Posts

Drama Skripsi dan Wajah-wajah yang Menopang

Oleh Alvianus Gama

“Alex!”, sahut mamaku dari arah kamarnya saat aku sedang bergegas menaiki tangga ke kamarku di lantai atas.

“Ya Ma, kenapa?”, jawabku pendek.

“Mama mau ngobrol dulu bentar”, jawab mama dengan muka yang terlihat serius.

Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa gerangan?

“Mama sama papa udah sebulan ini berdoa tiap malem buat kuliah kamu. Tapi setiap kali berdoa kok rasanya nggak damai ya, jadi mama mau nanya langsung aja ke kamu, sebenarnya kuliah kamu tuh gimana? Coba cerita dong…”, kata mamaku penuh harap.

Aku tertunduk diam. Ini adalah pertanyaan yang paling aku takutkan selama ini. Takut akan konsekuensi yang akan aku hadapi nanti.

Mamaku adalah seorang ahli hukum yang sukses dalam pekerjaannya. Ia seorang yang antusias dan penuh semangat, selalu memotivasi aku dan kakakku untuk maju dalam segala hal. Dalam kesibukannya bertemu dengan klien setiap hari, ia selalu bisa menyisihkan waktu untuk memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan papaku adalah seorang yang berpendirian keras dan berkemauan kuat, yang mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri. Papa adalah sosok ayah yang selalu menemukan berbagai macam cara untuk memperbaiki peralatan rumah yang rusak, mulai dari meja yang patah kakinya, keran air yang bocor, hingga mobil yang mogok, atau motor yang rusak. Agaknya inilah yang membuatku lebih mudah untuk bercerita kepada mama untuk segala urusan, termasuk kuliahku. Cerita ke papa? Hmmm nanti dulu.

“Gimana Lex? Ayo cerita dong…”, ujar mamaku menantikan jawaban.

Aku menghela nafas panjang. Susah rasanya untuk membuka mulutku dan mulai cerita. Saat itu, aku seolah tak punya alasan lain untuk menghindar dari pertanyaannya selain menarik tangan mamaku dan mengajaknya ngobrol di kamarku. Di dalam kamar pun, aku tetap sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku dalam kata-kata. Di momen-momen sunyi yang menyiksa itu, tanpa aku bisa kuasai, air mata mengalir begitu saja. Aku lihat mama menatapku heran, menyaksikan anak laki-lakinya terisak sambil menunggu penjelasan.

”Kenapa kamu nak? Coba jujur aja, cerita ke mama, gimana sebenarnya?” ujarnya lembut sambil memegang tanganku erat.

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha menenangkan hati dan emosiku. Dengan nafas yang tak beraturan, aku mulai menceritakan pada mamaku bahwa sebenarnya sudah 2 tahun ini aku menelantarkan kuliahku. Selama ini aku berbohong pada mamaku terkait kuliahku.

Aku tertunduk malu dan berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan langsung mamaku. Perlahan aku bisa mendengar mamaku juga ikutan menangis. Ia tampak begitu terpukul dan nggak percaya kalau anak yang selama ini dia banggakan, yang punya IPK bagus dan di atas rata-rata teman kuliahnya, anak yang nyaris nggak pernah punya masalah, tiba-tiba membawa kabar yang tak pernah ia sangka-sangka, seperti mendengar suara geledek di siang bolong.

Sejak 2 tahun yang lalu, aku sebetulnya sudah masuk dalam semester akhir dari kuliahku dan menurut hitungan waktu, aku seharusnya sudah menyelesaikan skripsiku di paruh kedua tahun 2020. Tapi pada kenyataannya, alih-alih membereskan skripsi, untuk sekadar memilih topik dan menentukan judul pun belum aku lakukan. Sudah hampir 4 semester ini aku nggak bayar uang kuliahku. Parahnya lagi, kalau ditanya terkait uang kuliah, aku selalu menemukan cara untuk berbohong bahwa aku sudah membayarnya, padahal belum aku bayar dan ngga ada satu pun terkait skripsiku yang aku kerjakan. Entah kenapa, untuk urusan skripsi ini, aku ngerasa nggak bisa, aku frustasi. Aku merasa stuck di program studi yang aku pilih ini. Semua ini terasa mudah aku lakoni karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa semua perkuliahan dan tugas akhir dilakukan secara daring, sehingga tidak ada kecurigaan sedikitpun dari mamaku karena aku tidak perlu lagi pergi ke kampus, hanya diam di kamar seolah-olah sedang mengikuti perkuliahan secara daring.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku terdalam, aku sangat menyukai pelajaran bahasa lebih daripada program studi Akuntansi yang aku ambil sekarang. Bahkan dalam masa-masa awal perkuliahan, aku sudah membayangkan untuk menjadi ahli bahasa, bertemu, bernegosiasi dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Dalam hati, aku pun bertekad untuk pindah jurusan ke program studi bahasa dan memulai dari awal. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku untuk aku lakukan ke depan.

Dan kalau aku ingat lagi, beberapa bulan sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi, aku pernah mengikuti tes minat dan bakat untuk mengetahui program studi mana yang cocok buatku dan menurut hasil tes, aku cocok untuk masuk program studi Akuntansi karena aku terbukti jago dengan angka-angka. Entah kenapa, setelah 4 tahun aku jalani perkuliahan ini, aku benar-benar merasa telah salah memilih program studi. Bukan ini yang aku sukai. Bukan ini Tuhan.

“Selama ini mama pikir kalau kamu sedang nyelesain skripsi, karena kamu yang bilang gitu kan ke mama!” ujar mamaku melanjutkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku terdiam membisu. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Mama yang selama ini tegar dan bersemangat, saat itu kulihat menutupi mukanya dan berulang kali menyatakan ketidakpercayaannya akan berita yang ia terima. Ia mencoba membujukku untuk tetap meneruskan studiku karena sudah kepalang tanggung, tinggal menyelesaikan skripsi saja, tapi aku bersikukuh dengan keinginanku untuk pindah jurusan. Kami pun bersitegang mengenai masalah ini dan sore itu berlalu tanpa ada jalan keluar. Kami menyudahi pembicaraan tanpa ada keputusan apa-apa. Sore yang dingin.

Tanpa kusangka, keesokan sorenya, aku dikejutkan dengan berita yang aku terima. Tanpa sepengetahuanku, setelah berdiskusi dan meminta saran dari beberapa anggota keluarga, mamaku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berkonsultasi dengan ketua program studi. Ia mencoba untuk mengajukan permohonan agar skripsiku dapat diberi perpanjangan waktu. Mengetahui hal ini, tentu saja membuatku mengamuk. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Aku merasa seolah-olah mamaku tidak mendengar sama sekali keluhanku selama 2 tahun ini. Aku sudah bilang aku nggak sanggup, tapi kenapa tetap memaksakan keinginan ini?

Mama mencoba meyakinkan aku kalau Tuhan yang kasih jalan untuk aku mendapat perpanjangan waktu, artinya Tuhan akan membantuku untuk menyelesaikannya. Di sisi yang lain, aku jadi bertanya-tanya, bukankah itu artinya Tuhan tidak mendengar doaku buat pindah program studi? Apa Tuhan pun nggak melihat kalau aku nggak sanggup? Aku speechless.

Keesokan harinya, mama kembali mendatangi kamarku untuk menanyakan keadaanku. Ia khawatir dengan reaksiku kemarin setelah aku meluapkan kekesalan dan amarah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya agar aku dapat menyelesaikan kuliahku saat ini. Ia mengingatkanku akan semua perjuangan yang sudah aku lakukan, mulai dari awal perkuliahan hingga kerja praktek. Ia memintaku untuk belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.

Ada satu kalimat yang hingga saat ini aku ingat, yang berkata bahwa kalau Tuhan sudah menolongku hingga sejauh ini, Tuhan juga akan menolong menyelesaikan perjalanan ini. Agaknya Tuhan mulai melembutkan hatiku saat itu. Amarahku mereda dan aku mulai mencoba untuk melihat masalah yang kuhadapi dari sisi lain. Aku sadar aku begitu egois dan ingin menang sendiri. Aku pun tahu mama bukan orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Ia orang yang fair, berani mengakui kesalahannya dan selalu berterus terang kepada anak-anaknya.

Yang lebih membuatku semakin menyadari bahwa Tuhan mendengar doa dan usaha mamaku adalah ketika aku diberitahu bahwa pihak Fakultas akan berusaha sebisa mungkin agar aku bisa kembali mendapat kesempatan menyelesaikan skripsi yang sudah tertunda selama 2 tahun. Yang membuat terheran-heran, semua urusan itu bisa diselesaikan hanya dalam satu hari saja, padahal selama 2 tahun statusku tanpa kabar itu aku yakin akan berakhir dengan keputusan DO dari kampus.

Saat ini aku merasa senang dan bersemangat. Walaupun papa dan kakakku tidak mengutarakan perasaan mereka, tapi mereka menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampaknya ingin berbuat sesuatu untuk menyemangatiku, dengan cara mereka sendiri. Aku merasa didukung dan ini semakin membesarkan hatiku. Setiap babak baru dalam perjalanan hidup kita berisi tanda tanya dan ketidakpastian. Kita jadi ragu-ragu dan takut. Pada saat seperti ini aku ingat pemazmur yang berbisik meminta topangan dari Tuhan,”Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu…” (Mazmur 119:16).

Saat tulisan ini dibuat, pihak fakultas memberiku 3 bulan waktu perpanjangan agar aku bisa menyelesaikan skripsiku. Berita baiknya lagi, aku bisa mendapat pembimbing skripsi yang aku idolakan selama ini, dosen yang sangat menolong dan memotivasi aku untuk menyelesaikan skripsiku. Aku merasa seperti seorang pendosa yang mendapat anugerah pengampunan yang besar dari Tuhan. Aku tahu ini memang saat-saat yang berat dan penuh perjuangan, tapi aku siap memulai kembali dan aku tahu Tuhan akan menyanggupkan aku. Mungkin perjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini hanya 3 bulan saja, tapi perjalanan hidupku masih puluhan tahun ke depan. Akan jadi apa aku nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidupku?

Saat aku bingung, bimbang, dan takut, aku teringat wajah-wajah yang menopang aku. Wajah mama, wajah papa, wajah kakakku dan orang-orang yang mengasihiku. Aku semakin mantap. Terima kasih Tuhan untuk mereka. Terima kasih Tuhan untuk kasihmu.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya” –Mazmur 37:23-24.

Pahit Manis Sebuah Keluarga

Beberapa dari kita mungkin merasa bahasan tentang keluarga itu terasa manis, sementara yang lain mungkin menganggap keluarga adalah kepahitan.

Apa pun ‘rasa’ keluargamu, ketahuilah kalau kita punya kasih dan harapan yang tak pernah habis di dalam Yesus. Apa pun kemustahilan yang kamu dan keluargamu hadapi, Yesus hadir tepat di sisimu dan tiada yang mustahil buat Dia.

Hari ini bukan peringatan hari keluarga, tetapi keluarga adalah berkat yang harus kita sadari dan syukuri setiap hari. Doakanlah keluargamu, apa pun keadaan mereka. Mohonkanlah maaf atas kesalahanku dan ampunilah juga mereka apabila ada rasa sakit yang mereka torehkan di hatimu.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI dengan judul “What Makes Family” dan dibuat oleh @susannelowillustration

Tuhan Buka Jalan, di Saat Tiada Jalan

Oleh Angel Latuheru, Ambon

Penderitaan menyadarkan manusia bahwa dirinya rapuh, oleh karena itu kita membutuhkan kehadiran sosok Ilahi. Ada suatu momen penderitaan yang mengubah caraku memaknai imanku. Kejadian ini berlangsung pada tahun 2019.

Di awal tahun itu, aku sedang menyelesaikan studi S-2 di universitas swasta di Jawa Tengah. Kampus mewajibkanku melunasi pembayaran uang kuliah paling lambat tanggal 7 Januari 2019. Namun, tak disangka-sangka, cobaan datang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Tepat di tanggal 1 Januari 2019, ibuku dilarikan ke rumah sakit di tengah kondisi finansial keluarga yang sedang kacau balau. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan saja sudah sulit, sekarang ditambah harus masuk rumah sakit.

Ibuku didiagnosis menderita pneumonia yang mengakibatkan batuk dan sesak napas. Setelah serangkaian pemeriksaan, paru-paru beliau harus segera ditangani menggunakan metode Thoracentesis, yakni penyedotan cairan yang menumpuk di dalam rongga pleura paru-paru.

Beberapa orang anggota keluarga mulai meneleponku. Mereka mengabari kondisi kesehatan ibu, sesekali juga menekankan bahwa biaya rumah sakit terlalu besar, sehingga aku harus mengambil cuti kuliah. Aku tahu betul bahwa tabungan orang tuaku telah terkuras habis. Semenjak ayah pensiun, uang tabungan banyak terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan anak-anak. Kalau saja orang tuaku memiliki tabungan saat itu, tentunya aku lebih memilih uang tersebut dipakai untuk kebutuhan berobat ibu dibandingkan kebutuhan kuliahku. Jika kuliah terhenti masih boleh dilanjutkan, tetapi kondisi kesehatan yang memburuk dapat berakhir kehilangan nyawa. “Pasrah” ialah satu-satunya kata yang terlintas dibenak saat itu.

“Jika Tuhan sudah menempatkanku di garis start, maka Tuhan pasti akan menyertai hingga titik finish,” gumamku di dalam hati.

Aku mengimani apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 15:58: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia”. Semua jerih lelah tidak akan luput dari pandangan Tuhan. Mungkin perjalanan hidup mempertemukanku dengan awan hitam, bahkan badai, tetapi aku beriman pada waktu-Nya badai akan berlalu dan awan hitam akan digantikan pelangi di langit yang cerah.

Hari-hari terasa sulit dijalani ketika mengetahui kondisi ibu yang sakit dan aku harus memahami bahwa kuliahku akan terhenti pada semester akhir. Padahal jika aku mengambil cuti kuliah, maka kedepannya orang tuaku harus mengeluarkan biaya kuliah yang lebih besar agar aku dapat menyelesaikan studi S-2.

Dalam kondisi yang sedang merenung di kamar kos berukuran 3×3, tiba-tiba saja aku menerima telepon dari ibuku, yang kuberi nama kontak sebagai “Ibu Negara”. Beliau berkata:

“Nona, kuliahnya bagaimana? Kapan harus bayar uang kuliah?”

“Sudah harus dibayar Ma, terakhir tanggal 7, tapi nanti kakak ambil cuti kuliah aja. Kan mama lagi sakit pasti butuh biaya yang banyak.”

Mendengar jawabanku, beliau terdiam sejenak dan berkata:

“Nona tidak boleh berhenti kuliah. Pokoknya mama akan usahakan untuk mengirim uang kuliah sebelum tanggal 7.”

Ketika beliau berkata seperti itu, terdengar suara lantang di sebelahnya berkata; “Dari mana mau dapat uang buat bayar kuliah, mau nyuri? Buat berobat aja ini kita ngga punya uang. Jangan maksain keadaan!”

Mendengar kalimat tersebut ibuku hanya terdiam. Setelah pembicaraan berakhir, tangisku tidak bisa lagi dibendung. Aku tidak dapat menyangka, ibuku tetap mengkhawatirkan pendidikan anaknya dibandingkan kondisi kesehatannya sendiri. Ibuku melakukan hal yang bertolak belakang dengan banyak orang saat itu. Ketika mayoritas anggota keluarga menghantarku ke tepian untuk mengorbankan pendidikanku, ibuku dalam sakit yang dideritanya tetap mempercayai bahwa Tuhan akan membantu tepat pada waktu-Nya dan aku tetap harus melanjutkan studiku.

Saat itu pelarianku hanyalah doa, dengan percaya bahwa “God’s plan is always the best plan”. Terpatri benar di dalam ingatan saat itu, firman yang kubaca sebelum berdoa ialah Yesaya 55: 6-13, di kemudian hari ayat ini sering aku pakai ketika melakukan pelayanan. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8) Dari ayat inilah keyakinan, kepercayaan, dan pengharapan itu kembali datang. Aku mulai mengerti bahwa seberat apapun penderitaan hidup yang sedang dialami, aku harus tetap setia untuk mempercayakan hidup ini kepada Tuhan.

Tanggal 5 Januari 2019, pukul 08.00 WIB aku berencana untuk pergi ke kampus menanyakan persyaratan untuk mengurus cuti kuliah. Aku bergegas pagi-pagi karena pada hari Sabtu kantor administrasi kampus hanya buka hingga pukul 12.00 WIB. Saat hendak berangkat sekitar jam 07.30 WIB yang artinya waktu Indonesia timur menunjukkan pukul 09.30 ibu meneleponku untuk memberitahukan bahwa beliau akan segera menjalani prosedur medis dan uang kuliahku sudah ditransfer. Ternyata seorang saudara dekat membantu secara diam-diam. Tanpa pikir panjang “orang baik” tersebut bersedia membantu menanggung biaya rumah sakit dan biaya kuliahku. Beliau membantu tanpa membicarakan kepada seorangpun tentang apa yang telah beliau lakukan.

Tiba-tiba saja dalam kesulitan yang sedang keluargaku hadapi, dan saat aku berpikir tidak ada lagi kemungkinan untuk mengikuti semester akhir, Tuhan menunjukkan kuasa tepat pada waktu-Nya. Iman ibuku menyelamatkannya dan masa depanku. Iman ibuku menyadarkan aku bahwa seberat apapun cobaan hidup yang dihadapi, pengharapan kepada Tuhan tidak boleh sirna.

Hampir tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutku, karena rasa syukur atas kebaikan Tuhan. Sedari saat itu hingga tahun 2022 ini, aku dan keluarga selalu mengingat bahwa kami pernah melalui awal tahun yang berat bersama Tuhan. Awal tahun yang memberi kami kekuatan iman untuk menghadapi penderitaan lainnya di kemudian hari.

Tidak Semua Orang Tua

Kadang kita tak menyadari, di balik nada marah, wajah lesu, atau raut kebingungan orang tua kita, tersimpan kasih sayang yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini, orang tua kita tetap berupaya melakukan bagiannya sebaik mungkin bagi keluarganya.

Tak ada orang tua yang sempurna, namun tiap orang tua layak mendapatkan apresiasi, sebab tanpa perjuangan, teladan, dan kasih sayang mereka, takkan muncul generasi mendatang yang tangguh.

Teruntuk Papa, Mama, Ayah, Ibu, terima kasih! Kami mengasihimu.

Kontribusi oleh Yohanes Tenggara dan Grace Tjahyadi ( @dreamslandia dan @gracetjahyadi_ ) untuk Our Daily Bread Ministries (Santapan Rohani dan WarungSaTeKaMu)

Tuhan Merangkai Cerita yang Indah dalam Keluargaku

Oleh Gina*, Yogyakarta

Aku mempunyai keluarga yang utuh. Kami tinggal di bawah satu atap—ayah, ibu, dua kakak perempuan yang sudah berumah tangga, dan aku. Kami sering berkumpul dan makan bersama, bahkan saling bercerita satu sama lain. Melihat kebersamaan keluarga kami, aku berpikir bahwa ini adalah waktu di mana ayah dan ibuku dapat menikmati masa tua mereka bersama anak cucunya.

Namun, keluargaku mengalami pergumulan hebat di akhir tahun 2018. Ayah dan ibuku hampir setiap hari bertengkar. Hal kecil menjadi besar dan hal besar semakin menjadi-jadi. Aku seperti dibawa ke dalam ingatan masa lalu. Ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, seringkali aku melihat orang tuaku bertengkar sampai ibuku menangis. Tidak ada yang bisa kulakukan, hingga aku harus kembali menyaksikan kejadian serupa setelah sekian waktu lamanya mereka tidak bertengkar. Aku mengira bahwa ketika usia mereka semakin tua, mereka akan semakin rukun. Nyatanya, bukan itu yang terjadi. Keadaan ini hampir membuatku membenci ayah dan ibuku.

Suatu hari, ayah dan ibuku kembali bertengkar. Meskipun aku termasuk anak yang cuek di mata mereka, namun percayalah, hatiku hancur melihatnya. Mereka bertengkar tentang hal yang sama, yang bagiku terkesan konyol. Ayahku menuduh Ibu berselingkuh, meski pada kenyataannya Ibu tidak berselingkuh. Ketika mereka bertengkar, aku berdiam diri dan memilih masuk ke dalam kamar sambil mencoba mendengarkan perdebatan mereka. Pertengkaran itu berlangsung cukup lama, sampai ayahku jatuh sakit karena memikirkan hal tersebut. Aku juga sering melihat raut wajah Ibu yang sedih dan enggan untuk makan.

Awalnya aku berpikir bahwa ini hanyalah pertengkaran biasa. Namun, perkiraanku salah. Ayah mengumpulkan kami, ketiga anaknya, lalu bercerita tentang kegelisahan hatinya—demikian juga Ibu. Mereka menyalahkan satu sama lain, bahkan sampai menggunakan ayat Alkitab dalam perdebatannya.

Tibalah di satu titik di mana Ayah mengatakan bahwa ia ingin berpisah dengan Ibu. Seketika itu juga, aku ingin menangis dan marah karena aku tidak menyangka Ayah akan memikirkan dan mengatakan hal itu. Namun, aku menahan tangisku dan memilih untuk memberanikan diri berbicara dengan mereka. Hati kecilku tidak tahan memendam perasaan kecewa hingga aku berkata kepada Ayah, “Jika Ayah mengenal soal kasih, seharusnya Ayah tidak melakukan perpisahan. Kasih itu tidak pendendam, tidak pencemburu, tidak egois. Sama seperti yang Tuhan Yesus katakan.”

Setelah itu, aku pergi dan masuk ke dalam kamar. Aku menangis dan berbicara kepada Tuhan, “Mengapa hal ini terjadi dengan keluargaku? Padahal, Tuhan sedang menempatkan aku di pelayanan keluarga, dimana aku harus melayani keluarga lain. Bagaimana bisa aku melayani keluarga lain jika keluargaku saja hancur? Apa yang Tuhan mau?”

Mungkin aku terdengar seperti sedang marah. Tetapi, di saat aku hancur dan sedih, aku merasa Tuhan mengingatkanku akan suatu hal. Tuhan mengizinkan hal ini terjadi dalam keluargaku bukan sekedar untuk pertumbuhan keluargaku, tetapi Ia juga memiliki tujuan besar untuk memulihkan keluarga lain melalui apa yang keluargaku alami. Saat itu juga hati kecilku tahu, bahwa Tuhan berjanji ayah dan ibuku tidak akan berpisah. Keyakinanku diperkuat melalui firman Tuhan dalam Roma 8:28 yang berkata:

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”.

Saat mendapatkan ayat tersebut, Tuhan mengingatkanku bahwa melalui setiap badai kehidupan yang datang, Tuhan tidak hanya ingin membuat kita belajar untuk mengenal kasih Allah. Lebih dari itu, Tuhan memiliki tujuan besar, yaitu untuk keselamatan orang banyak. Tuhan dapat memakai masalah yang kita alami untuk memberkati orang lain yang mengalami pergumulan yang sama. Nyatanya, melalui kejadian ini aku semakin mengerti tentang pergumulan dalam keluarga yang memampukanku untuk melayani keluarga lain sesuai yang Tuhan inginkan.

Ketika mendapatkan jawaban itu, aku berdoa pada Tuhan dan berserah sepenuhnya pada rencana Tuhan. Aku selalu percaya pada janji-Nya, walaupun aku harus terlebih dahulu mengalami musim yang menyakitkan. Ketika aku terus bergumul, Tuhan melepaskan kedamaian bagi keluargaku. Kata “pisah” yang pernah dikatakan Ayah tidak pernah terdengar lagi. Lebih dari itu, kedua orang tuaku saling meminta maaf satu dengan yang lain.

Tuhan Yesus hebat! Pesanku untuk teman-teman semua adalah, biarkan Tuhan merangkai cerita melalui setiap musim kehidupan yang ada. Ketika kita mengalami pergumulan, saat itulah Tuhan sedang mempersiapkan kita untuk dipakai dalam pelayanan bagi-Nya. Tuhan rindu untuk memakai kita menjadi saluran berkat-Nya bagi orang lain yang butuh lawatan kasih-Nya. Tuhan memampukan kita untuk melakukan panggilan-Nya. Amin.

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” Ayub 42:2.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Ayah, Terima Kasih untuk Teladanmu

“Bapak”, demikian aku memanggilnya. Dia adalah sesosok istimewa di hidupku, yang melalui kehadirannya aku dapat melihat pantulan kasih Bapa Surgawi.

Selamat Hari Ibu, Ayah!

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Timeline media sosialku hari ini penuh dengan foto ibu dan anak yang disertai kalimat-kalimat nan indah dan romantis. Wajar saja, karena hari ini adalah tanggal 22 Desember, hari ibu nasional di Indonesia. Aku menatap sekilas wajah-wajah yang tampak bahagia di foto mereka. Perasaanku pun jadi campur aduk.

Selama bertahun-tahun, aku selalu ingin menghindari tanggal 22 Desember. Rasa senang dan bahagia yang kurasakan hari itu bisa tiba-tiba menguap, berganti menjadi rasa hampa. Aku tidak pernah bisa memberi hadiah ataupun ucapan “selamat hari ibu” pada ibuku, karena sejak aku berusia 5 tahun, ibuku telah tiada. Aku pun akhirnya dibesarkan oleh ayahku, yang selama 17 tahun lebih selalu bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhanku secara material.

Tapi, mungkin karena dia terlalu sibuk, ayahku jadi lupa bahwa sebenarnya aku tidak hanya membutuhkan materi, tetapi juga kasih sayang dan perhatiannya. Setiap harinya, setelah mengantarkanku ke sekolah, dia mulai bekerja dari pagi hingga malam hari. Jika hari libur tiba, aku tidak bisa bertemu dengannya walaupun kami tinggal dalam rumah yang sama. Ayah sangat sibuk bekerja. Akhirnya, aku pun tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang penuh kepahitan karena kehilangan kasih sayang, kasih dari seorang ibu dan ayah.

Setiap kali ada orang yang dengan bangganya bercerita tentang ayah atau ibu mereka, aku merasa sedih sekaligus marah. Aku jadi bertanya-tanya: mengapa hidupku seperti ini? Mengapa aku tidak punya orang tua yang melimpahiku dengan kasih sayang? Mengapa Tuhan mengambil ibuku begitu cepat? Mengapa harus ibuku? Lalu, mengapa Ayah lebih memilih sangat sibuk bekerja? Kehausan akan kasih sayang tersebut membuatku mencari jalan sendiri untuk menemukannya di luar Tuhan, dan tentunya juga di luar rumah. Di usiaku yang beranjak remaja, aku pun terseret pada pergaulan yang salah dan pornografi.

Aku merahasiakan pergumulanku dalam-dalam. Tak ada seorang pun yang tahu. Akibatnya, aku menjadi orang yang berbeda antara di dalam rumah ataupun di luar. Sekilas, orang mengenalku sebagai anak perempuan yang baik, rajin ke gereja, dan cukup aktif melayani Tuhan. Mereka tidak tahu bahwa di balik aktivitas itu, imanku rapuh, semua aktivitas itu kumaknai sebagai sekadar rutinitas yang kulakukan semata-mata karena aku tinggal di tengah lingkungan orang Kristen.

Ketika mengikuti sekolah Minggu, guru sekolah Mingguku selalu berkata bahwa Allah adalah Bapa yang baik, Bapa yang mengasihi manusia, hingga melalui Yesus, Dia rela mati di kayu salib demi menebus dosa kita semua.

Namun, dengan semua pengalaman yang kualami, hal tersebut sangat tidak masuk akal buatku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa Bapa itu baik. Yang aku tahu itu memang Yesus adalah Tuhan, tapi sulit sekali untuk memanggil-Nya sebagai Bapa yang baik. Bagaimana mungkin Yesus bisa menjadi Bapa yang baik ketika Dia mengambil Ibu dari hidupku? Bagaimana mungkin Yesus menjadi Bapa yang baik ketika dia memberikanku ayah yang tak bisa memberi perhatian dan kasih sayang padaku. Bukankah katanya orang tua adalah wakil Allah di dunia?

Hingga aku beranjak dewasa, aku masih tetap ragu bahwa Tuhan adalah Bapa yang baik. Segala kepahitan yang tak terselesaikan di hatiku pun perlahan berubah menjadi dendam kepada ayahku. Aku membencinya karena dia tidak bisa memberikanku kasih sayang, juga tidak bisa menjadi pengganti ibu yang baik buatku.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku larut terus menerus dalam kepahitan ini. Melalui sebuah peristiwa di tahun pertama kuliahku, titik terang perubahan hidupku mulai terlihat. Dalam sebuah doa di acara KKR yang diselenggarakan oleh kampusku, aku mendengar suara-Nya berbisik lembut dalam hatiku. “Hai anakku, aku mengasihimu.” Aku coba menepis suara itu dan menganggapnya hanya halusinasiku saja. Tapi, suara itu terus memanggil dan memanggil, hingga di dalam pikiranku tiba-tiba terlintas sebuah ayat, “Hai anak-Ku yang Kukasihi, datanglah kepadaku, Aku akan memberikan kelegaan padamu.” Dengan gentar, aku berdoa dalam hati. Aku menangis dan dalam doaku aku memohon ampun karena selama ini, di balik aktivitas rohani yang kulakukan, aku enggan menerima Tuhan dalam hatiku. Kemudian, aku pun berkomitmen untuk sungguh-sungguh mengikut-Nya. Saat itu juga, aku merasakan ada kedamaian di dalam hatiku.

Sejak peristiwa itu, perlahan-lahan hidupku mulai berubah. Aku ditolong oleh kakak seniorku sebagai bagian dari pembinaan pasca KKR. Dia rutin menanyai keadaanku, juga mengajakku untuk berdoa bersama. Perlahan-lahan, aku jadi semakin tertarik dan haus akan firman Tuhan. Setiap hari aku menyirami jiwaku dengan firman-Nya melalui doa dan saat teduh. Saat imanku menjadi teguh di dalam Tuhan, aku pun dipulihkan dari pergaulanku yang salah dan juga dosa pornografi. Tapi, aku sadar bahwa iman dan semangatku pada Tuhan juga harus kuwujudkan dalam tindakan. Aku belajar untuk menerima kenyataan dan mengampuni masa laluku. Aku sadar bahwa kepergian ibuku saat aku masih kecil adalah bagian dari rencana Tuhan yang baik. Dan, tugasku adalah mengimani dan mengamini bahwa ada rancangan indah yang Tuhan sediakan untukku di masa depan (Yeremia 29:11).

Relasiku dengan ayahku yang retak selama bertahun-tahun pun mulai kuobati walaupun rasanya sangat sulit. Aku butuh waktu hampir satu tahun untuk benar-benar bisa memaafkan ayahku. Selama masa itu, minimal satu minggu sekali, aku coba untuk menelponnya dan mengobrol minimal satu menit. Awalnya sulit, tapi lama-lama aku jadi terbiasa. Lambat laun, obrolan singkat tersebut menjadi lebih panjang dan akrab, hingga akhirnya aku sadar bahwa selama ini cara pandangku terhadap ayah telah salah. Ayah punya cara tersendiri untuk menyayangiku. Mungkin Ayah adalah ayah jarang menyapaku, ataupun membelai rambutku. Tapi, dalam kerja kerasnya yang menyita waktu, dia bahkan selalu mengingatku dalam doa-doanya. Ayah tidak benar-benar meninggalkanku. Ayah mengutarakan bahasa kasihnya melalui peluh keringat dan perjuangan untuk memenuhi kebutuhanku. Ayah adalah ayah yang baik dan setia.

Ketika aku sadar akan peranan Ayah dalam hidupku, aku juga mulai belajar untuk menyebut Tuhan sebagai “Bapa yang baik” dalam doa-doaku. Tuhan adalah Bapa yang selalu membuka tangan-Nya lebar-lebar untuk memelukku yang dulu adalah anak terhilang. Bapa begitu menyayangiku, bahkan ketika aku memberontak terhadap-Nya.

Sekarang, ketika perayaan hari ibu nasional, aku tidak lagi berkecil hati. Tanggal 22 Desember tidak lagi menjadi hari yang ingin kuhindari. Di hari ibu ini, aku bukan saja ingin mengucapkan selamat kepada ibuku yang telah berada di surga, tetapi juga kepada ayahku.

“Selamat hari ibu, ayah terhebat! Ayah yang tidak malu untuk menjalankan peran seorang Ibu bagi anaknya. Ayah yang bekerja keras, berpeluh keringat, demi melihat anakmu berbahagia. Ayah yang terkadang harus pulang larut malam karena mencari pekerjaan tambahan. Anakmu ini pernah membencimu karena berpikir kalau Ayah terlalu menyayangi pekerjaan. Tapi, aku tidak sadar kalau Ayah selalu menyebut namaku dalam doamu. Aku mengasihimu Ayah. Terima kasih untuk kasihmu bagiku.”

Jika hari ini kamu masih bisa berkata “I love you” kepada ayah dan ibumu, lakukanlah itu sekarang, karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa terus hadir dan bersama-sama dengan mereka. Lakukanlah apa yang baik, yang berkenan kepada Tuhan dan yang menyenangkan hati mereka sebelum kesempatan itu hilang.

“Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:7-8).

Baca Juga:

Aku, Ambisiku, dan Rencana Tuhan

Aku adalah seseorang dengan ambisi selangit. Sejak SMA aku sudah menyusun setiap rencana kehidupanku di masa depan dengan detail. Namun, ketika ambisiku untuk meraih kesuksesan dijawab Tuhan dengan banyak kegagalan, di sinilah aku belajar bahwa ada satu hal yang kulupakan ketika aku begitu terobsesi untuk mengejar ambisi.

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Ketika-Tuhan-Mengajarku-Melalui-Anakku-yang-Cacat-Mental

Oleh Tilly Palar, Jakarta

Sharon Putri. Dia adalah anak bungsu dari tiga orang bersaudara yang sangat aku kasihi. Waktu itu, ketika Sharon baru berumur satu tahun, dia belum mampu berjalan dan sulit berbicara. Aku khawatir melihat perkembangan fisiknya yang cukup terlambat itu, tapi teman-temanku menyemangatiku bahwa terlambat berjalan dan bicara adalah hal biasa untuk seorang balita.

Setiap hari, aku mengajari Sharon untuk melangkahkan kakinya perlahan-lahan dan mengucap beberapa kata sederhana. Lambat laun usahaku mulai membuahkan hasil. Sharon mulai mampu berjalan walaupun sering terjatuh. Sharon juga bisa berbicara walau seringkali ucapannya terdengar kurang jelas. Melihat perkembangan fisiknya, aku merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya.

Tibalah masanya untuk Sharon belajar di bangku sekolah. Aku mendaftarkannya ke sebuah sekolah swasta dekat rumahku. Namun, hanya satu minggu berselang, aku dipanggil oleh kepala sekolah. “Ibu, maaf, anak ibu ternyata tidak bisa mengikuti kelasnya. Dia mengacaukan kelas dan memukul teman-temannya. Kami sangat menyesal anak ibu tidak bisa melanjutkan sekolah di tempat ini.” Aku terkejut mendengar kata-kata itu. Aku terduduk diam dan tidak tahu harus menjawab dengan kata-kata apa. Kemudian, kepala sekolah itu melanjutkan bicaranya, “Coba ibu bawa Sharon ke dokter spesialis untuk diperiksa.”

Pembicaraan yang baru saja berlangsung itu membuatku begitu terpukul, tapi aku juga menyadari bahwa saran yang diberikan kepala sekolah itu ada benarnya juga. Aku memutuskan untuk membawa Sharon ke sebuah rumah sakit. Di sana, Sharon menjalani begitu banyak pemeriksaan hingga akhirnya dokter spesialis memberikan kesimpulan bahwa Sharon adalah seorang anak dengan cacat mental. Sharon dikategorikan sebagai seorang anak yang tergolong mild mentally retarded atau retardasi mental ringan.

Vonis dokter bahwa Sharon adalah anak cacat membuatku terkejut. Aku termenung sejenak, mengapa ini semua harus terjadi? Di tengah perenungan itu, aku mengingat bahwa bagaimanapun juga, Sharon adalah anak yang kulahirkan sendiri. Penyakit ini datang bukan karena kesalahan Sharon. Oleh karena itu, tak peduli apapun keadaannya, aku berjanji untuk selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

Karena permasalahan keluarga, aku terpaksa pindah ke luar negeri dan bekerja untuk menghidupi Sharon dan dua orang kakaknya. Aku tidak tahan dengan omongan-omongan negatif yang sering dilontarkan oleh keluarga dan teman-temanku mengenai Sharon. Mereka seolah tidak mendukungku ataupun menerima Sharon sebagaimana adanya.

Setelah kepindahanku ke luar negeri, aku menyekolahkan Sharon di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak yang mengalami retardasi. Di usianya yang semakin menanjak, Sharon harus menjalani banyak terapi. Bahkan, sampai ketika Sharon duduk di kelas 5, cara berpikir Sharon masih sama seperti balita yang belum bersekolah.

Suatu ketika, sekolah tempat Sharon belajar mengadakan sebuah pentas seni yang dilakukan oleh anak-anak dengan retardasi mental. Bersama teman-temannya, Sharon memberikan sebuah persembahan tarian di hadapan orangtua murid. Anak-anak dengan retardasi mental itu berlatih selama berminggu-minggu hingga bisa menampilkan tarian yang amat indah bagiku.

Penampilan Sharon di panggung itu membuatku takjub. Aku kagum atas kegigihan guru-guru di sekolah itu. Dengan sabar mereka melatih anak-anak yang sejatinya berbeda dari anak-anak umumnya. Walau dengan retardasi mental, anak-anak itu mampu menari bergandengan tangan, bergerak seirama dengan lagu. Semua anak-anak itu menari dengan ekspresi datar, tanpa senyum sama sekali. Tapi, itulah yang membuatku dan penonton lainnya menangis terharu. Perasaan kami bercampur aduk, antara rasa gembira melihat penampilan anak-anak itu, namun juga ada perasaan sedih karena belum semua orang mau memandang mereka dengan positif.

Sharon adalah anugerah dari Tuhan

Harus kuakui, sebagai seorang ibu, ada kalanya aku merasa lelah dan bertanya-tanya apa maksud Tuhan atas semua ini. Apabila seseorang mengalami cacat pendengaran, ada alat bantu dengar untuk menggantikan fungsi telinga mereka. Atau, paling tidak ada bahasa isyarat. Apabila seseorang mengalami cacat tangan atau kaki, ada tangan-tangan dan kaki-kaki palsu untuk menolong mereka beraktivitas. Akan tetapi, apabila seseorang mengalami cacat mental, apakah yang dapat menggantikan fungsi otak mereka? Atau, alat apakah yang dapat menolong mereka?

Aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Aku hanya mampu terdiam. Aku teringat akan beberapa peristiwa yang pernah membuatku pedih. Suatu ketika, aku sedang berada di sebuah rumah duka dan mendengar suara tangis yang disertai teriakan seorang anak. Aku mengenali dengan jelas bahwa itu adalah tangisan dari seorang anak yang mengalami retardasi mental. Kepada kerabat yang turut hadir di rumah duka itu aku bertanya, “Siapa yang menangis berteriak-teriak itu?” Kerabatku itu menjawab, “Oh, itu anak cacat, bodoh, disuruh minum tapi menolak sampai kayak gitu.” Jawaban kerabatku itu membuatu tertegun. Aku bertanya-tanya dalam hati, mengapa ada orang-orang yang tidak menghargai mereka yang terlahir dengan cacat mental? Bahkan, keluarga dan teman-teman dekatku sendiri pun sering berkata-kata hal yang buruk mengenai Sharon. Mereka mengatakan bahwa cacat mental yang diderita Sharon adalah kutukan.

Pandangan-pandangan buruk itu ada dalam pikiranku hingga aku bertemu dengan orang-orang lain yang ternyata memiliki pandangan berbeda. Setelah aku pindah ke luar negeri dan mendaftarkan Sharon ke sebuah sekolah, aku bertemu dengan salah seorang gurunya. Guru itu berkata bahwa anak-anak yang tampaknya cacat ini sesungguhnya adalah anak-anak yang istimewa. Anak-anak ini hanya diberikan Tuhan kepada orangtua yang juga istimewa, yaitu orangtua yang memiliki hati yang besar. Kata-kata itu sungguh bermakna buatku. Sejak saat itu aku berkomitmen untuk tidak menghiraukan komentar-komentar negatif tentang Sharon.

Aku menyadari bahwa hal yang paling dibutuhkan Sharon adalah memberinya pendidikan dengan kasih sayang yang tulus. Sepulang sekolah, aku mengajarinya untuk melakukan aktivitas-aktivitas sederhana. Aku mengajarinya bagaimana memakai sabun, mencuci piring, juga mengajaknya berjalan-jalan untuk bergaul dengan orang-orang lain. Aku tidak malu apabila orang-orang lain melihat Sharon itu mengalami retardasi mental.

Setelah bertahun-tahun menetap di luar negeri, aku memutuskan untuk membawa Sharon pulang kembali ke Indonesia dan mengasuhnya setiap hari.

Waktu terus berjalan. Aku melihat Sharon dan kedua orang kakaknya terus beranjak dewasa. Ketika kakak-kakaknya mulai mampu hidup secara mandiri, aku masih tetap mengasuh Sharon dengan penuh kasih. Namun, seiring usiaku yang terus beranjak, tak kusangka aku mengalami serangan jantung. Aku tidak lagi seprima seperti dahulu, dan akibat serangan penyakit itu, aku dan keluarga harus membuat suatu keputusan besar. Aku tak dapat lagi mengasuh Sharon sehingga kami sepakat untuk menitipkannya ke sebuah rumah pemulihan.

Sejak bayi aku telah merawat Sharon. Dia selalu ada dalam dekapanku tatkala air mata mulai menetes membasahi pipinya. Dia tidak pernah lepas dari pengawasanku. Sekarang, semua itu menjadi sebuah kenangan yang amat manis untuk dikenang. Aku tidak lagi sedih karena di rumah pemulihan tempat Sharon bernaung, dia menemukan banyak teman-temannya yang mengalami retardasi serupa dengannya.

Ketika Tuhan mengizinkan Sharon hadir dalam kehidupanku, aku beroleh kesempatan untuk belajar banyak hal. Aku belajar tentang apa arti kasih yang tulus. Aku belajar untuk tidak malu atas cacat mental yang dialami oleh Sharon. Kemanapun aku pergi, termasuk ketika aku harus bekerja dan menemui klien-klienku, Sharon selalu bersamaku. Aku belajar untuk bersyukur dan menerima hal-hal yang memang tidak dapat kuubah.

Tuhan Yesus amat mengasihi kita. Seharusnya kita dihukum karena dosa-dosa kita, akan tetapi Dia memberikan nyawa-Nya sebagai ganti atas dosa-dosa kita (Yohanes 3:16). Pengorbanan Tuhan Yesus adalah teladan sejati bagi hidupku. Sebagaimana Dia mengasihi kita dengan tulus, aku belajar mengasihi Sharon sebagaimana adanya.

Sharon adalah hadiah amat indah yang Tuhan boleh berikan untukku. Sebagai seorang ibu, aku bangga memiliki anak seperti Sharon, dan aku juga teramat bangga memiliki Tuhan yang adalah Yesus Kristus.

“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Korintus 13:13).

Baca Juga:

Persahabatan di Era Digital: Erat di Dunia Maya, Renggang di Dunia Nyata

Menurutmu, teman seperti apakah kamu? Apakah kamu hanya sekadar teman di Facebook yang mencurahkan perhatianmu hanya lewat tombol “Like” di tiap-tiap postingan temanmu tapi tidak pernah menemui mereka secara langsung?

Ibu, Terima Kasih untuk Teladanmu yang Luar Biasa

ibu-terima-kasih

Oleh Charlotte Diana
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: A Tribute To My Mother

Ibuku adalah salah satu wanita paling luar biasa yang pernah aku tahu. Setelah ayahku meninggal pada tahun 2011, ia tetap berjuang demi ketiga anaknya. Untuk membiayai kami, ia membuat dan menjual jajanan pasar berupa lapet (cemilan khas Batak dari beras atau ketan) dan es buah.

Hidup dengan keuangan yang sangat terbatas mengajarnya untuk berhati-hati dalam menggunakan uang. Sekalipun kini aku telah bekerja dan bisa mengirimkannya uang setiap bulan, ia hanya menggunakannya untuk membeli perlengkapan rumah tangga yang memang diperlukan.

Suatu hari, ia memberitahuku tentang impiannya memulai sebuah warung di rumah.

“Ibu yakin?” tanyaku kepadanya.

“Yakin. Ibu ingin bisa cari uang sendiri supaya tidak memberatkan kamu. Lagipula, waktu kamu kerja seharian, ibu kan sendirian di rumah. Kalau punya warung, ibu jadi ada kesibukan dan tidak merasa kesepian,” ia menjelaskan dengan mantap.

Selama beberapa bulan kemudian, aku dan saudara-saudaraku pun berusaha menabung dengan mengurangi pengeluaran dan menyisihkan sebagian penghasilan kami untuk ibu. Tidak mudah. Uang kami tidak kunjung cukup juga. Mimpi ibu sepertinya sulit untuk diwujudkan.

Suatu hari, tanpa diduga, ibuku menerima hadiah dari pamanku. Sebuah rak kaca dengan pintu geser. Pamanku rupanya telah mendengar keinginan ibuku untuk memulai sebuah warung, dan membelikan rak itu untuk memajang barang jualannya. Ibuku sangat senang.

Awalnya ia tidak mau langsung memakainya. Ia pikir semua perlengkapan yang dibutuhkannya harus ada dulu sebelum ia bisa membuka warung. Namun, setelah kami dorong terus-menerus, ia akhirnya membeli beberapa barang untuk dipajang, dan mulai membuka warung kecilnya.

Pada hari pertama, hanya ada beberapa orang yang datang berbelanja. Ibu tidak mengeluh. Ia menyapa setiap orang yang mampir dengan senyum yang ramah.

Perlahan-lahan, ibuku mulai bisa menghasilkan sedikit uang. Ia juga belajar bagaimana menjadi seorang penjual yang baik, dan memberkati orang lain. Bila barang yang dicari pelanggannya tidak tersedia, ia selalu berusaha menawarkan alternatif agar kedatangan pelanggan itu tidak sia-sia. Sikap ibu yang selalu bersahabat dan suka menolong membuat banyak orang senang datang berbelanja kembali.

Kadang-kadang ada anak-anak yang tidak punya cukup uang untuk membeli apa yang mereka mau. Sekali waktu Ibuku bertanya kepada salah satu anak yang datang, “Di mana orangtuamu?” Anak itu menjawab dengan sedih, “Mereka sibuk kerja seharian.” Teringat dengan anak-anaknya sendiri, ibu tersenyum dan bertanya berapa banyak uang yang dipunyai anak itu. Ia lalu memutuskan untuk memberikan apa yang diinginkan anak itu. Tidak perlu dibayar.

Kadang-kadang, para satpam dan petugas kebersihan juga akan mampir untuk membeli air minum dan makanan kecil. Suatu malam, ketika warung sudah tutup, seseorang membunyikan bel pintu untuk membeli sebotol air minum. Kali lain, seorang petugas kebersihan mampir untuk membeli obat sakit kepala. Ia bekerja terlalu lama di bawah terik matahari. Ibuku tidak hanya membuka pintu untuk orang-orang ini, ia bahkan menawarkan petugas kebersihan itu untuk beristirahat sebentar di warungnya.

Para pembantu rumah tangga juga sering mampir ke warung ibuku. Sebagian tidak hanya berbelanja kebutuhan rumah tangga, tetapi juga curhat tentang pergumulan mereka. Banyak di antara mereka membeli obat-obat bebas untuk mengobati berbagai gejala penyakit karena tidak punya cukup uang untuk pergi ke rumah sakit. Karena prihatin, ibu lalu berinisiatif mengajar mereka tentang program asuransi kesehatan dari pemerintah. Ibuku sendiri sudah menggunakan fasilitas asuransi tersebut sehingga ia bisa menjelaskannya dengan baik. Ia mengambilkan formulir pendaftaran dan membantu mereka mendaftarkan diri. Makin lama, makin banyak pembantu rumah tangga di kompleks kami yang datang menanyakan tentang program asuransi kesehatan itu kepada ibuku. Kebanyakan di antara mereka mendaftar dan kini dapat menerima pengobatan yang lebih baik.

Dengan segera, warung ibuku menjadi perbincangan banyak orang. Warung itu mulai menjadi sangat ramai pada jam-jam tertentu. Penghasilan ibuku pun bertambah hingga ia bisa membeli sebuah lemari es baru yang bisa digunakannya untuk menjual makanan beku.

Kini warung ibuku sudah berusia lebih dari setahun. Ia telah membantu dan melayani banyak orang. Sepanjang tahun ini, aku melihat sendiri bagaimana Tuhan memberikannya sebuah kesempatan istimewa, bukan hanya menjadi seorang penjual, tetapi juga menjadi seorang pelayan dan mentor bagi sesama. Tuhan telah menolong dan memberi ibuku semangat untuk mewujudkan impiannya. Aku sendiri merasa dikuatkan melihat bagaimana ibuku selalu berdoa dan meletakkan pengharapannya di dalam tangan Tuhan.

Menjadi seorang janda tidak membuat ibuku menjalani hidup dalam kepahitan. Ia tidak hanya berhasil membiayai keluarganya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak anak muda, termasuk diriku sendiri. Kiranya hidup kita juga bisa bersinar bagi Yesus, supaya ketika orang lain melihat hidup kita, mereka juga akan dapat melihat betapa hebatnya Tuhan yang Mahakuasa, yang telah merancang hidup kita bagi kemuliaan-Nya.

Baca Juga:

Aku Menutup Akun Media Sosialku, dan Inilah yang Terjadi

Dahulu, Albert adalah orang yang mempunyai banyak sekali media sosial. Suatu hari, sebuah kata-kata temannya membuatnya merenungkan mengapa dia menggunakan semua media sosial tersebut.

Ibu Memberiku Kasih

Oleh: Abyasat Tandirura

Aby-Ibu-Memberiku-Kasih

Ibu memberiku kasih
Bagaikan kemilau cahaya mentari
Hangat menembus relung hati
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Melebihi harta duniawi
Melahirkan dan membesarkanku di dunia ini
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Mendoakanku setiap hari
Membimbingku mengenal kasih ilahi
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Berjerih lelah tiada henti
Sekalipun sering aku kurang peduli
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Tak jemu menasihati dan menyemangati
Sekalipun sikapku kadang tak tahu diri
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

Ibu memberiku kasih
Mendorongku melangkah hingga hari ini
Menyiapkanku menapaki esok hari
Tuhan, sungguh aku berterima kasih

 
Catatan Penulis:
Puisi ini lahir dari perenungan pribadi jelang ulang tahunku tentang seorang “pahlawan” yang Tuhan tempatkan dalam hidupku. Ia berjuang membesarkanku, dari seorang bayi yang tak bisa apa-apa, hingga menjadi seorang pemudi yang mandiri. Ia berjuang mendidikku, dari seorang anak yang tak tahu apa-apa, hingga menjadi seorang dewasa yang mengenal Penciptanya. Ia tak sempurna, namun mengajarku ‘tuk selalu bergantung pada Yang Mahasempurna. Ia rela melakukan segala hal yang baik demi kebahagiaanku. Tulus, tanpa pamrih. Ya, ia adalah ibuku.

Kadang aku berpikir betapa senangnya bila bisa “membahagiakan” ibuku kelak jika aku sukses. Namun, sebenarnya aku tak perlu menunggu selama itu. Aku dapat membuatnya bahagia dengan hal-hal sederhana setiap hari. Bertutur dan bersikap dengan cara yang menghormatinya. Mendengarkan nasihatnya. Memberinya senyum dan pelukan hangat. Memberitahunya bahwa aku menyayanginya. Alkitab sendiri mengajar kita untuk menghormati ibu (dan ayah) kita tidak hanya pada waktu atau kondisi tertentu. Kita mendengarkan dan menaati mereka karena kita menghormati dan mengasihi Tuhan yang telah menempatkan mereka sebagai orangtua kita (lihat Keluaran 20:12; Kolose 3:20). Roh Kudus menolong kita.