Posts

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 3)

menemukan-diriku-3

Untuk apa kamu berusaha? Membuat semua orang lelah saja. Pikirkanlah bagaimana kamu memimpin rapat itu. Pembicaraannya melantur ke mana-mana dan membuat semua orang yang terlibat menjadi luar biasa penat.

Mengapa ya dulu aku mau mengambil peran ini? Mengapa aku berpikir aku mampu melakukan pekerjaan ini?

Seingatku, dulu aku melangkah dalam iman, percaya bahwa Allah akan menyediakan. Saat mengawali semua ini, aku berkata:
“Aku tidak mau berfokus pada diri sendiri, aku mau terus mengarahkan pandanganku kepada Yesus. Aku tidak sedang mau membuktikan kemampuan diriku, aku mau orang melihat Allah di dalam kelemahanku.”

Tetapi, gagal memimpin rapat pertama membuat semua yang kubayangkan langsung berantakan. Aku lupa dengan apa yang pernah aku katakan di hadapan Tuhan.

Tuhan, tolong ingatkan aku bahwa pelayanan ini bukan tentang aku, kesetiaanku, atau kemampuanku. Tolong aku melihat dan memahami bahwa semua ini adalah tentang Yesus, kesetiaan-Nya, dan kekuatan-Nya.

Seringkali aku merasa pelayanan ini adalah tentang aku. Namun, sesungguhnya semua ini adalah tentang Yesus. Tidak ada hal yang perlu kubuktikan, tidak ada kegagalan yang perlu kutakutkan, tidak ada kelemahan yang perlu kututupi. Pelayanan ini adalah dari Dia, oleh Dia, dan untuk Dia.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 2)

menemukan-diriku-2

Tatapan yang penuh tanda tanya. Tampak keheranan. Mungkin mereka merasa aneh. Atau, mungkin mereka langsung malas mendengarkan lebih jauh begitu tahu kalau aku bekerja di sebuah pelayanan Kristen.

Mungkin aku saja yang berasumsi mereka akan bereaksi seperti itu.

Mungkin aku salah karena memberi keterangan yang tidak jelas tentang pekerjaanku.

Sulit untuk menjelaskan apa yang kulakukan kepada orang yang tidak punya keyakinan yang sama. Jauh lebih mudah bicara tentang pekerjaan sekuler—tentang atasan, rekan kerja, gaji, lingkup pekerjaan. Peningkatan karir. Jabatan bergengsi. Atasan dan rekan kerja yang menyebalkan. Kenaikan gaji. Semua hal yang juga dialami dan yang menarik bagi orang lain. Betapa senang bila orang lain memperhatikan apa yang kita bicarakan. Sayangnya semua hal itu sudah aku tinggalkan… Ahh… kalau saja aku masih bertahan dalam pekerjaanku dulu, tentu ada banyak orang yang akan memperhatikanku.

Astaga, berhentilah berpikir seperti itu. Aku tidak percaya aku masih bergumul dengan hal yang sama. Aku tahu untuk apa aku ada di sini. Berhentilah membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Ampuni aku, Tuhan. Ingatkan aku mengapa aku memilih jalan ini.

Semua akan menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu. Aku hanya perlu membiasakan diri. Tujuanku bukanlah untuk membuat orang terkesan. Tidak apa-apa jika orang lain tidak tertarik.

Saat hidup ini kelak berakhir, hanya satu hal yang penting. Apakah aku telah melakukan yang terbaik untuk hidup dalam kebenaran? Apakah aku telah menjalani hidupku untuk-Mu?

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 1)

menemukan-diriku-1

Duh, kenapa lagi-lagi aku bilang iya? Aku ‘kan sudah memutuskan mau istirahat saja setahun ini.

Saat jalan-jalan terakhir bersama teman-temanku beberapa bulan lalu, aku merasa sangat capek. Jadi, aku bilang tidak akan ikut mereka lagi. Tetapi anehnya, sekarang, saat mereka mengajakku jalan-jalan lagi dengan rute yang lebih pendek, aku mengiyakannya. Kenapa aku bisa begini? Badanku bilang “tidak”, tetapi pikiranku berkata “ya”.

Ya, aku ingin melarikan diri dari rutinitasku yang membosankan. Aku ingin lari dari semua masalahku. Aku tidak ingin berurusan dengan orang lain. Aku ingin bersenang-senang. Aku ingin jalan-jalan. Menikmati wisata kuliner, suasana baru, dan hal-hal yang mengasyikkan bersama teman-temanku.

Aku tahu bahwa saat kembali nanti aku tetap harus menghadapi masalah-masalahku. Tetapi, aku terlanjur kecanduan jalan-jalan, aku merasa tidak bisa bertahan tanpa itu. Aku dan teman-temanku bahkan sudah punya jadwal jalan-jalan sampai tahun 2020!

Aku sadar ini sebenarnya sama dengan melarikan diri, melarikan diri dari masalah.

Apakah Tuhan Yesus melarikan diri saat masalah paling berat ada di hadapan-Nya?

Aku tidak akan beroleh keselamatan jika Dia melakukannya.

Apakah aku sedang menghadapi masalah dengan cara yang salah?

Tolong aku, Tuhan Yesus, untuk mengatasi masalah-masalahku.

Tolong aku agar tidak mengandalkan cara-caraku sendiri yang tidak menyelesaikan masalah, tetapi mempercayai-Mu dan menyambut karya-Mu dalam hidupku.

Tolong aku, Tuhan, untuk lebih bergantung kepada-Mu.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Haruskah Kita Berhenti Menggunakan Media Sosial?

Penulis: Joanna Hor
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Quitting Social Media: What’s the big deal?

Essenaoneil
Image copyright Instagram: Essenaoneill

 
Kamu tentu sudah mendengar tentang Essena O’Neill.

Jika belum, kamu bisa membaca beritanya. Essena adalah seorang bintang Instagram asal Australia berusia 18 tahun yang telah mengumpulkan lebih dari 500.000 pengikut di Instagram, 200.000 pengikut di YouTube dan Tumblr, dan 60.000 pengikut di Snapchat. Pada tanggal 2 November ia membuat heboh media di seluruh dunia dengan mengumumkan secara resmi bahwa ia memutuskan berhenti menggunakan media sosial.

Alasannya? Ia ingin menunjukkan sisi gelap dari media sosial dan mengungkap “kebenaran” di balik kehidupannya yang dari luar tampak sempurna. Dalam video berdurasi 18 menit yang diunggah di akun YouTubenya sebelum akun itu ditutup, Essena menjelaskan bagaimana ia telah menjadi terobsesi dengan jumlah orang yang melihat, menyukai, dan menjadi pengikutnya di media sosial. Ia juga berterus-terang bahwa ia sengaja membuat foto-foto diri yang cantik dengan tujuan menarik lebih banyak pengikut. Ia rela puasa berhari-hari demi mendapatkan bentuk tubuh yang ideal untuk difoto, berpose lebih dari 200 kali demi mendapatkan satu foto yang pas untuk diunggah di Instagram, dan memastikan posenya itu menampilkan sisi terbaik dari dirinya. Namun, meski ia menuai perhatian dari ratusan ribu pengguna media sosial, ia mengaku merasa kosong dan makin sensitif dengan pendapat orang lain terhadap dirinya.

Kini Essena ingin menjadi seorang “pembawa perubahan”. Ia ingin menginspirasi orang lain agar mereka tidak menghabiskan waktu mencari perhatian, tetapi melakukan apa yang dapat membuat diri mereka bahagia. Ia sendiri mulai membuat situs web untuk mempromosikan “gaya hidup vegetarian, nutrisi dari tanaman, kesadaran akan lingkungan hidup, isu-isu sosial, kesetaraan gender, dan karya seni kontroversial”.

Banyak orang mendukung langkah perubahan yang diambil Essena. Namun, banyak juga yang mengkritiknya habis-habisan, menganggap ia hanya sedang berusaha menarik perhatian publik dengan cara yang berbeda. Salah satu tulisan di situs web Mashable memberi catatan bahwa perubahan yang dibuat oleh remaja putri itu justru akan membawanya muncul lebih banyak di media. “Sebuah langkah yang aneh untuk seseorang yang mengaku tidak ingin lagi mencari perhatian publik,” demikian komentar situs web tersebut.

Bagaimana seharusnya kita menanggapi apa yang dilakukan Essena? Perdebatan tentang seberapa tulus dan bijak gadis ini tidak akan ada habisnya. Namun mungkin kita semua bisa sependapat untuk satu hal: setiap kita pada dasarnya cenderung berpusat pada diri sendiri dan selalu menginginkan pengakuan orang lain. Minimal, kita ingin sedikit dihargai. Baik dalam media sosial, komunitas teman-teman, atau lingkungan kerja, kita selalu mencari pengakuan dan penghargaan orang lain—mungkin dalam bentuk “like” [suka] di Facebook, acungan jempol, atau tepukan di pundak.

Berhenti menggunakan media sosial bisa jadi dapat menolong kita untuk tidak terobsesi dengan keinginan mendapatkan penghargaan orang lain. Namun, benarkah tindakan itu dapat menyelesaikan masalah? Mungkinkah keinginan kita untuk selalu diakui dan dihargai orang lain akan muncul lagi dalam bentuk lainnya, membuat diri kita kembali merasa kosong dan serba kurang?

Mungkin inilah saatnya kita belajar mengenali akar masalah dan tidak hanya mengomentari gejala. Menyalahkan media sosial sebagai penyebab tumbuhnya obsesi kita mungkin tidak seharusnya kita lakukan. Mengingatkan diri sendiri berulang-ulang bahwa identitas kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain mungkin tidak cukup. Sebaliknya, mungkin kita perlu belajar mengakui bahwa setiap kita memiliki ruang kosong dalam diri kita, kekosongan yang haus untuk diisi dengan pengakuan dan penghargaan terhadap keberadaan diri kita. Kita harus berani bertanya pada diri sendiri: adakah cara mengendalikan keinginan hati kita yang selalu haus pujian orang lain ini? Adakah cara lain untuk mengukur harga diri kita? Pendapat siapa yang harus kita dengarkan?

Mungkin solusinya adalah mengisi ruang kosong dalam diri kita itu dengan sesuatu yang lain. Dalam dunia yang nilainya sangat mudah berubah, kita perlu mengarahkan pandangan kita kepada satu-satunya Pribadi yang tidak pernah berubah—Dia yang menciptakan dan membuat keberadaan kita berarti.

Ambillah waktu untuk merenungkan: sungguhkah kita menganggap apa yang dikatakan Allah itu penting dibandingkan semua pendapat yang ada?

Ketika kita sungguh-sungguh menganggap apa yang dikatakan Allah itu penting, jumlah orang yang menyukai status Facebook atau mengikuti akun instagram kita tidak lagi menjadi terlalu penting. Nilai diri kita sebagai ciptaan Allah tidak akan pernah berubah.