50 Kilometer Sehari
Oleh Desy Dina Vianney, Medan
Drrrt… drrrt… drrrt…
Aku terlonjak, tersadar dari lamunanku. Getar ponselku membawaku kembali ke dunia nyata.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu meraih ponsel di nakas sebelah tempat tidur bapak. Sebuah pesan muncul dari Noel.
“Cla, hari ini bisa datang kan ke Betesda?”
Aku membacanya dalam hati. Lalu mengetikkan sebuah balasan singkat, yang dibalasnya dengan emoji hati.
Dua kali pertemuan aku tidak ke Betesda, sekali karena aku harus ikut mendampingi mission trip tim pelayananku ke Padang dua minggu lalu. Dan sekali lagi karena jadwal cuci darah bapak yang terlambat sehingga kami harus pulang lebih malam. Jadilah aku tidak sempat lagi untuk pergi ke sana.
Betesda adalah rumah singgah yang kami bentuk empat tahun lalu. Aku, Noel, dan beberapa teman lainnya membuka kelas belajar di tempat itu. Letaknya di pinggiran kota kami, dekat dengan rel kereta dan pelabuhan. Kalau ada yang mencariku di Sabtu sore, hampir dapat dipastikan kalau aku di sini. Jaraknya cukup jauh. Kalau Sabtu pagi aku mengantar bapak untuk cuci darah di rumah sakit, mengantarnya pulang, lanjut ke Betesda, dan kembali ke rumah, maka perjalanan yang kutempuh bisa lebih dari 50 kilometer sehari.
Betesda dilatarbelakangi ketika kelompok persekutuan kami tergerak untuk menjangkau anak-anak yang tidak berkecukupan. Hari itu kami bertemu dan sepakat untuk mencari tempat yang kami dapat datangi. Dan kami percaya, saat itu Roh menuntun ke tempat ini, dan mengumpulkan anak-anak. Kami ingin menolong mereka mengenal Yesus dan terbiasa dengan firman Tuhan sejak mereka masih anak-anak. Saat ini ada hampir 50 orang anak yang kami bina dari yang belum sekolah, sudah sekolah, dan tidak sekolah.
Suara ketukan di pintu membuatku menoleh, seorang perawat masuk dan tersenyum. Aku membalas dengan ikut senyum.
“Bapak sudah bisa pulang ya, tetap dijaga asupannya ya, Pak,” katanya pada bapak, mengakhiri jadwal bertemu kami hari itu.
Empat puluh menit kemudian, kami telah tiba di rumah dan aku sudah siap-siap untuk berangkat ke Betesda. Namun, hanya sepersekian detik tiba-tiba hujan turun amat deras tanpa ada pertanda sebelumnya. Aku pun lantas terduduk di ruang tamu.
“Hujan deras, Kak. Tunggu dululah.” Mama mendekat, duduk di depanku. “Atau nggak usah pergi dululah hari ini…” sambungnya.
Aku menghembuskan napas.
Memang tidak ada yang akan menegurku kalau misalnya aku tidak datang, tidak ada kewajiban atau tanggung jawab yang kulanggar karena kami semua dalam tim ini melakukannya ‘sukarela’. Teman-temanku juga akan mudah mengerti kalau aku tidak datang hari ini. Secara umum, aku tidak rugi apa-apa.
Tapi, aku teringat empat tahun lalu saat kami memulai pelayanan ini. Waktu kami mengadakan ibadah untuk memulai langkah ini, salah seorang temanku membagikan firman Tuhan tentang Abraham yang menerima tuntunan Allah untuk pergi meninggalkan kampung halamannya ke tempat yang ia bahkan belum tahu sama sekali. Sebagai abdi Allah, ia taat akan panggilan-Nya.
Kami memang bukan seperti Abraham yang pergi jauh dari kota kami, meninggalkan keluarga, atau pekerjaan kami. Tapi firman itu menguatkan kami untuk berani mengambil komitmen ini. Hari itu, ketika kami membuat komitmen untuk taat, itu bukan ditujukan untuk menyenangkan satu sama lain dalam tim. Bukan pula pada diri kami sendiri, tapi kami mendoakan pelayanan ini dan meminta Dia untuk menolong kami taat kepada-Nya sebagai abdi Allah.
Mengingat itu semua, akhirnya aku tersenyum samar. Aku menjelaskan dengan lembut alasanku, mengapa meskipun hujan lebat aku mau tetap berangkat. Kupamit pada mama, memakai mantel hujan lalu bergegas. Hujan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Hampir 40 menit aku berkendara, tiba-tiba matahari nampak jelas di ujung jalan. Dan lihatlah, ada pelangi membusur di sana, seolah tersenyum menghiburku. Cuaca pada saat itu cukup dingin, tapi hatiku hangat. Aku tersenyum.
Lima menit kemudian aku tiba di lingkungan Betesda, dari jarak 50 meter aku melihat anak-anak sudah ramai di halamannya. Entah bagaimana kondisi di sini kering, matahari bersinar cerah, hangat.
Anak-anak yang melihatku mendekat, berlarian menghampiriku. Satu dua anak berucap rindu. Aku membalas sambutan hangat mereka. Pelangi semakin terlihat jelas dari sini, terasa amat dekat.
“Wahh, karena Kak Claudianya udah datang, Kak Noel langsung diabaikan nih yaa!” seru Noel di seberang rel, pura-pura merajuk. Aku tersenyum padanya, anak-anak tertawa.
“Kak Claudia, hari ini kita jangan belajar Matematika dulu boleh? Mau dengar cerita aja Kak!” seorang anak laki-laki berusia 9 tahun bernama Noah, bersuara di tengah gaduhnya sambutan itu.
Aku tersenyum. Pura-pura berpikir.
“Hmm… Coba lihat pelangi itu.” Tunjukku ke arah pelangi yang tepat di belakang kami. “Itu adalah tanda perjanjian seseorang dengan Allah, mau dengar ceritanya?” tanyaku.
“MAUUUUU!!” seru anak-anak itu serempak bersuara tanpa dikomando. Aku tertawa, Noel tersenyum di seberang sana.
Perjalanan dua-puluh-satu-kilometer-ku ke sini sering kali memang terasa jauh, tapi selalu kurindukan. Lima puluh kilometer sehari yang kutempuh sering kali terasa melelahkan, tapi, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu”.
—
* Cerita ini diadaptasi dari pengalaman penulis bersama sahabatnya.
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥