Posts

Bolehkah Orang Kristen Menjadi Fans K-Pop?

fans-k-pop

Oleh Lee Soo Yi, Malaysia
Artikel Asli dalam Bahasa Simplified Chinese: 终于,爱上帝多过爱Big Bang

Pada tahun 2007, temanku memperkenalkanku pada dunia K-Pop (Musik Pop Korea) dan itu mengubah hidupku. Saat itu aku duduk di bangku SMA kelas 3. Aku begitu menyukai segala yang berhubungan dengan K-Pop: wajah tampan dari para bintangnya, cara berpakaian mereka yang trendi, suara mereka yang begitu merdu, dan gerakan tubuh mereka yang begitu lentur. Aku menjadi seorang fans K-Pop.

Aku terobsesi dengan boyband hip-hop “Big Bang”. Selain menghabiskan banyak uang untuk membeli album, merchandise, dan tiket konser mereka, aku juga bisa mengobrol lama sekali dengan teman-temanku, membicarakan tentang betapa tampannya personil boyband tersebut. Saat kuliah, aku bahkan membelanjakan hampir Rp 3.000.000 untuk menonton penampilan mereka. Aku masih ingat dengan jelas malam itu: mood-ku begitu riang, semangat berkobar-kobar dan semua orang bernyanyi dan berteriak sepuasnya. Itu seakan kita tidak mempedulikan hal lain di dunia ini. Sejak saat itu, aku semakin terobsesi dengan K-Pop, atau Big Bang, khususnya.

Aku tidak bisa melewatkan satu hari tanpa memeriksa ponselku untuk mencari kabar terbaru tentang Big Bang. Aku terus-menerus mendengarkan lagu-lagu mereka dan secara rutin menelusuri forum-forum penggemar untuk mencari hal-hal terbaru tentang hidup mereka. Aku bahkan disebut “Ensiklopedia K-Pop” karena aku mengetahui segala detail dan hal-hal kecil tentang K-Pop. Dan itu berlangsung sampai tahun keduaku saat kuliah, ketika aku mengambil sebuah komitmen untuk mendedikasikan lagi hidupku kepada Tuhan.

Awalnya, aku sangat bergairah dengan imanku. Aku memutus hubungan dengan apapun yang berhubungan dengan K-Pop karena aku ingin memfokuskan diriku dengan sepenuh hati kepada Tuhan. Tapi itu tidak bertahan lama. Pelan-pelan, semangatku mulai pudar dan sebelum aku menyadarinya, K-Pop kembali mengambil alih hidupku.

Namun, kali ini aku bergumul. Dalam sebuah usaha tawar-menawar untuk menyatukan imanku dengan minatku, aku memutuskan untuk menanyakan pertanyaan ini kepada pemimpin gerejaku, “Apakah orang Kristen bisa menjadi seorang fans K-Pop?” Mereka menjelaskan kepadaku bahwa itu baik-baik saja untuk mengapresiasi keindahan dari budaya Korea. Namun, kita perlu berhati-hati untuk tidak menjadi buta dalam mengidolakan bintang-bintang Korea tersebut, sedemikian jauh hingga mereka menggantikan tempat Tuhan di dalam hati kita. Meskipun jawaban mereka masuk akal, aku tidak terpikir bagaimana cara mengaplikasikannya. Sampai sejauh apa aku dapat mengagumi mereka? Apakah aku masih boleh membeli album-album mereka, menonton konser-konser mereka atau jumpa fans mereka? Jika hidup dan tindakan mereka berlawanan dengan firman Tuhan, apakah aku masih boleh menyukai lagu-lagu mereka?

Jadi, aku terus bergumul kapanpun dihadapkan pada pilihan antara Tuhan dan Big Bang, seperti misalnya, apakah aku harus pergi ke gereja atau ke konser mereka yang diadakan di hari Minggu. Aku juga bergumul untuk menyisihkan waktu untuk membaca firman Tuhan dan berdoa, ketika apa yang aku inginkan adalah menonton video musik terbaru mereka.

Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu bahwa Big Bang pelan-pelan menggantikan tempat Tuhan di dalam hatiku dan ini tidak boleh dibiarkan lebih lanjut. Meskipun aku tahu apa yang benar yang harus aku lakukan, aku bergumul dengan sangat. Ketika masa itulah aku memutuskan untuk melakukan beberapa hal berikut ini:

1. Berdoa kepada Tuhan.

Aku terjebak dalam kecanduanku akan K-Pop dan sekuat apapun aku mencoba, aku tidak dapat mengontrol diriku dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa lepas dari K-Pop. Itulah saat di mana aku memutuskan untuk kembali kepada Tuhan di dalam doa dan mempercayakan semua masalah dan pergumulanku kepada-Nya. Aku meminta-Nya untuk melepaskanku dari kecanduanku akan K-Pop dan menolongku untuk menemukan kepuasan sejati di dalam Dia. Aku juga berdoa memohon hikmat untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai seorang fans K-Pop.

2. Menyadari bahwa bintang-bintang K-Pop juga seperti setiap kita.

Boleh-boleh saja bagi orang-orang Kristen untuk memiliki hobi, kesukaan, dan ketidaksukaan. Kita cenderung mengagumi, menyukai, dan memperhatikan mereka yang lebih baik daripada kita atau mereka yang memiliki talenta yang luar biasa. Namun Alkitab memberitahu kita dalam Kejadian 1:26-27 bahwa Tuhan menciptakan manusia serupa dengan gambar-Nya—ini berlaku untuk bintang-bintang K-Pop juga. Mereka diciptakan serupa dengan gambar-Nya dan seperti kita, mereka adalah manusia normal dan mempunyai kelemahan. Ketika aku menyadari kebenaran ini, aku dapat melihat mereka dari perspektif yang benar dan tidak mengagungkan mereka secara berlebihan. Tidaklah benar untuk meninggikan siapapun atau apapun menjadi seperti Tuhan, baik kita sadari ataupun tidak. Seperti Keluaran 20:3 yang mengatakan, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” Allah adalah satu-satunya yang layak mendapatkan tempat tertinggi di dalam hati kita. Dialah satu-satunya yang layak kita sembah dengan segenap hati kita dan satu-satunya yang dapat memberikan kepuasan sejati di dalam hati kita.

3. Menggunakan minatku untuk Tuhan.

Awalnya, aku mencoba untuk mengabaikan semua hal yang berhubungan dengan K-Pop. Aku memperlakukan itu seakan itu adalah sebuah dosa yang mengerikan. Namun, melakukan itu hanya membawaku pada penderitaan dan keputusasaan. Suatu hari, tiba-tiba aku terpikir untuk berdoa kepada Tuhan dan meminta-Nya untuk memberikanku kebijaksanaan untuk menggunakan minatku ini sebagai sebuah alat untuk melayani Dia. Aku bukanlah seorang yang pandai bergaul, aku bukanlah seseorang yang akan menghampiri seorang asing untuk memberitakan Injil kepada mereka. Namun aku ditugaskan oleh pemimpin-pemimpin gerejaku untuk terlibat di dalam pelayanan pemuda dan itu mengharuskanku untuk keluar dari zona nyamanku.

Awalnya, aku tidak tahu bagaimana harus memulainya. Namun aku menyadari bahwa banyak anak muda yang menyukai K-Pop, minatku ini beralih menjadi sebuah pembuka percakapan yang sangat baik dan menjadi jembatan bagiku untuk membangun keakraban, dan akhirnya dapat memberitakan Injil kepada mereka. Hal ini membuatku menyadari bahwa apapun dapat digunakan untuk pekerjaan Tuhan—bahkan K-Pop. Tapi ingat: aku tidak mengatakan bahwa semua hal tentang K-Pop diperbolehkan oleh firman Tuhan. Kita masih harus mengingat apa yang dikatakan dalam 1 Korintus 10:23, “‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Hanya ketika aku bergantung kepada Tuhan, aku akhirnya dapat melihat minatku akan K-Pop dari sudut pandang Tuhan.

4. Menyisihkan waktu untuk Tuhan.

Selain meminta pertolongan Tuhan untuk mengekang obsesi kita, kita juga dapat mengambil langkah-langkah praktis lain untuk menjaga hati kita. Salah satunya adalah dengan membatasi penggunaan ponsel kita, dan sebagai gantinya, pergi ke alam terbuka untuk mengagumi ciptaan-Nya, merefleksikan firman-Nya di dalam hidup kita. Ikutilah panggilan yang diberikan Tuhan dalam Yakobus 4:8, “Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu.” Aku menyadari bahwa mendekat kepada Allah membawa sukacita dan damai ke dalam hatiku, yang tidak pernah aku alami sebelumnya—tidak peduli berapa banyak konser yang aku hadiri. Hanya ketika kita bertumbuh di dalam hubungan kita dengan Allah, kita akan belajar untuk bisa mengurangi rasa khawatir kita dan membuat kita lebih tahan terhadap godaan yang ditawarkan dunia.

5. Berdoa untuk bintang K-Pop favoritmu.

Seperti yang aku katakan sebelumnya, bintang-bintang K-Pop adalah manusia juga. Mereka lemah dan mereka membutuhkan Tuhan sama seperti kita membutuhkan Tuhan. Jadi, berdoalah bagi mereka dengan sungguh-sungguh agar mereka dapat mengenal Tuhan kita yang besar sehingga mereka dapat menjadi cahaya yang bersinar bagi Dia. Dulu, aku ingat bagaimana aku dikuatkan oleh salah satu anggota Big Bang, Tae Yang, yang mengakui iman Kristennya di dalam pertunjukan-pertunjukannya kepada publik. Dan aku yakin aku bukanlah satu-satunya fans yang merasakan hal itu. Jadi, marilah kita mendoakan para bintang yang kita sukai, agar mereka dapat mengenal Tuhan, menunjukkan keindahan dan kebaikan-Nya di dalam dan melalui hidup mereka sehingga orang-orang lain dapat melihatnya dan mengenal Tuhan secara pribadi.

* * *

Aku bersyukur kepada Tuhan karena Dia memahami kesulitan-kesulitan dan pergumulan-pergumulanku dan melepaskanku dari obsesiku akan K-Pop. Meskipun sekarang aku masih menjadi fans K-Pop, khususnya Big Bang, aku tidak lagi terobsesi kepada mereka seperti dulu atau merasa ada yang kurang jika tidak menonton video musik mereka setiap hari. Sebaliknya, yang membuatku merasa ada yang kurang sekarang adalah ketika aku tidak membaca firman Tuhan atau berelasi dengan-Nya.

Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan di dalam hidupku dan tidak ada apapun yang dapat mengambil tempat-Nya di dalam hatiku.

Baca Juga:

Inspirasi yang Aku Dapatkan dari Dalam Penjara

Aku mempersiapkan diriku untuk pertemuan itu, sembari memikirkan bagaimana aku harus berkata-kata dan bersikap di tengah mereka. Hatiku berdebar-debar, tidak sabar menantikan pertemuan itu, namun aku juga menjadi gugup karena aku belum pernah berinteraksi dengan para tahanan sebelumnya. Dan aku begitu terkejut ketika akhirnya aku bertemu mereka.

Aku Menutup Akun Media Sosialku, dan Inilah yang Terjadi

aku-menutup-akun-media-sosialku

Oleh Albert Sebastian

Suatu kali, aku menerima sebuah pesan yang mengagetkan yang mengatakan bahwa melihat media sosial bisa menyebabkan kematian. Berikut adalah isi pesannya:

A: “Berita terbaru! Lihat media sosial bisa menyebabkan KEMATIAN!”
B: “Kok bisa?”
A: “Iya, keasyikan lihat media sosial, sampai ketabrak truk!”

Ya, ternyata pesan itu hanya sekadar candaan semata. Namun pesan itu membuatku jadi berpikir, mungkinkah kejadian seperti yang ada dalam pesan tersebut terjadi? Aku teringat salah satu survei yang dilakukan oleh Informate Mobile Intelligence yang mengungkapkan fakta bahwa orang-orang Amerika membuka media sosial yang mereka miliki melalui smartphone mereka sebanyak 17 kali sehari. Wow, sangat banyak, ya. Namun jumlah itu bahkan tidak sebanyak orang-orang di Thailand, Argentina, Malaysia, Qatar, Meksiko, dan Afrika Selatan yang membuka media sosialnya setidaknya 40 kali sehari! Kalau kita sebegitu seringnya menatap layar ponsel kita bahkan ketika kita sedang berjalan, bukan tidak mungkin kita bisa menjadi lengah dan tidak melihat truk yang lewat.

Dahulu, aku adalah orang yang mempunyai banyak sekali media sosial. Aku pernah menggunakan Path, Twitter, Facebook, LinkedIn, Instagram, Ask.fm, Flickr, 17, BeeTalk, KakaoTalk, dan LINE secara bersamaan (cukup ke-’kini’-an kan ya?). Suatu hari, ketika aku sedang asyik upload foto, salah seorang temanku berkata, “Ribet banget sih hidupmu, dikit-dikit harus upload foto.” Sepenggal kalimat tersebut menamparku dan membuatku merenungkan mengapa aku menggunakan semua media sosial tersebut.

Hasil perenungan dari pengalamanku membuatku menemukan beberapa motivasi yang mungkin menjadi alasan orang-orang menggunakan media sosial.

1. “Aku lagi sedih/kesepian/kesel… Komen dong!”

Mungkin ada yang merasa sepi, sedih, atau marah, sehingga mereka menuliskan status yang menarik perhatian untuk mengundang komentar orang-orang (atau pesan untuk seseorang malah dijadikan status di media sosial, contohnya: Aku tuh sayang banget sama kamu, ngerti gak sih?).

2. “Aku lagi di sini nih. Keren kan?!”

Mungkin ada juga yang posting di media sosial untuk memamerkan apa yang dimiliki atau dilakukannya, seperti sedang ada di tempat yang keren, punya barang baru, atau baru menjalin sebuah hubungan yang baru.

3. “Aku ganteng/cantik kan?!”

Mungkin juga ada yang posting foto-foto selfie-nya untuk pembuktian diri. Contohnya, meskipun aku memang sudah ganteng dari lahir (percaya saja ya, hehe), kadang aku merasa perlu ada orang-orang yang mengkonfirmasi hal itu. Keinginan untuk ada orang yang memuji diriku membuatku berfoto selfie dan meng-edit hasil fotonya agar terlihat semakin ganteng sebelum di-upload.

4. “Janganlah kamu bla bla bla…”

Selain itu, ada juga yang menyebarkan kata-kata mutiara atau kata-kata yang sedang pas dengan isi hati, atau bahkan firman Tuhan. Kadang bisa juga buat curhat, supaya orang tahu apa yang kita rasakan melalui tulisan yang kita retweet, repath, atau share.

5. “Update ajah…”

Yang terakhir, mungkin ada juga yang posting di media sosial untuk sekadar terlihat eksis. Contohnya, update sleep/awake di Path.

* * *

Memang banyak juga orang-orang yang menggunakan media sosial untuk hal-hal yang positif, namun dalam kasusku, kebanyakan aku menggunakan media sosial agar hidupku tidak sepi, untuk pamer, atau sekadar lucu-lucuan saja. Kadang memang aku juga menyebarkan firman Tuhan dengan membagikan ayat-ayat atau apa yang aku renungkan. Namun jumlahnya tidak sebanyak curhatanku.

Setelah aku menyadari bahwa begitu banyak waktu yang telah terbuang sia-sia untuk media sosial, aku memutuskan untuk memotivasi diriku untuk mengurangi media sosial yang aku gunakan. Akhirnya, aku berhenti menggunakan banyak media sosialku, dan hanya menggunakan yang aku butuhkan saja. Hasilnya, setidaknya ada 4 manfaat yang aku rasakan.

1. Lebih banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar

Menurut survei tadi, pengguna smartphone dalam sehari dapat menatap layar ponselnya untuk menggunakan media sosial hingga 4,7 jam. Ketika aku mengurangi media sosial yang aku gunakan, aku bisa menggunakan waktu-waktu ini untuk ngobrol dengan keluarga, teman, sahabat, atau pacar.

Ada yang berkata bahwa media sosial itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Aku merasa ucapan itu ada benarnya. Ucapan itu membuatku berpikir, jangan sampai keluargaku atau orang-orang terdekatku merasa tersisihkan dan kurang aku perhatikan karena aku sibuk dengan media sosial.

2. Lebih berani menghadapi dunia nyata

Awalnya, aku merasa lebih mudah berkata-kata di media sosial daripada berbicara langsung di dunia nyata. Namun setelah mengurangi menggunakan media sosial, aku menjadi lebih berani untuk mengungkapkan apa yang aku pikirkan atau rasakan secara langsung.

3. Lebih banyak membaca firman Tuhan & renungan, bukan sekadar judulnya

Aku sering share artikel-artikel rohani di media sosial, namun sering kali aku hanya membaca judulnya saja, dan share artikel itu karena judulnya yang bagus, dan berharap banyak orang yang bisa nge-like (khususnya si ‘dia’). Namun, ketika aku mengurangi menggunakan media sosial, aku dapat menggunakan waktu browsing media sosial untuk membaca artikel-artikel rohani tersebut secara lengkap.

4. Melakukan hal-hal yang lebih produktif

Banyak waktu yang tadinya aku gunakan untuk menggunakan media sosial, kini dapat aku gunakan untuk hal-hal lain yang lebih produktif. Contohnya, waktu-waktu yang dulunya untuk mengetik status di media sosial sekarang dapat aku gunakan untuk mengetik artikel untuk WarungSaTeKaMu. Contoh lain, daripada update status “lagi belajar nich…” dan mengamati jumlah like dari waktu ke waktu, lebih baik waktunya digunakan untuk belajar beneran.

* * *

Maksudku menulis artikel ini bukanlah agar teman-teman menghapus akun-akun media sosial yang teman-teman miliki seperti yang aku lakukan. Yang terpenting adalah kita dapat menggunakan media sosial kita dengan bijak dan jangan bergantung kepadanya. Sebuah ayat mengingatkanku tentang hal ini:

“Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” (Kolose 4:5-6).

Sudahkah kamu menggunakan media sosialmu dengan bijak? Yuk kita jadikan media sosial yang kita gunakan menjadi bermanfaat untuk kebaikan diri kita, kebaikan orang-orang di sekitar kita, dan yang terutama, memuliakan Tuhan kita.

Baca Juga:

5 Pertanyaan untuk Menguji Apakah Idolamu Telah Menjadi Berhalamu

Allah secara jelas memberi perintah pada umat-Nya agar mereka hanya menyembah Dia saja. Namun mula-mula, kita perlu mengidentifikasi apakah “berhala” yang kita miliki dalam hidup kita. Di dalam artikel ini, kamu akan menemukan beberapa pertanyaan yang dapat menolong kita mengidentifikasi apakah sesuatu sudah menggantikan Allah di dalam hidup kita.

5 Pertanyaan untuk Menguji Apakah Idolamu Telah Menjadi Berhalamu

apakah-idolamu-telah-menjadi-berhalamu

Oleh Grace Debora

Aku terbawa dalam demam Korea dan menjadi penggemar berat K-pop di tahun 2009. Pada waktu itu, aku sangat terobsesi dengan boyband yang beranggotakan 12 orang, Super Junior. Setiap jam istirahat, aku dan teman-temanku berkumpul dan dengan semangat membicarakan tentang personil-personil favorit kami, video Youtube yang semalam kami tonton, dan juga informasi-informasi yang kami gali tentang mereka.

Kultur pop telah mendarah daging dan menjadi bagian dari kehidupan anak muda sehari-hari. Siapa yang tidak kenal ratu pop, Taylor Swift, grup boyband terkenal asal Inggris, One Direction, boyband populer Korea, EXO, atau aktor pemeran drama hits Descendants of the Sun, Song Joong-ki? Dengan kemudahan memperoleh informasi, sangatlah gampang bagi kita untuk menjadi terobsesi dengan “idola” favorit kita dan tersedot ke dalam dunia dan keseharian mereka. Pada kasusku ini, kebiasaanku yang demikian berlangsung kira-kira selama 1 tahun hingga Tuhan menarikku kembali dan mengingatkanku bahwa fokus hidupku telah bergeser.

Istilah “idola” (dalam bahasa Inggris: idol), kini sering digunakan untuk menjelaskan siapapun yang kita puja atau idolakan. Namun di Alkitab, kata “idol” (“berhala”) menunjuk pada allah asing atau apapun yang menggantikan Allah dalam kehidupan kita. Bahkan, perintah pertama yang diberikan Allah kepada bangsa Israel adalah, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3). Di tengah-tengah kultur penyembahan berhala, Allah secara jelas memberi perintah pada umat-Nya agar mereka hanya menyembah Dia saja.

Allah juga menginginkan hal yang sama dari kita hari ini. Namun mula-mula, kita perlu mengidentifikasi apakah “berhala” yang kita miliki dalam hidup kita. Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang menolongku mengidentifikasi ketika sesuatu sudah menggantikan Allah di hidupku:

1. Bagaimana kamu menggunakan waktumu?

Banyak waktu yang kita habiskan untuk melakukan sesuatu menunjukkan seberapa penting hal tersebut dalam hidup kita. Ketika aku sedang tergila-gila pada Super Junior, aku bisa menghabiskan seluruh waktuku sepulang sekolah hingga larut malam untuk mengunduh dan menonton video, dan membaca semua artikel tentang mereka.

2. Bagaimana kamu menggunakan energi dan uangmu?

Selain waktu, kita juga tanpa sadar akan menuangkan seluruh tenaga dan hal lain yang kita miliki untuk mengembangkan hal yang kita sukai. Aku rela menghabiskan banyak uangku untuk membeli album mereka, menonton konser, membeli merchandise mereka, bahkan dengan rela mengikuti program sosial yang diselenggarakan oleh klub fans internasional mereka. Selain itu, terkadang aku juga bisa tersulut emosi ketika orang menjelekkan grup favoritku ini—bahkan aku bisa membenci dan menjadi sangat marah kepada mereka.

3. Seberapa banyak konten tentang idolamu yang kamu simpan dalam ponselmu?

Apa yang kita cari di dunia maya, yang kita dengarkan, dan yang kita lihat di dalam media sosial kita mengindikasikan apa yang mengisi hidup kita. Ketika masa itu, ponselku benar-benar dipenuhi dengan gambar dan foto-foto Super Junior. Daftar musikku penuh dengan hampir seluruh lagu dari semua album yang pernah mereka keluarkan. Media sosialku penuh dengan update dari klub fans atau artis idolaku itu. Aku mengikuti banyak situs berita K-pop dan bahkan membuat akun dalam situs-situs tersebut hanya untuk dapat mengikuti perkembangan artis favoritku ini.

4. Bagaimana kondisi hidupmu saat ini?

Ketika Allah bukan lagi yang pertama dan yang terutama, maka hal ini akan tercermin melalui kondisi hidup kita. Hidup kita tidak akan lagi teratur dan semuanya menjadi kacau. Ketika masa-masa itu, jam tidurku menjadi kacau, tugas dan tanggung jawabku di sekolah berantakan dan hanya dikerjakan seadanya, pelayananku di gereja pun serasa kosong. Walaupun aku membaca Alkitab, pikiranku jauh sekali dari firman-Nya.

5. Apakah lingkungan pergaulanmu membawamu mendekat kepada Allah?

Ada peribahasa yang mengatakan bahwa burung yang sejenis terbang bersama dalam satu kelompok. Hal ini juga yang aku alami. Teman-temanku adalah mereka yang juga menyukai grup idola yang sama dan melakukan hal yang sama denganku. Perbincangan dan persahabatan kami awalnya terlihat asyik, tetapi sebenarnya ini pergaulan ini tidak membawaku ke mana-mana.

Aku pun mulai membatasi keterlibatanku di gereja dan tidak berusaha bergaul dengan orang lain di luar teman-temanku yang menyukai Super Junior. Aku pun merasa tidak perlu bergaul dengan kelompok yang lain karena merasa teman-temanku ini yang paling asyik. Di kemudian hari, aku pun menemukan bahwa beberapa temanku berhenti bergaul denganku karena mereka merasa tidak nyambung dan tidak nyaman.

* * *

Walaupun Allah telah menggunakan teman-temanku dan berbagai khotbah serta renungan untuk memperingatkanku, aku mengabaikan peringatan tersebut hingga suatu khotbah memaksaku untuk berpikir ulang mengenai siapa aku dan untuk apa aku hidup. Ketika itulah, aku menemukan bahwa aku telah menyia-nyiakan hidupku. Rasa bersalah dan penyesalan menyelimuti diriku ketika aku berhadapan dengan kenyataan bahwa bukan lagi Allah yang aku sembah. Aku telah menjadikan Super Junior berhalaku.

Aku pun bertobat. Aku menghapus semua video, membuang semua merchandise yang telah aku kumpulkan, intinya aku menyingkirkan semua hal yang berhubungan dengan Super Junior. Awalnya, hal ini sangat sulit—tetapi perasaan itu hanya bertahan seminggu. Hal yang paling sulit adalah tidak bisa mengikuti pembicaraan dengan teman-temanku. Meskipun demikian, aku bersyukur kepada Allah karena Ia menolongku mempertahankan teman-temanku. Allah juga mengembalikan sahabat-sahabatku yang sudah menjauh.

Berhala dapat memiliki berbagai macam bentuk. Itu bisa saja berupa pekerjaan kita, media sosial, drama televisi, atau bahkan pelayanan kita di gereja—apapun yang menyebabkan kita kehilangan fokus dan waktu pribadi dengan Allah. Pada waktu kuliah, aku terikat dengan film dan drama televisi. Tetapi, Allah kembali mengingatkanku dan memampukanku untuk berubah.

Allah tidak akan membiarkan anak-anak-Nya berkubang dalam dosa. Ia mau kita hidup sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya. Karena itu, Ia pasti akan memakai berbagai cara untuk membawa kita kembali kepada-Nya. Jika kita merasa dan sadar bahwa Allah sedang mengingatkan kita untuk kembali kepada-Nya, segeralah taat dan berbalik. Mari jadikan Dia sebagai yang utama dalam hidup kita.

Baca Juga:

Hati-Hati, Jangan Sampai Hiburan Membuatmu Menjadi 3 Hal Ini

Joanna menyadari bahwa kecintaannya akan berita-berita dunia hiburan telah membuatnya menjadi 3 hal ini, dan sebuah ayat Alkitab telah menolongnya untuk dapat berubah. Baca kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.

Hati-Hati, Jangan Sampai Hiburan Membuatmu Menjadi 3 Hal Ini

hiburan

Oleh Joanna Hor
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Entertainment Made Me FAT

Aku merasa kecewa baru-baru ini dan itu bukan karena Taylor Swift dan Calvin Harris yang baru putus (Meskipun hal itu tidak terduga).

Yang membuatku kecewa adalah Johnny Depp. Seperti yang sudah kamu tebak, aku adalah fans-nya. Kesukaanku dengan aktor Amerika itu dimulai pada tahun 2003 ketika dia berperan sebagai Kapten Jack Sparrow di dalam film Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl. Saat ini, mungkin kamu telah membaca tentang perceraiannya dengan istrinya, Amber Heard—yang katanya menggugat cerai Johnny hanya beberapa hari setelah kematian ibu Johnny. Dan kemarin, aku membaca bahwa filmnya yang baru saja muncul, Alice Through the Looking Glass, tidak mendapatkan respons yang baik.

Aku tidak menyalahkanmu kalau kamu tidak mengerti ini semua. Tidak semua orang mengikuti berita selebritas—tidak satupun rekan kerjaku yang tertarik dengan masalah yang dihadapi Johnny Depp ketika aku memberitahukannya kepada mereka.

Sayangnya, mengikuti berita-berita dunia hiburan menjadi salah satu aktivitas yang paling menghabiskan waktu dalam hidupku, selain mengecek Facebook dan Instagram, berbelanja online, dan menonton klip video di Internet. Aku mudah tertarik dengan acara-acara mencari bakat (seperti sebuah program perlombaan menyanyi di televisi yang bernama “The Voice”), berbagai program televisi lainnya, dan kadang-kadang, drama Korea—seperti K-drama yang menjadi sangat populer akhir-akhir ini: DOTS. Sebenarnya, aku harusnya mulai menulis artikel ini kemarin malam, tapi akhirnya aku malah menonton sebuah variety show Korea Selatan yang populer, Running Man, di Youtube karena aku melihat wajah Song Joong-Ki di preview video tersebut. Oh…

Menurutku, sekarang aku tidak lagi begitu kecanduan seperti dulu. Contohnya, sekarang aku tidak selalu menghabiskan setiap waktu malamku untuk hal-hal yang berkaitan dengan hiburan… hanya sekali atau dua kali saja dalam seminggu. Sebagian besar alasannya adalah karena aku menyadari bahwa hiburan-hiburan itu membuatku malas, kurang peka, dan iri hati.

1. Malas

Ada masa ketika aku menghabiskan sebagian besar waktu-waktu malamku di depan TV atau layar komputer. Hampir setiap malam setelah pulang bekerja aku seperti ini: Makan malam, cuci piring (atau jemur pakaian), mandi, kemudian meringkuk di sofa selama dua jam berikutnya sebelum aku tidur.

Itu telah menjadi hal yang rutin, yang membuatku menjadi seorang yang malas. Daripada “mempergunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya” (Efesus 5:16), aku telah dengan bodohnya menghabiskan waktu-waktuku yang berharga yang mungkin dapat aku gunakan untuk melakukan sesuatu yang dapat membuatku bertumbuh dalam hubunganku dengan Tuhan dan sesama.

Aku menyadari semuanya telah menjadi tidak terkendali ketika suatu saat aku hampir tidak dapat menahan diriku untuk menghabiskan waktuku untuk hal-hal yang sembrono ini. Padahal aku seharusnya dapat menggunakan waktu itu untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat, seperti mempersiapkan sesi pendalaman Alkitab yang harus kupimpin di akhir minggu atau membaca salah satu dari banyak bukuku yang telah menjadi berdebu di pojok ruangan.

Ketika malam telah berakhir, aku akan dilingkupi rasa bersalah dan aku akan banyak berdoa, meminta pengampunan Tuhan. Namun kerusakan telah terjadi dan itu terlihat di pagi berikutnya ketika aku tidak dapat fokus mengerjakan pekerjaanku—pikiran dan emosiku masih melayang kepada apa yang aku baru tonton pada malam sebelumnya.

2. Kurang Peka

Sebelum aku menjelaskan bagian ini, aku harus mengatakan bahwa ada beberapa hal positif dari menjadi penggemar hiburan. (Ya, kamu tidak salah mendengar.) Pertama, itu dapat menjadi sebuah pembuka percakapan yang sangat fantastis. Pengetahuanku tentang apa yang menjadi tren dan siapa saja yang sedang dibicarakan akhir-akhir ini telah membuatku menjadi seorang yang cukup populer di antara teman-temanku—atau setidaknya itu menurut pendapatku. Kedua, itu menjadi cara yang sangat efektif untuk menolongku berhubungan dengan para pemuda di dalam gerejaku dan mengaitkan pelajaran yang ada di dalam Alkitab dengan dunia modern saat ini.

Namun, aku sedih karena harus mengakui bahwa konsumsi media yang terlalu berlebihan juga telah mempengaruhi kemampuan berpikirku dan kepercayaanku. Seringkali, aku hanya duduk dan menerima apapun yang ditayangkan di layar TV daripada mempertanyakan dan menyaring. Setiap pemikiran dan gaya hidup bisa menjadi suatu hal yang kuterima jika itu dikemas seperti sebuah hal yang wajar. Aku ingat aku menonton sebuah drama Amerika di mana tokoh protagonisnya terlibat di dalam hubungan segitiga. Di akhir episode, aku hampir percaya bahwa itu adalah sebuah hal yang umum dan aku menjadi bersimpati dengan tokoh utama tersebut.

Suka atau tidak, kita tidak lagi terkejut dengan praktik-praktik yang tidak kudus. Perbuatan dosa yang terang-terangan telah menjadi suatu hal yang biasa bagi kita. Aku sadar aku telah berhenti mempertanyakan tren dan berbagai praktik yang ada dan menjadi sulit untuk menjawab mengapa sesuatu itu salah selain daripada sebuah jawaban klise, “Karena Alkitab mengatakan itu salah.” Aku menjadi kurang peka dengan perspektif Kristen karena aku telah menghabiskan seluruh waktuku menyerap sampah-sampah yang disebarkan media.

3. Iri Hati

Sejauh yang kita tahu bahwa industri hiburan selalu menampilkan sebuah realitas yang dilebih-lebihkan, entah apakah itu kehidupan kelas atas yang mewah atau cinta dan hubungan yang ideal, kita tidak bisa tidak untuk membandingkan apa yang kita lihat di dalam media dengan kehidupan kita—dan akhirnya merasa sedikit iri.

“Aku penasaran seperti apa hidupku jika aku hidup seperti itu” atau “Kalau saja aku seorang yang tampan, bertalenta, atau kaya seperti X, itu akan menjadi sangat baik” telah menjadi beberapa pemikiran yang merayap ke dalam pikiranku. Seringkali, aku bahkan merasa kecewa dengan Tuhan karena memberikanku karunia dan talenta yang lebih sedikit daripada orang lain, tapi aku dengan cepat akan melenyapkan pikiran itu, dan aku menjadi kesal dengan diriku karena jatuh ke dalam perangkap membanding-bandingkan dan ketidakpuasan.

Itu menjadi sebuah lingkaran yang terus berputar dengan sendirinya setiap kali aku melihat berita atau acara yang mengagung-agungkan penampilan, kekayaan, talenta, atau hal-hal semacam itu. Jadi aku menemukan bahwa solusinya sebenarnya cukup mudah: hindari segala acara atau aktivitas yang menimbulkan ketidakpuasan. Catatan: Ini bukan berarti kita harus membuang segala bentuk hiburan dan membakar TV, komputer, dan ponselmu—tapi kita harus bijak. Masing-masing kita bisa tergoda oleh berbagai hal yang berbeda dan kita harus memeriksa apa yang dapat membuat hati kita menyimpang.

Sekarang, aku mencoba untuk memperhatikan (bahkan secara sengaja) konsumsi hiburanku dan menanyakan diriku sendiri pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah yang aku konsumsi ini membantuku bertumbuh di dalam rasa syukur kepada Tuhan dan sesama? Ataukah itu membuatku malas, kurang peka, dan iri hati?

Secara pribadi, Filipi 4:8 telah menolongku untuk menentukan media-media apa saja yang sebaiknya aku konsumsi: “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”

Aku mau berhenti menjadi malas, kurang peka, dan iri hati.

Baca Juga:

4 Pergumulan yang Kita Hadapi dalam Pelayanan

Melayani orang lain bisa menjadi pekerjaan yang berat, baik di dalam maupun di luar gereja. Abigail bergumul di dalam pelayanannya ketika bertemu dengan orang-orang yang tidak tertarik, mematahkan semangat, berbeda, dan menghakimi berdasarkan pelayanannya. Seperti apa pergumulannya? Baca selengkapnya di dalam artikel ini.

Sharing: Hiburan Apa yang Kamu Sukai untuk Melepaskan Penatmu?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201606

Hiburan apa yang kamu sukai untuk melepaskan penatmu? Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…