Posts

3 Hal yang Kupelajari Tentang Hidup untuk Saat Ini

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

“Umur 25 udah bisa apa?” merupakan pembahasan yang cukup ramai dibahas di sosial media akhir-akhir ini. Ada sekelompok orang yang sudah berhasil mengumpulkan uang milyaran rupiah, membeli rumah, kuliah di luar negeri, atau lainnya. Namun, ada kelompok lain yang merasa relate dengan lirik lagu “Takut” oleh Idgitaf : Takut tambah dewasa, Takut aku kecewa, Takut tak seindah yang kukira..

Aku adalah bagian dari keduanya: terus bertanya “udah bisa apa dan mau apa lagi?”, namun juga yang terus merasa takut kecewa.

Orang-orang terdekatku mengenalku sebagai sosok yang ambisius. Banyak keinginan dan mimpi yang kuperjuangkan dengan keras. Satu tercapai, aku mengejar yang lain, begitu seterusnya. Dalam upaya mengejar berbagai hal tersebut, aku sangat takut kecewa dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk. Akibatnya, aku jadi tidak bisa menikmati anugerah Tuhan saat ini. Ketakutanku akan kekecewaan ini juga diperparah oleh berbagai pengalaman masa lalu yang seringkali membuatku berpikir, “kalau seperti itu lagi, nanti akan bagaimana?”

Pemikiran-pemikiran tersebut terus menerus menghantuiku, sehingga aku memilih mendiskusikan hal ini dengan dua orang kakak rohaniku, sebut saja kakak A dan kakak B. Mereka berdua memberi saran kepadaku untuk “hidup untuk saat ini” saja, yang sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya dan bagaimana caranya. Kakak B kemudian mengenalkanku pada sebuah buku yang mengulas tentang Kitab Pengkhotbah yang berjudul Living Life Backward.

Lewat diskusi dengan kedua kakak rohaniku dan pembahasan Kitab Pengkhotbah dalam buku Living Life Backward, berikut 3 hal yang kupelajari tentang hidup untuk saat ini:

1. Upaya menggenggam kebahagiaan masa depan adalah sia-sia

Tujuan utamaku ketika mengejar keinginan atau mimpi adalah agar aku bisa menikmati masa depan. Melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, mengejar karier yang lebih baik, semuanya demi menggenggam masa depan yang bahagia. Namun, bagaimana dengan masa kini? Apakah kebahagiaan hanya bisa kunikmati ketika aku sudah berhasil menggenggam masa depan?

Kitab Pengkhotbah 1:1 menyatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia. Terjemahan Ibrani dari kata “sia-sia” ini adalah hebel, yang secara literal artinya uap. Upaya menggenggam uap justru mempercepat hilangnya uap tersebut, sehingga upaya menggenggamnya membuat kita tidak bisa menikmatinya.

Bagian ini mengingatkanku bahwa upaya meraih kebahagiaan masa depan lewat ambisi-ambisi yang ada justru membuatku tidak bisa hidup untuk saat ini. Padahal ada banyak alasan yang membuatku bisa memilih untuk bahagia hari ini, seperti waktu berbincang dengan orang terkasih, pekerjaan dan kehidupan yang layak, serta waktu istirahat yang cukup.

Jadi, apakah ini berarti kita tidak boleh menyiapkan masa depan? Atau, haruskah kita hidup dengan prinsip gimana nanti aja?

Jawabannya: mempersiapkan masa depan tidaklah salah. Justru itu adalah langkah bijaksana, yang menolong kita untuk tidak serampangan dalam menghidupi hari-hari kita saat ini. Namun, apabila dalam upaya kita memikirkan masa depan itu membuat kita khawatir berlebihan dan meragukan penyertaan Allah, di sinilah letak permasalahannya. Padahal, Yesus menyatakan bahwa hidup setiap kita dijamin oleh-Nya, sebagaimana burung pipit di udara yang dipelihara-Nya (Matius 6:26). Rasa khawatir tidak memberikan manfaat apa pun, malahan itu membuat pandangan kita menjadi kabur akan banyak hal indah yang sejatinya bisa kita nikmati setiap hari.

Mari belajar untuk bahagia hari ini tanpa perlu risau memastikan kebahagiaan masa depan berada dalam genggaman, karena untuk segala sesuatu ada masanya (Pengkhotbah 3:1).

2. Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan

Aku sangat takut untuk kecewa. Sangat sulit bagiku berhadapan dengan perasaan kecewa. Hal ini selalu membuatku menyusun berbagai skenario terburuk untuk setiap hal yang akan kupilih dengan tujuan mempersiapkan diriku untuk tidak terlalu kecewa. Meski terlihat berlawanan dengan poin 1, hal ini juga merupakan upayaku untuk menggenggam kebahagiaan. Namun caranya adalah bukan dengan langsung mengejarnya, melainkan menghindari kekecewaan. Ketakutan berlebihan tentang masa depan lagi-lagi membuatku tidak bisa menikmati saat ini. Padahal, untuk segala sesuatu ada masanya.

Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan. Kakak A memberikanku sebuah trik untuk belajar melepaskan ketakutan ini, yaitu untuk berhenti memikirkan “what if” dan menggantinya dengan “what is”. Pikirkan berbagai hal yang terjadi saat ini, bukan masa depan.

Untukku yang biasa memikirkan berbagai kemungkinan terburuk, hal ini sangat sulit. Salah satu langkah awal yang akan kulakukan adalah memberikan proporsi untuk setiap kemungkinan yang kubuat dan menyertakan kemungkinan baik juga dalam pertimbangannya. Memahami hal ini membuatku sadar bahwa memang selalu ada kemungkinan untuk kecewa, tapi banyak juga kemungkinan baik yang bisa terjadi, dan ini menolongku untuk bisa menikmati saat ini. Hal ini sejalan dengan buku Living Life Backward yang mengajak kita untuk belajar memegang sesuatu dengan tangan terbuka, karena kita benar-benar hanya memiliki kendali atas satu hal, yaitu respon kita terhadap saat ini.

3. Kehidupan ini akan berakhir

Akhir dari kehidupan manusia di dunia ini adalah kematian. Semua hal yang kita alami dalam dunia ini suatu saat akan berakhir. Mengetahui dan memahami bahwa kehidupan akan berakhir mengubah perspektif kita untuk menjalani kehidupan saat ini.

David Gibson dalam buku Living Life Backward mengatakan bahwa pemahaman tentang hidup akan berakhir dapat menolong kita memiliki hati yang besar dan tangan yang terbuka, dan memungkinkan kita untuk menikmati semua hal kecil dalam hidup dengan cara yang sangat mendalam.

Mempelajari ketiga hal tersebut membuatku belajar memandang ambisi dan ketakutanku dengan cara yang baru. Perjuangan meraih mimpi bukan lagi sebuah upaya untuk menggenggam masa depan, dan ketakutan menghadapi kekecewaan masa depan harus segera kusampingkan. Bagianku adalah hidup untuk saat ini, yaitu dengan menikmati setiap keindahan dan rasa sakitnya, dengan tetap berpengharapan pada hari akhir kelak.

Mari hidup untuk saat ini dengan menyadari bahwa kehidupan adalah pemberian Tuhan, dan menjalaninya dengan hati yang besar serta tangan yang terbuka, sehingga pada akhirnya kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang mengatakan bahwa hidup kita adalah a life well lived.

Hidup Enggak Pernah Tambah Mudah, Jagalah Perspektifmu!

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Hidup itu sulit. Hidup itu memang sulit. Begitu kata banyak orang.

Bila melihat perjalanan selama setahun ke belakang, mungkin kita dengan mudah menyebutkan berbagai kesulitan yang kita hadapi. Situasi yang sulit dan kondisi yang menyakitkan sering menyebabkan kita kehilangan iman yang diawali dengan kehilangan perspektif.

Perspektif adalah cara seseorang dalam menilai sesuatu yang mempengaruhi tindakan seseorang. Pada kondisi sulit, kita cenderung hanya melihat rasa sakit, yang tak jarang kita maknai sebagai rasa sakit yang begitu berat.

Kecenderungan kita yang melihat sisi-sisi negatif itu mendorong kita untuk masuk ke dalam tahap mengasihani diri dan menganggap diri korban atas setiap pergumulan dan penderitaan. Dari pengalamanku, ada tiga perilaku yang menggambarkan bahwa kita mudah sekali mengasihani diri sendiri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan:

1. Sering menggerutu dan mengeluh
2. Menyalahkan dan mengkritik orang lain, bahkan tidak jarang sampai menyalahkan Tuhan
3. Bersikap sinis dan pesimistis

Sebenarnya, tiga perilaku di atas adalah respons yang muncul secara alamiah ketika kita menghadapi tekanan. Tanpa kita sadari, kita mengeluh sebagai cara untuk meluapkan emosi negatif; mengkritik sebagai cara untuk membenarkan diri; dan pesimis sebagai wujud hilangnya harapan kita. Namun, respons tersebut jika tidak dikendalikan akan mendorong kita semakin jauh dalam jurang mengasihani diri, yang pada akhirnya membuat kita tidak bisa bangkit sama sekali.

Salah satu cara yang mungkin pernah atau sering kita lakukan untuk menjaga perspektif kita saat mengalami keadaan sulit adalah dengan mengakui kesulitan dan rasa sakit yang kita alami. Seperti pernyataan populer yang sering kita dengar saat ini, IT’S OK TO BE NOT OK. Tidak masalah untuk melihat atau berkaca pada orang lain yang punya kesulitan yang lebih besar daripada kita, asalkan kita tidak lantas bersikap denial terhadap rasa sakit yang kita alami sendiri.

Kecenderungan yang muncul ketika kita sedang sulit adalah kita menjadi sering mengasihani diri dan menganggap diri kitalah yang paling menyedihkan di dunia ini. Namun nyatanya, masih banyak orang di luar sana yang punya kesulitan yang jauh dari apa yang kita alami namun tetap memilih untuk berjuang. Untuk menyikapi kondisi ini, kita harus menjaga perspektif kita secara benar:

1. Self talk untuk memberikan semangat pada diri sendiri

Paulus, yang mengerti tentang penderitaan dan pentingnya perspektif, menulis, “Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)

Self talk artinya berbicara pada diri sendiri. Perumpamaan tentang anak yang hilang dalam Alkitab menunjukkan bagaimana si bungsu berbicara pada dirinya sendiri.

“Lalu ia menyadari keadaanya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikan aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Lukas 15:17-19).

Self talk mempengaruhi pikiran bahkan berujung kepada tindakan. Pikiran memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan kita, dan jika self talk kita menjatuhkan diri sendiri, maka kita akan merasa ingin menyerah. Sebaliknya, self talk yang mendorong semangat akan memberi kehidupan. Sebagai contoh, Daud adalah pribadi yang punya banyak kesulitan di dalam hidupnya. Dia punya banyak alasan untuk merasa tertekan dan gelisah. Tetapi, Dia menolak untuk mengasihani diri sendiri. Sebaliknya, dia menggunakan self talk demi memberi semangat kepada dirinya.

Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku?
Berharaplah kepada Allah!
Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!
(Mazmur 42:6)

2. Meminta kepada Tuhan untuk menolong kita menunjukkan hal-hal yang perlu kita syukuri

Dengan lebih banyak bersyukur kepada Tuhan dibandingkan mengeluh, menolong kita mempunyai perspektif yang benar untuk setiap kondisi sulit yang kita alami. Namun, sayangnya dengan kesulitan yang kita alami membuat kita sulit melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidup.

Ketika kita sulit untuk bersyukur, rasanya kita sedang melakukan kejahatan yang lebih buruk. Ada banyak hal baik di luar kesulitan kita, tetapi kita melupakannya karena kondisi sulit yang kita rasakan. Tuhan seharusnya layak menerima ungkapan rasa syukur kita karena sesungguhnya segala yang terjadi dalam hidup ini datang dari Dia.

“Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17).

Dengan semua yang telah kita terima di dalam Kristus, sudah sepatutnya ucapan syukur terus mengalir dari hati dan mulut kita. Kiranya kita merespons anugerah Allah yang indah dengan selalu bersyukur kepada-Nya.

3. Kita tidak benar-benar tahu apa yang sedang Tuhan rencanakan dalam kehidupan kita

Kita tidak mengerti bagaimana Tuhan bisa menggunakan apa yang sedang kita alami. Tetapi, berkaca dari karya-karya-Nya di masa lalu, apa yang kita alami saat ini akan menjadi karya yang mengesankan dan indah.

Iman memberi kita keyakinan pada apa yang tidak kita lihat, sehingga kita bisa menerima fakta bahwa hidup itu sulit. Iman inilah yang memberi kita perspektif atas pergumulan kita saat ini, yang memampukan kita untuk tidak terjebak pada mengasihani diri karena kita memiliki keyakinan pada apa yang sedang menanti kita di depan. Iman mengerti bahwa kehidupan terbaik kita tidak terjadi saat ini, kehidupan terbaik kita akan terwujud nanti. Sehingga, kita tidak menjadi lemah dan tawar hati.

4. Memegang kendali kondisi yang ada yang dapat digunakan sebagai batu loncatan

Poin ini mungkin kedengarannya terlalu optimis, tetapi inilah kekuatan yang Tuhan berikan dalam hidup kita. Ketika hidup menyajikan kesulitan, beberapa orang memilih untuk takluk, sedangkan yang lain memilih untuk menaklukkan. Menariknya, seringkali orang-orang yang telah menghadapi perkara yang paling sulitlah yang meraih sukses paling hebat.

Orang-orang yang harus menaklukkan kesukaran dipaksa untuk belajar lebih banyak dan bekerja lebih keras, dan sesungguhnya memiliki keuntungan atas mereka yang mengalami situasi lebih mudah. Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan Nick Vujicic yang adalah seorang penginjil dan motivator dari Australia. Sejak kecil, hidup tanpa kaki dan tangan membuat Nick menjadi korban bullying. Keterbatasan yang dia miliki lantas tidak membuatnya menyerah, dia menyelesaikan sekolahnya dengan baik bahkan sekarang ini mendirikan organisasi nirlaba yang berfokus pada pengembangan penyandang disabilitas. Yang sedikit, yang terpilih-para pejuang.

Teman-teman boleh berhenti sejenak untuk membaca. Mari mengingat, kesulitan-kesulitan apa yang pernah kita alami dalam setahun ini tetapi Allah mampu menolong kita untuk melewatinya. Mari mengingat, kesulitan apa di masa lalu yang ternyata dijadikan-Nya menjadi sesuatu yang baik bagi hidup kita.

Kita memiliki SESUATU yang banyak orang di luar sana tidak miliki, yaitu TUHAN. Ini menjadi penghiburan sekaligus kekuatan bagi kita. Seberapa pun kesulitan yang kita alami, banyak hal yang terjadi dan kita tidak mengerti. Dia ada, Sang Imanuel.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Selamat menyambut Sang Imanuel, Tuhan yang sama yang akan menyertai kita di hari-hari kedepan.

*Empat poin di atas dikutip dari buku Don’t Give Up yang ditulis oleh Kyle Idleman. Beliau adalah seorang pendeta dari salah satu gereja terbesar di Amerika Serikat dan penulis buku laris yaitu Not A Fan dan The End of Me.

Ingatlah Ajal Pada Masa Mudamu

Oleh Aryanto Wijaya

Tahun 2019 lalu, aku membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang kehidupan seorang pria. Di usianya yang ke 32 tahun, dia sedang menikmati puncak kariernya, namun kenikmatan itu perlahan susut ketika penyakit ganas menggerogoti tubuhnya hingga dia pun meninggal dunia.

Baru-baru ini, media sosial tanah air pun gempar mendengar kabar seorang selebriti muda yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, beberapa jam sebelumnya dia masih mengunggah Instagram Story—ada cuplikan perjalanannya, yang bernuansakan sukacita. Tak ada yang menyangka itu akan jadi unggahan terakhirnya.

Aku tercenung dan larut dalam ratapan warganet yang tak menyangka kematian akan secepat ini menjemput dan begitu mendadak. Mengingat dua kisah dukacita ini menggemakan kembali sebuah realita pahit yang kita semua sebagai umat manusia harus alami: kematian.

Kubuka lembaran kertas Alkitabku dan kudapati Pengkhotbah 9:5 berkata tegas, “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati…” Tetapi, yang tidak pernah kita tahu dari sisi kematian adalah bilamana dan bagaimana itu akan datang menjemput kita.

Ketidaktahuan ini seringkali menjadi faktor terbesar yang membuat kita merasa takut, atau di sisi yang lain, membuat kita acuh tak acuh terhadap kematian. Padahal, seperti yang Alkitab katakan bahwa setiap manusia kelak pasti akan menjumpai kematian; itu bukan sebuah kesempatan, tetapi kepastian. Mengetahui bahwa kelak setiap kita pasti akan tiba di garis akhir kehidupan seharusnya mendorong kita untuk menjalani hidup terbaik untuk tiba di sana.

Mengenal garis akhir, menikmati perjalanan

Konsep dunia menyebutkan kematian sebagai garis akhir dari kehidupan, titik terakhir dari perjalanan manusia. Agama-agama lalu menyajikan pemahaman yang lain, tentang apa yang akan terjadi setelah kematian itu. Kita tidak akan membahas masing-masing konsep pasca kematian yang disajikan tiap agama, tetapi sebagai orang Kristen, kendati kematian memang sejatinya adalah garis akhir dari peziarahan ragawi kita di dunia, itu merupakan awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Paulus menegaskan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Korintus 5:1).

Ada kehidupan yang abadi bagi anak-anak Tuhan, kehidupan di suatu tempat yang dibuat oleh Allah sendiri, yang tidak akan ada lagi ratap dan dukacita (Wahyu 21:4).

Memang kita tidak tahu waktu dan caranya, tapi Alkitab memang menjelaskan apa yang terjadi. 2 Korintus 5:6-8 dan Filipi 1:23 mengatakan bahwa ketika kita meninggalkan tubuh kita, kita akan menetap bersama Allah. Suatu pemikiran yang menghibur kita semua yang percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi, ada sebuah teori yang bernama “Teori Pengurangan Ketidakpastian” yang dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa dalam relasi antar dua orang manusia atau lebih yang tidak saling mengenal seringkali terjadi ketidaktahuan yang dapat berlanjut menjadi rasa takut atau spekulasi. Contoh, ketika dua orang asing bertemu dalam satu kendaraan, mungkin Si A menaruh curiga terhadap si B. Barulah ketika tercipta komunikasi antara A dan B, keduanya menemukan banyak persamaan, dan relasi itu berlanjut melintasi waktu, pelan-pelan rasa takut dan curiga itu luruh. Ketika dua orang telah saling mengenal erat, ada rasa percaya yang terbangun—kondisi yang jauh berbeda dari momen saat mereka pertama kali saling mengenal.

Demikian pulalah dengan kehidupan kita. Mengenal Tuhan yang kita percayai dengan erat akan memberikan kita iman yang teguh dan kokoh. Kita tidak akan lagi meragukan janji-janji-Nya karena kita tahu janji itu pasti akan terlaksana (2 Korintus 1:20), bahwa barangsiapa yang percaya kepada Kristus tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Dan, dari pengenalan dan relasi yang erat dengan-Nyalah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari kita di dunia bukan dengan ketakutan akan garis akhir yang tak kita ketahui, tapi dengan sukacita bahwa segala jerih lelah dan perjuangan kita di masa-masa kita masih bisa bernafas akan mengantar kita pada tujuan yang mulia.

Kita tidak pernah tahu bilamana kematian itu akan datang. Usia muda, tubuh yang sehat, kekayaan yang berlimpah, karier yang cemerlang, semua itu tidak akan menghindarkan kita dari kepastian bahwa kehidupan di dunia akan berakhir.

Namun, kita dapat bersukacita dan bersemangat menjalani hidup, karena bersama dengan Tuhan Yesus, segala jerih lelah kita tidak akan sia-sia (1 Korintus 15:58).

Tugas kita saat ini adalah menyelesaikan setiap tanggung jawab yang diberikan-Nya dengan sebaik mungkin (Lukas 16:10), agar kelak ketika perjalanan ragawi kita paripurna, kita menyambutnya laksana seorang pemenang yang mengakhiri pertempuran dengan baik, yang telah memelihara iman sampai kepada garis akhir (2 Timotius 4:7).

Saat Hidup Tidak Terasa Wah

Oleh Antonius Martono

Aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat sejak SMA. Sekarang sudah 10 tahun berlalu sejak kejadian itu. Aku merasa dalam waktu 10 tahun itu pribadiku telah diubahkan oleh Tuhan. Aku yakin akan hal itu. Sampai suatu hari, aku datang ke sebuah pertemuan dengan teman-teman SMA-ku dan mulai meragukannya.

Sebenarnya aku datang dengan sebuah antusiasme, berharap pribadiku yang telah diubahkan akan memberkati teman-temanku. Aku datang ke dalam pertemuan itu dan mulai berinteraksi dengan mereka. Aku senang, dan ternyata mereka masih teman-temanku yang lama. Gaya mereka berbicara, cara mereka bercanda, sikap serta karakter mereka, semua persis seperti yang terakhir kali kukenal.

Namun, melihat semua hal ini membuatku merenung. Jika teman-temanku sama seperti yang terakhir kali kukenal, apakah aku sendiri juga adalah orang yang sama dengan yang terakhir mereka kenal? Mungkin pengetahuan, pengalaman, kemampuan, pemikiranku telah berubah tapi, apakah aku adalah pribadi yang baru? Jangan-jangan aku hanya merasa telah berubah tapi, sebenarnya masih memiliki hati yang sama seperti yang terakhir kali aku SMA? Aku pulang dan pertanyaan ini membekas di dalam hatiku.

Selama beberapa hari aku menggumulkannya. Aku semakin meragukan perubahan hatiku ketika aku melihat kondisi hidupku. Ternyata banyak sekali yang belum berubah dalam diriku. Aku masih berjuang lepas dari beberapa dosa pribadi. Masih kesulitan membangun relasi dengan keluarga besar. Masih memiliki kebiasaan-kebiasaan lama yang merusak. Masih dalam status kehidupan yang sama juga. Meskipun telah berjuang masih jatuh lagi dan rasa sulitnya masih sama. Jadi apakah aku sebenarnya memiliki pribadi yang baru atau selama ini aku hanya memodifikasi kebiasaan saja? Jangan-jangan hatiku masih hati yang lama. Hanya saja bentuk dosa atau kebiasaan lamanya saja yang berubah.

Hal ini menggelisahkanku. Terlebih jika aku mengingat pesan Injil bahwa Tuhan telah memberikan hidup yang baru, hati yang baru, pribadi yang baru kepada anak-anak-Nya. Apakah pesan itu benar? Bagaimana aku bisa yakin bahwa aku telah lahir baru?

Akhirnya aku bercerita tentang kegelisahanku ini kepada seorang abang rohani. Dia mengatakan bahwa pertanyaan mengenai: apakah aku diselamatkan, apakah aku memiliki hati yang baru, bagaimana aku bisa hidup dengan benar sesuai yang Alkitab ajarkan adalah salah satu pertanyaan orang benar. Sebelum lahir baru, hati seseorang tidak gelisah saat melakukan dosa. Namun, berbeda ketika dia sudah lahir baru. Sedikit saja ketidaksesuaian antara realita hidup dengan kehidupan yang diajarkan Injil, maka hatinya akan gelisah. Peka akan dosa, gelisah karenanya, berkeinginan membuangnya adalah ciri hati yang baru.

Abang tersebut juga menambahkan, “Dalam sebuah peperangan pasti ada pertempuran-pertempuran kecil di dalamnya. Mungkin kamu tidak akan mampu memenangkan semua pertempuran melawan dosa dan kebiasaan lama. Namun, Kristus telah memenangkan peperangan dan memberikan kemenangan kepada kita. Kalah dalam satu pertempuran bukan berarti kalah perang. Bangkit lagi, tempur kembali, tidak menyerah, kita sudah menang perang!” Perkataan ini kemudian meredakan badai konflik batinku.

Dalam waktu-waktu diamku, aku juga diingatkan bagian khotbah dari seorang apologet. Dia berkata bahwa waktu adalah kuas bagi Allah, melukiskan mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia. Tuhan tidak bekerja seperti slot machine yang segera mengeluarkan solusi sesaat setelah koin dimasukan. Tuhan bekerja dalam waktu seperti seorang seniman yang melukis mahakarya-Nya pada kanvas hati manusia.

Memang betul saat ini masih banyak pergumulan-pergumulanku yang sepertinya tidak memiliki kemajuan. Namun, jika aku mengingat ulang hidupku 10 tahun ke belakang dengan saksama, ternyata ada banyak sekali hal yang Tuhan ubahkan. Cara pandangku melihat beberapa hal dalam dunia ini sudah berubah. Aku yakin ini adalah pekerjaan Sang Seniman Agung. Melukis lewat kegiatan rutinku sehari-hari, bekerja diam-diam dalam waktu sekalipun aku tidak merasakannya.

Aku bersyukur dapat merenungkan perubahan hidupku di akhir tahun seperti ini. Mempersiapkanku untuk semakin mantap melangkahkan kaki memasuki tahun baru. Meyakinkanku bahwa Tuhan tetap bekerja dan peduli terhadapku. Sekalipun aku gagal bukan berarti aku kalah. Kegagalanku hari ini bukanlah akhir dari peperangan sebab kemenangan sudah diperoleh dalam nama Yesus Kristus.

Benarlah firman yang disampaikan nabi Yehezkiel, yang juga menjadi doaku selama ini:

“Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat. Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (Yehezkiel36:26-27)

Daripada aku, Tuhan jauh lebih merindukan perubahan terjadi di dalam hatiku.



Baca Juga:

Menemukan Kepuasan di Tengah Rutinitas Sehari-hari

Kita mendamba hidup yang menyenangkan, tapi kebanyakan dari kita malah hidup terjebak dalam rutinitas yang mungkin menjemukan. Bagaimana caranya agar kita bisa puas?

Bagaimana Usia 20-an Mengajariku Cara Pandang Baru untuk Menjalin Relasi

Oleh Winnie Little, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What My 20s taught Me About Relationships

Ketika aku memasuki usia 21 tahun—angka yang dianggap sebagai tahun pencapaian di banyak budaya—aku merasa yakin kalau aku sudah punya cukup kemampuan dan kedewasaan untuk menjalani kehidupan. Aku tinggal bersama dua kawan dekatku di kota yang indah. Kami menghabiskan kebanyakan waktu kami untuk belajar, mengobrol, dan jalan-jalan bareng. Sebentar lagi aku akan melanjutkan studi di program pasca sarjana. Masa depan yang cerah menanti di depanku.

Aku pun pulang ke kota asalku dan melanjutkan studi pasca sarjanaku di sana. Namun, aku jadi berpisah dengan teman-temanku dekatku di perantauan dulu. Dan, yang menyebalkan adalah: setelah bertahun-tahun hidup mandiri, aku merasa benci tinggal di rumah. Dengan segera jadwal kuliah yang super padat menghancurkan kepercayaan diri yang telah kubangun. Masalah-masalah datang silih berganti: kekhawatiran akan keuanganku, kesepian, dan relasiku dengan keluargaku yang tegang. Masalah-masalah ini terus ada sampai hampir sepuluh tahun. Kendati ada masa-masa sulit yang kulalui, ada pula beberapa pelajaran berharga yang mengubah hidupku yang bisa kupelajari.

Inilah beberapa pelajaran tersebut:

1. Bangun relasimu

Jelang akhir kuliahku, aku tinggal bersama sembilan mahasiswi lain. Satu di antara mereka sangat ramah dan selalu mengobrol denganku setiap kali aku pulang kuliah malam. Kami sama-sama Kristen dan punya selera humor yang sama pula. Aku menyayangi dia dan bersyukur karena kami bisa jadi kawan karib. Namun, aku sering khawatir setiap kali mulai mengerjakan tesis sehingga tiap pembicaraan singkat dengan temanku itu selalu terasa menyenangkan. Aku berusaha terhubung dengannya di liburan semesteran, tapi seringkali aku menunda untuk menghubunginya sampai akhirnya proses kuliah berjalan lagi. Aku terlanjur jadi sibuk lagi.

Di musim panas, aku mendapat kabar bahwa temanku itu telah meninggal dunia. Aku kaget setengah mati ketika menyadari aku tak akan lagi bisa berjumpa dengannya, berdoa bersama, atau sekadar mengirimkan kata-kata penguatan buatnya. Aku dipenuhi penyesalan, seharusnya aku bisa memanfaatkan libur di jeda semester untuk bertemu dan membangun relasi dengannya.

Dalam 1 Petrus 4:7-8, Petrus menulis: “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” Meski aku sudah tahu ayat ini, aku sekarang lebih menyadari betapa keluarga, teman-teman, dan rekan sekerja kita di bumi punya waktu yang terbatas untuk bersama-sama dengan kita. Oleh karenanya, aku secara aktif berusaha mencari kesempatan untuk berbuat baik pada mereka. Aku berusaha mengingat tanggal-tanggal penting. Dan, walau otakku pelupa, Google Calendar tidak. Aku meluangkan waktuku bersama teman-teman yang mengajakku untuk mengobrol bersama. Meskipun dulu aku suka menolak jika diajak bertemu karena aku tak suka aktivitas yang dilakukan, sekarang aku melihat ajakan itu sebagai waktu-waktu berharga yang bisa kunikmati bersama.

2. Jangan mudah tersinggung

Di awal-awal usia 20-anku, aku sering mengeluhkan para staf pelayan yang sering mengecewakanku. CS dari maskapai penerbangan yang kutelepon nada suaranya menjengkelkan. Penata rias yang produknya kubeli menolakku untuk menukar produknya. Operator internetku tak bisa menjelaskan kenapa aku diminta membayar padahal koneksiku saja terputus.

Aku pernah marah karena aku menganggap orang-orang yang kuhubungi tersebut kasar dan tidak solutif. Perbuatan mereka menunjukkan sikap tak jujur dan tak peduli. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengomel ke teman-temanku tentang orang-orang tersebut.

Tapi setelah aku bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun, aku mengubah caraku menghadapi marah dan rasa tersinggung. Dalam pekerjaanku, aku melihat bagaimana penyakit fisik sering pula membawa ketakutan, kesakitan, ketergantungan, dan beban finansial yang berat bagi pasien dan keluarga mereka. Aku melihat bagaimana orang-orang seperti ini tetap harus menjalani rutinitas, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia meskipun mereka tengah mengalami beban berat dan kepedihan hati. Aku menyadari bahwa orang-orang yang bersikap kasar kepadaku mungkin saja tengah menghadapi penderitaan yang tak dapat kupahami.

Alkitab secara jelas menegaskan agar kita berjalan dalam kasih dan tidak mudah marah (1 Korintus 13:5). Kita juga diminta untuk sabar dan mengampuni (Kolose 3:13). Hari-hari ini, ketika tindakan seseorang melukaiku, aku akan berhenti sejenak dan berpikir positif, “Mungkin mereka tak bermaksud begitu.” atau, “Mungkin mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Berpikir positif tersebut menolongku untuk mempraktikkan belas kasih, yang adalah penawar yang ampuh atas rasa marah. Hidup jadi lebih menyenangkan tanpa memendam amarah dan rasa sakit hati.

3. Belajar untuk berkata “tidak”

Aku termasuk kategori people-pleaser, ingin menyenangkan semua orang. Aku takut kalau menolak ajakan atau permohonan akan membuat orang lain berpikir aku malas dan egois, jadi aku pun mengiyakan hampir semuanya. Aku pernah menjadi relawan di banyak pelayanan gereja sampai-sampai aku merasa tak ada lagi waktu untuk beristirahat. Aku memberi uang lebih besar daripada pendapatanku untuk lembaga-lembaga amal. Aku jarang mengungkapkan pendapatku di kelompok. Di satu sisi, aku mengambil pekerjaan paruh waktu di samping pekerjaan utamaku karena aku tidak ingin menyinggung orang lain dengan menolak ajakan untuk memberi. Hari-hariku jadi terasa mencekik dan membosankan karena semua waktu luangku dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang menguras tenaga.

1 Korintus 12 memberi tahu kita bahwa sebagai anggota tubuh Kristus, setiap kita punya karunia yang berbeda. Paulus menekankan perbedaan-perbedaan ini dengan memberi analogi bagian-bagian tubuh kita. “Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman?” Dengan kata lain, Tuhan menciptakan kita dengan karunia tertentu untuk suatu tujuan. Rencana Tuhan adalah setiap karunia yang diberikan-Nya pada kita bisa digunakan untuk “kebaikan bersama” (1 Korintus 12:7). Aku dapat melayani seturut karunia yang Tuhan sudah berikan. Berusaha menjadi orang lain dan mengingkari diri sendiri tidak akan memberi kebaikan bagi orang lain.

Sekarang aku belajar untuk menolak dengan halus ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak tepat buatku. Melalui pertolongan dari seorang konselor, aku belajar pula untuk membuat keputusan yang lebih baik: Apakah aku punya kemampuan, semangat, atau peran tertentu? Apakah ada komitmen lain yang telah kubuat? Aku juga belajar untuk menunda menjawab suatu keputusan supaya aku punya waktu lebih untuk memikirkannya.

4. Pikirkan ulang caramu menolong orang lain

Seperti poin sebelumnya, aku sering berusaha untuk menyenangkan orang lain. Aku berusaha untuk memperbaiki masalah orang lain. Kupikir aku sedang melakukan tugasku sebagai orang Kristen yang dipanggil untuk saling menanggung beban (Galatia 6:2).

Suatu ketika, seorang temanku curhat tentang relasi dengan pacarnya yang membuat dia menderita. Kata-kata dan perbuatan pacarnya itu melukai hatinya dan membuat dia jadi rendah diri. Aku menyarankan dia untuk ikut konseling, memberinya daftar artikel bertopik relasi, dan berkata lebih baik jika dia putus saja. Tapi, betapa stresnya aku ketika semua saran itu tidak dilakukan dan dia selalu kembali curhat dengan masalah yang sama.

Momen itu membuatku menyadari bahwa aku gagal untuk membedakan apakah temanku itu butuh sekadar nasihat atau pertolongan. Aku tak pernah menyadari bahwa Paulus mengimbangi nasihatnya untuk saling menanggung beban dengan pernyataan lain dari Galatia 6:5, “Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.” Dengan naifnya aku berasumsi bahwa aku bisa membuat masalah yang rumit hilang dalam sekejap, padahal masalah teman-temanku adalah tanggung jawab dari pilihan yang telah mereka buat. Dan, jika yang sejatinya diinginkan oleh temanku hanyalah seseorang yang mau mendengarkan ceritanya, mungkin nasihat-nasihat yang kuberikan terasa sangat merendahkan mereka.

Ada banyak cara untuk saling menanggung beban orang lain tanpa menjadikan masalah mereka sebagai masalah kita pribadi. Kata-kata yang baik dapat menggembirakan hati (Amsal 12:25). Kita juga dapat menangis dengan mereka yang menangis (Roma 12:15). Hari-hari ini, aku belajar untuk mendengar dengan seksama dan bertanya secara spesifik apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Aku berdoa agar mereka dikuatkan; dan aku menahan lidahku untuk tidak berkomentar atas masalah mereka. Aku belajar pula untuk sabar saat mendengar, dan berdamai dengan ketidakberdayaanku untuk mengatasi semua masalah teman-temanku. Tuhan sanggup dan mampu bekerja seturut waktu-Nya.

Itulah pembelajaran yang kudapat di usia 20-anku. Secara garis besar, aku telah belajar untuk bersukacita atas relasiku dengan orang-orang di sekitarku, lebih bermurah hati, menanggapi dengan sukacita, dan menyadari keterbatasanku. Kuharap tulisan ini menolongmu untuk menapaki jalan hidupmu di depan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bersukacita Karena Persekutuan Injil

Sukacita terbesar dalam melayani seseorang adalah bukan hanya ketika mereka mengetahui tentang Tuhan, tetapi ketika melihat mereka mengalami pertumbuhan di dalam pengenalan dan kasih mereka kepada Tuhan.

Menulis Obituari di Masa Muda: Bagaimana Kamu Akan Dikenang Nanti?

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Beberapa minggu terakhir ini, aku dikejutkan dengan kabar kepergian figur yang aku tahu. Kabar pertama datang dari seorang pendeta di gerejaku tempatku berjemaat dahulu, dan juga kepergian seorang musisi Indonesia.

Ucapan belasungkawa dan testimoni singkat mengenai betapa baik hatinya orang-orang tersebut membanjiri timeline media sosialku. Aku membacanya dan tanpa sadar aku meneteskan air mata. “Tidak ada yang tahu tentang hari besok. Semua menjadi misteri.” Kata seorang temanku ketika aku berdiskusi dengannya mengenai kisah ini. Ya benar, Seperti dalam Yakobus 4:14 berkata “kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.”

Kisah tersebut, mengingatkan aku pada pertanyaan, “Seperti apakah kamu ingin dikenang saat kamu telah tiada?”

Pertanyaan ini pertama kali ditanyakan ketika aku masih orientasi mahasiswa baru. Saat itu, kami dibagi per kelompok 10-15 orang dan dibimbing oleh 2 orang kakak pembimbing. Materi orientasi saat itu bertemakan “tujuan hidup”, dan aku terkejut ketika kakak pembimbing memberikan sebuah lembaran kertas bergambarkan sebuah batu nisan kosong. Tak hanya itu, aku semakin terkejut ketika dia menyuruh kami menuliskan nama kami masing-masing di gambar batu nisan tersebut, diiringi tanggal lahir dan tanggal kematian. Tanggal kematian ditulis dengan tanggal yang sama dengan hari itu, tetapi 2 tahun dari sekarang. Hatiku bertanya-tanya, “Untuk apa sih? Ini terlihat sangat menyeramkan. Aku baru saja jadi mahasiswa baru, kok malah disuruh merancang kematianku sendiri.” Tapi, aku tetap mengikuti arahannya.

Saat itu kami diminta untuk menuliskan obituari kami sendiri. Yang kutuliskan adalah: “Aku ingin dikenang sebagai seorang Kristen yang taat. Pribadi yang ceria dan menghormati orang tua. Pribadi yang selalu membawa sukacita bagi orang lain. Pribadi yang membuat orang tua bangga karena kegigihan dan semangatnya.” Setelah menuliskan ini, kami disuruh untuk memikirkan langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Sebuah hal kecil yang selalu kuingat hingga hari ini.

Sekarang, ketika aku flashback ke masa-masa itu, aku menyadari bahwa setelah hari aku “dipaksa” memikirkan kematianku, aku jadi hidup dengan sebuah tujuan. Tujuan untuk hidup sebagai seorang Kristen yang taat, menjadi pribadi yang baik dan membanggakan bagi orang tua. Perlahan-lahan kugapai semua angan-angan tersebut. Walau belum sempurna, kisah mahasiswa baru itu membuatku untuk tetap berada pada track yang benar.

Pernahkah kamu berpikir hal ini? Warisan rohani apa yang ingin kamu tinggalkan bagi keluarga dan kerabatmu?

Jika aku ingin dikenang menjadi seorang pribadi yang cinta Yesus dengan segenap hati dan jiwa, maka dalam hidupku saat ini ku juga harus sejalan dengan isi hati-Nya. Membaca Firman Tuhan untuk mengetahui isi hati-Nya dan terus berkomunikasi dengan Dia melalui doa. Aku belajar membuat list pokok-pokok doa mingguan untuk menolongku berdoa bagi sesama, bukan saja berdoa tentang pribadiku. Hari Senin, aku mendoakan keluarga besarku. Hari selasa, aku mendoakan komunitas di mana aku bergereja dan bertumbuh. Aku bahkan menyebut nama mereka satu per satu dalam doaku. Dilanjutkan dii Rabu, aku mendoakan bangsa dan negara. Begitu seterusnya. Aku pun mengatur reminder di HP untuk saat teduh. Konsisten melakukan ini tidak mudah, seringkali aku pun gagal. Adakalanya aku melewatkan itu berhari-hari. Namun ketika gagal, aku diingatkan kembali oleh Roh Kudus untuk bangkit dan bahwa tujuan hidupku adalah untuk memuliakan Dia.

Tidak seorang pun kelak bisa menghindar dari kematian. Namun, ketika kita sudah menerima Kristus, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Aku ingin mengajakmu yang membaca cerita ini untuk mulai berpikir akan akhir hidup kita di dunia. Kita perlu memikirkan sesuatu yang lebih jauh, tentang hari depan. Ketika kita memahami bahwa kita akan diperhadapkan dengan kematian, sudah seharusnya kita tidak menjalani hidup dengan cara yang sia-sia. Kita bisa menjadikan hidup kita berkat bagi orang lain. Kita harus menghidupi kehidupan saat ini dengan sesuatu yang baik, berguna dan memenuhi apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidup kita.

Bulan ini kita telah merayakan Jumat Agung dan Paskah, kematian dan kebangkitan Yesus Krisus. Ketika Dia telah menyerahkan seluruh hidupnya bahkan nyawa-Nya untuk menebus dosa-dosa manusia, maka apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa menolong sesama kita hari ini. Mulai dari hal sederhana, bertanya kabar dan mendoakannya. Juga jika hari ini kita diberikan pekerjaan dan tanggung jawab, lakukanlah itu dengan sepenuh hati.

Aku teringat akan Paulus, rasul yang pelayanannya memberkati banyak orang. Paulus yang dulunya penganiaya orang-orang percaya diubahkan Tuhan menjadi seorang Kristen yang taat dan berapi-api. Dia tak cuma mengabarkan Injil, tapi juga memberikan hidupnya bagi Injil. Satu hal yang aku pelajari dari hidup Paulus adalah ketika dia menerima Kristus, hidupnya mengalami perubahan. Pandangannya mengarah kepada rancangan Tuhan. Hidupnya hari demi hari berfokus pada bagaimana dia harus menjadi berkat bagi banyak orang.

Yuk ambil waktu sejenak untuk menuliskan obituari kamu sendiri. Jadikan apa yang akan kamu tulis di sana, sebagai sebuah komitmen bagaimana kamu akan menghidupi hari-harimu hari ini dan besok.

Baca Juga:

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Yang terkasih, sahabatku,

Tahun telah berganti, tetapi kamu tidak ingin melangkah sebab orang yang paling kamu kasihi, telah meninggalkanmu di tahun sebelumnya. Semarak pesta pergantian tahun tidak membuatmu terpesona. Kamu mungkin merasa lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar. Dan, mungkin pula kamu berharap ada mesin waktu yang dapat membawamu kembali ke masa-masa dulu.

Saat Aku Tidak Punya Kesaksian Hidup yang Mengesankan

Oleh Jean, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 没有“完美”的见证 ,我怎么知道自己得救了呢?(有声中文)
Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Aku lahir di keluarga Kristen. Sejak kecil aku sudah mengikuti sekolah Minggu, kebaktian, bahkan kelompok sel dalam keluarga.

Selama aku di gereja, aku sering mendengar cerita-cerita mengesankan tentang perjumpaan pribadi seseorang dengan Tuhan. Ada orang yang disembuhkan dari penyakit mereka. Ada orang yang mendengar suara Tuhan ketika mereka diundang beribadah di gereja. Ada juga orang yang dipenuhi Roh Kudus, dan setelah menerima Kristus, hidup mereka diubahkan sedemikian rupa.

Kesaksian-kesaksian seperti itu membuatku kagum. Aku jadi yakin kalau saja seandainya aku punya kesaksian yang mengesankan seperti itu, aku pasti bisa membawa lebih banyak orang kepada Kristus.

Aku percaya bahwa Yesus mati untuk menebus dosa-dosaku dan Dia bangkit di hari ketiga. Tapi, aku juga percaya akan hal lain. Aku pernah diberitahu bahwa salah satu tanda seseorang telah diselamatkan adalah mereka punya kesaksian yang mengubahkan hidup. Aku jadi yakin bahwa orang-orang Kristen yang sejati hanyalah orang-orang percaya yang memiliki kesaksian yang menarik. Tapi, keyakinan ini jadi sangat menggangguku karena aku sendiri tidak punya kesaksian yang dramatis. Apakah aku benar-benar sudah diselamatkan?

Sementara aku bergumul dengan pertanyaan itu, aku terus melayani dengan aktif di gereja, membaca Alkitab, dan berdoa setiap hari. Selama masa itu, Tuhan dengan setia berbicara kepadaku melalui khotbah-khotbah, firman-Nya, dan orang-orang di sekitarku. Meski begitu, aku masih mempertanyakan keselamatanku.

Dalam pengejaranku untuk memperoleh kesaksian yang “sempurna”, aku memutuskan untuk menjauhi Tuhan secara sengaja. Aku berhenti membaca Alkitab dan berdoa. Aku juga mencoba untuk mengurangi pelayananku di gereja. Kupikir dari cara-cara itu nantinya aku akan memiliki kisah tentang bagaimana aku “menjauh” dari Tuhan dan akhirnya kembali lagi. Dan, kupikir cerita itu akan jadi kesaksian yang bagus untuk dibagikan.

Tapi, hatiku tidak merasa damai saat aku menjalani rencanaku itu. Waktu aku ingin berdoa, aku malah jadi merasa takut. Hingga suatu hari, aku memutuskan bahwa inilah waktunya untuk “bertobat”, dan aku mulai membaca Alkitab dan berdoa lagi.

Dalam hatiku, aku merasa cukup puas karena akhirnya aku memiliki kesaksian yang terlihat “sempurna”. Tapi, tiap kali aku berpikir untuk membagikan “kesaksian” ini, hatiku tidak damai—karena aku tahu kalau aku membuat-buat cerita itu. Setiap kali aku membagikannya, aku selalu merasa bersalah.

Akhirnya, saat aku berumur 16 tahun, aku menyadari betapa bodohnya aku setelah aku membaca sebuah artikel yang dibagikan temanku di Facebook. Artikel itu ditulis untuk mereka yang tumbuh besar di keluarga Kristen.

Artikel itu dimulai dengan cerita seorang perempuan yang merasa frustrasi karena dia tidak memiliki kesaksian hidup yang terlihat “sempurna”. Dia bertanya pada ibunya apakah dia tidak “cukup menjauh dari Tuhan”, hingga Tuhan tidak memberikannya kesaksian hidup yang bagus? Cerita ini menyentakku. Bukankah perempuan ini sepertiku?

Aku merefleksikan artikel ini dengan diriku, dan inilah yang kemudian mengingatkanku bahwa Tuhan memberikan setiap kita kisah hidup yang berbeda-beda. Aku mungkin tidak memiliki kesaksian yang dramatis. Tapi, aku masih memiliki kisah perjumpaan pribadiku dengan Tuhan yang kualami dalam kehidupan sehari-hariku.

Contohnya, Tuhan selalu setia menjawab doa-doaku, baik ketika aku berdoa untuk ujian ataupun pertemananku. Membagikan kisah-kisah kecil ini kepada keluargaku dalam Kristus seringkali menjadi momen yang menguatkan mereka.

Dan, meskipun aku tidak memiliki cerita-cerita menarik yang dapat kubagikan dengan orang yang belum percaya, aku masih bisa menemukan banyak kesempatan untuk membagikan kisah tentang Tuhan dan bagaimana Dia telah bekerja dalam hidupku. Misalnya, teman-temanku di sekolah mungkin bertanya mengapa aku tidak khawatir di saat akan menghadapi ujian. Di sinilah aku punya kesempatan untuk bercerita kepada mereka tentang bagaimana Tuhan menyertaiku dalam segala sesuatu. Aku tidak perlu iri pada kesaksian orang lain karena Tuhan menggunakan cerita yang berbeda-beda untuk menarik orang yang berbeda-beda pula kepada-Nya.

Yang terpenting, kisah yang paling baik—kisah tentang bagaimana Yesus turun ke dunia untuk menebus seluruh umat manusia dan membawa kita kepada Bapa—telah tertulis dan kita semua memiliki peran dalam cerita tersebut.

Perlahan aku sadar bahwa aku tidak perlu memiliki kesaksian yang dramatis untuk diselamatkan. Aku sudah terlebih dulu diselamatkan ketika aku mengakui Kristus sebagai Tuhanku dan aku percaya pada-Nya dalam hatiku (Roma 10:9).

Aku malu karena baru menyadari kebenaran ini belakangan. Namun, aku bersyukur untuk pengalaman ini, karena inilah yang mengingatkanku bahwa kehidupan Kristen tidak hanya bergantung pada kesaksian yang dramatis. Yang terpenting adalah aku berusaha membangun relasiku dengan Tuhan, meluangkan waktu dengan-Nya setiap hari, membagikan pikiran dan perasaanku pada-Nya, dan meminta tuntunan-Nya di hidupku.

Kita tidak perlu khawatir kalau kita tidak memiliki kesaksian yang “sempurna”, atau iri pada orang lain yang memiliki kesaksian seperti itu. Rasa iri itu hanyalah kesia-siaan! Yang terpenting adalah kita mengakhiri pertandingan dengan baik, mencapai garis akhir, dan memelihara iman kita (2 Timotius 4:7).

Baca Juga:

Pergumulanku untuk Beradaptasi di Gereja yang Baru

Pindah ke gereja yang baru, yang berbeda dari gerejaku sebelumnya sempat membuatku merasa asing. Namun, melalui serangkaian proses dan berjalannya waktu, aku bersyukur atas gerejaku yang baru ini.