Drama Skripsi dan Wajah-wajah yang Menopang
Oleh Alvianus Gama
“Alex!”, sahut mamaku dari arah kamarnya saat aku sedang bergegas menaiki tangga ke kamarku di lantai atas.
“Ya Ma, kenapa?”, jawabku pendek.
“Mama mau ngobrol dulu bentar”, jawab mama dengan muka yang terlihat serius.
Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa gerangan?
“Mama sama papa udah sebulan ini berdoa tiap malem buat kuliah kamu. Tapi setiap kali berdoa kok rasanya nggak damai ya, jadi mama mau nanya langsung aja ke kamu, sebenarnya kuliah kamu tuh gimana? Coba cerita dong…”, kata mamaku penuh harap.
Aku tertunduk diam. Ini adalah pertanyaan yang paling aku takutkan selama ini. Takut akan konsekuensi yang akan aku hadapi nanti.
Mamaku adalah seorang ahli hukum yang sukses dalam pekerjaannya. Ia seorang yang antusias dan penuh semangat, selalu memotivasi aku dan kakakku untuk maju dalam segala hal. Dalam kesibukannya bertemu dengan klien setiap hari, ia selalu bisa menyisihkan waktu untuk memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan papaku adalah seorang yang berpendirian keras dan berkemauan kuat, yang mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri. Papa adalah sosok ayah yang selalu menemukan berbagai macam cara untuk memperbaiki peralatan rumah yang rusak, mulai dari meja yang patah kakinya, keran air yang bocor, hingga mobil yang mogok, atau motor yang rusak. Agaknya inilah yang membuatku lebih mudah untuk bercerita kepada mama untuk segala urusan, termasuk kuliahku. Cerita ke papa? Hmmm nanti dulu.
“Gimana Lex? Ayo cerita dong…”, ujar mamaku menantikan jawaban.
Aku menghela nafas panjang. Susah rasanya untuk membuka mulutku dan mulai cerita. Saat itu, aku seolah tak punya alasan lain untuk menghindar dari pertanyaannya selain menarik tangan mamaku dan mengajaknya ngobrol di kamarku. Di dalam kamar pun, aku tetap sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku dalam kata-kata. Di momen-momen sunyi yang menyiksa itu, tanpa aku bisa kuasai, air mata mengalir begitu saja. Aku lihat mama menatapku heran, menyaksikan anak laki-lakinya terisak sambil menunggu penjelasan.
”Kenapa kamu nak? Coba jujur aja, cerita ke mama, gimana sebenarnya?” ujarnya lembut sambil memegang tanganku erat.
Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha menenangkan hati dan emosiku. Dengan nafas yang tak beraturan, aku mulai menceritakan pada mamaku bahwa sebenarnya sudah 2 tahun ini aku menelantarkan kuliahku. Selama ini aku berbohong pada mamaku terkait kuliahku.
Aku tertunduk malu dan berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan langsung mamaku. Perlahan aku bisa mendengar mamaku juga ikutan menangis. Ia tampak begitu terpukul dan nggak percaya kalau anak yang selama ini dia banggakan, yang punya IPK bagus dan di atas rata-rata teman kuliahnya, anak yang nyaris nggak pernah punya masalah, tiba-tiba membawa kabar yang tak pernah ia sangka-sangka, seperti mendengar suara geledek di siang bolong.
Sejak 2 tahun yang lalu, aku sebetulnya sudah masuk dalam semester akhir dari kuliahku dan menurut hitungan waktu, aku seharusnya sudah menyelesaikan skripsiku di paruh kedua tahun 2020. Tapi pada kenyataannya, alih-alih membereskan skripsi, untuk sekadar memilih topik dan menentukan judul pun belum aku lakukan. Sudah hampir 4 semester ini aku nggak bayar uang kuliahku. Parahnya lagi, kalau ditanya terkait uang kuliah, aku selalu menemukan cara untuk berbohong bahwa aku sudah membayarnya, padahal belum aku bayar dan ngga ada satu pun terkait skripsiku yang aku kerjakan. Entah kenapa, untuk urusan skripsi ini, aku ngerasa nggak bisa, aku frustasi. Aku merasa stuck di program studi yang aku pilih ini. Semua ini terasa mudah aku lakoni karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa semua perkuliahan dan tugas akhir dilakukan secara daring, sehingga tidak ada kecurigaan sedikitpun dari mamaku karena aku tidak perlu lagi pergi ke kampus, hanya diam di kamar seolah-olah sedang mengikuti perkuliahan secara daring.
Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku terdalam, aku sangat menyukai pelajaran bahasa lebih daripada program studi Akuntansi yang aku ambil sekarang. Bahkan dalam masa-masa awal perkuliahan, aku sudah membayangkan untuk menjadi ahli bahasa, bertemu, bernegosiasi dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Dalam hati, aku pun bertekad untuk pindah jurusan ke program studi bahasa dan memulai dari awal. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku untuk aku lakukan ke depan.
Dan kalau aku ingat lagi, beberapa bulan sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi, aku pernah mengikuti tes minat dan bakat untuk mengetahui program studi mana yang cocok buatku dan menurut hasil tes, aku cocok untuk masuk program studi Akuntansi karena aku terbukti jago dengan angka-angka. Entah kenapa, setelah 4 tahun aku jalani perkuliahan ini, aku benar-benar merasa telah salah memilih program studi. Bukan ini yang aku sukai. Bukan ini Tuhan.
“Selama ini mama pikir kalau kamu sedang nyelesain skripsi, karena kamu yang bilang gitu kan ke mama!” ujar mamaku melanjutkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku terdiam membisu. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Mama yang selama ini tegar dan bersemangat, saat itu kulihat menutupi mukanya dan berulang kali menyatakan ketidakpercayaannya akan berita yang ia terima. Ia mencoba membujukku untuk tetap meneruskan studiku karena sudah kepalang tanggung, tinggal menyelesaikan skripsi saja, tapi aku bersikukuh dengan keinginanku untuk pindah jurusan. Kami pun bersitegang mengenai masalah ini dan sore itu berlalu tanpa ada jalan keluar. Kami menyudahi pembicaraan tanpa ada keputusan apa-apa. Sore yang dingin.
Tanpa kusangka, keesokan sorenya, aku dikejutkan dengan berita yang aku terima. Tanpa sepengetahuanku, setelah berdiskusi dan meminta saran dari beberapa anggota keluarga, mamaku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berkonsultasi dengan ketua program studi. Ia mencoba untuk mengajukan permohonan agar skripsiku dapat diberi perpanjangan waktu. Mengetahui hal ini, tentu saja membuatku mengamuk. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Aku merasa seolah-olah mamaku tidak mendengar sama sekali keluhanku selama 2 tahun ini. Aku sudah bilang aku nggak sanggup, tapi kenapa tetap memaksakan keinginan ini?
Mama mencoba meyakinkan aku kalau Tuhan yang kasih jalan untuk aku mendapat perpanjangan waktu, artinya Tuhan akan membantuku untuk menyelesaikannya. Di sisi yang lain, aku jadi bertanya-tanya, bukankah itu artinya Tuhan tidak mendengar doaku buat pindah program studi? Apa Tuhan pun nggak melihat kalau aku nggak sanggup? Aku speechless.
Keesokan harinya, mama kembali mendatangi kamarku untuk menanyakan keadaanku. Ia khawatir dengan reaksiku kemarin setelah aku meluapkan kekesalan dan amarah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya agar aku dapat menyelesaikan kuliahku saat ini. Ia mengingatkanku akan semua perjuangan yang sudah aku lakukan, mulai dari awal perkuliahan hingga kerja praktek. Ia memintaku untuk belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.
Ada satu kalimat yang hingga saat ini aku ingat, yang berkata bahwa kalau Tuhan sudah menolongku hingga sejauh ini, Tuhan juga akan menolong menyelesaikan perjalanan ini. Agaknya Tuhan mulai melembutkan hatiku saat itu. Amarahku mereda dan aku mulai mencoba untuk melihat masalah yang kuhadapi dari sisi lain. Aku sadar aku begitu egois dan ingin menang sendiri. Aku pun tahu mama bukan orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Ia orang yang fair, berani mengakui kesalahannya dan selalu berterus terang kepada anak-anaknya.
Yang lebih membuatku semakin menyadari bahwa Tuhan mendengar doa dan usaha mamaku adalah ketika aku diberitahu bahwa pihak Fakultas akan berusaha sebisa mungkin agar aku bisa kembali mendapat kesempatan menyelesaikan skripsi yang sudah tertunda selama 2 tahun. Yang membuat terheran-heran, semua urusan itu bisa diselesaikan hanya dalam satu hari saja, padahal selama 2 tahun statusku tanpa kabar itu aku yakin akan berakhir dengan keputusan DO dari kampus.
Saat ini aku merasa senang dan bersemangat. Walaupun papa dan kakakku tidak mengutarakan perasaan mereka, tapi mereka menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampaknya ingin berbuat sesuatu untuk menyemangatiku, dengan cara mereka sendiri. Aku merasa didukung dan ini semakin membesarkan hatiku. Setiap babak baru dalam perjalanan hidup kita berisi tanda tanya dan ketidakpastian. Kita jadi ragu-ragu dan takut. Pada saat seperti ini aku ingat pemazmur yang berbisik meminta topangan dari Tuhan,”Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu…” (Mazmur 119:16).
Saat tulisan ini dibuat, pihak fakultas memberiku 3 bulan waktu perpanjangan agar aku bisa menyelesaikan skripsiku. Berita baiknya lagi, aku bisa mendapat pembimbing skripsi yang aku idolakan selama ini, dosen yang sangat menolong dan memotivasi aku untuk menyelesaikan skripsiku. Aku merasa seperti seorang pendosa yang mendapat anugerah pengampunan yang besar dari Tuhan. Aku tahu ini memang saat-saat yang berat dan penuh perjuangan, tapi aku siap memulai kembali dan aku tahu Tuhan akan menyanggupkan aku. Mungkin perjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini hanya 3 bulan saja, tapi perjalanan hidupku masih puluhan tahun ke depan. Akan jadi apa aku nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidupku?
Saat aku bingung, bimbang, dan takut, aku teringat wajah-wajah yang menopang aku. Wajah mama, wajah papa, wajah kakakku dan orang-orang yang mengasihiku. Aku semakin mantap. Terima kasih Tuhan untuk mereka. Terima kasih Tuhan untuk kasihmu.
“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya” –Mazmur 37:23-24.