Posts

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengenal Ritual-ritual dalam Iman Kristen

Oleh Dhimas Anugrah

La Tomatina atau “perang tomat” yang ada di Spanyol mungkin merupakan pesta atau ritual terbesar di dunia. Biasanya, La Tomatina diadakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Agustus. Para peserta saling melempar tomat dan terlibat dalam pertarungan yang tak menyakitkan satu sama lain. Ritual ini menjadi terkenal sejak abad yang lalu. Di seberang benua lainnya, selama ratusan tahun ada upacara Okali, ritual melempar bayi yang baru lahir dari atas atap kuil di India. Namun, keselamatan bayi tetap diutamakan dengan sejumlah orang bersiap menangkap si bayi dari bawah dengan menggunakan kain putih lebar yang dibentangkan. Muasal ritual ini, konon dulu ada pasangan yang bersumpah di kuil apabila mereka mempunyai keturunan, maka mereka akan rutin menjalankan ritual di situ untuk berterima kasih kepada dewa. 

Dua praktik di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak ritual yang dilakukan komunitas-komunitas manusia di muka bumi. Ritual secara sederhana dipahami sebagai ekspresi batin yang melibatkan tindakan fisik simbolis. Namun, yang perlu diingat adalah frasa “ritual” tidak terisolasi hanya pada ranah agama, melainkan juga budaya dan adat-istiadat.

Umat Kristen, seperti halnya komunitas tradisi atau agama lain, pun memiliki ritual yang unik. Para pengikut Kristus memiliki ritual khasnya, dengan melakukan sakramen baptisan, perjamuan kudus, berdoa, bernyanyi, beribadah di gereja, berpuasa, kolekte, bersaksi, dan beragam ekspresi iman lainnya.

Ritual-ritual Kristiani

Frasa “ritual” sendiri berasal dari bahasa Latin “ritualis” dengan akar kata “ritus” yang biasanya dipahami sebagai jenis upacara atau kegiatan. Kata “ritual” dalam bahasa Inggris menjadi lebih dikaitkan dengan agama mulai pada tahun 1600-an. Ritual dalam iman Kristiani sendiri, secara mendasar dilandasi oleh ungkapan syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya melalui Sang Juruselamat Yesus Kristus (Mazmur 28:7; Ibrani 12:28; Kolose 3:1). Berdoa adalah salah satu ritual umum dalam iman Kristiani. Praktik ini berakar dari Perjanjian Lama, dan terus berlanjut dalam Perjanjian Baru, seperti dapat dilihat pada doa harian yang dilakukan secara teratur baik di rumah maupun di Bait Allah, Yerusalem. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa doa dilakukan tiga kali (2:15; 10:9; 10:30-31; 3:1). Menurut Maxwell E. Johnson dalam “The Apostolic Tradition,” in The Oxford History of Christian Worship, hal ini sesuai dengan pengorbanan Bait Suci pada pagi hari (sekitar pukul 09.00), tengah hari, dan sore hari (sekitar pukul 15.00). Jemaat akan berdiri di luar Bait Suci sambil berdoa ketika imam mempersembahkan dupa di atas mezbah (bdk. Lukas 1:10).

Ritual lainnya, menyanyikan pujian. Seringkali memang seperti tidak ada batasan yang jelas antara menyanyikan pujian, berdoa, dan membaca Alkitab. Dalam Kitab Suci, memuji Allah dapat merujuk pada doa dan juga nyanyian (Kisah Para Rasul 16:25; Ibrani 13:15). Pengajaran juga dapat berbentuk nyanyian, seperti membaca mazmur yang dapat disebut sebagai menyanyikan “puji-pujian dan nyanyian rohani” (Kolose 3:16; Efesus 5:19). Jesper Svenpro dalam “Archaic and Classical Greece: The Invention of Silent Reading,” in A History of Reading in the West, menunjukkan lagu-lagu rohani juga bisa jadi merupakan ekspresi iman spontan yang diilhami oleh Roh Kudus. Menyanyi sebagai doa dan pengajaran turut dilatarbelakangi fakta bahwa membaca memang jarang dilakukan di dunia kuno. Praktik membaca justru biasa menjadi aktivitas vokal atau bahkan musik (Filipi 2:5-11; Kolose 1:15-20; dan 1 Petrus 3:18-22). 

Perjamuan Kudus juga merupakan ritual dalam laku sakramen “makan serta minum tubuh dan darah Yesus Kristus.” Sakramen sendiri merupakan “tanda yang terlihat” atau simbol yang dapat ditangkap pancaindra, sehingga anugerah keselamatan Allah yang adikodrati dapat dihayati umat pilihan-Nya. Tradisi Kristiani lainnya menyebut sakramen sebagai “Misteri Suci.” Perjamuan Kudus adalah inti dari ibadah Kristen mula-mula dan dimaksudkan untuk terus mengenang Kristus dan ajaran-Nya. Sejak awal dalam tradisi Kristiani, ritual ini dikaitkan dengan perkataan Yesus, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Korintus 11:24; Lukas 22:19). Ajakan “mengingat” ini demi menghayati kembali peristiwa ”pemecahan roti” yang Kristus lakukan dalam Perjamuan Akhir (Lukas 24:35).

Dalam sejarah, orang Kristen mula-mula berusaha menjaga ingatan ini tetap hidup dengan melakukan “komuni” atau memecah-mecahkan roti setiap hari dan memanjatkan doa (Kisah Para Rasul 2:42, 46). Namun, di kemudian hari dalam kitab yang sama Lukas menginformasikan, orang-orang Kristen memecah-mecahkan roti pada hari pertama dalam pekan itu, yaitu hari Minggu (Kisah Para Rasul 20:11). Para ahli umumnya percaya perjamuan ini adalah sebuah peraturan dan perjamuan yang asli. Meskipun kita tidak mengetahui semua detail dari praktik ini, Perjanjian Baru menyebutkan perjamuan mencakup makanan seperti roti, anggur, ikan, dan sejenisnya (Lukas 24:39-43; Yohanes 21:12-13). Mereka juga menyertakan kegiatan seperti berkhotbah dan berdoa, dan para anggota jemaat makan “dengan sukacita dan dengan hati yang tulus” (Kisah Para Rasul 2:46).

Selain itu, ritual yang dikenal paling khas dari iman Kristiani adalah Baptisan. Kata kerja Yunani βαπτίζω (baptizō) memiliki arti antara lain: menyiram, menyeka, menyelam, mencelupkan atau bahkan menceburkan seseorang ke dalam air. Dalam Perjanjian Baru, praktik pembaptisan secara selam tampak tersirat, karena Yesus “keluar dari air” setelah ritual tersebut dilakukan (Markus 1:10; bandingkan dengan Roma 6:3-6). Meski demikian, sejarah dan faktanya hingga kini, gereja memiliki praktik baptisan yang berbeda, seperti dipercik maupun disiram secara terbatas di atas kepala peserta baptis. Keragaman metode teknis baptisan ini suatu keniscayaan dan bukan hal yang perlu diperdebatkan, justru kita didorong membuka hati bagi perbedaan itu sebagai kekayaan ekspresi iman yang perlu dirayakan. 

Injil-injil Sinoptik setuju bahwa tujuan baptisan Yohanes adalah untuk menghasilkan pertobatan dan pengampunan dosa (Markus 1:4; Matius 3:11; Lukas 3:3), bahkan Injil Yohanes memusatkan perhatian pada “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Injil Yohanes juga menyamakan baptisan dengan “dilahirkan kembali.” Kelahiran kembali ini memiliki makna ganda dalam teks Yunani, karena kata ἄνωθεν (anōthen) dapat berarti: (1) “kembali” atau (2) “dari atas.” Dalam teks ini, Nikodemus tampak tidak mengerti karena ia berpikir bahwa ia harus “dilahirkan kembali” secara harfiah, sebab ia belum paham bahwa “dilahirkan kembali” itu bermakna spiritual atau “dilahirkan dari Allah” (Yohanes 3:3-7, 3:31, 19:11, 23).

Akhirul Kalam

Apakah semua ritual itu wajib kita jalankan? Kalau kita tidak melakukannya, akan berdampak apa? Dari sedikit uraian di atas, tampak jelas bahwa ritual dalam iman Kristiani memberi kita kesempatan mengingat kisah-kisah penting dalam Alkitab dan ajaran Juruselamat serta Guru Agung kita Yesus Kristus. Semua ritus religius gerejawi yang dilandasi kisah dalam Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru, membuka ruang bagi orang percaya untuk tetap belajar merenungkan pesan-pesan iman yang dia dengar dari sabda Tuhan (Roma 10:17). Ritual secara simbolis membantu kita mengungkapkan dan merayakan iman kepada Allah secara nyata, sekaligus menghubungkan diri kita di masa kini dengan kesinambungan sejarah iman umat Kristiani di sepanjang segala abad. 

Kita diajak memahami, bahwa ritual Kristen memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan iman dan memperdalam relasi kita dengan Allah Yang Maharahim. Penting diingat bahwa sifat dan signifikansi ritual dalam iman Kristen dapat bervariasi antara denominasi dan kelompok gereja. Di sini kita diundang untuk menghargai dan mengapresiasi setiap ekspresi iman tiap kelompok Kristiani dalam menjalankan ritualnya. Tidak perlu saling merendahkan maupun menganggap diri lebih benar atau superior dari denominasi yang lain. Beberapa komunitas Kristiani mungkin menekankan beberapa ritual lebih dari yang lain, atau sebaliknya. Ini merupakan keindahan taman teologi gereja yang perlu dirayakan. Ritual adalah bagian dari ungkapan cinta kita kepada Allah, sekaligus ikhtiar dalam menggenapi tujuan hidup kita, yaitu memuliakan Dia (Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Mazmur 73:25-26).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Aku dan Seisi Rumahku Beribadah Kepada Tuhan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

“Cuma 3,65? Kamu nggak bisa lebih dari itu? Kenapa harus ada nilai B?” Suara papi terdengar dingin.

Yosua menjawab papinya dengan menunduk diam.

“Bagaimana kalau ada yang tahu? Apa yang akan mereka pikirkan? Papi selalu membanggakan kamu itu akan lulus dengan nilai sempurna. Apa susahnya dapat IP 4.00?” Suara papi semakin meninggi.

Yosua semakin menundukkan kepalanya. Wajahnya pucat.

“Kamu selalu saja mengecewakan. Sudah sana, siap-siap untuk kelas Pemahaman Alkitab. Jangan sampai terlambat. Dan berpakaianlah rapi sedikit,” rasa kecewa pun tertuang dalam nada bicara papi.

Yosua melangkah perlahan menuju ke kamarnya.

“Apa salahku? Begitu pentingkah nilai itu? Kuliah kedokteran kan susah. Lagipula aku tidak ingin jadi dokter. Aku ingin jadi guru. Tetapi papi beranggapan tidak ada gunanya menjadi guru. Menjadi dokter menjaga nama baiknya,” gumam Yosua dalam hati. Dia membatin mengapa papinya begitu memaksa dia untuk meraih prestasi sempurna di bidang yang sejatinya bukanlah pilihan hatinya.

Meski begitu, Yosua tetap belajar untuk menghormati papinya. Dengan hati yang sendu, dia menyiapkan diri untuk ikut kelas PA.

“Mengapa baru datang sekarang? Sudah papi bilang jangan terlambat,” tegur papi sambil melihat jam tangannya. “Kamu tahu, untuk menjadi orang yang berhasil, kamu harus selalu tampil sempurna. Dulu orang tua papi juga mendidik papi dengan disiplin keras, sehingga papi bisa berhasil seperti sekarang. Kamu juga harus seperti itu,” lanjut papi dengan tegas.

“Maaf, papi,” jawab Yosua pelan. “Padahal masih ada 15 menit sebelum kelas dimulai,” gumamnya dalam hati.

“Konsentrasilah mendengar kelas hari ini. Minggu lalu, kamu sampai tidak bisa menjawab pertanyaan yang mudah itu. Memalukan sekali!” Suara papi terdengar kesal.

“Baik, papi. Akan kucoba,” jawab Yosua sambil melirik pada mami yang duduk di sebelahnya.

Mami tidak memperhatikan Yosua. Matanya fokus pada Alkitab yang sedang dia pegangi. Dia tampak tenggelam dalam bacaannya.

Percuma berharap pada mami. Dia tidak akan menolongku. Dia hanya sibuk dengan dirinya.

Setelah beberapa waktu setelah kelas PA pun dimulai, tiba-tiba Yosua mendengar namanya dipanggil.

“Yosua, senang melihatmu hari ini. Bagaimana pendapatmu tentang perikop yang kita baca hari ini?” tanya hamba Tuhan itu dengan antusias. Dia memajukan wajahnya ke depan layar menunggu jawaban Yosua.

Melalui pandangan matanya, papi memperingatkan Yosua untuk menjawab dengan benar.

“Tuhan telah menolak Saul menjadi raja karena ketidaktaatannya kepada Tuhan. Dan Tuhan telah memilih orang lain yaitu Daud, menjadi raja menggantikan Saul,” jawab Yosua dengan ragu. Semoga jawabanku tidak salah.

“Bagus sekali, Yosua. Pak Hartono, tentu senang sekali memiliki anak sepintar Yosua. Saya dengar dia kuliah kedokteran. Bapaknya dokter, anaknya juga. Luar biasa sekali, pak,” puji hamba Tuhan itu dengan tersenyum lebar.

Papi Yosua mengangguk-angguk dan tersenyum bangga.

Yosua hanya tersenyum tipis mendengar pujian itu. Andaikata hamba Tuhan itu tahu yang sebenarnya.

Malam itu, ketika Yosua berbaring di atas tempat tidurnya, dia membolak-balikkan tubuhnya dengan gelisah. Dia tahu dia lelah, tetapi dia tidak dapat memejamkan matanya. Selama beberapa bulan terakhir ini, Yosua hanya tidur selama 3-4 jam saja. Badannya terasa lelah dan sakit. Tetapi dia tidak pernah mengeluh kepada orang tuanya. Paling-paling mereka hanya akan menganggap aku mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab. Mereka tidak mengerti. Mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Tiba-tiba Yosua teringat akan sebuah botol obat yang dia temukan di lemari beberapa hari lalu. Dia mengeluarkan botol itu dari laci mejanya, dan dengan cepat dia menenggak 2 pil tidur sekaligus.

Yosua terlihat menjalani hari-harinya seperti biasa. Sibuk dengan kuliah dan kegiatan gereja. Orang tuanya selalu menekankan pentingnya untuk beribadah bersama-sama. Bahkan di ruang tamu, ada lukisan dinding yang bertuliskan ayat yang diambil dari Yosua 24:15b: Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan. Orang tuanya bahkan memberikan nama Yosua kepadanya karena terinspirasi oleh ayat itu.

Sepanjang ingatan Yosua, tiada hari yang dilewati tanpa kegiatan gereja meskipun masih dilakukan daring selama pandemi. Tanpa perlu jadwal, Yosua sudah menghafal semua kegiatan yang harus diikutinya. Kelas Pemahaman Alkitab, komsel keluarga, Persekutuan Doa, komsel remaja dimana Yosua adalah ketua remajanya, dan kelas Pemahaman Alkitab remaja. Setiap hari Sabtu, Yosua ikut kegiatan bakti sosial yang diketuai oleh maminya.Pada hari Minggu, karena gereja sudah mulai dapat dikunjungi, maka Yosua akan pergi beribadah bersama-sama kedua orang tuanya.

Pernah Yosua meminta izin untuk tidak ikut kelas Pemahaman Alkitab karena harus menyelesaikan tugas kuliah yang banyak. Papinya menjawab dengan ketus,”Salah kamu sendiri yang tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Papi juga sibuk. Tetapi bisa mengatur waktu untuk kerja dan gereja. Kamu juga seharusnya bisa. Kamu kan tidak lebih sibuk daripada papi. Apa kata orang kalau kamu tidak ikut? Jangan pernah coba merusak image baik keluarga kita!” Sejak itu, Yosua tidak pernah lagi meminta izin sekalipun dia merasa lelah atau tidak enak badan.

Yosua sering mendengar orang-orang memuji keluarganya. “Wah…hebat sekali. Tentu membanggakan memiliki anak yang kuliah kedokteran seperti Yosua. Satu-satunya keluarga dokter di gereja kita.”

“Keluarga teladan. Selalu ada di setiap kegiatan gereja. Tidak pernah absen sekalipun.”

“Sungguh keluarga harmonis. Tidak pernah bertengkar. Selalu akur setiap waktu. Mengagumkan sekali.”

Bahkan para hamba Tuhan di gereja juga ikut berkomentar. “Luar biasa keluarga Yosua itu. Itu baru namanya keluarga yang menyembah Tuhan. Setiap keluarga harus belajar dari keluarga Yosua.”

“Nama gereja kita mulai dikenal masyarakat sejak istrimu aktif dalam kegiatan bakti sosial. Banyak orang tertolong. Apalagi pak Hartono ikut memberikan pelayanan kesehatan gratis. Tanpa keluarga bapak, gereja kita tidak bisa seperti sekarang.”

Pujian-pujian itu tidak hanya dikatakan orang-orang di gereja, tetapi juga oleh teman-teman maupun kerabat orang tuanya. Bahkan sosial media mereka pun dibanjiri pujian seperti itu.

Apakah pentingnya pujian itu? Andai mereka tahu yang sebenarnya. Yosua tertawa sinis. Papi sendiri tidak pernah terlihat berdoa atau membaca Alkitab. Mami membaca Alkitab tetapi tidak mengerti apa-apa. Papi menyuruhnya maka dia harus ikuti. Segala sesuatu di rumah ini harus ikut perkataan papi. Tidak boleh ada yang membantah. Untuk apa hidup seperti ini? Semua orang mengatakan kami adalah keluarga Kristen yang menyembah Tuhan. Apakah orang yang hidupnya menyembah Tuhan itu seperti papi? Munafik. Apakah Tuhan juga seperti papi? Apakah Dia sungguh ada? Kalau Dia ada, mengapa Dia tidak menolongku? Kegelisahan itu kembali menghampiri Yosua. Dia meraih botol obat yang ada di mejanya, dan kali ini dia menelan lebih banyak pil lebih dari seharusnya.

***

Ruangan tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi. Papi dan mami Yosua duduk di salah satu pojok. Bahu mereka merosot turun. Rasa tidak percaya terpancar di wajah keduanya. Kenyataan bahwa Yosua mencoba membunuh dirinya tidak pernah terbayang dalam benak keduanya.

“Selamat malam, pak dan bu Hartono.” Tiba-tiba terdengar suara yang menyapa keduanya.

Orang tersebut mengulurkan tangannya. “Saya mendengar apa yang terjadi. Saya ikut prihatin dengan kondisi Yosua.”

“Oh…pak Kristanto. Selamat malam,” jawab papi dengan kikuk. “Iya…kami…tidak menyangka sama sekali. Kami berpikir selama ini Yosua dalam keadaan baik. Dia mengikuti semua kegiatan dengan baik. Tidak pernah terpikir oleh kami. Kami…kami…tidak mengerti. Apa salah kami? Kami mengikuti kegiatan gereja setiap hari. Tidak pernah kami absen sekalipun. Kami bahkan tidak pergi berlibur. Kami memberikan persembahan. Kami sekeluarga beribadah kepada Tuhan. Mengapa ini terjadi pada kami?” keluh papi.

Penatua gereja yang dipanggil pak Kristanto itu menepuk-nepuk pundak papi. “Iya, semua ini terjadi di luar dugaan kita ya. Kita berpikir kita sudah melakukan yang terbaik bagi keluarga kita, bahkan juga telah menjadi contoh buat mereka. Tapi ternyata…apa yang kita pikir belum tentu seperti yang terlihat ya, pak.”

Papi terdiam sejenak. Wajahnya tampak serius. “Saya…saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya berpikir selama ini kami sudah setia beribadah kepada Tuhan. Tetapi…ya benar. Kalau dipikir-pikir, saya rasa saya belum contoh yang baik bagi Yosua. Saya…saya…bahkan jarang sekali berdoa dan membaca Alkitab. Mungkin yang saya lakukan selama ini hanyalah kegiatan saja. Saya…saya… tidak punya relasi dengan Tuhan.”

Pak Kristanto tersenyum hangat. “Selalu ada kesempatan untuk berubah. Tuhan selalu menunggu kita untuk bertobat.”

Papi menganggukkan kepalanya dengan perlahan. “Terima kasih, pak. Saya akan berbicara kepada Yosua. Saya perlu meminta maaf kepadanya. Saya sadar selama ini kami belum sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan. Kami akan mencoba mulai dari awal lagi.”

Pendeta yang Tidak Aku Sukai

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Hari itu hari Rabu. Jam sudah menunjukkan pukul 17.35 ketika aku selesai melakukan suatu kegiatan dan tengah memikirkan apakah aku akan ke gereja atau tidak. Ibadah dimulai pukul 18.00 dan sejujurnya, aku masih ingin beristirahat sebentar lagi.

Kuizinkan diriku mengambil waktu 5 menit untuk istirahat sambil berpikir apakah aku perlu ke gereja atau tidak. Sebenarnya ada pilihan mengikuti ibadah secara virtual namun aku sudah melihat realitanya. Berkali-kali kalimat “Ah nanti ibadah virtual aja deh” berujung pada telat mengikuti atau bahkan tidak mengikuti sama sekali. Maka kuputuskan saja bahwa pada ibadah-ibadah berikutnya, baik hari Rabu maupun hari Minggu, aku akan mengikuti ibadah secara luring di gereja.

Tekad itu tampak kuat di awal-awal namun segera berubah ketika aku tahu pendeta yang akan melayani saat ibadah nanti. “Yah, Pdt. X”, ungkap hati kecilku saat itu.

Pernah mengalami kondisi yang sama sepertiku? Aku adalah orang yang motivasi ke gerejanya bisa berubah karena faktor luar, seperti pendeta yang akan melayani, jam ibadah, akan ada siapa saja di gereja, dan lain-lain. Dulu aku merasa bahwa pertimbangan-pertimbangan ini tidak salah. Aku merasa kadang firman Tuhan yang dibawakan oleh pendeta tertentu kurang mampu kupahami, atau kurang masuk dalam pemahamanku. Dengan kata lain, membosankan. Tidak ada selera humornya. Tidak seru, dan kata-kata lain yang serupa.

Dalam perenungan itu, aku merasakan dua suara: suara untuk pergi ke gereja dan suara negosiasi untuk ibadah di rumah. Toh, kamu capek. Emang bisa bersiap-siap dalam waktu 20 menit lagi, padahal belum juga mandi? Memang enak ya persiapan dalam waktu sedikit? Bukannya gak baik ya El, terburu-buru ke gereja? Kalaupun ke gereja juga, memang bakal sesuai ekspektasi ya?

Sebanyak itu suara yang muncul dan sebanyak itulah aku mulai merasa aku menuruti ego-ku. Aku telah mengalami suatu yang serupa di minggu-minggu kemarin dan rasanya tidak ada yang kudapat dengan mengikuti egoku. Oh, ada. Aku mendapatkan kesenangan sejenak. Tidak perlu buru-buru mandi, bisa main HP dulu, dan sebagainya.

Di segala suara-suara yang lebih banyak mendorongku untuk tidak ke gereja, aku memohon agar Tuhan memberikan jawaban atas situasi yang kuhadapi. Aku memohon pada Tuhan untuk memberikan suatu kesadaran akan apa yang kupertanyakan ini. Lalu aku menyadari suatu hal yang sebenarnya sudah sering muncul di situasi serupa di masa yang lalu. Setiap ada niat untuk tidak pergi ke gereja atau beribadah pada jam yang lain, selalu ada suara yang berkata, “Masa ke gereja karena lihat pendeta? Kamu ke gereja untuk bertemu Tuhan atau untuk mengagumi pendeta?” Suara itu kubalas dengan pikiranku yang bertanya:

“Tapi kalau pendeta nya gak bisa menjelaskan dengan baik firman pada hari itu, ga dapat juga dong pesannya. Sia-sia gak sih…”

Yang menurutku, kembali dijawab oleh Roh kudus dalam hatiku dengan, “Tuhan sendiri yang akan membuatmu mengerti, Tuhan yang membuat otakmu berjalan dan memahami maksud Firman Tuhan dengan baik.”

Suara itu terdengar tegas dan menegur. Saat aku mendapatkan kesadaran itu, aku merasakan bahwa pengertian itu rasanya ada dalam Alkitab. Aku tidak mencarinya pada hari itu, dan sampai pada tulisan ini kuketik, aku akhirnya mencoba mengeksplorasi perkataan yang pernah disampaikan kepadaku itu. Dalam 2 Timotius 2:7, dikatakan:

“Perhatikanlah apa yang kukatakan; Tuhan akan memberi kepadamu pengertian dalam segala sesuatu.”

Dalam rasa sadar itu, aku pun segera mandi dan bersiap, secepat mungkin. Aku akhirnya siap pada 17.50, waktu yang sejujurnya membuatku memprediksi bahwa aku akan telat tiba di gereja. Namun, aku sudah setengah perjalanan, aku sudah mendapat kesadaran. Maka kuputuskan untuk pergi dan berharap yang terbaik. Jika memungkinkan, semoga bisa kutempuh dalam waktu 10 menit, walaupun aku sudah sering mengukur bahwa biasanya perjalananku dari rumah ke gereja memakan waktu 15 menit.

* * *

Aku tiba di gereja dan mengintip bahwa ibadah sudah dimulai dan aku mengecek HP-ku. Pukul 18.05. Telat, tapi aku sudah mengantisipasinya. Untungnya, jemaat sedang dalam posisi berdoa ketika aku masuk. Sesudahnya, aku mengikuti ibadah seperti biasa, bernyanyi dan berdoa, sebelum akhirnya Pendeta mengambil ahli mimbar untuk berkhotbah.

Satu kesadaran masuk lagi, “Kalau mau mendengar khotbah, posisikan dirimu seperti gelas yang kosong. Kamu sering gak ngerti karena apa yang dikatakan oleh Pendeta sering kamu pertanyakan dengan pengetahuan yang sudah kamu miliki.”

Aku kemudian mencoba mengikutinya. Gelas kosong. Tidak ada isinya dan siap untuk diisi.

Tahu apa yang terjadi?

Rasanya seperti click. Pendeta yang sebelumnya menurutku tidak memiliki gaya yang baik dalam menyampaikan pesan di Alkitab mengeluarkan setiap kata per kata yang kubutuhkan pada hari itu, menguatkanku, memberikan pemahaman baru atas persoalan yang saat itu tengah kuhadapi, dan bahkan menyadarkanku akan hal-hal yang selama ini tidak kusadari atau coba kusangkal.

Benar kalau beberapa kali, ada beberapa menit di pertengahan khotbah ketika kata-kata pendeta itu terlewat, aku merasa hampir tenggelam lagi dalam pikiranku. Namun, karena aku memposisikan diriku sebagai gelas yang kosong, aku dengan lebih mudah kembali fokus pada khotbah dan tidak bertanya-tanya atas apa yang sudah aku ketahui sebelumnya tentang topik yang dikhotbahkan oleh Pendeta itu.

Sampai pada khotbah ditutup dan tiba waktunya hampir pulang, aku menggumamkan ucapan terima kasih pada Tuhan sambil sedikit menangis, percaya bahwa keputusanku untuk datang ke gereja pada saat itu adalah satu keputusan baru yang benar.

Beberapa minggu belakangan, hidupku terasa seperti terguncang akibat keputusan yang salah. Tidak satu hari terlewat tanpa aku mempertanyakan bahwa apakah Tuhan kecewa padaku, apakah aku masih mendapat kesempatan kedua, dan hal-hal bernada frustrasi lainnya. Hingga aku pun kadang bertanya apa aku masih bisa memutuskan dengan benar untuk hal-hal yang ada di depanku? Karena jujur, keputusan salah yang kadang masih aku sesali terasa besar dan aku takut itu berdampak besar padaku, dalam hal negatif tentunya.

Perjalananku berdamai dengan penyesalan mungkin akan kuceritakan di lain waktu, tapi saat itu, saat aku selesai ibadah dan keluar dari gereja, aku merasakan ketenangan—semacam campuran perasaan tenang, berserah, dan kekuatan untuk melangkah ke depan.

Pengalamanku ini tentu dapat menjadi momen refleksi bagi teman-teman semua. Aku belajar bahwa mengasihi dan menghormati Tuhan itu sangat luas. Dulu aku kira hal itu sebatas pada bersikap baik dan sopan pada keluarga, teman sekitar, dan orang-orang yang kelihatannya ‘kecil’. Namun, lewat pendeta yang tidak jadi pilihan prioritasku ketika aku datang ke gereja, mengasihi Tuhan juga berarti menghargai, tidak memandang remeh seseorang yang sudah ditunjuk Tuhan. Percayalah, setiap orang, yang bahkan rasanya tidak kita anggap penting, bisa mengajarkan hal yang baik jika diperkenan Tuhan. Sama seperti pendeta itu yang khotbahnya menolongku di tengah pergumulan.

Dan tentu, ujilah niatmu. Jika pada awalnya aku ingin beribadah untuk bertemu Tuhan dalam kondisi yang layak (tidak terdistraksi oleh notifikasi HP, tidak sambil jalan-jalan dan mendengarkan khotbah sambil ngemil ketika ibadah online), maka satu pengecoh seperti pemikiran akan siapa pendeta yang melayani, seharusnya tidak menjadi masalah untukku.

Baca Juga:

Cerpen: Kapan Nikah?

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah.

3 Tips untuk Tetap Menyembah Tuhan di Masa Sulit

Oleh Julian Panga, India
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Can I Worship God Through Tough Times?

Memuji dan menyembah Tuhan terasa mudah ketika segalanya baik-baik saja. Namun, ketika kesulitan melanda, kita merasa Tuhan seolah jauh, atau sepertinya Dia tidak peduli. Sulit pula bagi kita untuk mengasihi, menghormati, dan mengakui Tuhan atas pribadi-Nya, apa yang Dia telah lakukan, dan yang sanggup Dia lakukan.

Aku pernah melalui momen-momen itu ketika rekan sekerjaku terlalu menuntutku hingga banyak area dalam hidupku pun terpengaruh, termasuk saat teduhku. Aku frustrasi dengan iklim pekerjaanku—aku merasa disisihkan, tidak puas, dan marah. Hasilnya, aku mengisolasi diriku dari rekan-rekan sekerjaku, dan bahkan dari Tuhan. Aku tidak bisa melihat ada tujuan dalam hidupku, dan simpelnya: aku ingin menyerah.

Emosi kita sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan. Jika kita mendasarkan penyembahan kita kepada Tuhan pada emosi kita, itu bisa jadi sesuatu yang melelahkan dan menipu. Di saat emosi kita berubah-ubah, Tuhan sejatinya tidak pernah berubah—belas kasih dan anugerah-Nya tetap buat kita, di masa sulit sekalipun. Ketika kita berfokus pada hal tersebut, kita bisa menyembah-Nya dalam keadaan apa pun.

Melalui berbagai tantangan dalam hidupku, aku menyadari ada satu cara yang pasti yang dapat mematahkan belenggu keputusasaan dan kekecewaan, yaitu menyembah Tuhan dengan sepenuh hati. Melingkupi diriku dengan orang-orang yang mengasihi dan menghormati Tuhan adalah hal yang juga penting, aku dapat dikuatkan dan termotivasi untuk menyembah Tuhan meskipun kehidupan menjadi sulit.

Inilah tiga hal yang selalu kuingatkan pada diriku sendiri untuk menyembah Tuhan, terkhusus dalam masa-masa sulit. Tiga hal ini menolongku mendekat pada Tuhan dan menyiapkan hati pada penyembahan kepada-Nya:

1. Ingatlah kebaikan Tuhan di masa lalu

Suatu ketika dalam perjalanan pulang ke rumah, aku berada dalam satu kereta dengan sekelompok orang yang berusaha mencuri sesuatu dariku. Kesempatan lainnya, ketika aku dan keluargaku naik mobil, kami hampir tabrakan karena ada pengendara lain yang mabuk. Kala itu yang bisa kulakukan hanyalah mengucap, “Tuhan, aku mengasihi-Mu; tolonglah aku Tuhan!”

Aku mengingat kebaikan-kebaikan Tuhan yang telah menolongku di masa lalu. Semua ingatan akan kesetiaan Tuhan dan perlindungan dari-Nya meneguhkanku bahwa Tuhan adalah menara yang kokoh dan benteng perlindungan di kala kesulitan melanda (Mazmur 31:3, 62:6, 91:2). Aku dapat berlari pada-Nya dan menemukan perlindungan, keamanan, dan kenyamanan.

Tuhan memelihara janji-Nya kepada anak-anak-Nya, dan Dia telah membuktikannya sepanjang sejarah, juga dalam hidup kita. Ketika aku mengingat kembali kebaikan Tuhan dan pertolongan-pertolongan-Nya, aku dapat terus menyembah-Nya karena aku tahu dalam segala keadaan, kesetiaan dan kebajikan Tuhan tidak pernah berubah.

2. Mintalah pertolongan Roh Kudus

Tuhan meyakinkan kita dalam Alkitab bahwa penyertaan-Nya selalu beserta kita. Ketika kita menerima Tuhan Yesus dan lahir baru, kita memiliki penasihat, pendamping, dan pembimbing yang selalu ada bersama kita—Roh Kudus (Yohanes 14:17, 26; 15:26). Ketika menyembah Tuhan dalam situasi sulit, aku mendapatkan penghiburan bahwa Roh Kudus ada dalamku, memimpin, dan membimbingku. Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran menolongku untuk mengerti firman Tuhan, dan aku dapat merespons kepada Tuhan melalui Roh Kudus (Yohanes 16:13; Roma 8:26-27).

Berada di persimpangan jalan hidup bisa memusingkan. Di satu titik, aku dihadapkan pada keputusan untuk menjadi pelayan Tuhan sepenuh waktu. Aku ingin mengambil keputusan itu dan aku merasa inilah panggilanku. Namun, ada beberapa tantangan di depan yang aku tak tahu bagaimana menghadapinya. Selama masa itu, aku diingatkan bahwa sebagai orang percaya, aku telah dikaruniakan Roh Kudus. Aku bisa mengandalkan-Nya. Seiring aku memikirkan masa depanku, aku yakin bahwa Tuhan yang telah memanggilku akan memenuhi kebutuhanku dengan setia, yang perlu kulakukan hanyalah menyerahkan diriku kepada-Nya dengan taat.

Ketika aku berserah, beban-bebanku seoalah terangkat, dan aku yakin itu adalah pekerjaan Roh Kudus yang tak pernah berhenti memimpin dan membimbingku sampai di titik ini.

Ketika menghadapi masalah, aku mengingatkan diriku bahwa Roh Kudus terus mendorongku, dan meyakinkanku akan kehadiran Tuhan yang membimbingku maju. Aku dapat bersandar dan percaya kepada Tuhan di masa sulit, dan aku bisa menyembah-Nya karena aku tahu Roh-Nya selalu ada besertaku, menguatkanku, bekerja di luar dan di dalamku untuk memenuhi tujuan-Nya (Amsal 3:5-6, Filipi 2:13).

3. Yakinkan dirimu akan kasih Tuhan yang abadi

Firman Tuhan meyakinkanku akan kasih-Nya kepadaku, dan doa-doa menolongku selalu terhubung dengan-Nya. Kasih Tuhan yang sejati tidaklah seperti kasih manusia. Kasih Tuhan itu tidak bersyarat, berlangsung selamanya dari generasi ke generasi (Mazmur 100:5). Kebenaran akan Tuhan inilah yang menghibur hatiku serta pikiranku yang penuh ketakutan. Filipi 1:6 mengatakan Tuhan yang memulai pekerjaan yang baik di dalamku, dan Dia akan meneruskannya sampai hari-Nya tiba.

Aku bisa menyerahkan setiap masalahku kepada Tuhan, memercayai Dia kelak akan memberiku kemenangan. Meskipun bebas dari kekhawatiran tidaklah mudah, mengetahui dan mengalami kasih Tuhan menolongku untuk fokus kembali kepada-Nya.

Terakhir, ketika kesulitan hidup terasa sulit dihadapi, semuanya adalah sementara. Paulus mengatakan dalam 2 Korintus 4:16-17: meskipun manusia lahiriah kita semakin merosot, namun manusia batiniah kita dibaharui dari hari ke hari. Dan, penderitaan ringan yang kita jalani sekarang akan mendatangkan kemuliaan kekal kelak. Jadi, janganlah tawar hati!

Menyembah Tuhan membawa kita masuk dalam hadirat-Nya di mana ada kedamaian dan ketenangan hati. Dan itulah yang sungguh kita perlukan di masa-masa sulit. Menyembah Tuhan menolong kita untuk mampu mengatasi masa-masa sulit dan memberi kita harapan akan kekekalan—di mana tidak ada lagi tangisan, kematian, penderitaan, maupun rasa sakit (Wahyu 21:4). Ayo kita menyembah Tuhan!

Baca Juga:

Menjaga Toleransi di Tengah-Tengah Masyarakat yang Majemuk

Mengelola perbedaan dengan sikap toleransi bisa jadi merupakan sebuah tantangan. Berangkat dari pengalamanku, setidaknya ada tiga hal yang dapat diterapkan untuk hidup di tengah keberagaman.

Yang Terlupakan dari Pelayanan: Kasih Yang Semula

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Kaum muda dengan semangatnya yang berapi-api dan energinya yang meluap-luap selalu berhasil mengisi dan menghidupi wadah pelayanan dan persekutuan di lingkungan sekolah, kampus, dan gereja. Sungguh luar biasa melihat kaum muda yang memberi diri untuk melayani sebagai pengurus dalam berbagai acara dan kegiatan-kegiatan rohani.

Aku yakin hampir semua sobat muda pernah atau bahkan sedang menjadi bagian di dalam suatu kegiatan pelayanan. Namun, pernahkah kita coba menilik diri kita masing-masing, apakah kita memiliki motivasi yang benar dalam melayani? Adakah motivasi-motivasi lain yang seringkali jauh dari dasar pelayanan yang sesungguhnya? Jangan-jangan, selama ini pelayanan kita hanyalah sebuah rutinitas semata!

Tuhan Yesus Kristus melalui pewahyuan yang diberikan kepada Yohanes di dalam Wahyu 2:1-7 mengingatkan kita akan motivasi sesungguhnya dalam melayani Tuhan. Sebelumnya, Paulus telah mengabarkan Injil dan melayani di Efesus selama tiga tahun (Kisah Para Rasul 20:31). Ketika Paulus hendak meninggalkan kota Efesus, ia memperingatkan jemaat untuk berjaga-jaga dari pengajaran sesat yang akan masuk dan memengaruhi jemaat Efesus (Kisah Para Rasul 20:29-30).

Tuhan Yesus mengetahui segala pekerjaan pelayanan yang dilakukan oleh jemaat Efesus: jerih payah menjaga jemaat dari orang-orang jahat, ketekunan mereka di tengah-tengah kesulitan, bahkan melawan setiap orang yang hendak menarik jemaat keluar dari kebenaran firman. Mereka bahkan telah mencobai dan memeriksa dengan teliti apa yang diajarkan oleh rasul-rasul palsu dan mendapati mereka sebagai pendusta. Jemaat Efesus telah memberi teladan sikap rela menderita.

Secara kasat mata, tentu kita bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus adalah hal yang sangat baik. Namun, Tuhan Yesus mampu melihat sampai ke dasar hati manusia. Tuhan Yesus berkata, “Aku tahu segala pekerjaanmu; baik jerih payahmu maupun ketekunanmu” (Wahyu 2:2). Pujian Tuhan Yesus kepada jemaat Efesus mirip dengan apa yang dituliskan oleh Paulus dalam ucapan syukurnya kepada jemaat di Tesalonika, “Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita” (1 Tesalonika 1:3).

Ada bagian penting yang dimiliki oleh jemaat Tesalonika, tetapi hilang dari jemaat Efesus. Jemaat di Tesalonika mempunyai, “pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan pengharapan”, sedangkan jemaat Efesus hanya mempunyai “pekerjaan, jerih payah, dan ketekunan”. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mencela mereka, sebab mereka telah meninggalkan kasih yang semula. Mereka melakukan pekerjaan, jerih lelah, dan ketekunan tanpa iman, kasih, dan pengharapan.

Iman adalah inti dari kekristenan. Kita diselamatkan oleh iman yang bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah (Efesus 2:8). Kebenaran ini memampukan kita untuk mengakui di dalam hati dan seluruh hidup kita bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Juruselamat kita.

Pengharapan bahwa kita akan menerima kemuliaan Allah (Roma 5:2)—itulah yang menjadi dasar mengapa kita harus tetap bertahan di dalam penderitaan sewaktu mengikut Tuhan di dunia ini dan senantiasa bersukacita dalam kesesakan. Kita percaya bahwa kita memiliki sebuah pengharapan yang kekal, pengharapan yang membawa kita kepada sukacita yang lebih besar daripada menaklukkan roh-roh jahat, yaitu sukacita karena nama kita terdaftar di sorga (Lukas 10:20). Sebuah pengharapan yang begitu indah bagi kita untuk dapat hidup bersama-sama dengan Tuhan Yesus di dalam kekekalan.

Semuanya itu dapat kita alami semata-mata karena kasih karunia Tuhan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa karena melanggar perintah Tuhan, manusia takut dan bersembunyi dari Tuhan. Namun, Allah mencari manusia dan berkata padanya, “Di manakah engkau?”. Sejak mulanya Allah yang berinisiatif untuk mencari dan menyelamatkan kita dengan menebus kita dari hidup yang penuh keberdosaan. Paulus dalam 1 Korintus 13:13 menyebutkan bahwa iman, pengharapan, dan kasih harus tetap tinggal, dan yang paling besar di antaranya adalah kasih. Allah adalah kasih itu sendiri, dan kasih akan selalu ada sedari awal sampai selamanya.

Apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus dapat pula terjadi pada diri kita: mengerjakan pelayanan tanpa sungguh-sungguh menjadikan Tuhan sebagai pusat dari pelayanan kita. Pelayanan sekadar dijalankan sebagai sebuah pekerjaan, bukan dimaknai sebagai ungkapan kasih kita pada Allah dan upaya untuk menjadi berkat bagi sesama.

Jikalau saat ini kita diperkenankan untuk mengambil bagian dalam pelayanan, marilah kita mengarahkan hati kita kepada-Nya dan tidak meninggalkan kasih yang semula Tuhan anugerahkan kepada kita. Bukan tentang seberapa besar pelayanan yang kita terima dan jalankan, tetapi seberapa besar hati yang kita berikan pada Tuhan di dalam setiap pelayanan kita.

Soli deo gloria.

Baca Juga:

Ketika Hidup Tidak Berjalan Sesuai Harapan Kita

“Mengapa, Tuhan?” Pertanyaan itu sering muncul ketika kenyataan hidup tidak berjalan sesuai harapan. Dalam artikel ini, aku ingin mengajakmu menggali jawaban dari firman Tuhan terkait pertanyaan “mengapa” tersebut.

Terlalu Fokus Pelayanan Membuatku Lupa Siapa yang Kulayani

Oleh Diana Mangendong, Makassar

Mengisi masa muda dengan aktif pelayanan terasa melegakan, bukan? Saat generasi milenial sedang sibuk-sibuknya mendongkrak popularitas lewat media sosial, saat dunia sedang ramai berselisih paham antarlingkup perbedaan dan persaingan kekuasaan, kita justru telah dipanggil dan dipilih menjadi kawan sekerja Allah.

Seiring dengan pelayanan yang kujalani, aku menikmati berkat demi berkat yang Tuhan sediakan. Pada awalnya, Tuhan mempercayakan perkara-perkara kecil, yang perlahan-lahan dinaikkan levelnya. Kemudian, Tuhan menganugerahiku dengan talenta, membantuku menemukan potensi baru dalam diri, menumbuhkan mental pelayanan dan kepercayaan diri, serta pergaulan yang semakin meluas. Aku percaya, semua yang dianugerahkan Tuhan kepadaku harus kupersembahkan kembali bagi kemuliaan nama-Nya.

Kupikir jalan hidup yang kuambil sudah tepat—menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan pelayanan. Aku memberi diri untuk melayani sebagai pengurus komisi perkembangan anak dan remaja di gereja. Untuk tetap terhubung dengan teman-teman sebaya, aku juga melibatkan diri dalam pelayanan persekutuan pemuda. Jadi, tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa dari Senin sampai Minggu aku selalu melangkahkan kakiku ke gedung gereja untuk rapat, persiapan mengajar, persiapan liturgi dan penyataan firman saat ibadah, latihan paduan suara, dan pastinya ibadah sekolah minggu dan ibadah pemuda. Kegiatan akan menjadi semakin padat saat memasuki bulan-bulan perayaan hari anak dan hari besar gerejawi. Rasa-rasanya, program kerja tahunan penguruslah yang menyetir kehidupan pelayananku.

Hingga suatu ketika, aku merenungkan kembali segala aktivitas pelayanan yang kulakukan. Di satu sisi, mungkin aku terlihat begitu giat dan bersemangat melayani-Nya. Tapi, di sisi lainnya, kedekatan dengan Tuhan yang kubangun melalui saat teduh, doa, dan puji-pujian mulai tergantikan dengan lelahnya aktivitas pelayanan yang kulakukan. Aku pun teringat akan sebuah kutipan yang berkata: “Adalah mungkin begitu aktif dalam pelayanan Kristiani, tapi lupa mengasihi Kristus” – P.T Forsyth.

Aku terlalu banyak menerima pelayanan hingga sebagian besar waktuku terpakai untuk merealisasikan program kerja. Pelayanan yang kulakukan jadi kehilangan makna, hanya menjadi serangkaian rutinitas belaka. Kesibukanku dalam pelayanan membuatku tak sadar bahwa ada Tuhan Yesus yang menantikanku dalam saat-saat pribadi bersama-Nya.

Hari itu aku pun memohon ampun kepada Tuhan atas kekeliruan motivasiku dalam melayani-Nya. Aku memohon agar Tuhan memampukanku untuk tetap menjadikan Dia yang terutama dalam pelayananku dan aku berkomitmen untuk membangun kembali hubungan yang erat dengan-Nya. Aku menyadari bahwa Tuhan tidak menilai seberapa banyak pelayanan yang kita ambil, tetapi seberapa sungguh kita mau menggunakan pelayanan itu sebagai cara untuk terhubung dengan Kristus.

Pada akhirnya, aku tahu bahwa kelegaan yang kudapatkan di dunia pelayanan hanyalah oase dari dahaga eksistensi jiwa mudaku. Aku bersyukur Tuhan menyadarkanku bahwa langkahku sudah membuatku nyaris jatuh ke dalam jurang kesombongan. Aku belajar bahwa pelayanan itu perlu, tetapi menjadi tidak baik ketika kegiatan pelayanan membuat kita mengesampingkan hubungan pribadi dengan sang pemberi pelayanan itu sendiri: Tuhan Yesus.

Biarlah pelayanan kita menjadi bentuk ungkapan syukur kita atas karya keselamatan dan kasih setia Tuhan bagi kita, sebagai buah manis dari hubungan pribadi kita dengan Tuhan. Jangan sampai pelayanan yang kita lakukan menjadi salah tujuan, seperti untuk kebanggaan dan kepuasan diri sendiri. Hanya bagi Tuhan dan kemuliaan-Nya sajalah kiranya pelayanan kita ditunaikan. Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita semua, di ladangnya masing-masing.

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).

Baca Juga:

Patah Hati Membuatku Berbalik pada Tuhan

Patah hati mungkin adalah peristiwa buruk, tetapi dari peristiwa buruk inilah aku jadi belajar untuk memperbaiki diri dan juga lebih dekat dengan Tuhan.

Bernyanyi dalam Roh

Minggu, 24 Maret 2019

Bernyanyi dalam Roh

Baca: 2 Tawarikh 5:7-14

5:7 Kemudian imam-imam membawa tabut perjanjian TUHAN itu ke tempatnya, di ruang belakang rumah itu, di tempat maha kudus, tepat di bawah sayap kerub-kerub;

5:8 jadi kerub-kerub itu mengembangkan kedua sayapnya di atas tempat tabut itu, sehingga kerub-kerub itu menudungi tabut serta kayu-kayu pengusungnya dari atas.

5:9 Kayu-kayu pengusung itu demikian panjangnya, sehingga ujungnya kelihatan dari tempat kudus, yang di depan ruang belakang itu, tetapi tidak kelihatan dari luar; dan di situlah tempatnya sampai hari ini.

5:10 Dalam tabut itu tidak ada apa-apa selain dari kedua loh yang ditaruh Musa ke dalamnya di gunung Horeb, ketika TUHAN mengikat perjanjian dengan orang Israel pada waktu perjalanan mereka keluar dari Mesir.

5:11 Lalu para imam keluar dari tempat kudus. Para imam yang ada pada waktu itu semuanya telah menguduskan diri, lepas dari giliran rombongan masing-masing.

5:12 Demikian pula para penyanyi orang Lewi semuanya hadir, yakni Asaf, Heman, Yedutun, beserta anak-anak dan saudara-saudaranya. Mereka berdiri di sebelah timur mezbah, berpakaian lenan halus dan dengan ceracap, gambus dan kecapinya, bersama-sama seratus dua puluh imam peniup nafiri.

5:13 Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu serentak memperdengarkan paduan suaranya untuk menyanyikan puji-pujian dan syukur kepada TUHAN. Mereka menyaringkan suara dengan nafiri, ceracap dan alat-alat musik sambil memuji TUHAN dengan ucapan: “Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Pada ketika itu rumah itu, yakni rumah TUHAN, dipenuhi awan,

5:14 sehingga imam-imam itu tidak tahan berdiri untuk menyelenggarakan kebaktian oleh karena awan itu, sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah Allah.

Hendaklah kamu penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. —Efesus 5:18-19

Daily Quotes ODB

Semasa Kebangunan Rohani di Wales pada awal abad kedua puluh, guru Alkitab dan penulis G. Campbell Morgan menceritakan apa yang ia lihat di sana. Ia meyakini Allah Roh Kudus bergerak di tengah umat-Nya “bagaikan gelombang besar saat lagu-lagu pujian dinyanyikan.” Morgan menulis bahwa ia menyaksikan bagaimana musik dapat menyatukan seluruh jemaat dalam kebaktian-kebaktian yang mendorong jemaat untuk berdoa tanpa diminta, mengakui dosa, dan menyanyi secara spontan. Ketika ada yang terbawa perasaan dan berdoa terlalu lama, atau mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan yang lain, seseorang akan mulai bernyanyi perlahan. Yang lain pun mengikuti, satu demi satu, hingga akhirnya terbentuk paduan suara yang kekuatannya menenggelamkan suara-suara lain.

Alkitab juga memiliki kisah-kisah tentang bagaimana musik memainkan peranan penting dalam kebangunan rohani seperti yang digambarkan Morgan. Musik digunakan untuk merayakan kemenangan (Kel. 15:1-21); dalam doa pentahbisan Bait Suci (2Taw. 5:12-14); dan sebagai bagian dari strategi militer (20:21-23). Kita memiliki buku nyanyian di tengah-tengah Alkitab (Mzm. 1-150). Lalu di Perjanjian Baru, dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus, kita membaca tentang gambaran hidup dalam Roh: “Berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani”(EF. 5:19).

Di tengah perselisihan, dalam penyembahan, dan dalam segala aspek kehidupan, musik yang lahir dari iman dapat menolong untuk menyatukan suara kita. Melalui lagu-lagu zaman lampau dan masa kini, kita terus-menerus diperbarui, bukan oleh kuat dan gagah kita, tetapi oleh Roh dan nyanyian-nyanyian tentang Allah kita. —Mart DeHaan

Nyanyian apa yang baru-baru ini terasa begitu mengena di hatimu? Bagaimana musik dapat semakin mendekatkan hubunganmu dengan Allah?

Roh Allah menaruh pujian dalam hati mereka yang mau mendengarkan-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 16-18; Lukas 2:1-24

Dari Ratapan Menjadi Pujian

Rabu, 20 Maret 2019

Dari Ratapan Menjadi Pujian

Baca: Mazmur 30

30:1 Mazmur. Nyanyian untuk pentahbisan Bait Suci. Dari Daud.

30:2 Aku akan memuji Engkau, ya TUHAN, sebab Engkau telah menarik aku ke atas, dan tidak memberi musuh-musuhku bersukacita atas aku.

30:3 TUHAN, Allahku, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku.

30:4 TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur.

30:5 Nyanyikanlah mazmur bagi TUHAN, hai orang-orang yang dikasihi-Nya, dan persembahkanlah syukur kepada nama-Nya yang kudus!

30:6 Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.

30:7 Dalam kesenanganku aku berkata: “Aku takkan goyah untuk selama-lamanya!”

30:8 TUHAN, oleh karena Engkau berkenan, Engkau telah menempatkan aku di atas gunung yang kokoh; ketika Engkau menyembunyikan wajah-Mu, aku terkejut.

30:9 Kepada-Mu, ya TUHAN, aku berseru, dan kepada Tuhanku aku memohon:

30:10 “Apakah untungnya kalau darahku tertumpah, kalau aku turun ke dalam lobang kubur? Dapatkah debu bersyukur kepada-Mu dan memberitakan kesetiaan-Mu?

30:11 Dengarlah, TUHAN, dan kasihanilah aku, TUHAN, jadilah penolongku!”

30:12 Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita,

30:13 supaya jiwaku menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam diri. TUHAN, Allahku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu.

Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, . . . pinggangku Kauikat dengan sukacita. —Mazmur 30:12

Daily Quotes ODB

Kim mulai berjuang melawan kanker payudara pada tahun 2013. Empat hari setelah pengobatannya berakhir, Kim didiagnosis menderita penyakit paru-paru stadium lanjut dan diberi tahu bahwa harapan hidupnya hanya sisa tiga sampai lima tahun. Ia sedih sekali, dan di tahun pertama, ia sering berdoa dan menangis di hadapan Tuhan. Waktu saya bertemu Kim lagi pada tahun 2015, ia sudah lebih berserah kepada Allah dan memancarkan sukacita serta kedamaian yang menular ke banyak orang. Meski masih bergumul, penderitaan Kim yang berat itu diubah Allah menjadi kesaksian indah yang penuh harapan lewat semangat yang ia teruskan kepada orang lain.

Saat kita berada dalam situasi yang menakutkan, Allah sanggup mengubah ratapan kita menjadi tari-tarian. Meski kesembuhan dari-Nya tidak selalu sesuai dengan yang kita harapkan, kita bisa mempercayai jalan-jalan Allah (Mzm. 30:2-4). Meskipun jalan yang harus kita tempuh bersimbah air mata, tetap tidak terhitung banyaknya alasan untuk memuji Dia (ay.5). Kita dapat bersukacita dalam Allah, dan Dia akan meneguhkan iman kita (ay.6-8). Kita bisa berseru meminta belas kasihan-Nya (ay.9-11), mensyukuri harapan yang Dia bawa kepada begitu banyak orang yang menangis dan memohon kepada-Nya. Hanya Allah yang dapat mengubah ratapan putus asa menjadi sukacita besar yang tidak tergantung pada keadaan (ay.12-13).

Saat Allah yang berbelaskasihan itu menghibur kita yang bersedih, Dia melingkupi kita dengan damai sejahtera dan memampukan kita menyalurkan belas kasihan itu kepada orang lain dan diri sendiri. Allah yang penuh kasih setia itu sanggup dan memang mengubah ratapan kita menjadi pujian, bahkan kita mampu mempercayai-Nya sepenuh hati, memuji dan menari-nari dengan penuh sukacita. —Xochitl Dixon

Apakah sumber damai dan sukacita sejati? Apa artinya berserah total kepada Allah?

Tuhan, peganglah kami erat-erat karena kami percaya Engkau sanggup mengubah ratapan kami menjadi pujian.

Bacaan Alkitab Setahun: Yosua 4-6; Lukas 1:1-20