Posts

Billy dan Tuhan Yesus

Oleh: Christin Siahaan

Billy-dan-Tuhan-Yesus

Billy memang keren. Mata boleh sipit, tapi kecakapannya memainkan bola basket benar-benar hebat. Tak heran jika hampir semua mata para gadis yang menonton pertandingan antar fakultas sore itu tertuju padanya, termasuk aku. Apalagi, tim Billy adalah tim dari fakultasku. Setiap kali ring lawan dibobolnya, aku ikut bersorak. Yes! Yes! Yes! Angka demi angka diraih. Meski sempat diganti sebentar untuk memulihkan stamina, Billy yang turun bermain dua kali, berhasil membawa timnya unggul sepuluh angka. Bersama teman-teman seangkatan, aku melonjak gembira, lebur dalam sorak-sorai yang memenuhi lapangan. Tim fakultas kami menjadi bintang. Orang-orang berebut memberi selamat kepada mereka seusai pertandingan. Billy jelas menjadi bintang yang paling bersinar!

Sepanjang perjalanan pulang, ketiga sahabatku tak henti-hentinya membahas soal Billy dengan penuh semangat. Kelincahannya berlari, ketangkasannya menggiring bola, dan segala sesuatu yang mengagumkan darinya. Harus kuakui, aku pun awalnya menikmati. Hingga aku tersadar bahwa sepanjang hari itu duniaku hanya diisi dengan Billy, Billy, dan Billy. Mendengarkan sahabat-sahabatku yang masih seru membahas Billy, aku teringat saat-saat pertama aku mengenal Tuhan Yesus. Aku sangat bersemangat menceritakan tentang Dia kepada orang lain. Dia adalah Pribadi yang paling hebat dan mengagumkan dalam hidupku. Aku selalu senang melewatkan waktu bersama-Nya. Namun kuakui, belakangan aku lebih sering merasa kosong. Tidak lagi akrab dengan Tuhan. Entah ke mana gerangan rasa kagum dan semangat yang menyala-nyala yang pernah menghangatkan hatiku itu. Seribu satu cerita tentang Billy yang masih mengalir deras dari sahabat-sahabatku mendadak membuatku merasa sangat tidak nyaman. Hatiku mulai protes: “Mengapa kita tidak menceritakan kekaguman kita pada Tuhan Yesus dengan semangat yang berkobar seperti ini ya? Padahal, bukankah pribadi Tuhan Yesus jauh lebih hebat dan karya-Nya jauh lebih dahsyat?” Mataku mulai basah. “Duh, Tuhan, ampuni aku. Hari ini aku bahkan belum menyediakan waktu sedikit pun untuk duduk diam mendengarkan-Mu.”

Pengalaman hari itu membuatku banyak merenungkan tentang sikapku terhadap Tuhan. Adakalanya apa yang aku tahu tidak sejalan dengan apa yang aku rasakan dan aku lakukan. Misalnya saja, aku tahu bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta yang Mahakuasa dan Mahatahu. Namun, tidak serta merta aku datang mencari tuntunan-Nya, dan tidak selalu pula aku bersemangat untuk menceritakan tentang betapa luar biasanya Dia kepada orang lain. Aku tahu bahwa Tuhan ingin aku mengasihi-Nya dengan segenap hati, jiwa, dan akal budiku. Aku pun ingin seperti itu. Namun, tidak selalu kasih dan perhatianku tertuju penuh kepada-Nya. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk berbagai hal lain di luar Tuhan. Pernahkah kamu juga mengalaminya?

Sungguh bersyukur bahwa Tuhan begitu sabar menuntun kita. Berbagai peristiwa diizinkan-Nya untuk kita alami, agar kita dapat makin mendekat dan mengenal-Nya. Kesadaran akan hal ini mendorongku (dan semoga kamu juga) untuk tidak lagi bermain-main dengan hidup ini, tetapi berupaya untuk menerapkan apa yang aku tahu dan yakini dalam tindakan nyata sehari-hari, seperti nasihat Paulus dalam Roma 12:2: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Bukan di Mulut Saja

Oleh: Abyasat Tandirura

bukan-dimulut-saja

Pernahkah kamu mempercayakan suatu barang yang berharga kepada orang lain? Sayangnya, orang itu tidak hati-hati sehingga barangmu rusak. Bukannya menyesal, ia malah membela diri, “Cepat atau lambat, barang itu kan tetap bisa rusak juga.” Nyebelin banget nggak sih?

Ironisnya, entah disadari atau tidak, adakalanya kita pun berlaku sama terhadap Tuhan. Alam semesta karya-Nya seringkali tidak kita hargai. Padahal, bukan sembarangan Tuhan menciptakannya. Para peneliti mengatakan bahwa kondisi bumi ini benar-benar diciptakan sesuai dengan kebutuhan manusia. Tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh dari matahari. Temperatur, kadar oksigen, dan semua unsur alam lainnya, sangat pas dengan yang kita butuhkan untuk hidup. Semua dengan teliti dipersiapkan Tuhan lebih dulu sebelum Dia menempatkan manusia di dalamnya. Kita berdecak kagum atas semua itu. Kita menyanyikan pujian dan menaikkan doa syukur atas keagungan karya-Nya. Tapi … seberapa sering kita secara sadar memikirkan bagaimana agar alam ciptaan Tuhan tetap sehat dan indah terawat? Mungkin kita tidak ikut menebang hutan atau ikut menyebabkan polusi, tetapi bisa saja kita turut andil melalui hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari, misalnya ketika kita buang sampah sembarangan. Bisa juga kita turut andil dengan bersikap pasif, membiarkan saja kerusakan demi kerusakan alam terjadi di sekitar kita. Kita berpikir, mengapa harus memusingkan kondisi bumi yang tidak akan bertahan selamanya? Akibatnya, mulut kita mungkin memuji Tuhan, Sang Pencipta, tapi perilaku kita tidak menghargai karya-Nya. Bukankah keduanya sangat bertolak belakang? Bagaimana kita dapat memberi kesaksian kepada dunia jika tutur kata dan perbuatan kita ternyata tidak selaras?

Pemazmur mengingatkan kita bahwa “Tuhanlah yang empunya langit dan segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mazmur 24:1). Bumi dan segala isinya bukanlah milik kita. Tuhan menciptakan semuanya dan menyebut semua yang diciptakan-Nya itu “baik” (lihat Kejadian 1). Jelas Dia memberikannya kepada kita bukan untuk dirusak atau disalahgunakan, tapi untuk dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya, agar seluruh penghuni bumi—termasuk generasi sesudah kita—dapat melihat keagungan karya-Nya.

Sampai di sini, aku menyadari bahwa berbicara tentang peduli lingkungan jauh lebih mudah daripada melakukannya. Semua orang tentu menginginkan lingkungan yang bersih dan sehat, tapi tak banyak yang sungguh-sungguh mengusahakannya terwujud. Sebagai anak muda Kristen, mungkin kita bisa mengambil inisiatif di tengah komunitas kita. Berpartisipasi bersama warga sekitar untuk kerja bakti membersihkan lingkungan misalnya. Atau, memilah sampah rumah tangga agar tidak bau dan mudah diproses sesuai jenisnya. Kita juga bisa membantu pemerintah memperbanyak ruang hijau dengan menanam pohon perindang di pekarangan rumah. Selain itu, kita pun dapat mengurangi sampah dengan mendaur ulang barang-barang bekas menjadi sesuatu yang berguna dan punya nilai ekonomi. Apa pun itu, yuk kita tunjukkan penghormatan dan kasih kita kepada Sang Pencipta dan Pemilik bumi ini melalui tindakan nyata, bukan ucapan indah di mulut saja.