Posts

Yang Aku Pelajari Ketika Retret Kampusku Dibatalkan di Hari H

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Kakak dan abang, mohon doanya karena retret kita terancam dibatalkan oleh dekanat karena tidak dapat izin kegiatan rektorat.”

Demikian pesan di grup WhatsApp penilik (pemerhati) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampusku. Pesan itu dikirimkan H-1 sebelum acara retret tahunan kampus kami berlangsung. Sebagai penilik PMK, aku merasa gelisah karena retret yang akan kami adakan ini adalah retret pekabaran Injil untuk mahasiswa baru dan juga merupakan program kerja terbesar dalam PMK kami. Aku mengikuti kabar-kabar terbaru melalui informasi yang dibagikan di grup WhatsApp oleh junior-juniorku yang masih berada di kampus. Akhirnya pokok masalahnya ditemukan, yaitu ada miskomunikasi antara pihak rektorat (pihak universitas), dekanat (pihak fakultas), dan badan kemahasiswaan (seperti BEM) terkait perizinan acara untuk mahasiswa baru yang akan dilangsungkan di luar kampus.

Di tahun-tahun sebelumnya, kami selalu membuat acara retret untuk mahasiswa baru cukup dengan meminta izin kepada dekanat, tanpa perlu ke rektorat. Bukan hanya PMK-ku yang membuat acara retret, tetapi organisasi keagamaan lain pun melakukan perizinan dengan cara yang serupa. Namun tiba-tiba di tahun itu kami diwajibkan meminta surat izin kepada rektorat minimal H-7 sebelumnya kegiatan itu dilangsungkan. Malangnya, peraturan ini luput disosialisasikan oleh pihak berwenang (di mana sampai saat ini masih terjadi perdebatan tentang siapa yang paling berkewajiban mensosialisasikan peraturan ini), sehingga akhirnya yang menjadi korban adalah para panitia yang sudah mempersiapkan acara selama berbulan-bulan. Kami dipaksa membatalkan, atau mengundur acara yang sudah kami persiapkan sejak lama dan menelan biaya puluhan juta hanya karena surat izin kegiatan yang tidak pernah kami tahu.

Pantang menyerah, keesokan harinya tepat di hari-H, para pengurus PMK dan alumni berjuang untuk berdialog dengan pihak dekanat. Kami juga menghubungi pihak rektorat, dosen, alumni yang berpengaruh, atau siapa saja yang sekiranya bisa membuat rektorat dan dekanat luluh dan mengizinkan kami melangsungkan acara dengan segala konsekuensinya. Dari pagi hingga malam menjelang, kami berdoa dan berusaha. Tapi, hasilnya nihil. Pihak kampus, baik rektorat maupun dekanat bersikukuh melarang acara kami dilangsungkan. Pada pukul 18:00, diumumkanlah kepada seluruh peserta bahwa acara retret diundur sampai waktu yang belum ditentukan. Bus-bus sudah datang, konsumsi sudah disiapkan, dan barang-barang sudah dikumpulkan, namun kami batal berangkat.

Diliputi kekecewaan

Seketika kami semua, orang-orang yang terlibat mengurusi retret dan sudah berkumpul di titik kumpul merasa sangat terpukul dengan keputusan ini. Kami kaget, kecewa, sedih, bahkan marah. Semua perasaan itu bercampur menjadi satu. Mahasiswa baru yang juga sudah datang berkumpul akhirnya kembali pulang dengan perasaan sedih dan kecewa. Banyak dari mereka lalu menyemangati kakak-kakak seniornya. Dalam kondisi yang begitu kalut, kami lalu memutuskan untuk berdoa bersama.

“Di saat badai bergelora, ku akan terbang bersama-Mu,
Bapa, Kau Raja atas semesta, ku tenang s’bab Kau Allahku.”

Lagu di atas kami nyanyikan sambil bercucuran air mata. Saat itu aku bertanya dalam hati, jika Allah berkuasa, mengapa Dia membiarkan peristiwa yang tidak menyenangkan ini terjadi kepada kami, apalagi kepada adik-adik kelasku yang menjadi panitia dan pelayan di retret itu? Mereka sudah bersusah payah menyiapkan acara selama hampir tiga bulan. Seksi acara mencari tema, menghubungi pembicara dan pelayan ibadah, mempersiapkan permainan outbound, membuat buku acara, dan memastikan latihan dilaksanakan seminggu sekali. Seksi perlengkapan harus kesana kemari mencari dan mensurvei tempat dan kendaraan yang kan dipakai. Dan, seksi dana harus mencari uang puluhan juta untuk memenuhi kebutuhan retret.

Sebagai senior yang dahulu pernah berada di posisi mereka, aku tahu benar jatuh bangun persiapan retret ini. Mulai dari pelayan yang susah diajak latihan, percetakan yang tiba-tiba mengundur waktu pencetakan buku, hingga dana yang belum juga terkumpul. Sementara mahasiswa lain menikmati liburan semesteran, kami panitia harus bolak-balik ke kampus untuk rapat dan mempersiapkan retret tersebut. Namun, tiba-tiba di hari H, dengan “mudahnya” ada pihak lain yang menghancurkan semua perjuangan mereka. Aku sangat sedih melihat kondisi setiap adik yang terpukul dengan kenyataan ini. Namun seketika aku diingatkan dengan sebuah Mazmur yang berbunyi demikian:

“Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya” (Mazmur 126:5-6).

Walau air mata mengalir di pipiku, aku merasakan penghiburan yang begitu indah melingkupiku. Aku terkenang dan terbayang tentang perjalananku dalam bersekutu bersama PMK di kampusku, terutama ketika aku menjadi pengurus di tahun 2014-2015. Pada tahun-tahun tersebut, aku merasakan betapa menantangnya pekerjaan di ladang Tuhan, begitu berbeda dengan apa yang aku bayangkan sebelumnya. Aku harus meluangkan banyak waktu untuk mempersiapkan pelayanan seperti ibadah Jumat dan doa siang, memonitor jalannya kelompok-kelompok kecil (kelompok pendalaman Alkitab), rapat koordinasi, dan berbagai aktivitas lainnya. Semua hal itu harus aku lakukan di tengah perkuliahan yang cukup berat, di mana tugas menumpuk dan mata kuliah yang kuambil terasa sulit. Namun, aku bersyukur Tuhan menganugerahiku kesempatan untuk melayani di PMK kampusku, sebab di dalamnya aku mengenal Yesus, dan bertumbuh dalam firman-Nya. Aku juga belajar artinya berkorban dan membayar harga, apa itu terbeban, dan bagaimana hidupku harus benar-benar menjadi berkat bagi lingkunganku.

Pelayanan ini jelas tidak mudah, namun pengenalanku akan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat menolongku untuk setia mengerjakan pelayananku, seperti kata-kata C.T. Studd (pendiri lembaga misi WEC International):

“If Jesus Christ be God and died for me, then no sacrifice can be too great for me to make for Him.”

“Apabila Kristus adalah Tuhan dan Dia mati bagiku, maka tidak ada pengorbanan yang terlalu besar untuk kulakukan bagi-Nya”.

Pengorbanan yang kulakukan tidaklah ada yang sebanding dengan pengorbanan yang telah lebih dulu Yesus lakukan buatku.

Aku juga mengingat ketika aku lulus kuliah dan harus meninggalkan persekutuan di kampus, aku melihat adik-adik yang dulu kulayani telah bertumbuh menjadi pelayan-pelayan yang sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Generasi demi generasi berlalu, tantangan dan kesulitan datang silih berganti, namun kasih setia Tuhan terus menyertai persekutuan kami.

Melihat kasih Tuhan di balik peristiwa yang tampaknya buruk

Flashback pelayananku membuatku sadar bahwa retret yang dibatalkan tepat di hari H adalah kesempatan untuk kami melihat kasih karunia Tuhan bagi persekutuan kami. Kami mungkin tidak mengerti apa alasan di balik semua ini, namun ketika kami mempercayai bahwa Allah berdaulat di atas segalanya dan Dia tidak pernah salah, maka kami belajar untuk bertumbuh dalam iman. Dan, hal inilah yang aku saksikan ketika mendengar sharing dari beberapa adik persekutuanku ketika kami selesai berdoa. Aku melihat ada kedewasaan dalam menyikapi permasalahan yang kami hadapi bersama. Banyak dari mereka yang justru mengungkapkan syukur karena melalui peristiwa ini mereka belajar untuk bergantung pada Tuhan dan tidak mengandalkan diri sendiri. Mereka juga mengungkapkan keyakinan dan harapan mereka akan rencana Allah yang lebih baik dari yang mungkin mereka pikirkan.

Alih-alih berlarut dalam kesedihan, mereka berusaha saling menguatkan dan menghibur. Panitia dan pelayan ibadah kemudian langsung memikirkan solusi terbaik yang bisa diambil untuk menanggulangi peristiwa ini. Akhirnya diputuskanlah bahwa akan diadakan ibadah satu hari di kampus untuk mahasiswa baru agar mereka tetap dapat mendengarkan pemberitaan Injil. Fokus kami hanya satu: Injil bisa diberitakan, sambil terus berdoa ada mahasiswa baru yang setelah mendengar Injil dapat sungguh-sungguh percaya dan hidupnya diubahkan. Dua hari setelah peristiwa pembatalan itu, kami mengadakan ibadah sehari di kampus yang terdiri dari dua sesi ibadah dan sesi konseling. Puji Tuhan acara tersebut berjalan dengan baik dan banyak mahasiswa baru yang datang walaupun acaranya cukup mendadak. Kami bersyukur ada kesehatian yang terjalin antara panitia, pelayan, dan mahasiswa baru. Tapi yang paling membuat kami bersyukur adalah karena melihat banyak mahasiswa baru yang menikmati sesi ibadah dan konseling yang diadakan.

Secara tidak langsung, kesulitan ini mengikat kesatuan kami. Kami kembali mengingat bahwa pelayanan ini adalah milik Tuhan, dan kami hanyalah pekerja-pekerja upahan di ladang-Nya. Sebagai pemilik, Allah berdaulat untuk melakukan apapun. Kami hanya perlu taat dan percaya akan kehendak-Nya. Setelah diingatkan tentang hal tersebut, kami mulai merasakan damai sejahtera dan kembali bersukacita walau kondisi tidak menyenangkan. Hal ini membuatku merasa terharu dan bahagia, karena Tuhan mengizinkan kami untuk “naik kelas” dalam menghadapi tantangan ini.

Dari pengalaman ini aku makin bersyukur karena Tuhan berkenan menganugerahkan pertumbuhan bagi persekutuan yang di mana aku menjadi bagian di dalamnya. Lebih dalam, aku bersyukur Tuhan menganugerahkan persekutuan ini kepadaku. Sebuah persekutuan, yang kalau boleh aku meminjam kalimat temanku, adalah “cara Tuhan mengasihiku”.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Tuhan Yesus Menyelamatkanku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Aku bukan orang Kristen sejak lahir, pun di keluargaku tidak ada yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Hingga suatu ketika, saat aku tengah kesakitan karena penyakit kankerku, aku berseru kepada-Nya.

Sekelumit Kisahku Ketika Menghadapi Depresi dalam Pekerjaan

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Quarter-Life Crisis: The Day I Went Berserk

Aku tahu ada sesuatu yang salah ketika aku mulai menendangi kardus-kardus di bawah mejaku.

Biasanya, aku adalah seorang yang tenang, mampu menahan diri. Tapi, hari itu, ada sesuatu dalam diriku yang tersentak. Seseorang meneleponku dengan nada dan instruksi yang membuat emosiku terpancing. Sesuatu dalam diriku menahanku untuk berteriak, tapi kakiku bergerak-gerak karena kesal, dan aku mengalihkan amarahku dengan menendangi kardus yang biasanya kuletakkan di bawah mejaku sebagai tumpuan kakiku.

Kamu bisa membayangkan kelanjutannya seperti apa. Seorang pria yang biasanya pendiam, meraih ponsel, menggerak-gerakkan jemarinya sambil berkata: “Oke, oke, aku mengerti, akan kulakukan,” dengan nada yang paling lembut—meski di bawah meja, kakinya menghentak-hentak lantai. Di sekelilingnya, rekan-rekan kerjanya memandangnya dengan heran, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Seminggu setelahnya, aku keluar dari pekerjaanku. Sembilan tahun berkutat di dunia jurnalistik berakhir sudah. Satu karier telah selesai.

Setelah kemarahanku itu, aku meminta maaf kepada bosku dan dia menerima maafku. Keputusan mundur dari pekerjaan ini adalah karena aku merasa kelelahan, dan aku sadar bahwa tak peduli seberapa banyak uang yang bisa kuraih, atau seberapa potensial pekerjaan yang kugeluti, aku telah tiba di titik di mana kalau aku melanjutkannya, aku akan melukai kesehatan mentalku.

Sebelumnya, selama beberapa bulan aku merasa semakin lelah dan ingin sekali bisa tertidur nyenyak, karena biasanya ketika aku bangun, aku merasa tidak ada di dunia nyata. Jam-jam panjang di ruang redaksi mengambil alih waktuku, dan semakin sulit buatku karena beberapa pekerjaan seperti mewawancarai orang itu bukanlah sesuatu yang nyaman kukerjakan. Aku pernah mendengar kalau kesulitan tidur dan bangun adalah tanda-tanda dari kemungkinan depresi, dan aku bertanya-tanya apakah ini sedang terjadi juga kepadaku. Kinerjaku juga menurun: aku bekerja tanpa peduli lagi apakah aku sudah mencapai standar minimal, dan seringkali aku mengabaikan instruksi dari atasanku. Sekali waktu, ketika aku ditugaskan mendatangi sebuah acara, aku malah meminjam mobil orang tuaku dan mengemudi tanpa tujuan selama dua jam. (Tidak ada yang mengetahui ini karena aku tetap bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari acara itu.)

Mengundurkan diri dari pekerjaan ini membuatku lega.

Akhirnya, aku bisa berhenti menyeret diriku dari kasur setiap pagi untuk menghadapi kenyataan. Aku bisa terbebas dari akhir pekan yang mengerikan karena pekerjaan-pekerjaan di hari kerja. Aku bisa berhenti dari memaksakan diri untuk berlama-lama di ruang redaksi dan membenci setiap pekerjaan yang datang kepadaku. Aku bisa berhenti dari memikirkan fantasi tentang menjadi kaya dalam semalam supaya aku tidak perlu lagi bekerja. (Atau, fantasi tentang kantor yang tiba-tiba kebakaran dalam semalam supaya besok pagi aku tidak perlu bekerja lagi.)

Tapi, itu hanyalah fantasi. Aku masuk ke pekerjaan itu dengan penuh antusias sebagai orang yang belum berpengalaman, namun, aku menjadi letih selama bertahun-tahun setelahnya karena jam kerja yang panjang dan stres yang terus menerus menguras energiku.

Keluar dari pekerjaan ini bukanlah keputusan yang mudah, meski aku sudah melakukannya. Di benakku, ada dua pemikiran yang terngiang-ngiang.

Pertama: “Apakah aku lemah? Apakah aku mencari jalan keluar yang paling mudah?” Generasi yang lebih muda sering disebut sebagai “Generasi Stroberi” (Kamu tahu mengapa? Karena seperti stroberi yang kalau ditekan jadi memar, mereka juga seperti itu). Dan, sepertinya aku termasuk dalam generasi itu. “Mengapa, generasi yang lebih tua bekerja selama 40 tahun tanpa libur, dan mereka tidak mengeluh. Kamu belum sampai 10 tahun dan sudah kelelahan?”

Kedua: “Apakah ini kehendak Tuhan?” Apakah aku lebih dulu menyerah sebelum Tuhan membentuk dan mengubahku menjadi orang yang lebih baik? Apakah aku melarikan diri dari proses pendisiplinan-Nya?

Sejujurnya, sampai hari ini pun aku belum bisa benar-benar menjawab pertanyaan ini. Mungkin aku tidak hanya berjuang dari kelelahan, tapi juga bergumul dengan quarter-life crisis saat aku berusaha menggumulkan pekerjaanku, tujuan hidupku, dan apa arti hidupku untuk pekerjaan yang kugeluti.

Setelah melalui pengalaman yang kupikir sebagai kelelahanku, aku mau berkata: Apa yang orang lain pikirkan tentangmu itu bukanlah yang terpenting. Jika kamu sedih dan tertekan, dan tubuhmu menjadi sakit, tidak ada pekerjaan apapun yang sepadan. Tentu, ada waktu untuk menunggu, untuk bertahan, untuk melawan. Tapi, setiap kita memiliki batasan yang berbeda. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, sebab setiap orang punya perjalanannya masing-masing. Satu orang mungkin berpikir kalau dia butuh keberanian untuk terus maju, sementara yang lainnya mungkin berpikir bahwa mundur adalah pilihan yang bijak.

Apapun yang orang lain katakan tentang keputusanku, aku dapat mengatakan ini dengan pasti: Aku dapat melihat tangan Tuhan dalam segala sesuatu yang terjadi. Aku percaya ada campur tangan ilahi dalam pencarianku menemukan pekerjaanku selanjutnya. Aku melamar ke suatu pekerjaan yang terlihat lebih menarik. Dan yang lebih penting, pekerjaan itu sepertinya menjanjikan waktu kerja yang lebih damai. Ketika tidak ada jawaban, aku coba melamar lagi. Selama menunggu, aku berkesempatan bertemu dengan seseorang—yang baru saja diterima di departemen itu—dan pertemuan inilah yang akhirnya memberiku jalan lebih cepat untuk wawancara dengan bos. Tawaran kerja pun datang segera.

Aku tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baruku, karena selama melewati beberapa bulan tanpa bekerja, di situlah aku bisa menikmati masa jedaku. Tuhan memampukanku pindah ke tempat lain yang jam kerjanya lebih sehat dan lebih sedikit stres, dan inilah yang membuat beda.

Kelelahanku dan insiden menendang kardus adalah hal yang tidak ingin aku alami lagi. Aku tidak membanggakan diri atas responsku itu. Tapi, jika aku menoleh ke belakang, aku dapat melihat bagaimana hal itu turut membentuk perjalananku untuk menemukan diriku dan imanku. Apakah hal itu baik? Tidak. Apakah Tuhan mengizinkannya untuk terjadi? Kupikir iya!

Menghadapi kelelahan itu, aku belajar untuk menyadari batasan diriku sendiri. Ya, kamu dapat menganggapku punya batasan yang menyedihkan dan tidak punya ketahanan diri. Tapi, inilah batasanku. Karena aku pernah melampaui batasan itu, sekarang aku punya gambaran yang lebih baik tentang seberapa banyak yang bisa kutanggung, dan seberapa banyak yang tidak. Pemahaman ini menolongku untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam hidupku. Di pekerjaanku selanjutnya, aku mendapati kalau aku punya pegangan yang lebih baik untuk melakukan apa yang sudah siap kulakukan, dan apa yang tidak dapat kulakukan. Pengalaman itu tidak ternilai.

Aku juga belajar untuk mempercayai kehendak dan tangan Tuhan di dalam hidupku. Beberapa tahun kemudian, aku dapat melihat Dia menggunakan insiden dahulu untuk membentuk keputusan masa depan tentang karierku. Tapi, yang lebih penting, aku belajar melihat bahwa Tuhan itu bukannya Tuhan yang tidak peduli, Tuhan yang saklek, yang mana kita akan seketika gagal ketika tidak mengambil keputusan yang tepat. Ya, kita perlu mencari tahu kehendak-Nya dan memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan atau putuskan di situasi yang Dia berikan. Tapi, Dia juga adalah Tuhan yang kreatif, yang memberi kita kebebasan untuk memilih ketika kita menggumulkan kehendak-Nya dalam hidup kita. Jika kita berpegang pada hukum-Nya, kesukaan-Nya, dan jalan-jalan-Nya daripada diri kita sendiri, Dia akan memberi kita apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4).

Mazmur 37 juga mengingatkan kita untuk menyerahkan hidup kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya (ayat 5), dan berdiam diri di hadapan-Nya dan dengan sabar menanti-Nya untuk mengetahui kehendak-Nya (ayat 7). Kita punya jaminan bahwa Tuhan yang baik dan penuh kasih akan melakukan yang terbaik untuk kita—sekalipun kita mungkin tidak melihatnya saat itu juga.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;
Apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya”
(Mazmur 37:23-24).

Baca Juga:

Teguran dari Tuhan Saat Aku Bertemu Temanku yang Pernah Sakit Kanker

Bagaimana kita menjaga karakter Kristen dan kesaksian kita di dalam dunia maya, terutama saat kita merasa tidak setuju? Inilah tiga hal yang bisa membantu kita.

Wallpaper: Mazmur 90:12

“Ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)

Yuk download dan pakai wallpaper bulan ini!

Para Pencari Hikmat

Jumat, 22 Mei 2015

KomikStrip-WarungSaTeKaMu-20150522-Para-Pencari-Hikmat

Baca: Amsal 3:1-18

3:1 Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,

3:2 karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.

3:3 Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu,

3:4 maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.

3:5 Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

3:6 Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.

3:7 Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;

3:8 itulah yang akan menyembuhkan tubuhmu dan menyegarkan tulang-tulangmu.

3:9 Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu,

3:10 maka lumbung-lumbungmu akan diisi penuh sampai melimpah-limpah, dan bejana pemerahanmu akan meluap dengan air buah anggurnya.

3:11 Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya.

3:12 Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayangi.

3:13 Berbahagialah orang yang mendapat hikmat, orang yang memperoleh kepandaian,

3:14 karena keuntungannya melebihi keuntungan perak, dan hasilnya melebihi emas.

3:15 Ia lebih berharga dari pada permata; apapun yang kauinginkan, tidak dapat menyamainya.

3:16 Umur panjang ada di tangan kanannya, di tangan kirinya kekayaan dan kehormatan.

3:17 Jalannya adalah jalan penuh bahagia, segala jalannya sejahtera semata-mata.

3:18 Ia menjadi pohon kehidupan bagi orang yang memegangnya, siapa yang berpegang padanya akan disebut berbahagia.

Berbahagialah orang yang mendapat hikmat. —Amsal 3:13

Para Pencari Hikmat

Pada setiap musim semi, berbagai perguruan tinggi dan universitas mengadakan upacara wisuda untuk merayakan keberhasilan para mahasiswa yang telah menyelesaikan studi dan memperoleh gelar mereka. Setelah menjalani wisuda mereka, para lulusan ini akan memasuki dunia yang menantang mereka. Memiliki pengetahuan akademis saja tidaklah cukup. Kunci meraih keberhasilan dalam hidup adalah dengan menerapkan segala sesuatu yang telah mereka pelajari dengan berhikmat.

Di sepanjang Kitab Suci, hikmat dijunjung sebagai sebuah harta yang layak dicari. Hikmat itu lebih baik ketimbang kekayaan (Ams. 3:13-18). Hikmat bersumber dari Allah, dan Dialah satu-satunya yang penuh hikmat (Rm. 16:27). Hikmat ditemukan dalam perbuatan dan perilaku Yesus, sebab di dalam diri-Nya “tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan” (KOL. 2:3). Hikmat diperoleh dari membaca dan menerapkan Kitab Suci. Kita mempunyai teladan akan hal ini dengan melihat cara Yesus menerapkan pengetahuan-Nya ketika Dia dicobai (Luk. 4:1-13). Dengan kata lain, seseorang yang sungguh berhikmat berusaha melihat kehidupan dari sudut pandang Allah dan memilih untuk menjalani hidup berdasarkan hikmat-Nya.

Apakah imbalannya untuk hidup dalam hikmat? Kitab Amsal menyatakan kepada kita bahwa hikmat itu bagaikan manisnya madu di langit-langit mulut (Ams. 24:13-14). “Berbahagialah orang yang mendapat hikmat” (3:13). Jadi carilah hikmat, karena hikmat lebih menguntungkan ketimbang perak atau emas! —Joe Stowell

Tuhan, kuatkan tekadku untuk hidup dengan hikmat yang hanya berasal dari-Mu. Beriku pemahaman untuk menjalani hidup dari sudut pandang-Mu sehingga aku menikmati berkat dari hidup yang dijalani dengan bijaksana.

Berkat datang dari mencari hikmat dan hidup menurut hikmat tersebut.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Tawarikh 16-18; Yohanes 7:28-53

Hikmat Dari Atas

Rabu, 25 Juni 2014

Hikmat Dari Atas

Baca: 1 Samuel 24:1-10

24:1 Daud pergi dari sana, lalu tinggal di kubu-kubu gunung di En-Gedi.

24:2 Ketika Saul pulang sesudah memburu orang Filistin itu, diberitahukanlah kepadanya, demikian: "Ketahuilah, Daud ada di padang gurun En-Gedi."

24:3 Kemudian Saul mengambil tiga ribu orang yang terpilih dari seluruh orang Israel, lalu pergi mencari Daud dan orang-orangnya di gunung batu Kambing Hutan.

24:4 Ia sampai ke kandang-kandang domba di tepi jalan. Di sana ada gua dan Saul masuk ke dalamnya untuk membuang hajat, tetapi Daud dan orang-orangnya duduk di bagian belakang gua itu.

24:5 Lalu berkatalah orang-orangnya kepada Daud: "Telah tiba hari yang dikatakan TUHAN kepadamu: Sesungguhnya, Aku menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu, maka perbuatlah kepadanya apa yang kaupandang baik." Maka Daud bangun, lalu memotong punca jubah Saul dengan diam-diam.

24:6 Kemudian berdebar-debarlah hati Daud, karena ia telah memotong punca Saul;

24:7 lalu berkatalah ia kepada orang-orangnya: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi TUHAN, yakni menjamah dia, sebab dialah orang yang diurapi TUHAN."

24:8 Dan Daud mencegah orang-orangnya dengan perkataan itu; ia tidak mengizinkan mereka bangkit menyerang Saul. Sementara itu Saul telah bangun meninggalkan gua itu hendak melanjutkan perjalanannya.

24:9 Kemudian bangunlah Daud, ia keluar dari dalam gua itu dan berseru kepada Saul dari belakang, katanya: "Tuanku raja!" Saul menoleh ke belakang, lalu Daud berlutut dengan mukanya ke tanah dan sujud menyembah.

24:10 Lalu berkatalah Daud kepada Saul: "Mengapa engkau mendengarkan perkataan orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya Daud mengikhtiarkan celakamu?

Hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai. —Yakobus 3:17

Hikmat Dari Atas

Andai saja Kiera Wilmot melakukan proyek percobaannya di dalam ruang kelas sains di SMA-nya, mungkin ia akan mendapatkan nilai A. Namun ia justru dituntut karena telah menyebabkan sebuah ledakan. Meskipun ia telah berharap agar gurunya menyetujui percobaan itu, teman-teman sekelasnya berhasil membujuknya untuk melakukan percobaan tersebut di luar ruang kelas. Saat ia mencampur zat-zat kimia ke dalam sebuah botol plastik, botol itu meledak dan secara tidak sengaja ia telah membuat panik siswa-siswi yang lain.

Tekanan dari sesama juga diceritakan dalam Perjanjian Lama. Ketika itu, Daud dan anak buahnya sedang bersembunyi dari Saul di dalam sebuah gua yang kemudian dimasuki oleh Saul (1Sam. 24). Para pengikut Daud menganggap bahwa Allah telah menyerahkan Saul ke dalam tangan mereka, dan mereka mendesak Daud untuk membunuhnya (ay.5, 11). Mereka berharap, jika Daud membunuh Saul, mereka tidak perlu lagi bersembunyi dan Daud dapat menjadi raja. Namun Daud menolak menyakiti Saul karena Saul adalah “orang yang diurapi Tuhan” (ay.7).

Ada kalanya orang-orang di sekitar kita mungkin mendorong kita untuk berbuat sesuatu yang kelihatannya memberi kepuasan atau kemudahan kepada kita saat itu juga. Namun ada perbedaan antara hikmat duniawi dengan hikmat surgawi (1Kor. 2:6-7). Hikmat yang dari atas “adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan” (Yak. 3:17). Ketika orang lain mendesak kita untuk mengambil tindakan tertentu, kita dapat mengundang Allah untuk menuntun kita dalam memberi tanggapan yang tepat. —JBS

Jadilah, Tuhan, kehendak-Mu!
S’luruh hidupku kuasailah.
Berilah Roh-Mu kepadaku,
Agar t’rang Kristus pun nyatalah. —Pollard
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 14)

Orang yang sungguh-sungguh berhikmat menerima hikmatnya dari Allah.

Hikmat Orang Banyak

Minggu, 28 Juli 2013

Hikmat Orang Banyak

Baca: 1 Korintus 1:18-25

Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada. —Amsal 11:14

Deskripsi online tentang buku The Wisdom of Crowds (Hikmat Orang Banyak) menyatakan, “Dalam buku yang memukau ini, kolumnis bisnis dari mingguan New Yorker, James Surowiecki, membedah ide sederhana yang sering terabaikan: Sekelompok besar orang terbukti lebih cerdas daripada sekelompok kecil kaum elit, sehebat apa pun kelompok elit ini—kelompok besar ini lebih baik dalam memecahkan masalah, mendorong inovasi, mengambil keputusan yang bijak, bahkan memprediksi masa depan.”

Si penulis memakai beragam hal, mulai dari budaya populer sampai ranah politik, untuk menyajikan satu pemikiran dasar: Sering terjadi, kebenaran ditentukan oleh suara terbanyak. Ini adalah suatu teori menarik, yang bisa saja diperdebatkan selama masa-masa pemilu atau pada saat kontestan favorit kita tersingkir dari suatu kontes di televisi.

Meski Alkitab menegaskan bahwa hikmat orang banyak belum tentu bisa diandalkan dan bahkan bisa saja membahayakan (Mat. 7:13-14), ada cara lain dimana hikmat bersama bisa juga bermanfaat. Di Amsal 11:14 tertulis, “Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada.” Salah satu keuntungan berada di dalam tubuh Kristus adalah kita bisa saling menolong—salah satunya adalah bekerja sama untuk mencari hikmat Allah. Dengan bergandengan tangan demi mencapai tujuan yang Allah kehendaki, kita memperoleh keyakinan dalam kebersamaan yang diberikan-Nya dan menerima hikmat-Nya yang memampukan kita dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. —WEC

Abadi, tak nampak, Yang Maha Esa,
Yang tak terhampiri terang takhta-Nya,
Yang dalam Putra-Nya telah dikenal,
Bagi-Nyalah hormat dan kuasa kekal. —Smith
(Pelengkap Kidung Jemaat, No. 1)

Cara terbaik untuk mencari hikmat Allah adalah dengan mencarinya bersama-sama.

Dari Mana Hikmat Berasal?

Kamis, 25 Juli 2013

Dari Mana Hikmat Berasal?

Baca: Yakobus 3:13-17

Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah. —Yakobus 1:5

Hikmat merupakan keindahan dari kekudusan. Yakobus berkata bahwa hikmat itu masuk akal, fleksibel, penuh pengampunan, pendamai, penuh perhatian, suka mengunjungi, bersikap sopan, dan ramah. Hikmat itu rendah hati, terbuka, sederhana, lembut, dan murah hati (Yak. 3:17).

Dari mana hikmat berasal? Hikmat berasal dari surga (1:5). Charles Spurgeon menulis, “Hikmat adalah keindahan hidup yang hanya bisa dihasilkan karya Allah dalam diri kita.”

Kita perlu berulang kali bertanya pada diri kita: “Apa saya bertumbuh dalam hikmat?” Lagipula, kehidupan kita berjalan dinamis dan mau tidak mau kita pasti berubah. Kita bisa bertumbuh semakin bijak dan baik setiap harinya atau kita menjadi semakin bodoh dan bebal. Ke arah mana kita bertumbuh?

Tak ada kata terlambat untuk mulai bertumbuh dalam hikmat. Allah begitu mengasihi kita dengan kasih yang kuat dan dahsyat—kasih yang bisa melepaskan kita dari kebodohan diri sendiri jika kita rela berserah kepada-Nya. Kasih-Nya bisa mengubah manusia dengan watak yang tersulit menjadi satu pribadi yang luar biasa indahnya. Mungkin perubahan itu agak menyakitkan dan butuh waktu. Namun Allah tak pernah berhenti mengusahakan perubahan kita. Ketika kita meminta kepada Allah, hikmat-Nya akan bertumbuh di dalam diri kita dan mengalir keluar dengan sendirinya kepada mereka di sekitar kita.

Janji ini yang kita pegang, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah,—yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit,—maka hal itu akan diberikan kepada-[mu]” (1:5). —DHR

Tuhan, tolong hapuskan kebodohan kami dan
arahkan hati kami pada hikmat yang hanya berasal
dari-Mu. Kini kami meminta-Mu untuk memakai dan
mengubah hidup kami menjadi serupa dengan-Mu.

Hikmat sejati berujung pangkal di dalam Allah.

Perkataan Yang Bijak

Senin, 3 Juni 2013

Perkataan Yang Bijak

Baca: Pengkhotbah 12:6-14

Kumpulan amsal dan nasihat, seperti paku yang tertancap kuat. Semua itu pemberian Allah juga, gembala kita yang satu-satunya. —Pengkhotbah 12:11 BIS

Kini saat saya berusia 60-an, saya mengenang kembali para pemimpin rohani saya yang bijak, yaitu mereka yang telah memberi dampak positif dalam hidup saya. Di sekolah Alkitab, Allah memakai seorang dosen pengajar Perjanjian Lama untuk membuat saya mengerti firman Tuhan. Seorang dosen bahasa Yunani tidak jemu-jemunya mendorong saya agar tekun mempelajari Perjanjian Baru. Gembala senior dalam pelayanan gerejawi pertama saya menolong saya dalam mengembangkan pelayanan penting yang mendorong pertumbuhan rohani jemaat. Para pemimpin ini telah menguatkan saya dengan cara mereka.

Raja Salomo dengan bijaksana menunjukkan beragam peran dari para pemimpin rohani yang dapat menolong kita bertumbuh: “Perkataan orang arif itu seperti tongkat tajam seorang gembala, tongkat yang dipakainya untuk melindungi dombanya. Kumpulan amsal dan nasihat, seperti paku yang tertancap kuat. Semua itu pemberian Allah juga, gembala kita yang satu-satunya” (Pkh. 12:11 BIS). Ada pemimpin yang mendorong kita; ada yang menopang kerohanian kita. Ada pula yang seperti gembala yang peduli, dengan hadir sebagai pendengar pada saat kita sedang terluka.

Allah, Sang Gembala yang Baik, menganugerahkan berbagai karunia kepada para pemimpin: karunia untuk memberi nasihat, mengembangkan dan menggembalakan. Baik sebagai seorang pemimpin atau seorang yang dipimpin, Dia menginginkan kita tetap rendah hati dan mengasihi sesama. Betapa istimewanya ketika kita dipimpin dan dipakai oleh Gembala kita untuk menguatkan orang lain dalam perjalanan hidup mereka bersama-Nya. —HDF

Beri kami hikmat-Mu, ya Tuhan, dalam usaha kami menguatkan
orang lain. Aku ingin hidup berkelimpahan yang telah
kutemukan di dalam Dia dapat tersebar
dan menjangkau orang-orang di sekelilingku.

Kiranya perkataan kita mencerminkan isi hati Tuhan dan hikmat-Nya.

Pengejaran

Selasa, 3 Januari 2012

Baca: Amsal 2:1-9

Jikalau engkau mencari [hikmat] seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta terpendam. —Amsal 2:4

Ketika suami saya, Carl, berusaha untuk mengenal saya ketika kami dalam masa pacaran, ia sangat serius melakukannya. Ia menelepon saya. Ia menulis surat. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penuh perhatian. Ia membelikan saya bunga, permen, buku, makan malam dan hadiah-hadiah lainnya. Ia menggunakan banyak waktu dan tenaga dalam usahanya untuk mengenal saya.

Jauh pada abad ke-10 SM, Salomo mendorong adanya suatu komitmen serius semacam itu untuk mengejar suatu hal yang lain, yaitu hikmat. Definisi hikmat menurut kamus, yakni “memahami apa yang benar, tepat, atau bernilai abadi”, terdengar sangat penting, jika kita menginginkan suatu hidup yang memuliakan Allah kita yang kudus.

Mungkin inilah alasan mengapa Salomo menggunakan begitu banyak kata kerja aktif dalam Amsal 2 untuk menjelaskan usahausaha yang perlu kita lakukan untuk memperoleh hikmat. Ia berkata supaya kita “memperhatikan hikmat,” “mencenderungkan hati,” “berseru,” “menujukan suara”, “mencarinya,” dan “mengejarnya” (ay.2-4).

Mencari hikmat memang membutuhkan usaha, dan Kitab Suci memberitahu di mana kita dapat menemukannya: “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.” Tuhan tidak menyimpan hikmat untuk diri-Nya sendiri;

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur” (ay.6-7). Carilah Tuhan dengan segenap hati Anda. Dialah sumber dari segala hikmat bagi hidup Anda. —AMC

Apa untungnya ketika hidup di bumi berakhir,
Meski banyak hikmat dunia kuraih,
Jika aku gagal mencari pengetahuan
Untuk memperoleh hikmat Allah?—Nelson

Anda dapat memperoleh banyak pengetahuan, tetapi hikmat sejati hanya berasal dari Tuhan.