Posts

5 Cara untuk Menjaga Diri Tetap Berakar di dalam Firman Tuhan

Menjaga firman Tuhan untuk terus berakar di dalam kita tidaklah cukup hanya dengan membacanya. Kita perlu pertolongan Roh Kudus ketika melakukannya. Namun tak cukup sampai situ, kita juga perlu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan membagikannya juga pada orang lain.

Kiranya cara-cara berikut dapat menolongmu untuk tetap bertumbuh dan berakar dalam firman Tuhan 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Berhadapan dengan Ekspektasi Orang Tua

Oleh Olivia E.H, Jakarta

Ketika kecil, aku suka menghibur diri dengan berbagai kisah mitologi Yunani di perpustakaan sekolah. Salah satu yang paling berkesan buatku adalah dongeng tentang Persephone dan Hades. Begini ceritanya: 

Persephone dikenal sebagai dewi musim semi, dia adalah putri dari Demeter, dewi pertanian. Dalam narasi mitologi paling mainstream dan klasik, dewa Hades selaku penguasa dunia bawah jatuh cinta pada kecantikan Persephone. Tanpa seizin Demeter, Hades menculik Persephone dan membawanya tinggal bersama di dunia bawah. 

Demeter sangat sedih dan marah karena kehilangan putrinya. Dia mencari Persephone ke seluruh dunia, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena kesedihannya, tanah-tanah menjadi tandus dan tak ada tumbuhan yang hidup. 

Melihat kesengsaraan yang timbul di bumi akibat kesedihan Demeter, akhirnya Hades mengizinkan Persephone kembali ke bumi selama setengah tahun yang melambangkan musim semi dan panen. 

Dongeng tentang Persephone di masa sekarang pun dimaknai ulang oleh beberapa seniman visual. Persephone tidak semata digambarkan sebagai damsel in distress alias korban pasif yang tiba-tiba saja diculik, tetapi dia dilihat sebagai sosok wanita yang berdaya dan bisa mengambil keputusannya sendiri. 

Dalam tafsiran para kreator modern, Demeter dianggap menaruh berbagai harapan dan idealismenya pada Persephone hingga sang putri pun muak dan memilih hidup di dunia bawah bersama Hades. Tapi, kok bisa ya? Bagaimana mungkin sosok dewi yang merepresentasikan musim semi bisa bahagia di antara orang mati?

Demeter yang berekspektasi tinggi berharap Persephone akan jadi “duplikat” dirinya. Ketika akhirnya Persephone hilang, Demeter sedih dan marah hingga nyaris membunuh satu bumi dengan tidak mau menumbuhkan apa pun.

***

Seru rasanya ya membahas cerita dongeng kuno. Tapi, di tulisan ini aku mau mengajakmu untuk melihat, memahami, dan bagaimana kita bisa menanggapi orang tua yang seringkali memaksakan ekspektasinya kepada anak-anak mereka. 

Aku lahir di keluarga yang bisa kukatakan banyak masalah. Suatu ketika saat aku SMP, aku akan pergi ke mall untuk jalan-jalan sekaligus photobox bareng teman sekelas. Rencana sudah matang dibuat, namun ketika aku akan berangkat, orang tuaku bertengkar di rumah. Di usia ketika aku mencari validasi diri, disuguhkan pemandangan keributan membuatku ingin cepat kabur. Kakakku yang tahu aku akan pergi main bersama teman, ikut mengomel: “Rumah lagi begini, kamu bisa jalan-jalan sama temen?! Batalin!” 

Kakakku yang usianya enam tahun di atasku punya harapan padaku untuk mengikuti jejak langkahnya menjadi “penjaga” keluarga. Padahal, aku lebih ingin menjadi “pengelana.” 

Di kesempatan berbeda, aku mulai belajar untuk mencernah ekspektasi-ekspektasi lain. Orang tuaku berharap aku jadi anak yang tidak menyusahkan, atau melipur kekecewaan mereka akan pernikahannya. Kakakku sering berkata betapa ia bahagia dengan kehadiranku sebagai adik, karena ia berharap mendapat teman setim untuk menghadapi orang tua. 

Seiring berjalannya waktu, ekspektasi bergulir. Ketika aku bekerja kantoran, orang tuaku menganggapnya tidak keren karena tidak jadi pengusaha. Ketika aku merintis usaha sendiri, dibanding-bandingkan terus hasilnya dengan gaji orang kantoran. Selain urusan kerja, orang tuaku juga menuntutku untuk rajin dan aktif di gereja yang harus sealiran dengannya. Bahkan urusan selera makan dan hobi olahraga pun aku dipaksa untuk sama seperti mereka.

Ekspektasi-ekspektasi yang menuntut itu mendorongku bertemu dengan konselor. Di satu sesi konselingku, dia berkata, “Kebahagiaan keluargamu bukan tanggung jawabmu. Kamu tahu itu, kan? Kebahagiaan sejati seseorang yang sudah dewasa seharusnya lahir dari dalam dirinya sendiri, bukan karena perbuatan atau sikap orang di luar dirinya, bahkan meskipun itu anak sendiri.”

Aku melihat sikap orang tuaku dalam mengasuh anak-anak mereka sebagai pola asuh yang tidak baik, atau mungkin bisa dikategorikan sebagai pola pengasuhan toksik. Dalam pola asuh ini, orang tua seringkali menggunakan kekuasaan, kontrol, dan manipulasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan. Mereka mungkin memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap anak, sehingga mengabaikan kebutuhan dan perasaan anak, serta seringkali memberikan hukuman fisik atau verbal yang tidak pantas.

Dalam pengasuhan toksik, orang tua seringkali tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka mungkin mengharapkan anak untuk selalu memenuhi harapan dan standar mereka, tanpa memperhatikan keunikan dan potensi anak itu sendiri. Akibatnya, seorang anak bisa merasa tidak berharga, tidak dihargai, dan kurang percaya diri. Bahkan perasaan negatif ini bisa bertahan hingga remaja dan dewasa.

Namun, bukan berarti orang tua tidak boleh berekspektasi terhadap anaknya. Memiliki ekspektasi atau harapan terhadap sosok yang kita kasihi adalah natur manusia yang wajar. Ekspektasi yang realistis dan sehat justru jadi bagian penting dalam perkembangan anak dan untuk mewujudkannya diperlukan cara-cara yang suportif. 

Literatur Kristen melalui Alkitab memberiku role model ibu-anak yang lebih positif dan empowering, bahkan meskipun tanpa ikatan darah. Dua tokoh ini tidaklah asing buat kita, mereka adalah Rut dan Naomi. 

Rut adalah menantu Naomi. Setelah kematian suami dan anak-anak Naomi, Rut memilih tetap setia pada ibu mertuanya dan menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tulus dari ibu mertualah yang membuat Rut bertahan. Berdua, mereka pergi bersama menuju petualangan terbesar dalam hidup. 

Di kitab Rut pasal 1 ayat 16-17, Rut berkata kepada Naomi: “Jangan desak aku untuk meninggalkan engkau dan untuk berbalik dari padamu; sebab ke mana engkau pergi, ke situ aku akan pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ aku akan bermalam. Bangsamu adalah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku. Di mana engkau mati, di situ aku akan mati dan di situ aku akan dikuburkan. Demikianlah TUHAN kiranya berbuat kepadaku, dan demikianlah ditambahnya, jikalau bukan hanya maut yang memisahkan aku dan engkau.”

Loyalitas, rasa hormat, dan kasih sayang Rut terhadap Naomi, merupakan teladan yang baik untuk relasi antara ibu dan anak. Hubungan mereka mencerminkan kehangatan, kasih sayang, dan komitmen yang ada dalam relasi ibu dan anak secara natural, tanpa paksaan. Naomi berekspektasi Rut akan meninggalkannya saja dan memulai hidup baru. Rut ternyata berekspektasi untuk ikut Naomi mudik. Naomi pun mau mengubah rancangan hidupnya dengan menyertakan Rut di dalamnya.

Dalam zaman sekarang, kita sering kali melihat kepahitan dalam relasi, terutama antara mertua dan menantu. Namun, kisah Rut dan Naomi mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memiliki hubungan yang penuh kasih dan saling menghormati, meski ada saling ekspektasi di dalamnya.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa relasi keluarga adalah tentang saling mendukung dan mengasihi, meski satu sama lain punya ekspektasi yang berbeda. Dengan saling menghormati ekspektasi satu sama lain, kita dapat membangun hubungan yang kuat dan manis seperti Rut dan Naomi.

***

Tapi tapi tapi… Demeter & Persephone ‘kan mitologi Yunani kuno, dan Rut & Naomi adalah kisah sejarah Yahudi ribuan tahun lalu! Apa kabar dong buatku yang masih sering keselek karena sulit menelan ekspektasi orang tua hari ini?

We have to give agency to ourselves. 

Frase “giving agency to ourselves” berarti memberikan kekuatan atau otoritas kepada diri kita sendiri. Dalam konteks psikologi, ini berarti bahwa kita mengakui dan menggunakan kekuatan kita sendiri untuk membuat keputusan, menentukan pilihan, dan mengendalikan arah hidup secara mandiri. Jadi, memberikan agency kepada diri kita sendiri berarti mengambil alih kendali atas hidup kita dan bertindak sesuai dengan keinginan, tujuan, dan nilai-nilai kita.

Namun, meskipun kita punya pilihan bebas untuk menentukan hidup kita sendiri, ingatlah bahwa identitas kita yang sejati ada di dalam Kristus. Dialah yang telah menebus kita dari dosa-dosa, sehingga ketika dunia mengatakan dan mendorong kita untuk menjadi diri sendiri sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan hati kita, meminjam kutipan dari Gregg Morse, kita bisa tanamkan pemahaman ini: 

Don’t just be yourself. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create. 

Jangan sekadar jadi dirimu sendiri, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya. 

Identitas kita di dalam Kristus memampukan kita menjadi anak-anak yang bijaksana, yang ketika menyuarakan isi hati kita tetap bertindak menghormati orang tua sebagai sosok yang mengasihi kita. Pengasuhan toksik yang mungkin kita alami bisa jadi adalah buah dari buruknya pengasuhan generasi di atas orang tua kita. Bagi kita yang telah mengenal firman dan juga diberkati dengan zaman di mana ilmu parenting dengan mudahnya tersedia, kelak saat kita menjadi orang tua, kita dapat belajar banyak untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti generasi di atas kita. 

Jadi, ketika keluarga menyodorkan ekspektasi pada kita, tak perlu seketika emosi atau marah-marah. Sodorkan balik ekspektasi kita untuk mereka, lalu jalanin proses saling berinteraksi dengan sehat. Dan, yang tampak klise tetapi penting adalah doakan orang tua kita. Bukan semata-mata agar mereka berubah, tetapi agar baik kita dan mereka dikaruniakan hikmat dan kebijaksanaan untuk menimbang apa yang paling baik, untuk tetap mengutamakan kasih sebagai pengikat relasi. Jika ekspektasi itu berlandaskan kasih dan kita pun mengasihi mereka, pastilah akan ada solusi untuk menemukan jalan tengahnya.

Selamat menimbang dan mengunyah ekspektasi dari orang tua yang masuk sehari-hari dengan lebih berhikmat!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Ayat yang Terasa Hebat dan Menginspirasi… Sebenarnya Berarti Lain

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Great, Comforting Verse… Actually Meant Something Else

Di negaraku ada kebijakan wajib militer bagi setiap pemuda pada rentang usia tertentu. Dan, di sinilah kisahku dimulai, ketika aku meninggalkan rutinitas biasaku untuk mengabdi sebagai wajib militer. 

Di minggu-minggu pertama pelatihan militer dasar, setiap malam saking lelahnya aku akan langsung terlelap dalam hitungan menit. Aku hampir tidak bisa membaca satu atau dua ayat singkat dari Alkitab kecil yang kubawa, ataupun sekadar berdoa singkat (salah satunya supaya wamil ini cepat berlalu!). 

Suatu malam, ketika aku secara acak saja membuka Alkitab, aku menemukan Roma 8:18. Ayat ini membuatku menangis sembari juga memberi penghiburan yang sungguh aku butuhkan. “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Wow! Pikirku saat itu, pengalaman mengerikanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Tuhan sediakan buatku. 

Bisa kukatakan, ayat itu masih menjadi salah satu ayat favoritku dalam Alkitab. Siapa yang tidak ingin diingatkan bahwa tidak peduli seberapa susahnya penderitaan kita saat ini, ada sesuatu yang jauh lebih baik dan menyenangkan yang sedang menanti kita?

Tapi… mungkin rasul Paulus tidak memikirkan ‘penderitaan’ seorang remaja yang secara fisik tidaklah sehat namun terus ‘dipaksa’ hingga menjadi bugar.

Kalau kamu membaca bagian selanjutnya dari Roma 8, kamu akan melihat bahwa pergumulan utama yang dihadapi oleh orang-orang Kristen di Roma adalah dampak dosa dalam kehidupan mereka. Mereka berjuang untuk menjalani hidup kudus dalam menghadapi pencobaan dan kelemahan rohani mereka, atau penderitaan yang diakibatkan dari cara hidup orang lain yang berdosa. Penderitaan mereka adalah karena iman mereka kepada Kristus. 

Mereka tidak menderita karena mereka menjalani gaya hidup yang nyaman, malas-malasan, atau karena tuntutan wajib militer di mana mereka harus melakukan push-up 8 kali, berlari sejauh 2,4km dalam waktu kurang dari 10 menit… atau berjalan lurus tanpa tersandung kaki sendiri.  

Namun demikian, aku tidak dapat menyangkal bahwa Roma 8:18 masih berbicara kepadaku dan menguatkanku hingga saat ini, meskipun pada awalnya aku memahaminya sedikit di luar konteks. Hal ini terkadang membuatku bertanya-tanya: Bukannya harusnya aku tidak mendapat penghiburan atau kekuatan di ayat ini atau ayat lain kalau aku memang tidak paham konteksnya, ya? 

Memahami Alkitab dengan benar

Sepertinya sudah menjadi hal yang biasa untuk mengatakan bahwa kita perlu menafsirkan, memahami, dan mengaplikasikan Firman Tuhan dengan benar, yaitu sesuai konteksnya. Namun, Alkitab sering kali dikutip secara salah lebih banyak dari yang kamu bayangkan. Coba cari di Google “Ayat-ayat Alkitab yang sering salah kutip” dan kamu mungkin akan terkejut dengan apa yang kamu lihat.

Sebagai contoh, Roma 8:28 – “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” – sering kali digunakan untuk menghibur seseorang yang tampaknya mengalami kesulitan, atau yang sedang mengalami masalah besar dalam hidupnya. “Jangan khawatir,” ayat ini seolah-olah mengatakan, “Tuhan akan membawa kebaikan dari situasi ini.”

Tetapi ayat ini sebenarnya dikatakan dalam konteks hidup oleh Roh. Paulus berbicara tentang kita yang sedang belajar untuk menjadi serupa dengan Yesus, dan perubahan inilah yang sedang Allah kerjakan untuk “kebaikan” kita.

Ada beberapa jebakan yang jelas terlihat ketika kita salah memahami ayat-ayat tertentu atau membacanya di luar konteks.

Misalnya, jika kita melihat Roma 8:28 sebagai janji bahwa Allah akan menyelamatkan kita dari situasi yang buruk atau mengubahnya menjadi situasi yang baik, kita mungkin akan kecewa jika Dia tidak melakukannya. Lebih buruk lagi, kita bahkan mungkin marah atau kecewa kepada-Nya, karena berpikir bahwa Dia tidak memenuhi apa yang kita harapkan.

Yeremia 29:11 mungkin memberi kita harapan (palsu) yang sama, jika kita melihatnya sebagai janji yang ditujukan untuk semua pengikut Tuhan. Kita mungkin melewatkan fakta bahwa ini adalah janji yang diberikan secara khusus kepada bangsa Israel (yang saat itu masih menderita di pengasingan karena ketidaktaatan mereka), dan mulai menyalahkan Tuhan jika hidup tidak berjalan dengan baik.

Jadi… apakah ini berarti aku tidak boleh berpegang pada ingatan tentang bagaimana Tuhan menghiburku melalui Roma 8:18?

Atau lebih buruk lagi, apakah ini berarti bahwa aku telah salah mendengar Tuhan, dan Dia sebenarnya tidak menghibur aku?

Jawabannya, aku percaya, tidak.

Firman Tuhan, Firman yang Hidup

Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Firman Tuhan itu mutlak dan lengkap. Yesus sendiri mengatakan bahwa “satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Matius 5:18).

Pada saat yang sama, tidak seperti buku-buku lainnya, Firman Tuhan adalah firman yang hidup. Firman Allah bukanlah sekadar kata-kata yang dicetak di atas kertas (atau diterbitkan secara digital). Seperti yang dikatakan dalam Ibrani 4:12: “Firman Allah hidup dan kuat.”

Sebagai contoh, kita semua dipanggil untuk melayani Tuhan dan memberitakan Injil—itu adalah bagian yang mutlak. Namun, seseorang mungkin menerima dorongan khusus untuk berbicara kepada orang tertentu tentang Allah pada saat tertentu—membuktikan bahwa Firman-Nya yang hidup dapat menyentuh dan menginspirasi kita secara berbeda pada waktu yang berbeda, dalam situasi yang berbeda.

Kamu mungkin pernah memiliki pengalaman ketika ayat yang sama menyentuh atau menginspirasimu secara berbeda pada waktu yang berbeda. Aku pernah mencoret atau menstabilo ayat-ayat di Alkitabku ketika ayat itu menyentuh hatiku, tapi bertahun-tahun setelahnya ketika aku melihat hasil coretan itu aku malah bertanya, “Kok ayat ini kayaknya perlu aku stabiloin lagi ya?” 

Karena Allah berhubungan dengan kita masing-masing secara unik dan berbeda, apakah Dia akan mengizinkan kebenaran Alkitab menyentuh kita dengan cara yang berbeda dari pembacaan atau penafsiran yang biasa? Aku percaya demikian. Mungkinkah Dia menggunakan sebuah ayat untuk menghibur, menguatkan, atau menginspirasi kita, bahkan jika ayat tersebut sedikit menyimpang dari konteks aslinya? Aku juga percaya demikian.

Kebutuhan akan kebijaksanaan dan kepekaan untuk membedakan

Tidak diragukan lagi, ada risiko ketika kita memegang pemahaman ini. Itulah sebabnya beberapa orang Kristen percaya bahwa kita semua harus mengaplikasikan ayat-ayat dalam konteks yang sebenarnya. Mereka waspada terhadap gagasan bahwa Tuhan memberi kita petunjuk khusus melalui ayat tertentu, karena hal itu dapat membuat kita menyimpulkan hal-hal seperti, “Oh, Tuhan baru saja menyuruhku berganti pekerjaan, karena petunjuk dari ayat Alkitab ini,” padahal belum tentu demikian.

Dan itulah sebabnya, aku percaya, kita perlu berhati-hati ketika mengaplikasikan Alkitab pada situasi tertentu yang kita hadapi. Ketajaman atau kebijaksanaan dalam memahami suatu ayat membutuhkan hikmat ilahi dan pemahaman akan prinsip-prinsip yang menjadi inti dari dorongan Roh Kudus. Yang penting, kita harus ingat bahwa Firman Allah tidak akan pernah bertentangan dengan diri-Nya sendiri—Allah tidak akan membingungkan kita melalui Firman-Nya sendiri.

Kita juga perlu berhati-hati ketika membagikan pengalaman pribadi kita tentang Alkitab dan tentang Allah yang berbicara secara pribadi kepada kita, baik di media sosial maupun secara langsung. “Beginilah ayat X berbicara kepada aku pada saat ini” tidak selalu bisa diterjemahkan sebagai “Inilah arti ayat X bagi kita semua.”

Seorang teman yang dewasa secara rohani akan memahami pentingnya bagaimana Roh Kudus mendorong kita melalui ayat tertentu atau memberi kita wawasan pribadi tentang kebenaran tertentu. Namun, seseorang yang kurang dewasa, mungkin percaya bahwa inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut, dan menerapkannya pada dirinya sendiri.

Menjaga keseimbangan

Kamu mungkin berpikir, “Ngapain sih yang kayak begini dipusingin banget?” Apakah kita harus menanggapi segala sesuatu dengan sangat serius, sehingga kita perlu kroscek berkali-kali bahkan ketika kita dalam situasi santai membagikan ayat Alkitab kepada teman yang membutuhkan?

Tentu saja, kita dapat mengambil tindakan yang lebay, dan lupa bahwa Firman Tuhan adalah firman yang hidup yang dapat menyentuh hati dan kehidupan dengan cara yang tidak dapat kita bayangkan.

Namun, mungkin kita dapat memohon hikmat Ilahi sebelum memahami suatu ayat, dan setidaknya berhenti sejenak sebelum menekan tombol “kirim” atau “posting” untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah ini yang sebenarnya dikatakan Alkitab kepada semua pembaca? Atau hanya buat aku? 

Bagaimanapun juga, sama seperti kita ingin teman-teman kita merasa terhibur dan terinspirasi, kita juga ingin teman-teman kita mendapatkan pengenalan yang lebih dalam akan Allah dan Firman-Nya.

Jadi, mengapa tidak membagikan sebuah ayat yang dapat mereka pegang dan ambil hikmahnya, bukan hanya untuk saat itu saja, tetapi juga untuk seumur hidup mereka?

Mengapa tidak menolong mereka untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Firman Tuhan, sehingga mereka dapat melihat Alkitab sebagai sumber kebenaran yang kekal dan luar biasa, dan bukan hanya sebagai kata-kata motivasi?

Bagaimana dengan ayat-ayat penghiburan dan motivasi yang telah kamu soroti dalam Alkitabmu atau kamu tuliskan dalam jurnal?

Jika kamu merasa terhibur atau dikuatkan oleh ayat-ayat tersebut, maka aku percaya bahwa Allah memang memaksudkan ayat-ayat itu untukmu. Namun, saat kamu membacanya lagi dengan perspektif yang baru, kamu harus tetap mengingat konteks aslinya, dan mempertimbangkan gambaran yang lebih besar yang diungkapkan Firman Tuhan kepada kita. (Dan pikirkanlah dengan matang apakah akan meneruskannya kepada teman atau tidak).

Dan itulah mengapa aku menyimpan Roma 8:18 untuk diriku sendiri selama bertahun-tahun, sampai sekarang. Aku tahu untuk apa Paulus memaksudkannya ketika dia menulisnya, tetapi untuk makna khususnya, aku tahu itu untukku.

Beberapa hal yang dapat kamu lakukan

Tidak yakin bagaimana atau di mana harus mulai memeriksa konteks ayat favoritmu? Cobalah tafsiran-tafsiran dan sumber-sumber Alkitab online ini. Ini tidak lengkap, tetapi kamu bisa mendapatkan gambarannya.(Versi yang lebih komprehensif umumnya tersedia dalam bahasa Inggris). 

https://www.studylight.org/commentary.html

www.gotquestions.org

Kamu juga dapat membaca berbagai versi dari ayat yang sama, untuk membantumu mengumpulkan gagasan yang lebih komprehensif tentang apa yang mungkin dimaksud oleh suatu ayat.

Meskipun Alkitab memberikan kita ayat-ayat motivasi, sejatinya Alkitab lebih dari itu. Alkitab adalah sebuah kisah pengharapan yang kekal, yang diceritakan melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Juruselamat yang ingin memberi kita penghiburan, kekuatan, dan pengharapan yang sejati—bukan hanya dalam keputusan atau situasi tertentu, tetapi juga dalam kehidupan yang akan datang.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Buatlah Pilihan untuk Melakukan Perkara Surgawi

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Jika kamu pernah mengemudi sebuah motor, apalagi dengan kecepatan yang cukup tinggi, kamu tentu tahu bahwa hanya dengan satu kesalahan pilihan saja, sesuatu yang fatal dapat segera terjadi.

Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan yang kita ambil selalu memiliki konsekuensi yang harus kita tanggung.

Makanan apa yang kita makan? Pakaian seperti apa yang kita kenakan? Bagaimana cara kita tidur? Jika keputusan yang kita pilih terhadap hal-hal yang terlihat kecil seperti itu saja mengandung sebuah risiko yang serius jika diabaikan. Bagaimana dengan pilihanmu terkait sebuah profesi yang menantimu di masa depan?

Kita hidup dalam budaya yang cenderung mengagung-agungkan apa yang terlihat oleh mata dan mengabaikan apa yang ada di baliknya. Itu sebabnya di negara kita—jika tidak selalu—mungkin banyak kita temui orang tua yang lebih menginginkan anaknya bekerja untuk sebuah instansi yang “mewajibkan” pekerjanya menggunakan pakaian rapi. Mereka ingin anaknya terlihat “terhormat” dalam pandangan masyarakat umum.

Aku punya seorang teman yang dianggap remeh oleh orang lain termasuk beberapa keluarganya karena ia adalah seorang peternak yang selalu tampil kotor dengan pakaian khas ala gembala. Ejekan demi ejekan ia terima dari mereka yang tidak sadar bahwa temanku itu punya penghasilan pribadi yang berkali-kali lipat dari para pekerja berdasi yang aroma bajunya wangi. Tapi, aku juga punya banyak teman—baik pria maupun wanita—yang senang sekali menjalin hubungan serius dengan orang-orang berparas menawan tanpa menyelidiki karakternya. Mereka lupa bahwa kecantikan bukan melulu soal wajah dan tubuh.

Aku sama sekali tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan jenis pekerjaan orang dan mencari-cari kelemahannya. Aku juga tidak bermaksud untuk menjadi hakim atas baik buruknya sebuah selera akan pasangan hidup. Aku hanya sedang memastikan kita benar-benar menyadari bahwa kita sedang “menari” di dalam dunia yang menomorduakan atau bahkan menutup mata terhadap sesuatu yang “tak nampak”. Inilah yang membuat begitu banyak tipuan, yang mungkin kelak akan berujung pada penyesalan.

Di dalam mengambil sebuah pilihan, apa pun itu, ingatlah bahwa semuanya memiliki dampak yang signifikan dalam hidup kita, cepat atau lambat. Itu sebabnya sebagai seorang anak Tuhan berhati-hatilah dalam memilih.

Perhatikanlah apa motivasimu memilih sesuatu dan caramu menjalaninya. Rasul Paulus mengatakan, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kolose 3:1). Di sini Paulus sedang mengingatkan kepada jemaat Kolose untuk menyadari identitas mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah dibangkitkan bersama Kristus. Dengan kata lain, mereka adalah warga kerajaan surga yang harus mencari perkara-perkara surgawi. Setiap pilihan dan keputusan yang mereka ambil serta setiap tindakan yang mereka jalankan harus sejalan dengan Kristus yang telah memberikan keselamatan dan status baru kepada mereka, yaitu anak-anak Allah. Demikian jugalah kita yang percaya kepada-Nya.

Sebagai orang-orang yang telah dibayar dengan darah Kristus, apa saja yang akan kita pilih dan bagaimana kita menjalaninya nanti, kita sama sekali tidak boleh melupakan tujuan dan cara kita adalah memuliakan Allah.

Jangan khawatir hanya pada apa yang terlihat oleh mata, karena dalam pengertian tertentu tidak ada yang “sekuler” dalam kekristenan. Jangan berpikir bahwa dengan menjadi seorang pengkhotbah, pemimpin pujian, ketua pemuda, dan semacamnya adalah sesuatu yang disebut “perkara di atas” atau “perkara surgawi” sedangkan menjadi seorang penjual kue, pilot, buruh bangunan dan sebagainya merupakan apa yang disebut “perkara di bumi” atau “perkara duniawi”.

Seperti yang telah aku singgung pada bagian awal, itu adalah pemikiran keliru yang tidak komprehensif. Fakta sedihnya ada beberapa orang yang berkhotbah dan memimpin pujian supaya dipuji-puji orang. Tetapi ada banyak sekali pula orang-orang yang mau menjual kue, menjadi pilot, bahkan buruh bangunan untuk melayani orang lain. Yang manakah perkara di atas dan yang manakah perkara di bumi? Sangat mudah ditebak bukan?

Beratus-ratus tahun sebelum Yesus dilahirkan di Betlehem, Ezra, Nehemia dan bangsa Israel diizinkan pulang ke tanah mereka setelah diangkut oleh bangsa Babilonia. Ketika mereka tiba di kampung halaman mereka, dibangunlah tembok Bait Allah oleh pimpinan Nehemia sang “insinyur”. Ezra sang imam mengajarkan kembali Taurat yang mungkin telah banyak dilupakan oleh bangsa ini semasa di pembuangan.

Di antara keduanya (Ezra dan Nehemia), siapa yang sedang melakukan perkara surgawi?

Apakah hanya Ezra karena ia yang mengajarkan Taurat? Apakah tembok Bait Allah yang dibangun oleh Nehemia bukan untuk kemuliaan Allah? Tentu tidak! Mereka berdua sedang melakukan perkara surgawi karena mereka memilih mengerjakan sesuatu sesuai dengan keahlian dan keterampilan mereka agar nama Tuhan dimuliakan. Allah memberikan keterampilan dan bakat yang berbeda-beda kepada setiap kita agar supaya kita saling melengkapi satu sama lain.

Coba bayangkan jika semua orang Israel yang pulang dari pembuangan hanya sibuk membangun Bait Allah dan temboknya. Taurat akan diabaikan. Sebaliknya, coba bayangkan jika Ezra dan Nehemia bersama mengajarkan Taurat dan membiarkan Bait Allah dan temboknya tidak dibangun.

Dalam konteks kita saat ini, aku sungguh tidak dapat membayangkan apabila semua orang (Kristen) menjadi pendeta, entah siapa yang akan membantu persalinan ibu hamil? Kita perlu orang Kristen yang mau menjadi bidan untuk kemuliaan Tuhan! Kita perlu dokter yang mau melayani Allah dan sesamanya! Dunia ini butuh orang-orang yang mau hidup dan mati bagi Kristus.

Jadi jika kamu mau memilih segala sesuatu untuk masa depanmu, entah itu pendidikanmu, pekerjaaanmu, pasangan hidupmu, terlebih dahulu engkau harus bertanya, “Apakah pilihan ini dapat menjadi perkara di atas bagiku? Apakah aku melakukannya untuk Kristus?”

Jangan lupa meminta nasihat dari orang-orang yang hidup dalam Tuhan.

Baca Juga:

Tuhan Lebih Tahu Sedalam-dalamnya Kita

Memilih berjalan bersama Tuhan dan mengikuti semua kehendak-Nya adalah pilihan yang harus kita ambil. Kadang kita tidak tahu apa rencana Tuhan atas hidup kita, padahal sebenarnya yang lebih tahu sedalam-dalamnya hidup kita adalah Tuhan, bukan diri kita sendiri.

Penderitaan yang Membingungkan dan Yesus yang Kukenal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang telah berteman akrab dengan penderitaan. Ketika dosa masuk ke dalam dunia ini, dimulailah konsekuensi yang saat ini kita tanggung. Ada derai air mata kepedihan, jerit kesakitan, dan berbagai luka kehancuran.

Ketika persoalan hidup seolah lebih banyak dari pasir di laut, kita masih bisa bersyukur karena firman Tuhan terus tersedia, menjadi pegangan yang kokoh dan tak tergoyahkan. Tetapi, jika kita harus bersikap jujur, bukankah kita tetap dibingungkan oleh pertanyaan hidup seputar penderitaan? Di satu sisi kita tahu Allah itu baik, tetapi di satu sisi yang lain, bertumpuklah pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di pikiran dan mungkin pula menggores hati.

Mengapa Allah yang baik mengizinkan penderitaan terjadi pada kita semua? Itulah inti semua pertanyaan kita.

Suatu kali seorang teman yang kukasihi datang kepadaku dan bercerita tentang kehidupannya yang berat. Dia dan keluarganya telah melayani Tuhan cukup lama. Di suatu malam yang disertai guyuran hujan, dia dengan nada pelan dan gaya bicaranya yang lembut mengisahkan bagaimana dia dan keluarganya harus melewati masa sulit terkait kehidupan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Temanku itu seorang yang suka menolong. Sudah banyak orang yang menerima kebaikannya. Tetapi, suatu kali dia dirugikan oleh seorang yang telah dianggapnya sebagai keluarga. Akibatnya, mereka bergumul untuk biaya hidup sehari-hari. Kondisi keuangan yang berada pada titik nadir membuat kebutuhan dasar keluarganya susah dibeli. Aku berusaha tidak ikut menangis ketika mendengarkan cerita pilunya.

Sejujurnya aku kaget dengan keputusannya menceritakan sebuah hal yang benar-benar sangat pribadi itu. Tetapi aku memahami perasaannya. Dia tak mampu menanggungnya sendiri. Sebagai seorang pria yang merasa gagal bertanggungjawab atas istri yang dicintainya, dia membutuhkan tempat berkeluh kesah. Setelah percakapan emosional itu, dalam kebingungan aku bertanya, “Di manakah Engkau Tuhan? Mengapa Engkau mengizinkan mereka yang mengasihi-Mu mengalami penderitaan-penderitaan seberat ini?”

Pemahaman kita tentang kebaikan Allah

Sebagai orang percaya kita berkali-kali diajarkan tentang kebaikan Allah. Aku rasa pemahaman itu telah lama masuk dalam daftar utama pengetahuan kita. Bahkan mungkin sejak kita berada di sekolah Minggu, inilah yang paling sering disampaikan oleh para pengajar. Tetapi, mengapa Allah yang baik itu mengizinkan penderitaan, bahkan yang sangat berat, terjadi kepada kita anak-anak-Nya? Betapa hancurnya kehilangan seorang yang dicintai, divonis penyakit mematikan, melihat orang tersayang terkapar tak berdaya, dan dikhianati orang yang dipercaya. Semua itu benar-benar menyesakkan dada, juga menimbulkan jutaan pertanyaan membingungkan yang tak mungkin diabaikan begitu saja. Kita menantikan jawaban atasnya.

Tetapi sebelum masuk dan membahas masalah ini lebih jauh, aku berharap kita bersepakat dan mengakui satu hal terlebih dahulu. Meskipun tidak pada semua kasus, faktanya ada juga banyak penderitaan yang terjadi pada kita karena kecerobohan dan kelalaian kita sendiri. Dalam keadaan seperti ini kita harus dengan rendah hati mengakui kesalahan kita di hadapan Allah dan meminta-Nya agar menolong kita berubah menjadi lebih baik. Maafkan aku untuk memberikan contoh ini, namun kita yang tidak suka menjaga kesehatan dan yang senang berkendara dengan ugal-ugalan, lalu mendapat akibat buruk, tidak layak mempersalahkan orang lain, termasuk Allah. Karena sering kali kita yang menancapkan banyak pedang di hati Allah lalu menuduh-Nya jahat padahal hati kita tergores oleh pisau kecil yang kita pegang sendiri.

Tetapi bagaimana jika kasusnya lain? Bagaimana jika kita telah berusaha hidup benar tetapi masih tetap dihantam oleh gelombang penderitaan? Apakah itu adil? Jika kanker menyerang tubuh seorang seperti Adolf Hitler yang telah merenggut lebih dari sepuluh juta nyawa manusia demi ambisinya yang jahat, aku rasa banyak dari kita yang tidak akan merasa heran. Menanggapinya, mungkin kita dengan ketus akan berkata, “itu sebuah karma”.

Untuk membantu kita mendalami persoalan yang tidak mudah ini, sebenarnya kita bisa melihat ada begitu berlimpah tokoh hebat dalam Alkitab yang hidupnya dipenuhi dengan penderitaan. Dari kisah dan kesaksian mereka semua kita bisa melihat cara kerja dan karakter Allah. Karena aku yakin kehidupan mereka masing-masing akan membawa kita pada kesimpulan yang sama. Salah satunya Ayub. Dia bukan orang jahat. Kitab Ayub memberikan keterangan tentangnya membuat kita kagum. Ayub adalah orang saleh. Tetapi dia mengalami penderitaan hebat.

Namun dalam tulisan ini, aku tidak akan mengajak kita semua untuk membedah kisah Ayub atau tokoh lain dalam kitab Perjanjian Lama. Aku hanya akan membawa kita untuk secara khusus mengarahkan lampu sorot kepada kehidupan seorang rasul bernama Paulus dengan melihat sedikit perkataan dalam sebuah suratnya, kemudian mengaitkannya dengan sebuah peristiwa sejarah yang paling penting yang telah mengubah peradaban dunia, yaitu salib Yesus Kristus.

Dalam suratnya kepada Timotius yang merupakan seorang anak rohani yang dikasihinya, Paulus memberikan dorongan dan penghiburan yang memang sangat dibutuhkan di masa-masa sulit itu. Pada saat itu, menjadi orang Kristen sama saja dengan membawa diri pada bahaya-bahaya yang serius. Paulus bahkan sudah lebih dulu mengalaminya. Mengetahui bahwa sang murid juga nantinya akan menghadapi semuanya itu, Paulus tidak tinggal diam. Dia mengirimkan surat keduanya untuk Timotius. Demikian penggalan tulisannya:

“Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Timotius 1:12).

Seperti yang kita tahu, Paulus adalah seorang yang sangat akrab dengan penderitaan. Semenjak dia “ditangkap” oleh Tuhan dalam perjalanan ke Damsyik dan memutuskan untuk melayani-Nya, dia mulai berteman dekat dengan kepedihan. Dia kelaparan, kedinginan, dianiaya, dan dipenjarakan karena Kristus. Sampai di sini, aku yakin—sama seperti kita dan para tokoh Alkitab lainnya—Paulus karena keterbatasannya mungkin tidak dapat memahami secara utuh maksud dan rencana Tuhan. Namun dalam suratnya itu, dia berkata bahwa dia tahu kepada siapa dia percaya.

Mari perhatikan dengan cermat perkataannya. Ketika ia berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”, dia sedang menegaskan pengenalannya akan sosok yang dia sebutkan, yaitu Yesus Kristus.

Mengapa hal ini menjadi penting? Karena poin inilah yang dapat membawa kita pada kelegaan.

Seperti yang telah sedikit aku singgung sebelumnya, dalam kehidupan kita seringkali pertanyaan-pertanyaan yang sulit muncul dan membelenggu kita. Kita tak bisa memahami rencana Allah dalam hidup kita secara utuh dan jelas. Ada banyak hal yang tersembunyi, dan keterbatasan kita seakan membuat kita tak berdaya hingga menjadi berpasrah diri dengan wajah lesu dan kecewa. Tetapi, beruntunglah kita karena pengenalan yang benar akan Yesus Kristus yang akan memberikan pijakan yang tak dapat menggoyahkan kaki kita. Inilah yang Paulus ingin agar kita lakukan, yakni mengenal siapa yang kita percayai. Walaupun mengetahui atau mengenal siapa yang kita percaya tidak lantas melenyapkan deretan pertanyaan membingungkan yang ada di kepala kita, namun itu akan menentukan cara kita melihat sesuatu dengan lebih baik.

Biarkan sebuah cerita pendek ini membantu menjelaskan hal ini.

Ada sebuah pasangan suami istri yang memiliki seorang bayi kecil yang cantik. Di suatu pagi sang istri mendapatkan tugas untuk membeli makanan bagi bayi mereka dan sang suami mendapat tugas untuk menjaga bayi itu di rumah. Tetapi setelah berjam-jam meninggalkan rumah, si istri tak kunjung kembali. Bayi kecil yang mulai menangis kelaparan mulai membuat sang ayah menjadi cemas, khawatir, dan marah. Dia khawatir dengan bayinya yang kelaparan itu. Dia marah dengan istri yang tak tahu ada di mana. Dia cemas dan menimbun banyak pertanyaan di kepalanya. Dengan wajah kesal dia mulai bergumam, “di mana wanita ini?”

Meskipun ada begitu banyak dugaan, dia tidak dapat memastikan keberadaan istrinya saat itu. Dia benar-benar tidak tahu. Tetapi teringatlah dia pada satu hal. Dia tahu siapa istrinya. Dia kenal siapa istrinya. Istrinya adalah seorang yang telah “meninggalkan” keluarganya demi menikah dengannya dan merawat dia dengan kasih sayang. Istrinya adalah seorang yang telah mempertaruhkan nyawanya pada saat melahirkan bayi mereka itu. Berkali-kali dia melihat istrinya memaksakan diri, melawan kantuk, untuk bangun di tengah malam, menggantikan popok, membuatkan susu, dan menyanyikan lagu dengan suaranya yang jelek itu demi menidurkan bayi yang dikasihi itu. Semuanya dilakukan dengan ketulusan dan tanpa keluhan, bahkan di saat istrinya sedang sakit. Sang suami tahu persis, istrinya mencintai bayi itu, bahkan melebihi nyawanya sendiri.

Tetapi kembali terbesit pertanyaan menjengkelkan itu. “Mengapa istriku belum kembali?” Dia tidak tahu! Tetapi ada satu hal yang dia tahu. Dia tahu dan mengenal baik siapa istrinya. Untuk semua yang pernah istrinya lakukan bagi bayi mereka, untuk segala kesetiaan dan pengorbanan yang tak kecil, dia yakin tak mungkin istrinya mau mencelakakan bayi itu. Lalu mengapa istrinya belum kembali? Ada di mana dia?” Jawabannya adalah “Tidak tahu!” Tetapi sekali lagi ada suara dari lubuk hati paling dalam yang berbisik dalam batinnya, “Untuk semua yang telah istriku lakukan bagi aku dan anakku, aku tahu siapa istriku! Aku tahu dia punya alasan.” Tetapi apa alasannya? “Aku tidak tahu! Tapi aku tahu dan aku kenal siapa dia.”

Sama seperti sang suami yang tidak mengetahui dengan pasti keberadaan istrinya, kita juga mungkin tidak memahami bagaimana cara Allah bekerja. Kita tidak mengerti mengapa Dia mengizinkan kita mengalami luka yang sedemikian menyakitkan. Kita benar-benar tidak tahu. Kita dibingungkan dengan sederet pertanyaan “mengapa”. Mengapa ini, mengapa itu, mengapa aku begini, mengapa terjadi begitu? Mengapa orang lain yang mendapatkannya padahal aku yang telah melakukan lebih baik? Mengapa bukan orang jahat itu yang menanggung semua beban ini? Begitulah keadaannya. Tetapi jika satu dari pertanyaan sulit itu dijawab, muncul lagi pertanyaan membingungkan lainnya. Terus-menerus begitu.

Lalu di mana kita harus berhenti? Mari menjawab satu pertanyaan penting ini:

Tahukah kita siapa Yesus Kristus? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tidak melenyapkan pertanyaan-pertanyaan membingungkan sebelumnya. Tetapi aku percaya jawaban itu akan menjadi seperti air segar yang tercurah dari langit di tengah terik yang kering. Yesus Kristus adalah Pribadi Allah yang meninggalkan surga yang mulia dan memilih lahir di palungan sebuah kandang domba untukmu dan untukku. Dia ditelanjangi dan diludahi oleh mereka yang dikasihi-Nya. Tangan yang dikasihi-Nyalah yang menancapkan paku ke dalam tangan dan kaki-Nya. Dia yang tak bersalah bersedia mati bagi kita yang selalu menyakiti hati-Nya.

Apakah masuk akal jika Pribadi yang pernah terhina seperti itu, Pribadi yang menyerahkan nyawa-Nya supaya kita menerima pengampunan dan jaminan keselamatan, Pribadi yang membuktikan cinta tanpa syarat bagi kita, berniat mencelakai kita? Tidak mungkin!

Lalu mengapa Dia mengizinkan semua kepedihan ini menimpa kita? Aku tidak tahu! Tetapi aku tahu siapa Dia! Sama seperti Paulus berkata, aku juga akan mengatakan hal yang sama, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”.

Allah yang aku percaya adalah Allah yang telah mengorbankan diri-Nya demi aku. Ia mencintai aku. Aku kenal siapa Dia. Dia adalah Allah yang punya rencana indah bagi anak-anak yang dikasihi-Nya.

Hari ini, saat ini, aku tidak memahami cara kerja-Nya. Aku dibingungkan dengan keputusan-keputusan-Nya. Tapi imanku tidak goyah. Tidak akan pernah. Karena aku tahu kepada siapa aku percaya!

Dia adalah Allah yang bisa dipercaya dan diandalkan. Dialah yang berkata kepada Yeremia, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11).

Tuhan Yesus memberkati kita. Amin

(Segala kelemahan dari tulisan ini berasal dariku, berkatnya berasal dari Dia)

Baca Juga:

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Teman-temanku menuduh dan menjulukiku sebagai “tukang ngadu”, akibatnya aku dijauhi dan dirundung secara mental dan fisik. Masa-masa sekolah jadi momen yang menyakitkan. Namun, Tuhan menolongku melalui masa-masa ini.

Karena Cinta-Nya, Tuhan Menjawab “Ya” dan “Tidak” Atas Doa Kita

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Mengimani sesuatu dengan sungguh-sungguh tidak lantas membuat apa yang diimani itu menjadi benar. Hal ini jugalah yang terjadi ketika kita berdoa. Kita tahu berdoa adalah kebutuhan setiap orang percaya. Kita yang percaya pada Yesus Kristus “dituntut” oleh-Nya untuk berdoa.

Bisa dikatakan fondasi hidup kita sebagai orang Kristen dalam menghadapi tantangan adalah berdoa. Kupikir ini bukanlah rahasia bagi kita. Kalau pun rahasia, ini rahasia yang sudah lama bocor. Mungkin kita adalah orang yang selalu mengawali atau menutup hari dengan doa. Atau, mungkin pula kita merupakan bagian dari kelompok doa. Kita berdoa dengan yakin. Kita berdoa dengan iman. Namun, kita merasa doa itu tidak ada dampaknya.

Aku sering berbincang tentang doa dengan beberapa orang yang wajah dan nada bicaranya memancarkan kepedihan hati. Mereka kecewa dengan doa. Salah satu orang yang sangat dekat denganku mengatakan hal yang mengejutkanku, “Aku tidak akan lagi berdoa karena doa hanya menipu perasaan manusia.”

Aku tahu latar belakang keluarganya, sehingga tak mungkin aku tidak bersimpati. Aku memahami perasaannya. Dia bekerja mencari nafkah sedemikian keras, meninggalkan istri dan anaknya, menahan dingin dan lapar di daerah pertambangan emas yang bahkan membahayakan nyawanya, dan menyerahkan semua itu dalam doanya kepada Tuhan.

Namun, dia tidak mendapatkan hasil apa pun. Malahan, setelah bertahun-tahun berjuang dan tanpa hasil, dia kembali ke rumah dan mendapati keluarganya telah berantakan akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan. Istrinya pun sakit dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa menahan tangis saat memandang ia berbicara dengan suara terbata-bata karena menahan air mata.

Selama ini aku mengenalnya sebagai seorang pria yang tegas dan kuat, setidaknya sebelum momen itu muncul. Mendengarkan jeritan hati dari kasus-kasus semacam itu benar-benar dapat meruntuhkan hati pendengar yang lebih keras dari tembok Yerikho sekalipun. Dan, siapa lagi yang dapat kita andalkan selain Allah sendiri?

Tentu saja kita tahu persis Allah tidak pernah membohongi kita. Dia mengirimkan bagi kita Alkitab yang bisa dipercaya. Yesus memberikan pesan yang sangat sederhana namun kuat ketika Dia berkata: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Matius 7:7).

Ada tiga bagian yang harus kita cermati dari perkataan Yesus ini: minta, cari, ketok.

  • Yang pertama: “mintalah”

Meminta berarti kita menempatkan diri kita sebagai pihak yang rendah dan membutuhkan. Kita pasti tidak membusungkan dada pada saat kita meminta atau memohon sesuatu dari orang lain.

Selain itu, kita pun tentu tidak akan meminta sesuatu pada seseorang yang kita tahu persis tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan kita. Contohnya, aku tidak akan minta uang sejumlah 500 milyar pada ibuku karena aku tahu jumlah tabungannya. Tetapi, jika ada penjual cilok di tanggal tua yang lewat di depan rumah kami dan aku meminta ibuku membelikannya bagiku seharga 5 ribu, aku yakin dia sanggup. Dengan demikian, aku melihat inilah cara Tuhan Yesus mengajarkan kita supaya kita merendahkan diri di hadapan Allah dan menaruh penuh kepercayaan kepada-Nya. Kita diajar untuk percaya bahwa Allah pemilik dunia ini bisa diandalkan.

  • Yang kedua: “carilah”

Allah tidak melemparkan uang dari langit. Bukan karena Dia tidak sanggup, tetapi karena Dia mau manusia berusaha dan bekerja. Yesus adalah Allah yang bertindak dengan turun ke bumi memberikan teladan supaya kita mengikuti cara-Nya. Allah tahu, memenuhi kebutuhan manusia yang tahunya hanya meminta akan mencelakakannya. Manusia akan jadi pemalas dan bermental kerupuk. Kasih sayang Allah yang besar itu membuat-Nya melatih anak-anak-Nya supaya mau bertindak aktif sebagai pemberani.

  • Yang ketiga: “ketoklah”

Setelah poin pertama dan kedua, Yesus kemudian berkata “ketoklah”. Dapat dipastikan kita semua pernah bertamu ke rumah orang lain dan tentunya kita tidak akan masuk secara diam-diam. Kita mengetok pintu, kecuali mungkin kita punya tujuan lain. Pada saat mengetok, kita menunggu. Jika belum ada jawaban, kita mengetok lagi, bukan? Kita mengetoknya berkali-kali, mungkin dengan semangat yang berlipat-lipat.

Aku yakin, di sini Yesus sedang mengajar kita untuk bertekun. Bertekun dalam apa? Bertekun dalam dua langkah sebelumnya: berdoa dan bekerja. Paulus juga mengingatkan kita untuk hal yang sama ketika dia meminta jemaat Roma untuk bertekun dalam doa (Roma 12:12).

Lantas, dengan mengikuti pola dalam ayat ini, apakah doa kita, setiap orang percaya, pasti dijawab oleh Tuhan? Meskipun penjelasannya terdengar sedikit filosofis, kita harus merenungkan satu hal penting bahwa “Allah tidak pernah tidak menjawab doa orang percaya”. Artinya, Dia selalu menjawab doa kita. Benarkah? Mungkin banyak dari kita akn berdiri dari tempat duduk kita dan menginterupsi, “lalu mengapa, apa yang salah dengan doaku? (padahal 3 langkah tadi telah aku lakukan). Mengapa Allah tidak menjawabnya?”

Sekali lagi, aku katakan bahwa Allah terus menjawab doa kita. Persoalannya adalah, apakah kita mendengar suara-Nya atau tidak? Persoalannya adalah apakah kita menerima jawaban-Nya atau tidak. Karena sering sekali Allah telah menjawab “Tidak” kepada doa kita, tapi kita menuduh Allah tidak menjawab karena kita ngotot bukan jawaban “tidak” yang kita inginkan. Yang kita inginkan adalah jawaban “Iya!” dari Allah. Ketika kita meminta sesuatu, bahkan yang berpotensi mencelakakan kita, Allah berkata “Tidak, anak-Ku”. Allah sudah menjawab, bukan? Kitalah yang tak mau dengan jawaban-Nya.

Menjawab dengan dan karena cinta

Masih pada pasal yang sama, pada ayat 9 dan 10, Yesus membawa sebuah gambaran yang amat menarik dan cukup “merakyat”. Adakah orang tua yang memberi batu kepada anak yang meminta roti? Ini pertanyaan retoris. Tidak perlu jawaban. Seandainya aku dipaksa menjawab, aku akan berteriak “tidak” sebanyak tujuh kali. Seakan sangat mudah untuk dipahami, sebenarnya perkataan ini juga sangat mudah diselewengkan.

Berdasarkan ayat ini, banyak dari kita yang membangun dasar berpikir kita menjadi seperti ini: “Jika aku minta roti kepada Allah, maka Dia akan memberi roti.” Padahal, ayatnya tidak berkata begitu. Yesus tidak berkata bahwa kalau minta roti pasti diberi roti. Perhatikan kembali ayatnya. Yesus berkata bahwa kalau minta roti, tidak mungkin diberi batu. Artinya, Allah akan memberikan yang terbaik kepada kita. Karena seringkali apa yang kita sangka roti, ternyata adalah batu. Yang kita pikir madu, ternyata adalah racun. Itu terjadi karena kita seperti anak kecil yang tergila-gila akan keinginan kita.

Jika ada anak kecil berusia 3 tahun meminta pisau untuk bermain, apakah kita yang menyayanginya akan memberinya? Bayangkan jika anak itu menangis dan mulai membenci kita, apakah kita akan berubah pikiran dan memberinya pisau itu? Tetap tidak! Mengapa? Karena kita menyayanginya. Itulah risiko yang Allah ambil. Dia dibenci karena ketidakpahaman kita pada karakter-Nya yang kudus dan keputusan-Nya yang benar. Ada banyak hal yang tidak diberikan Allah karena sayang-Nya pada kita. Ketika Allah memberi, Dia memberi dengan cinta. Ketika Allah tidak memberi, itu pun karena cinta. Itu sebabnya, jika aku harus memberikan sebuah definisi pendek, maka aku akan mengatakan bahwa doa adalah “menyatakan ucapan syukur dan kerinduan/keinginan hati kita kepada Allah, meminta-Nya mengoreksi keinginan kita jika keinginan itu salah, meminta-Nya memberi pengertian dan kekuatan akan keputusan-Nya”.

Itu sebabnya, ketika permohonan Paulus tidak dikabulkan saat dia berseru kepada Allah agar duri dalam dagingnya disingkirkan, Paulus tidak menjadi kecewa (2 Korintus 12:7). Karena Paulus mengerti bahwa ketika Allah menjawab tidak, Allah mungkin tidak memberi roti yang dimintanya, namun Allah pasti memberi sesuatu yang jauh lebih baik dari roti itu.

Tahun berlalu dan aku mulai memahami bahwa doa itu bukan sekadar tempat kita berbicara, tetapi juga Allah berbicara. Dia membentuk kepribadian kita dengan jawaban “iya” dan “tidak” terhadap doa kita, sama seperti seorang bapa kepada anaknya.

Keyakinan kita bukan terletak pada apa yang kita minta, melainkan kepada Dia yang kita mintai adalah Allah yang baik, dan lebih dari semua itu, Dia Allah yang benar.

Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Jawaban Doa yang Tak Terduga

Jika doaku dikabulkan Tuhan sesuai dengan apa yang kuinginkan, tentu aku merasa senang. Namun, ada sebuah peristiwa dalam hidup yang bagiku unik. Tuhan menjawab doaku lebih baik dari yang kuharapkan, tapi aku malah tidak bersukacita karenanya.

Akankah Tuhan Memberiku Perkara yang Tidak Dapat Kutanggung?

Oleh Kezia Lewis
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Will God Give Me More Than I Can Bear?

“Tuhan tidak akan pernah memberimu perkara yang tidak dapat kamu tanggung. Tuhan hanya akan memberikan apa yang dapat kamu tangani.”

Dalam tahun-tahun awalku berjalan bersama Yesus, kalimat ini sangat menghiburku ketika aku menghadapi tantangan. Bahkan aku mulai membagikan pesan ini kepada teman-temanku yang sedang melewati masa-masa sulit.

Namun ketika aku kehilangan ibuku, aku meragukan kalimat itu. Tidak lama berselang, pamanku (saudara ibuku) tewas tertembak. Lalu, ayahku meninggal tiga hari setelah pernikahanku. Beberapa bulan kemudian, pamanku yang lain kehilangan kedua tangannya akibat sebuah kecelakaan yang mengerikan. Kalimat penguatan yang mulanya sangat berarti bagiku itu tiba-tiba kehilangan maknanya.

Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal-hal ini terjadi? Semua ini tidak masuk akal bagiku. Aku berpikir: Bukankah mereka berkata Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kutanggung? Tetapi bukankah aku baru saja melewati batas dari apa yang dapat kutanggung?

Hal ini membuatku berpikir bukan saja tentang diriku, tapi juga orang-orang yang berada dalam kondisi yang lebih berat dariku. Maksudku, bagaimana caranya aku memberitahu seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya bahwa Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat dia tanggung? Atau memberitahu semua itu pada seorang suami yang harus menguburkan istri dan anak-anaknya? Atau pada seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya?

Bagaimana aku bisa mencocokkan kalimat penghiburan yang seringkali digunakan ini dengan pengalaman hidup yang mengenaskan? Apakah Tuhan benar-benar tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kita tanggung?

Untuk beberapa waktu, aku berusaha untuk tetap percaya bahwa Tuhan tidak akan melakukannya. Aku berpura-pura kuat. Tetapi tekanan yang kudapat membuatku sulit untuk menjaga keyakinanku; aku hampir tidak dapat bertahan.

Ya, Tuhan akan memberimu lebih dari apa yang dapat kamu tanggung

Setelah beberapa waktu, aku akhirnya memiliki keberanian untuk mengakui ini: Tuhan memang memberikan lebih dari apa yang dapat kita tanggung. Aku percaya bahwa Tuhan mengizinkan kita mengalami penderitaan begitu berat; penderitaan yang dapat ‘menghancurkan’ kita dan membuat hidup kita terasa hampa, dan juga kegagalan-kegagalan yang akan begitu mengguncang kita.

Lantas, jika begitu bagaimana kita dapat memaknai janji yang Tuhan berikan dalam 1 Korintus 10:13? Ayat itu dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan “tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu”. Pada saat itu aku menyadari hal ini: kata “dicobai” pada ayat ini mengacu pada dosa. Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui apa yang dapat kita tahan. Ayat yang seringkali dikutip dengan salah. Ayat ini tidak berbicara soal penderitaan.

Ketika kita berbicara soal penderitaan akibat suatu kondisi, aku percaya Tuhan akan memberikan lebih dari apa yang dapat kita dapat tanggung. Jika kita dapat menanggung semua perkara yang datang dalam hidup kita dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan benar-benar membutuhkan Tuhan. Jika kita dapat menanggung segala beban yang kita alami, maka kita tidak akan perlu mencari Tuhan; kita tidak akan mencari pertolongan-Nya, memohon kekuatan dari pada-Nya, dan memberi hati kita diteguhkan oleh-Nya.

Sampai kita mendapat anugerah dan kekuatan dari Yesus, kita tidak mungkin bisa menanggung semua perkara. Aku tahu hal ini karena aku pernah melewati situasi begitu berat yang membuatku hancur dan merasa hampa bahkan hingga aku tidak bisa menangis lagi. Rasa sakitnya tidak dapat kutahan; tertahan dalam hati dan leherku. Dalam masa-masa itu tidak ada yang berarti selain relasiku dengan-Nya.

Merasakan penderitaan itu baik

Lalu apakah artinya Tuhan itu jahat karena mengizinkan hal-hal buruk terjadi pada kita? Tentu tidak.

Justru pada kenyataannya, kurasa penderitaan itu baik untuk kita. Aku tidak berkata aku menyukainya—tidak sama sekali. Tapi meskipun penderitaan adalah kawan yang tidak menyenangkan, dia adalah seorang guru yang kompeten.

Penderitaan membantu kita melihat dengan jelas dan menolong kita untuk memahami apa yang benar-benar kita butuhkan. Penderitaan membuat kita mengetahui bahwa ada yang salah dalam hidup kita.

Aku pernah menonton sebuah film tentang seorang veteran perang yang tidak dapat merasakan bagian bawah tubuhnya. Pada suatu adegan, seorang siswa sukarelawan yang menolongnya membersihkan diri berkomentar bahwa terkadang dia berharap supaya tidak bisa merasakan sakit ketika dia berlatih sepak bola. Veteran perang itu lalu menjawabnya, “Tidak, kamu tidak menginginkan hal ini. Kamu tidak akan mau jika seandainya kamu bisa tidak merasakan sakit.”

Kurasa itulah bagian yang seringkali terlewat dalam pikiran kita. Kita ingin tidak bisa merasakan penderitaan, meyakini bahwa itulah yang terbaik untuk kita. Namun, rasa sakit bukanlah musuh kita. Rasa sakit justru menolong kita untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Penderitaan dapat menuntun kita ke arah yang benar—sebuah hidup yang berfokus dan bergantung pada Tuhan.

Aku tidak menganggap remeh hal-hal sulit yang harus kita hadapi dalam hidup kita. Percayalah, ada banyak masa dalam hidupku di mana aku berharap aku tidak perlu merasakan penderitaan. Meski begitu, aku harus berkata bahwa dalam hikmat Allah, Dia mengizinkannya terjadi untuk suatu tujuan.

Sekarang aku bisa lebih mengandalkan Allah untuk mendapat kekuatan, menyadari bahwa aku tidak akan bisa bertahan tanpa-Nya. Aku bisa belajar mengasihi orang-orang lebih lagi dan benar-benar memikirkan kesejahteraan mereka. Aku melihat kebodohan dari keinginan pribadiku yang egois dan menjadi semakin bijak dalam mengambil keputusan. Semua ini hanya sebagian kecil dari pelajaran yang Tuhan ajarkan padaku—pelajaran yang tidak akan bisa kupahami jika penderitaan tidak ikut terlibat di dalamnya.

Pada akhirnya, penderitaan adalah kenyataan yang harus selalu kita hadapi. Namun kita pastinya bisa mengandalkan Tuhan untuk menyertai kita dalam setiap langkah kita menghadapi penderitaan-penderitaan tersebut.

Baca Juga:

Disiplin Rohani: Butuh Perjuangan!

Kuakui sulit untuk konsisten melakukan saat teduh sebagai bagian dari latihan disiplin rohani. Aku bahkan pernah gelisah karenanya. Tapi, ada tiga cara yang bisa kita lakukan.

Miskin, Tetapi Kaya di Dalam Tuhan

Hari ke-3 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Miskin, Tetapi Kaya di Dalam Tuhan

Baca: Yakobus 1:9-11

1:9 Baiklah saudara yang berada dalam keaadaan yang rendah bermegah karena kedudukannya yang tinggi,

1:10 dan orang kaya karena kedudukannya yang rendah sebab ia akan lenyap seperti bunga rumput.

1:11 Karena matahari terbit dengan panasnya yang terik dan melayukan rumput itu, sehingga gugurlah bunganya dan hilanglah semaraknya. Demikian jugalah halnya dengan orang kaya; di tengah-tengah segala usahanya ia akan lenyap.

Miskin, Tetapi Kaya di Dalam Tuhan

Tumbuh dengan latar belakang keluarga yang selalu hidup pas-pasan, aku sering berangan-angan menjadi orang kaya. Beberapa waktu lalu, aku merasa kesal karena melihat teman-temanku membeli mobil baru, makan malam di tempat-tempat yang keren, dan mereka memamerkannya di Instagram. Perasaan itu tidak mudah dihilangkan sekalipun aku tahu mereka adalah teman-teman Kristen yang sungguh-sungguh dalam iman.

Aku ingin menjadi orang yang mengandalkan Tuhan, tetapi pada saat yang sama aku juga ingin menjadi seorang yang kaya. Aku tahu bahwa menjadi kaya itu tidak salah, Alkitab mencatat sejumlah tokoh yang kaya raya seperti Ayub dan Yusuf. Namun, Alkitab juga berulang kali mengingatkan kita untuk tidak memburu harta dan kekuasaan (1 Timotius 6:7-10).

Jadi, bagaimana seharusnya aku memandang kekayaan yang bersifat materi? Akankah keinginanku untuk menjadi seorang yang kaya membuat kehidupan Kristenku menjadi dangkal? Apakah keinginan menjadi kaya itu keinginan yang salah?

Dalam pasar 1:9-11, Yakobus menggunakan beberapa paradoks untuk menolong para pembacanya memahami situasi para orang percaya yang sedang dilanda kesulitan. Kemungkinan besar, kesulitan yang dialami mereka itu adalah kesulitan ekonomi demi mempertahankankan iman mereka.

Yakobus memulai suratnya dengan menyapa umat percaya yang miskin dari kelompok Yahudi, yang disebutnya memiliki “kedudukan yang tinggi” (ayat 9). Meskipun orang-orang ini dipandang rendah oleh dunia, mereka memiliki banyak hal yang dapat dibanggakan. Mereka dikaruniai “segala berkat rohani di dalam Kristus” (Efesus 1:3), mereka adalah anak-anak Allah dan para ahli waris bersama-sama dengan Kristus (Roma 8:17). Dalam Kristus, orang-orang yang miskin sungguh menjadi kaya! Mereka bisa disebut sebagai orang-orang miskin yang kaya.

Yakobus lalu ganti menyapa umat percaya yang kaya secara materi, yang disebutnya memiliki kedudukan yang rendah (ayat 10). Meskipun mereka mungkin bisa menikmati hidup yang lebih baik dari orang lain, Yakobus mengingatkan bahaya yang mereka hadapi: mereka cenderung mengandalkan harta kekayaan mereka, lupa bahwa semua pencapaian mereka itu tidak akan bisa bertahan selamanya, sama seperti bunga rumput (ayat 10-11). Sebab itu, umat percaya perlu belajar untuk bermegah dalam keadaan yang rendah, selalu datang dengan kesadaran bahwa mereka miskin secara rohani dan membutuhkan Tuhan, sama seperti saat mereka pertama kali datang kepada Kristus. Mereka bisa disebut sebagai orang-orang kaya yang miskin.

Kedua paradoks tersebut diberikan Yakobus untuk menjelaskan bahwa segala sesuatu yang kita punya di bumi ini suatu hari kelak akan lenyap, baik itu keadaan yang miskin maupun kaya (ayat 11). Sebab itu, rasa aman kita haruslah diletakkan pada harta yang bersifat kekal.

Daripada berupaya menekan keinginan kita untuk menjadi kaya, mari kita mencari kekayaan rohani yang sejati di dalam Kristus dan menempatkan rasa aman kita di dalam Tuhan yang senantiasa mencukupkan hidup kita dengan kehadiran-Nya. —Tracy Phua, Singapura

Memiliki Tuhan berarti memiliki segalanya!

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang menjadi ambisi dalam hidupmu? Hal-hal apa yang bernilai bagimu dan yang kamu impikan?

2. Apakah kamu ingin menjadi seorang yang kaya? Bagaimana keinginan itu bisa menghalangi hubungan pribadimu dengan Tuhan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Tracy Phua, Singapura | Tracy suka meluangkan waktunya bersama orang yang dia kasihi, apalagi jika sambil makan bersama. Dia suka menata dan merapikan ruangan, yang buatnya ini seperti sebuah terapi. Dia juga tertarik pada bahasa dan berharap bisa mempelajari satu atau dua bahasa lain lagi selama hidupnya. Menikmati ciptaan Tuhan dengan pergi ke laut atau gunung adalah liburan yang sempurna buatnya. Dia juga suka dengan kucing, sup panas di hari yang dingin, dan juga ayam goreng.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Hikmat untuk Mengatasi Pencobaan

Hari ke-2 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Hikmat untuk Mengatasi Pencobaan

Baca: Yakobus 1:5-8

1:5 Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit ,maka hal itu akan diberikan kepadanya.

1:6 Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin.

1:7 Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.

1:8 Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.

Hikmat untuk Mengatasi Pencobaan

Bulan Oktober lalu, aku tiba-tiba diberhentikan dari pekerjaan yang sudah kujalani selama dua tahun. Bulan berikutnya, ayah dari pacarku yang menderita penyakit pada saraf motoriknya harus masuk rumah sakit. Dua bulan kemudian beliau meninggal dunia.

Sekalipun aku selalu mengingatkan diri sendiri untuk tetap mempercayai Tuhan, aku harus mengakui bahwa bulan-bulan tersebut sangat berat bagiku.

Mengawali suratnya (ayat 1-4), Yakobus meminta kita untuk menganggap berbagai pencobaan dalam hidup ini sebagai suatu kebahagiaan, karena ujian terhadap iman kita itu menghasilkan ketekunan. Namun, bagaimana kita dapat menerapkan perintah ini ketika kita sedang bergumul melewati kesulitan-kesulitan hidup seperti sakit penyakit, masalah keuangan, atau kehilangan orang yang kita kasihi?

Alkitab mengajar kita bahwa solusinya bukanlah berdoa memohon Tuhan mengeluarkan kita dari pencobaan, melainkan berdoa memohon Tuhan memberikan hikmat yang kita butuhkan untuk melewatinya. Hikmat tidak sama dengan pengetahuan; hikmat adalah pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita membutuhkan hikmat untuk menolong kita melihat pencobaan dari perspektif yang benar, supaya kita dapat melihat kesempatan-kesempatan untuk bertumbuh dewasa melaluinya.

Alkitab memberi kita jaminan pasti: Tuhan akan memberikan kita hikmat dengan murah hati jika kita memintanya.

Makin lama pencobaan kita alami, makin sulit untuk dapat tetap mempercayai Tuhan. Mungkin itulah sebabnya Yakobus mengingatkan kita satu hal yang penting: kita harus meminta hikmat itu dalam iman. Kita harus berhati-hati untuk tidak mendua hati—tidak yakin apakah Tuhan benar-benar mendengarkan doa kita atau meragukan apakah Tuhan sungguh-sungguh mengasihi kita. Yakobus menggambarkan orang yang bimbang atau mendua hati seperti gelombang laut yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin. Orang yang demikian akan mudah menyerah dan meninggalkan imannya ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam hidupnya.

Sebab itu, mari datang kepada Tuhan dengan penuh keyakinan bahwa Dia akan memberikan kita hikmat untuk memahami dan mempercayai Tuhan di tengah berbagai pencobaan yang kita alami—karena Dia pasti akan memberikannya (ayat 5).

Permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan (Mazmur 111:10). Itu berarti kita dapat yakin bahwa Tuhan, yang memerintah atas dunia ini (Wahyu 4:11), memiliki kuasa dan otoritas atas segala sesuatu yang Dia ciptakan. Kita dapat yakin bahwa Tuhan tetap memegang kendali sekalipun ada banyak hal yang tidak berjalan sesuai keinginan kita.

Aku dan pacarku sempat khawatir uang kami tidak cukup untuk membiayai pengobatan Ayah. Kami pun saling mengingatkan satu sama lain untuk terus mempercayai Tuhan yang berjanji akan menyediakan segala kebutuhan kami karena Dia mengasihi kami. Tuhan sungguh menepati janji-Nya, berulang kali kami menerima pertolongan tepat pada saat kami benar-benar membutuhkannya.

Pada akhirnya, kita dapat beristirahat di dalam Tuhan karena tahu bahwa kita sudah memiliki hal terbaik dalam hidup ini: keselamatan. Kita sudah dikaruniai segala berkat rohani di dalam surga (Efesus 1:3), dan kita dapat bersukacita karena nama kita ada terdaftar di surga (Lukas 10:20)—terlepas dari apapun yang harus kita lewati dalam hidup ini. —Alvin Chia, Singapura

Handlettering oleh Elizabeth Soetopo

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang biasanya menjadi permohonan doamu setiap kali menghadapi pencobaan?

2. Tuhan telah berjanji untuk memberikan hikmat kepada siapa saja yang memintanya. Tuliskanlah sebuah doa yang meminta agar Tuhan memberimu hikmat dalam pencobaan yang sedang kamu hadapi.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Alvin Chia, Singapura | Alvin Chia selalu lapar. Dua hal yang tidak bisa dia lakukan adalah berhenti makan setelah makan makanan berat dan berdiri diam di halte bus. Tapi, meski begitu dia tahu betul bahwa hanya Tuhan yang bisa memberinya kepuasan sejati, dan hanya Tuhan jugalah yang memampukannya untuk berdiam. Alvin pernah bekerja sebagai jurnalis olahraga, tapi dia sendiri tidak berolahraga.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus