuah gedung. Seandainya suatu hari aku memutuskan untuk menganggap hukum gravitasi sebagai sebuah kebohongan pun, pilihanku tidak akan mengubah kenyataan bahwa hukum gravitasi itu benar adanya dan mempengaruhi hidupku—bisa dipastikan aku akan jatuh jika nekat melompat dari atas gedung. Sama halnya dengan itu, aku sudah melihat cukup banyak bukti tentang keberadaan Yesus, sehingga aku yakin bahwa Yesus sungguh ada, dan keberadaan-Nya tidak bergantung pada keputusanku untuk mempercayai atau mengikuti Dia.

Bagaimana jika kekristenan adalah sebuah kebohongan? Apakah keberadaan Allah itu tergantung pada iman kita? Kamu bisa mencoba memberikan alasan-alasan untuk untuk membuktikannya, namun kupikir aku tidak akan pernah bisa mempercayainya. Yesus itu terlalu nyata untukku.

“Jika keliru, kekristenan itu sama sekali tidak penting, dan jika benar, kekristenan itu luar biasa pentingnya. Namun, kekristenan itu tidak mungkin hanya setengah penting.”—C. S. Lewis

Semua Selamat!

Rabu, 14 Oktober 2015

Semua Selamat!

Baca: Ibrani 11:8-16

11:8 Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.

11:9 Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing dan di situ ia tinggal di kemah dengan Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu.

11:10 Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.

11:11 Karena iman ia juga dan Sara beroleh kekuatan untuk menurunkan anak cucu, walaupun usianya sudah lewat, karena ia menganggap Dia, yang memberikan janji itu setia.

11:12 Itulah sebabnya, maka dari satu orang, malahan orang yang telah mati pucuk, terpancar keturunan besar, seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, yang tidak terhitung banyaknya.

11:13 Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.

11:14 Sebab mereka yang berkata demikian menyatakan, bahwa mereka dengan rindu mencari suatu tanah air.

11:15 Dan kalau sekiranya dalam hal itu mereka ingat akan tanah asal, yang telah mereka tinggalkan, maka mereka cukup mempunyai kesempatan untuk pulang ke situ.

11:16 Tetapi sekarang mereka merindukan tanah air yang lebih baik yaitu satu tanah air sorgawi. Sebab itu Allah tidak malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah kota bagi mereka.

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. —Ibrani 11:1

Semua Selamat!

Pada Januari 1915, kapal Endurance terjebak dan terjepit hingga hancur di hamparan es di lepas pantai Antartika. Sekelompok penjelajah kutub, yang dipimpin oleh Ernest Shackleton, dapat bertahan hidup dan berhasil mencapai Elephant Island dengan tiga sekoci kecil. Terjebak di pulau tak berpenghuni yang jauh dari jalur pelayaran yang normal itu, mereka mempunyai satu harapan. Pada 24 April 1916, 22 laki-laki menyaksikan Shackleton dan lima awaknya pergi berlayar dalam sekoci kecil menuju South Georgia, sebuah pulau sekitar 1.300 km jauhnya. Kemungkinan mereka untuk berhasil memang kecil, dan jika keenam orang itu gagal, mereka semua pasti mati. Sungguh menggembirakan, setelah lebih dari empat bulan berlalu, sebuah kapal muncul di cakrawala dan Shackleton yang berada di haluan kapal itu berteriak, “Apakah kalian baik-baik saja?” Mereka yang di pulau membalas, “Semua selamat! Kami baik-baik saja!”

Apa yang membuat mereka tetap bertahan hidup selama berbulan-bulan? Keyakinan dan harapan mereka pada satu orang. Mereka percaya Shackleton akan menemukan cara untuk menyelamatkan mereka.

Teladan keyakinan dan harapan manusiawi ini mencerminkan iman dari para tokoh Alkitab yang tercantum dalam Ibrani 11. Iman mereka pada “segala sesuatu yang [mereka] harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak [mereka] lihat” telah menolong mereka bertahan saat melalui berbagai kesulitan dan pencobaan besar (Ibr. 11:1).

Ketika kita memandang ke cakrawala masalah yang ada di hadapan kita, janganlah kita putus asa. Biarlah kita terus berpengharapan oleh karena keyakinan iman kita kepada Satu Pribadi, yaitu Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. —Randy Kilgore

Ya Bapa, terima kasih untuk janji pengampunan yang diberikan oleh Yesus.
Kiranya janji itu mencerahkan hari-hari kami yang kelam.

Pengharapan dari Yesus tetap bersinar cemerlang di tengah kelamnya hari-hari yang kita jalani.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 43-44; 1 Tesalonika 2

Apakah Kamu Orang Percaya?

Oleh: Chia Poh Fang
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Are You A Believer?

Are-you-a-believer

Apakah kamu orang percaya? Mungkin kamu akan terkejut mengetahui bahwa kita semua adalah orang percaya—terlepas dari apa pun agama yang kita anut.

Kita semua hidup oleh iman setiap hari—kita mengimani bahwa alarm jam kita akan membangunkan kita tepat waktu dan percaya bahwa kita masih akan hidup untuk menghadapi hari esok. Setiap kita memiliki serangkaian asumsi tertentu tentang bagaimana kehidupan ini seharusnya berjalan. Kita duduk di atas sebuah kursi dengan asumsi bahwa kursi itu sanggup menopang berat badan kita. Kita membuat rencana untuk hari esok karena kita percaya kita akan hidup untuk menjalankan rencana-rencana itu.

Kita adalah sekelompok makhluk yang beriman. Setiap kita menganut keyakinan, nilai, dan pengetahuan tertentu, dan kita memegang hal-hal tersebut sebagai kebenaran dalam hidup kita. Apa yang kita anggap sebagai kebenaran itu menentukan tindakan-tindakan kita dan membentuk proses berpikir kita, seringkali tanpa kita menyadarinya.

Seperti organ jantung, pandangan-dunia—cara kita menerima dan menanggapi sekeliling kita—diam-diam menjadi penggerak banyak hal yang terjadi dalam hidup kita. Jantung kita memompa darah dengan kecepatan 70 kali per menit. Dalam satu tahun, jantung kita akan memompa 3,5-7 juta liter darah melalui seluruh tubuh (tergantung aktivitas kita). Apa yang dikerjakan jantung kita dalam 12 jam setara dengan pekerjaan mengangkat sebuah mobil tangki 65.000 kg sejauh 30 cm dari atas permukaan tanah. Aktivitas yang tidak terlihat namun konsisten inilah yang menjaga kita tetap hidup.

Untuk dapat tetap prima dan untuk mencegah sakit mendadak, kita harus tetap menjaga kesehatan dengan memperkuat ritme jantung kita melalui olahraga yang teratur dan diet yang seimbang. Kita harus mengawasi kadar kolesterol kita untuk mencegah serangan jantung. Jika pandangan-dunia kita ibaratkan sebagai jantung, kita harus terus-menerus memeriksa asumsi-asumsi yang kita miliki. Apakah ada “lemak” dalam pola pikir kita? Bagaimana cara kita melatih penalaran kita? Nutrisi apa yang saat ini kita berikan untuk pemikiran kita?

Sangatlah menarik memperhatikan bahwa sebuah pengalaman yang sama dapat memunculkan penafsiran yang berbeda-beda dari orang yang berbeda. Yang satu bisa merasa begitu sial lalu mengumpat, yang lain melihat adanya berkat lalu bersyukur. Mengapa bisa muncul tanggapan yang jauh berbeda?

Mungkin, karena sebagian dari kita percaya bahwa seseorang merupakan produk dari pengalamannya. Kita percaya bahwa orang-orang yang terlibat di sepanjang masa pertumbuhan kita serta berbagai hal yang kita jumpai dalam hidup, punya peran yang sangat besar dalam menentukan cara kita berhubungan dengan dunia di sekitar kita. Jika pandangan ini benar, kita sama sekali tidak bisa mengendalikan hidup kita. Kita hanyalah korban dari zaman ini, dipermainkan oleh takdir, diombang-ambingkan oleh angin keberuntungan. Orang yang memiliki cara pandang semacam ini jarang mau mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri. Mereka punya kecenderungan untuk menyalahkan orang lain dan situasi di sekitar mereka. Pertanyaanku adalah: Apakah orang yang demikian membangun hidup di atas sebuah asumsi yang masuk akal?

Sebagian orang lainnya percaya bahwa manusia memegang kunci masa depan mereka sendiri. Istilah para filsuf untuk orang-orang yang demikian adalah para “humanis”. Mereka tidak pasrah pada situasi yang ada, mereka berusaha menaklukkannya. Mereka sepertinya percaya bahwa manusia itu sempurna—benarkah manusia tidak pernah gagal?

Dua contoh tersebut mungkin terlalu sederhana untuk menjelaskan perilaku manusia yang sangat kompleks. Poin yang ingin aku tunjukkan adalah bagaimana kedua sistem kepercayaan dan pola perilaku yang dihasilkannya itu dibangun di atas dasar yang sama: asumsi-asumsi yang tidak diuji secara cermat. Parahnya lagi, kita bisa saja memegang dua asumsi yang bertolak belakang pada saat yang sama, dan tindakan yang kita ambil bisa berbeda-beda tergantung situasi yang kita hadapi. Hal ini membuat kita menjadi orang-orang yang tidak punya prinsip, yang menjalani hidup hanya berdasarkan naluri untuk melindungi dan mencari kenyamanan diri. Kita mengiyakan kepercayaan apapun yang paling cocok dengan minat kita pada satu waktu tertentu.

Mungkin ini waktunya bagi kita untuk memperhatikan nasihat Jonathan Edwards, salah satu filsuf dan ahli teologi di Amerika yang banyak dikenal karena pemikiran-pemikirannya yang penting dan orisinal: “Sangatlah penting untuk selalu menyelidiki hatimu; agar di dalamnya citra Tuhan dapat tertanam; hal-hal yang disukai-Nya dapat terus berkembang; dunia dan kedagingan dapat ditaklukkan; cinta akan dosa dapat disingkirkan, dan cinta akan kekudusan dapat bertumbuh.

Mari memeriksa apa yang kita percayai dan mengapa kita mempercayainya, karena keyakinan kita membentuk kelakuan kita. Salah satu cara terbaik untuk memeriksa keyakinan kita adalah dengan memperhatikan tindakan-tindakan kita lalu bertanya: Mengapa aku melakukan hal ini? Mengapa aku mengucapkan hal itu? Lebih penting lagi, kita perlu menanyakan: Apakah sikapku mencerminkan citra Allah dan hal-hal yang disukai-Nya? Apakah aku sedang bertumbuh dalam kekudusan atau keduniawian?

Berjalan di Atas Air

Rabu, 24 Juni 2015

Berjalan di Atas Air

Baca: Matius 14:22-33

14:22 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

14:23 Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.

14:24 Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal.

14:25 Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air.

14:26 Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!”, lalu berteriak-teriak karena takut.

14:27 Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

14:28 Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.”

14:29 Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.

14:30 Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!”

14:31 Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”

14:32 Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah.

14:33 Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”

Tenanglah! Aku ini, jangan takut! —Matius 14:27

Berjalan di Atas Air

Ketika belajar berlayar, saya harus berjalan di atas sebilah papan yang mengapung dan bergoyang untuk mencapai perahu-perahu kecil tempat kami akan belajar. Saya tidak suka melakukannya. Keseimbangan tubuh saya tidak terlalu baik, dan saya takut akan terjatuh di celah antara papan dan perahu dalam usaha saya untuk menaikinya. Hampir-hampir saya menyerah. “Arahkan pandanganmu padaku,” kata sang instruktur. “Aku di sini, dan aku akan menangkapmu jika kamu tergelincir.” Saya melakukan apa yang dikatakannya, dan sekarang saya sudah mengantongi sertifikat kecakapan berlayar tingkat dasar!

Apakah kamu sama sekali tidak berani mengambil risiko? Banyak dari kita enggan untuk melangkah keluar dari zona nyaman kita, karena takut akan gagal, terluka, atau terlihat bodoh. Akan tetapi, jika kita membiarkan rasa takut itu membelenggu kita, pada akhirnya kita tidak akan berani melakukan apa-apa.

Kisah usaha Petrus berjalan di atas air dan mengapa ia dianggap gagal merupakan pilihan topik yang populer bagi para pengkhotbah (Mat. 14:22-33). Namun rasanya saya belum pernah mendengar satu pun dari mereka membahas perilaku murid-murid yang lainnya. Menurut pendapat saya, Petrus sudah berhasil. Meskipun merasa takut, ia tetap menanggapi panggilan Yesus. Mungkin yang gagal justru adalah mereka yang tidak pernah mencoba sama sekali.

Yesus telah mempertaruhkan segalanya bagi kita. Risiko apa yang siap kita tanggung demi Dia? —Marion Stroud

Bapa, terima kasih karena Engkau telah mengulurkan tangan kepada kami dan berkata, “Marilah.” Tolonglah aku untuk berani keluar dari perahu, karena aku tahu aku benar-benar aman berjalan di atas air bersama-Mu.

“Kita dapat memilih untuk berani menghadapi tantangan hidup
atau tidak melakukan apa-apa.” —Helen Keller

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 1–2; Kisah Para Rasul 7:22-43

Iman Seteguh Bukit Batu

Senin, 6 April 2015

KomikStrip-WarungSaTeKaMu-20150406-Iman-Seteguh-Bukit-Batu

Baca: Mazmur 18:2-4,47

18:2 Ia berkata: "Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku!

18:3 Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!

18:4 Terpujilah TUHAN, seruku; maka akupun selamat dari pada musuhku.

18:47 TUHAN hidup! Terpujilah gunung batuku, dan mulialah Allah Penyelamatku,

Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku. —Mazmur 18:3

Iman Seteguh Bukit Batu

Saya dan istri sama-sama mempunyai nenek yang berusia lebih dari 100 tahun. Ketika berbicara dengan mereka dan teman-teman mereka, saya mengenali suatu tren yang umumnya dilakukan kaum lansia saat mengenang suatu peristiwa: Mereka mengingat masa-masa sulit dengan perasaan nostalgia. Para lansia itu bergantian menceritakan pengalaman di masa Perang Dunia II dan Depresi Besar; mereka dengan gembira berbicara tentang kesulitan-kesulitan seperti badai salju, kamar kecil di masa kanak-kanak yang terletak di luar rumah, dan pengalaman kuliah mereka ketika harus makan sup kalengan dan roti basi selama 3 minggu berturut-turut.

Secara paradoks, masa-masa sulit justru dapat membantu untuk menumbuhkan iman dan memperkuat keakraban. Setelah melihat prinsip tersebut dihidupi secara nyata, saya dapat memahami lebih jauh salah satu misteri yang berkaitan dengan Allah. Pada intinya, iman adalah soal kepercayaan. Apabila saya memang teguh beriman kepada Allah, bukit batu kita (Mzm. 18:3), keadaan-keadaan terburuk sekalipun tidak akan dapat menghancurkan hubungan saya dengan sesama.

Iman seteguh bukit batu menolong saya percaya bahwa meskipun ada banyak kekacauan saat ini, Allah masih berdaulat. Meskipun saya mungkin merasa tidak dihargai, tetapi hidup saya sungguh berarti di mata Allah yang pengasih. Tidak ada penderitaan yang akan berlangsung selamanya, dan kejahatan tidak akan berjaya pada akhirnya.

Iman seteguh bukit batu bahkan dapat memahami peristiwa terkelam di sepanjang sejarah, yaitu kematian Sang Anak Allah, sebagai awal penting bagi momen paling cemerlang di sepanjang sejarah, yaitu kebangkitan dan kemenangan-Nya atas maut. —Philip Yancey

Tuhan, Engkaulah gunung batuku, sandaran imanku. Kulandaskan imanku pada-Mu dan bukan pada perasaanku yang tak menentu; jika tidak, aku pasti gagal.

Kristus, Sang Bukit Batu, adalah harapan kita yang pasti.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 4-6; Lukas 9:1-17

Photo credit: Franco Folini / Foter / CC BY-SA

Datanglah Kepada-Ku

Minggu, 5 April 2015

Datanglah Kepada-Ku

Baca: Yohanes 20:24-31

20:24 Tetapi Tomas, seorang dari kedua belas murid itu, yang disebut Didimus, tidak ada bersama-sama mereka, ketika Yesus datang ke situ.

20:25 Maka kata murid-murid yang lain itu kepadanya: "Kami telah melihat Tuhan!" Tetapi Tomas berkata kepada mereka: "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya."

20:26 Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata: "Damai sejahtera bagi kamu!"

20:27 Kemudian Ia berkata kepada Tomas: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah."

20:28 Tomas menjawab Dia: "Ya Tuhanku dan Allahku!"

20:29 Kata Yesus kepadanya: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya."

20:30 Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini,

20:31 tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.

Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya. —Yohanes 20:29

Datanglah Kepada-Ku

Charlotte Elliott menulis himne “Just As I Am” (Meski Tak Layak Diriku–Kidung Jemaat, NO. 27) pada tahun 1834. Saat itu Elliott telah menjadi cacat selama bertahun-tahun, dan ia terlalu sakit untuk membantu penggalangan dana bagi sebuah sekolah bagi kaum wanita. Elliott merasa begitu tidak berguna dan penderitaan batinnya ini mulai membuatnya meragukan imannya kepada Kristus. Ia menulis himne itu sebagai tanggapan atas keraguannya. Siksaan batinnya mungkin terungkap paling jelas dalam kata-kata berikut:

Terombang-ambing, berkeluh,
Gentar di kancah kemelut,
Ya Anak domba Allahku,
‘Ku datang kini pada-Mu.

Tiga hari setelah kematian dan penguburan-Nya, Yesus bangkit dari kematian dan mengundang seorang murid yang dalam sejarah dijuluki dengan nama “Tomas yang tidak percaya” untuk memeriksa bekas luka penyaliban-Nya (Yoh. 20:27). Ketika Tomas menyentuh luka pada tubuh Yesus, ia pun akhirnya percaya akan kebangkitan-Nya. Kristus berkata kepadanya, “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (ay.29).

Sebagai pengikut Kristus dewasa ini, kita termasuk mereka yang tidak melihat tetapi tetap percaya. Meskipun demikian, terkadang keadaan di atas bumi ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan sulit dalam jiwa kita. Akan tetapi kita dapat berseru, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk. 9:24). Yesus menyambut kita untuk datang kepada-Nya sebagaimana adanya kita. —Jennifer Benson Schuldt

Yesusku, mampukan aku untuk mempercayai-Mu saat hidup terasa tak masuk akal. Angkatlah setiap keraguanku dan gantikan dengan iman yang makin teguh di dalam-Mu.

Kristus yang bangkit membuka jalan agar kamu dapat memperoleh kepenuhan hidup.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 1-3; Lukas 8:26-56

Photo credit: MohammeD BuQuRais / Foter / CC BY-NC-SA