Posts

Bolehkah Orang Kristen Merayakan Natal?

Oleh Deborah Fox, Australia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hang On, Should Christians Be Celebrating Christmas?

Aku tidak tahu bagaimana kamu memandang Natal, namun bagiku sendiri, aku sering memandang Natal dari dekorasi yang meriah, lampu-lampu yang berkelap-kelip, toko-toko yang dibanjiri pengunjung dan membayangkan bagaimana aku bisa ikut serta dalam segala kemeriahan itu. Sebagai orang Kristen, haruskah kita bersikap menentang terhadap segala nuansa Natal yang mungkin tidak berhubungan dengan Natal?

Pengalamanku beberapa tahun lalu membuatku memikirkan pertanyaan itu dengan serius.

Aku sedang membaca buku dengan serius ketika dua pasang mata menatapku tajam. Waktu itu aku berada di rumah sakit, menanti hasil tes laboratorium dan sama sekali tidak berharap untuk mendiskusikan hal-hal yang berat tentang teologi.

Buku yang kubaca ditulis oleh John Piper dengan judul Meditations of a Christian Hedonist. Buku ini tidak dimaksudkan untuk mendukung pikiran-pikiran berdosa, melainkan sebuah buku cetakan ulang dari seri terlaris Desiring God yang bahasan utamanya adalah, “Tuhan paling dimuliakan dalam ketika kita kita merasa puas di dalam-Nya”.

Dua wanita yang duduk di seberangku bercerita tentang iman mereka dan kita berdiskusi tentang bahayanya mengikuti keinginan hati kita sendiri alih-alih menyenangkan hati Tuhan. Namun, diskusi itu dengan cepat berubah jadi membahas tentang ulang tahun, Natal, dan Paskah. Mereka mempermasalahkan betapa mudahnya hari libur agamawi kehilangan makna aslinya.

Di saat aku setuju dengan pandangan mereka tentang berubahnya makna hari-hari keagamaan, ternyata yang mereka permasalahkan dari perayaan Natal bukanlah tentang hadiah dan selebrasi yang berlebihan, melainkan objek yang dirayakan.

Aku baru menyadari kalau dua perempuan itu berasal dari sekte Kristen yang menolak doktrin tentang Allah Tritunggal sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Meskipun mereka percaya otoritas Alkitab dan Yesus yang disalibkan, mereka tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Bagi mereka, Yesus hanya orang istimewa, tapi bukan inkarnasi Allah. Mereka pun bertanya: “Mengapa kamu merayakan kelahiran seseorang yang hidup dan mati lebih dari 2000 tahun lalu?”

Menariknya, respons mereka menolongku untuk menyelidiki apa yang sejatinya istimewa tentang Natal bagi kita, orang percaya. Kita tidak sekadar merayakan kelahiran manusia biasa, kita merayakan sebuah fakta bahwa Yesus—tak seperti manusia lainnya—mengalami kehidupan, kematian fisik, dan mengalahkan maut. Tidakkah itu berharga untuk dirayakan?

Berbicara mengenai perayaan, Yesus sendiri pun berpartisipasi di banyak perayaan Yahudi. Mukjizat-Nya yang pertama terjadi di pesta perkawinan di Kana (Yohanes 2:1-12). Yesus juga menghadiri jamuan makan malam Matius, di mana para pendosa datang kepada-Nya dan hidup mereka pun diubahkan (Matius 9:9-13). Dan, di Wahyu 19:6-9, kita mendapatkan sekilas gambaran mengenai perjamuan kawin Anak Domba, di mana seluruh kerajaan Allah diundang untuk berpartisipasi dalam perayaan, bersukacita menyembah Tuhan selamanya. Jika Yesus dapat menikmati perayaan bersama kerabat-kerabat-Nya, betapa kita juga tidak bersukacita dan merayakan pemberian terbesar yang telah diberikan-Nya bagi kita?

Jadi, dapatkah orang Kristen merayakan Natal? Jawabannya, kita bisa, selama kita berfokus kepada esensi utama dari iman kita: Kristus. Aku ditantang untuk mundur selangkah dan merenungkan apakah aku sudah menghargai Kristus di Natal kali ini? Apakah aku menempatkan Kristus sebagai pusatku? Aku perlu memikirkan cara-cara perayaan yang dapat mengingatkanku bahwa Allah itu Imanuel, selalu beserta kita. Aku perlu membagikan kisah imanku dan Natal adalah waktu yang baik untuk memulai diskusi tentang Yesus yang adalah hadiah terbesar yang kita pernah terima.

Tahun ini, aku memutuskan untuk mengundang teman-temanku ikut ibadah Malam Natal di gerejaku. Aku juga merencanakan acara mengobrol di Christmas Dinner untukku membagikan kisah tentang harapan dan sukacitaku dalam Kristus. Ada juga beberapa acara outreach yang bisa kuikuti untuk membagikan kabar baik tentang Kristus.

Jika “Tuhan paling dimuliakan dalam ketika kita kita merasa puas di dalam-Nya”, maka kita seharusnya menunjukkan sukacita yang besar kepada orang-orang di sekitar kita. Kita bisa merayakan Natal dengan merayakan Kristus.

Baca Juga:

Bagian Natal yang Terhilang

Mungkin Natal yang kita dambakan adalah Natal yang penuh dengan kado, barang-barang baru, perayaan yang meriah, dan kumpul bersama sanak saudara. Hal tersebut tidaklah sepenuhnya salah, namun bagaimana jika yang kita inginkan tersebut ternyata tidak kita dapatkan? Apakah Natal hanya dapat dinikmati oleh mereka yang keinginannya dikabulkan?