Posts

Pendeta yang Tidak Aku Sukai

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Hari itu hari Rabu. Jam sudah menunjukkan pukul 17.35 ketika aku selesai melakukan suatu kegiatan dan tengah memikirkan apakah aku akan ke gereja atau tidak. Ibadah dimulai pukul 18.00 dan sejujurnya, aku masih ingin beristirahat sebentar lagi.

Kuizinkan diriku mengambil waktu 5 menit untuk istirahat sambil berpikir apakah aku perlu ke gereja atau tidak. Sebenarnya ada pilihan mengikuti ibadah secara virtual namun aku sudah melihat realitanya. Berkali-kali kalimat “Ah nanti ibadah virtual aja deh” berujung pada telat mengikuti atau bahkan tidak mengikuti sama sekali. Maka kuputuskan saja bahwa pada ibadah-ibadah berikutnya, baik hari Rabu maupun hari Minggu, aku akan mengikuti ibadah secara luring di gereja.

Tekad itu tampak kuat di awal-awal namun segera berubah ketika aku tahu pendeta yang akan melayani saat ibadah nanti. “Yah, Pdt. X”, ungkap hati kecilku saat itu.

Pernah mengalami kondisi yang sama sepertiku? Aku adalah orang yang motivasi ke gerejanya bisa berubah karena faktor luar, seperti pendeta yang akan melayani, jam ibadah, akan ada siapa saja di gereja, dan lain-lain. Dulu aku merasa bahwa pertimbangan-pertimbangan ini tidak salah. Aku merasa kadang firman Tuhan yang dibawakan oleh pendeta tertentu kurang mampu kupahami, atau kurang masuk dalam pemahamanku. Dengan kata lain, membosankan. Tidak ada selera humornya. Tidak seru, dan kata-kata lain yang serupa.

Dalam perenungan itu, aku merasakan dua suara: suara untuk pergi ke gereja dan suara negosiasi untuk ibadah di rumah. Toh, kamu capek. Emang bisa bersiap-siap dalam waktu 20 menit lagi, padahal belum juga mandi? Memang enak ya persiapan dalam waktu sedikit? Bukannya gak baik ya El, terburu-buru ke gereja? Kalaupun ke gereja juga, memang bakal sesuai ekspektasi ya?

Sebanyak itu suara yang muncul dan sebanyak itulah aku mulai merasa aku menuruti ego-ku. Aku telah mengalami suatu yang serupa di minggu-minggu kemarin dan rasanya tidak ada yang kudapat dengan mengikuti egoku. Oh, ada. Aku mendapatkan kesenangan sejenak. Tidak perlu buru-buru mandi, bisa main HP dulu, dan sebagainya.

Di segala suara-suara yang lebih banyak mendorongku untuk tidak ke gereja, aku memohon agar Tuhan memberikan jawaban atas situasi yang kuhadapi. Aku memohon pada Tuhan untuk memberikan suatu kesadaran akan apa yang kupertanyakan ini. Lalu aku menyadari suatu hal yang sebenarnya sudah sering muncul di situasi serupa di masa yang lalu. Setiap ada niat untuk tidak pergi ke gereja atau beribadah pada jam yang lain, selalu ada suara yang berkata, “Masa ke gereja karena lihat pendeta? Kamu ke gereja untuk bertemu Tuhan atau untuk mengagumi pendeta?” Suara itu kubalas dengan pikiranku yang bertanya:

“Tapi kalau pendeta nya gak bisa menjelaskan dengan baik firman pada hari itu, ga dapat juga dong pesannya. Sia-sia gak sih…”

Yang menurutku, kembali dijawab oleh Roh kudus dalam hatiku dengan, “Tuhan sendiri yang akan membuatmu mengerti, Tuhan yang membuat otakmu berjalan dan memahami maksud Firman Tuhan dengan baik.”

Suara itu terdengar tegas dan menegur. Saat aku mendapatkan kesadaran itu, aku merasakan bahwa pengertian itu rasanya ada dalam Alkitab. Aku tidak mencarinya pada hari itu, dan sampai pada tulisan ini kuketik, aku akhirnya mencoba mengeksplorasi perkataan yang pernah disampaikan kepadaku itu. Dalam 2 Timotius 2:7, dikatakan:

“Perhatikanlah apa yang kukatakan; Tuhan akan memberi kepadamu pengertian dalam segala sesuatu.”

Dalam rasa sadar itu, aku pun segera mandi dan bersiap, secepat mungkin. Aku akhirnya siap pada 17.50, waktu yang sejujurnya membuatku memprediksi bahwa aku akan telat tiba di gereja. Namun, aku sudah setengah perjalanan, aku sudah mendapat kesadaran. Maka kuputuskan untuk pergi dan berharap yang terbaik. Jika memungkinkan, semoga bisa kutempuh dalam waktu 10 menit, walaupun aku sudah sering mengukur bahwa biasanya perjalananku dari rumah ke gereja memakan waktu 15 menit.

* * *

Aku tiba di gereja dan mengintip bahwa ibadah sudah dimulai dan aku mengecek HP-ku. Pukul 18.05. Telat, tapi aku sudah mengantisipasinya. Untungnya, jemaat sedang dalam posisi berdoa ketika aku masuk. Sesudahnya, aku mengikuti ibadah seperti biasa, bernyanyi dan berdoa, sebelum akhirnya Pendeta mengambil ahli mimbar untuk berkhotbah.

Satu kesadaran masuk lagi, “Kalau mau mendengar khotbah, posisikan dirimu seperti gelas yang kosong. Kamu sering gak ngerti karena apa yang dikatakan oleh Pendeta sering kamu pertanyakan dengan pengetahuan yang sudah kamu miliki.”

Aku kemudian mencoba mengikutinya. Gelas kosong. Tidak ada isinya dan siap untuk diisi.

Tahu apa yang terjadi?

Rasanya seperti click. Pendeta yang sebelumnya menurutku tidak memiliki gaya yang baik dalam menyampaikan pesan di Alkitab mengeluarkan setiap kata per kata yang kubutuhkan pada hari itu, menguatkanku, memberikan pemahaman baru atas persoalan yang saat itu tengah kuhadapi, dan bahkan menyadarkanku akan hal-hal yang selama ini tidak kusadari atau coba kusangkal.

Benar kalau beberapa kali, ada beberapa menit di pertengahan khotbah ketika kata-kata pendeta itu terlewat, aku merasa hampir tenggelam lagi dalam pikiranku. Namun, karena aku memposisikan diriku sebagai gelas yang kosong, aku dengan lebih mudah kembali fokus pada khotbah dan tidak bertanya-tanya atas apa yang sudah aku ketahui sebelumnya tentang topik yang dikhotbahkan oleh Pendeta itu.

Sampai pada khotbah ditutup dan tiba waktunya hampir pulang, aku menggumamkan ucapan terima kasih pada Tuhan sambil sedikit menangis, percaya bahwa keputusanku untuk datang ke gereja pada saat itu adalah satu keputusan baru yang benar.

Beberapa minggu belakangan, hidupku terasa seperti terguncang akibat keputusan yang salah. Tidak satu hari terlewat tanpa aku mempertanyakan bahwa apakah Tuhan kecewa padaku, apakah aku masih mendapat kesempatan kedua, dan hal-hal bernada frustrasi lainnya. Hingga aku pun kadang bertanya apa aku masih bisa memutuskan dengan benar untuk hal-hal yang ada di depanku? Karena jujur, keputusan salah yang kadang masih aku sesali terasa besar dan aku takut itu berdampak besar padaku, dalam hal negatif tentunya.

Perjalananku berdamai dengan penyesalan mungkin akan kuceritakan di lain waktu, tapi saat itu, saat aku selesai ibadah dan keluar dari gereja, aku merasakan ketenangan—semacam campuran perasaan tenang, berserah, dan kekuatan untuk melangkah ke depan.

Pengalamanku ini tentu dapat menjadi momen refleksi bagi teman-teman semua. Aku belajar bahwa mengasihi dan menghormati Tuhan itu sangat luas. Dulu aku kira hal itu sebatas pada bersikap baik dan sopan pada keluarga, teman sekitar, dan orang-orang yang kelihatannya ‘kecil’. Namun, lewat pendeta yang tidak jadi pilihan prioritasku ketika aku datang ke gereja, mengasihi Tuhan juga berarti menghargai, tidak memandang remeh seseorang yang sudah ditunjuk Tuhan. Percayalah, setiap orang, yang bahkan rasanya tidak kita anggap penting, bisa mengajarkan hal yang baik jika diperkenan Tuhan. Sama seperti pendeta itu yang khotbahnya menolongku di tengah pergumulan.

Dan tentu, ujilah niatmu. Jika pada awalnya aku ingin beribadah untuk bertemu Tuhan dalam kondisi yang layak (tidak terdistraksi oleh notifikasi HP, tidak sambil jalan-jalan dan mendengarkan khotbah sambil ngemil ketika ibadah online), maka satu pengecoh seperti pemikiran akan siapa pendeta yang melayani, seharusnya tidak menjadi masalah untukku.

Baca Juga:

Cerpen: Kapan Nikah?

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah.

Saat Ibadah Menjadi Online, Apakah Hati Kita Connect pada Tuhan?

Oleh Zefanya Christiady Nugroho, Yogyakarta

Minggu, 15 Maret 2020 adalah hari bersejarah bagi orang Kristen di Indonesia. Untuk mencegah penularan virus, peribadahan di gedung gereja ditiadakan. Sebagai gantinya, jemaat dipersilakan untuk beribadah sendiri di rumah bersama keluarga atau kelompok kecil. Beberapa gereja memfasilitasi peribadahan dengan menyediakan layanan streaming via kanal YouTube gereja.

Ibadah minggu yang menjadi online ini memicu pro dan kontra. Aku sendiri tidak mempermasalahkan. Gereja online bukanlah kemunduran spiritualitas jemaat dalam beriman, melainkan bisa jadi sarana baru bagi jemaat untuk menemukan spiritualitasnya kembali. Aku ingat, saat kita masih bebas beribadah di gedung gereja, pendeta atau pemimpin ibadah berkali-kali mengingatkan jemaat untuk tidak fokus ke HP. Silent HP-mu! Fokus pada ibadah, pada Allah! Eh, sekarang kita malah jadi “fokus” ke HP karena mau tidak mau ibadah via streaming harus melihat layar. Aku sempat berpikir, “Tuhan, apakah Engkau lagi bercanda?”

Kaum muda di gereja pun jadi terpanggil untuk berkarya lebih. Generasi yang familiar dengan teknologi bisa menolong generasi senior agar streaming bisa berlangsung. Hal positif lainnya adalah, masuknya peribadatan dalam dunia online bisa jadi menjangkau lebih banyak orang. Entah itu kelompok kecil, kebaktian, atau PA online. Mungkin jemaat yang sudah lama undur diri atau terpisah jarak bisa lebih mudah untuk terhubung kembali.

Masalah ketika ibadah menjadi online

Namun, gereja online juga bukan tanpa kelemahan. Pertama, tatap muka secara fisik di satu tempat tidak bisa tergantikan kualitasnya. Di ibadah online, tidak ada yang tahu apakah kita sudah mempersiapkan diri dan hati dengan baik. Apakah kita tetap mengenakan pakaian yang rapi sebagai sikap menghormati Tuhan? Apakah kita sungguh fokus pada ibadah di saat notifikasi-notifikasi lain dengan mudahnya masuk? Kemudian, jika ibadah online terus dilakukan setelah pandemi selesai, apakah kita tergerak kembali untuk membayar harga datang ke gedung ibadah, atau memilih ibadah streaming dengan alasan sibuk?

Kedua, apakah gereja-gereja lokal masih mendapat tempat, mengingat minimnya sarana dan prasarana yang mendukung untuk mengadakan ibadah online? Apakah ada akses yang cukup bagi jemaat yang ingin, tetapi tidak mampu terkoneksi? Lalu, bilamana kita sudah puas dengan beberapa pengkhotbah favorit di kanal tertentu yang telah kita subscribe, apakah kita menemukan kenikmatan kembali mendengar pendeta di gereja lokal kita memberitakan Firman? Ketiga, jika peribadatan online terus dilakukan adalah gereja berisiko menempatkan umat sebagai audiens dan konsumen murni. Jemaat bisa jadi pasif dan transaksional. Selama merasa firman Tuhan yang dibawakan bagus, kebutuhan emosional terpenuhi, memberi persembahan, lalu selesai. Sebaliknya, gereja beresiko fokus pada viewers dan persembahan sebagai indikator keterlibatan jemaat. Sementara pandemi virus COVID-19 berlangsung, peribadatan online adalah hal yang baik. Tetapi, saat pandemi ini usai, kita perlu memikirkan kembali bagaimana ibadah komunal yang seharusnya.

Meski demikian, masalah-masalah yang kusebutkan di atas tak murni terjadi di gereja online. Di gereja offline pun bisa saja terjadi. Kita bisa saja datang ke gereja hanya karena merasa lagu-lagu yang dinyanyikan enak, atau khotbahnya bagus. Pun saat datang ke gereja, bisa pula pikiran kita tak fokus. Ketika bicara soal pertumbuhan iman, gerejaku mungkin juga gereja kita mentok di program. Pertumbuhan iman identik dengan program yang berjalan baik dan diikuti banyak orang. Makin ramai makin bagus. Kesehatian diukur dari kekompakan dan manajemen yang rapi. Bahkan, konflik dan luka batin cenderung diabaikan, serta kualitas karakter seseorang dinilai dari kerajinannya di gereja atau persekutuan.

Memikirkan kembali esensi beribadah

Kita perlu melihat kembali bagaimana gereja pada masa Rasul Paulus dahulu. Dalam suratnya di 1 Korintus 3:11-13, Paulus menuliskan demikian:

“Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.”

Dasar kita bergereja adalah Kristus sendiri. Gereja seharusnya menjadi “bangunan” yang stabil, kuat, dan di dalamnya bangsa-bangsa masuk memuliakan Allah. Di atas dasar itu, kita semua disusun sebagai material bangunan yang secara komunal, memberikan kontribusi terhadap kokohnya bangunan itu. Paulus memberikan gambaran material itu bisa terdiri dari jerami, emas, dan sebagainya. Tetapi, semuanya itu akan diuji dengan api, misalnya situasi pandemi saat ini bagiku adalah ujian untuk kualitas persekutuan kita: apakah selama ini aku hanya sebatas ikut-ikutan, atau benar-benar ikut Kristus sebagai murid-Nya? Karena itu, semoga setelah pandemi ini selesai, kita bisa lanjut membangun gereja atau persekutuan kita dari sisi kualitas manusianya, bukan kualitas gedung fisik dan medsos atau kanal video gereja. Misalnya dengan menggerakkan ibadah keluarga dan kelompok kecil, seperti yang terjadi selama pandemi ini. Gereja adalah kita, “bangunan” yang terdiri dari manusia yang semakin hari semakin terkoneksi satu sama lain oleh kasih Tuhan. Gedung atau media sosial adalah sarana pertemuannya.

Hadirnya pandemi COVID-19 di satu sisi bisa jadi merupakan cara untuk menguji kesatuan kita sebagai orang Kristen. Dalam Yohanes 17:23, tertulis demikian: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Alih-alih berfokus pada perbedaan, pandemi ini bisa jadi cara untuk orang Kristen menunjukkan kasih. Di saat masker menjadi langka dan orang-orang membeli dalam jumlah banyak untuk kepentingan pribadi, apakah gereja mampu menyediakannya kepada mereka yang tak mampu mendapatkannya? Seraya kita membagikannya, kita bisa turut menceritakan kisah kasih Allah bagi tetangga maupun orang-orang lain seraya mengindahkan instruksi kesehatan yang berlaku. Saat ada lansia yang sakit, apakah gereja turut hadir menjadi penolong?

Kiranya kita bisa melihat hadirnya gereja online tak cuma sebatas boleh dan tidak, tetapi mengevaluasi diri kita sendiri. Sudahkah kita berusaha menjadi gereja yang terkoneksi dengan masyarakat dan menjadi berkat bagi sekitar kita?

Yuk gunakan masa-masa social distancing ini sebagai momen untuk beristirahat sejenak dari kesibukan pelayanan. Jika terdapat konflik dalam relasi kita di gereja, mungkin ini jugalah momen yang tepat untuk berdamai. Nikmatilah pemeliharaan Allah dalam hidup kita dan fokus pada doa, sesuatu yang mungkin juga kita lupakan selama ini karena disibukkan dalam banyak program atau acara gereja.

Baca Juga:

Refleksi Mazmur 91: Belajar Memahami Janji Tuhan dengan Benar

Belakangan ini Mazmur 91 menjadi diskusi hangat. Ada yang menafsirkan bahwa mazmur tersebut menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya. Namun, apakah benar begitu?

Untuk memahaminya, kita perlu belajar untuk mencerna teks Alkitab dan memahami janji Tuhan dengan benar.