Posts

Apakah kamu menjaga kesehatan mentalmu?

Melakukan 5 hal berikut memang tidak menjamin masalah hidup akan hilang. Tapi percayalah, itu dapat meringankan beban kita, terlebih ketika kita membawanya ke hadapan Bapa di surga, yang mampu mengendalikan tiap hal di hidup kita.

Semangat, Sobat Muda! 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today dan dibuat oleh @yocaroilustra.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Kita Harus Melaraskan Hati dan Pikiran Kita

Oleh Raphael Zhang

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: Why We Must Engage Both Mind and Heart

Ketika baru percaya Tuhan, aku diajari bahwa kita tidak bisa mengandalkan perasaan. Aku belajar bahwa Tuhan tetap mengasihiku bahkan ketika aku tidak merasakan kasih-Nya—seperti halnya kursi yang sebenarnya menopang berat badanku meskipun aku tidak merasa seperti itu.

Aku diingatkan bahwa perasaanku tidaklah menentukan suatu kenyataan, dan perasaan juga tidak boleh mengatur apa yang harus kulakukan. Untuk berdoa, aku tidak perlu menunggu sampai aku merasa ingin berdoa untuk melakukannya; aku harus berdoa karena itu seturut dengan kehendak Tuhan.

Meski aku mencoba untuk selalu mengingat hal ini, tapi ternyata sulit untuk melawan perasaanku sendiri. Ada saat-saat ketika aku harus pergi ke gereja atau kelompok kecil, tapi hati kecilku merasa enggan, bahkan berkeluh-kesah kepada Tuhan. Meskipun secara lahiriah aku patuh, tapi aku tidak merasakan sukacita dalam hati.

Dari sanalah aku menyadari bahwa: selalu bertindak sesuai dengan pikiran tanpa melibatkan perasaan bukanlah kebiasaan yang sehat.

Yesus pun memanggil kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan kita (Lukas 10:27). Hati dan pikiran kita harus sama-sama dilibatkan dalam mengasihi-Nya. Melibatkan salah satu tanpa yang lainnya adalah tindakan yang kurang bijaksana.

Tapi, bagaimana jika hati dan pikiran kita tidak sejalan? Tuhan mengajarkanku beberapa hal yang membantuku melihat bahwa hati dan pikiran tidak harus selalu menjadi sebuah pertarungan terus menerus, tetapi keduanya bisa senantiasa saling mempengaruhi.

Dengarkanlah perasaan kita

Tuhan menunjukkan bahwa meskipun perasaanku tidak selalu dapat diandalkan, bukan berarti aku mengabaikannya. Meskipun perasaanku mungkin tidak selalu mengatakan yang sebenarnya, tapi perasaan itu memberi tahu sesuatu tentang diriku sendiri.

Jadi, jika aku merasakan adanya penolakan bahkan ketika aku berada di tengah keluarga dan teman-teman yang penuh kasih, aku tidak akan langsung berpikir bahwa mereka benar-benar menolakku. Aku justru akan bertanya pada diriku sendiri, “Mengapa aku merasa seperti ini?” Aku akan mencari pertolongan Tuhan untuk mengungkap lebih dalam penyebab yang membuatku merasa seperti itu. Setelah aku mengenali beberapa hal yang mungkin menyebabkan perasaan itu, aku akan meminta Tuhan untuk menghibur dan menyembuhkanku, dan untuk menunjukkan kebenaran-Nya tentang diriku dan juga keadaan tersebut. Dia mungkin akan mengingatkanku, seperti yang pernah Dia lakukan di masa lalu, bahwa Dia telah menerimaku (Roma 15:7) sebagai anak yang dikasihi-Nya (1 Yohanes 3:1). Dan Dia mungkin menunjukkan kepadaku bahwa aku salah memahami situasi atau maksud orang lain.

Mengolah perasaanku bersama Tuhan dapat membantuku untuk menerapkan kebenaran-Nya pada diri sendiri. Jika aku terluka oleh sesuatu, Tuhan dapat membalut lukaku (Mazmur 147:3). Jika dasar masalahnya adalah perilaku yang berdosa, Dia dapat menunjukkan kesalahanku, sehingga aku dapat mengakui dosaku kepada-Nya dan bertobat.

Dengan menggali lebih dalam tentang apa yang kita rasakan, kita dapat menerima penghiburan dari Tuhan atau penyucian dari dosa. Pikiran kita dapat menggunakan kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan untuk menyelaraskan perasaan kita lebih dekat kepada-Nya dan kebenaran-Nya.

Menghargai Apa yang Benar

Meski perasaan itu penting, bukan berarti kita harus dikendalikan olehnya. Ketika aku masih muda, aku berpikir bahwa perasaanku akan selalu menguasai tindakanku. Jika aku merasa ingin melakukan sesuatu, akan sangat sulit bagiku untuk tidak melakukannya. Aku bahkan percaya bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah perasaanku itu.

Hingga suatu hari Tuhan berbicara kepadaku melalui Matius 6:21: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dia mengingatkanku bahwa ayat tersebut tidak mengatakan, “Di mana hatimu berada, di situ juga hartamu berada”—yang berarti apa yang aku cintai bergantung pada apa yang aku rasakan—dan jika aku tidak merasa seperti itu, maka aku tidak bisa mencintainya.

Namun, yang sebenarnya Tuhan katakan dalam ayat tersebut adalah: apa yang sengaja kupilih untuk kuhargai pada akhirnya akan dihargai juga oleh hatiku. Hal ini sangat menguatkanku karena berarti aku tidak harus menyerah begitu saja pada perasaanku!

Sebagai contoh, dulu aku tidak suka berdoa atau membaca Firman. Lalu aku meminta Tuhan menolongku agar mau menghargai apa pun yang menjadi kerinduan hati-Nya. Jadi, dengan pertolongan Tuhan, aku mulai berdoa dan membaca Firman sebagai caraku menghargai hal-hal tersebut, terlepas dari apakah aku ingin melakukannya atau tidak. Seiring waktu, hatiku mulai mengikutinya. Saat ini, aku lebih suka berdoa dan membaca Firman Tuhan daripada sebelumnya. Melalui hal ini, aku belajar bahwa apa yang kupilih untuk kuhargai dengan tindakanku dapat memengaruhi apa yang kuhargai dalam perasaan hatiku.

Ada hal yang sering dikatakan oleh pendetaku yang juga kualami sendiri: “Ketika kamu melihat apa yang Allah lihat, kamu akan melakukan seperti yang Allah lakukan. Namun terkadang, kamu harus melakukan apa yang Allah katakan sebelum kamu dapat melihat apa yang Dia lihat.”

Ketika hatiku tidak selaras dengan isi hati Tuhan, aku sangat bersyukur karena Dia telah memberiku pikiran yang dapat menggerakkan hatiku untuk lebih memilih jalan-Nya. Aku tidak harus lebih dulu merasa setuju atau menghargai apa yang Dia katakan sebelum aku dapat mematuhi-Nya. Sebaliknya, Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa—terlepas dari apa yang aku rasakan—ketika aku memilih untuk melakukan apa yang Dia katakan dan menghargai apa yang Dia mau kuhargai, aku ditolong untuk melihat apa yang Dia lihat, sehingga aku dapat menghargai apa yang Dia taruh di dalam hatiku.

Milikilah Pikiran yang Benar untuk Mempengaruhi Perasaan

Pada akhirnya, kita juga dapat mempengaruhi emosi kita dengan memiliki pikiran yang benar. Aku pernah mendengar sebuah kutipan yang berbunyi, “Kamu bukanlah seperti yang kamu pikirkan, tetapi kamu akan menjadi seperti yang kamu pikirkan.”  Pepatah lain menjelaskannya seperti ini:

Perhatikan pikiranmu, karena akan terwujud dalam perkataan.

Perhatikan perkataanmu, karena akan terbukti dalam perbuatan.

Perhatikan perbuatanmu, karena akan terbentuk menjadi kebiasaan.

Perhatikan kebiasaanmu, karena akan terpatri dalam karakter.

Perhatikan karaktermu, karena itulah yang membentuk masa depanmu.

Hal ini, bagiku, mendasari kebenaran tentang bagaimana pikiran kita memainkan peran utama dalam menentukan jati diri yang kita miliki dan corak kehidupan yang kita jalani. Inilah sebabnya mengapa Alkitab memerintahkan kita untuk “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Korintus 10:5).

Hal ini membantuku untuk lebih menghargai mengapa Firman Tuhan menasihati kita untuk memikirkan segala yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, baik, dan patut dipuji (Filipi 4:8)—dan tidak ada yang lebih baik dan lebih patut dipuji daripada Tuhan dan Firman, kehendak, dan jalan-Nya. Jika hal-hal ini yang lebih sering kita pikirkan, otak kita tidak hanya akan menyimpannya, tetapi pikiran-pikiran itu juga akan mempengaruhi hati kita, dan pada akhirnya, hidup kita.

Dalam keinginanku untuk mengasihi Allah, aku ingin mengasihi Dia dengan hati sekaligus pikiranku. Pendeta dan teolog Amerika, Timothy Keller, berkata, “Hati kita sungguh telah dimurnikan ketika apa yang harus Anda lakukan dan apa yang ingin Anda lakukan itu sama—kesenangan dan kewajiban menjadi hal yang sama.” 

Dalam perjalanan kita untuk membiarkan Tuhan semakin memurnikan hati kita, aku senang Tuhan memberi kita berbagai cara agar hati dan pikiran kita dapat terus saling mempengaruhi, sehingga kita dapat mengasihi Tuhan sepenuhnya. Dia benar-benar layak untuk kita cintai dengan segenap keberadaan kita—karena Dialah yang pertama kali mengasihi kita dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan-Nya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Oleh Christine Emmert
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Learned The Secret To Time Management

Hari sudah terlampau siang. Aku masih duduk di depan komputerku, mengedit sebuah artikel yang harus segera ditayangkan. Anak lelakiku duduk di lantai dan bermain mobil-mobilan dengan berisik—sebuah pengingat bagiku kalau siang itu aku tidak punya waktu untuk bermain dengannya. Selain itu, aku pun masih harus memasak makan malam sebelum suami dan saudariku pulang ke rumah.

Tapi, bukannya memperhatikan kata-kata dan tanda baca di artikel, atau mengerjakan aktivitas lain yang harus segera kukerjakan, aku malah mencari tahu buku-buku apa yang baru temanku baca di postingannya di media sosial.

Itu terjadi ketika sebuah notifikasi muncul di layarku, memberitahuku kalau setahun lalu aku telah membaca 19 buku.

Sebagai seorang kutu buku, angka itu membuatku merasa tidak percaya. Biasanya aku bisa membaca buku dua kali lipat dari angka itu. Mengapa sangat sedikit buku yang kubaca saat ini?

Selama beberapa minggu setelahnya, pertanyaan ini menggantung di benakku. Aku mulai memerhatikan bagaimana caraku meluangkan waktuku. Tidak butuh lama untuku menyadari bahwa pekerjaanku mengambil jatah waktu lebih lama daripada seharusnya. Bukan karena beban kerja yang meningkat tajam, tapi karena aku sering mengambil waktu “break” untuk scrolling media sosial atau situs berita daripada berfokus ke pekerjaanku. Waktu-waktu jeda ini seringkali memakan waktu lebih lama dari yang kurencanakan, dan membuatku jadi lupa akan pekerjaan utamaku.

Menanggapi fakta yang baru kutemukan ini, aku memutuskan untuk membuat pagi hariku lebih bermakna. Aku pergi ke kedai kopi yang mahal di kotaku, dan memikirkan cara terbaik apa yang bisa kulakukan untuk ‘menyelamatkan’ waktu-waktuku di masa depan. Aku merasa senang dengan langkah-langkah praktis yang telah kupikirkan. Lalu, untuk mengingatkan diriku tentang langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti ini, aku menuliskannya di sticky notes, dan menempelnya di komputer.

Hari pertama, strategi ini berhasil. Aku bisa menggunakan waktuku dengan maksimal. Tapi, seminggu berselang, aku kembali berjuang melawan kebiasaan lamaku. Aku lupa untuk mengendalikan waktuku atau menggunakan waktu jedaku jauh dari komputer. Aku tergoda dan mulai menjelajahi Internet ketika seharusnya aku mengerjakan beberapa riset untuk pekerjaanku. Ada beberapa hari yang kurasa aku bisa kembali menjalankan manajemen waktuku, tapi di hari-hari lainnya, kupikir aku tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tak peduli seberapa keras aku berjuang, rasanya aku masih menjadi hamba dari tiap-tiap distraksi yang muncul. Dan segala perenungan dan langkah-langkah praktis yang sudah kususun tidak banyak membuatku berubah.

Hingga akhirnya, ketika aku membaca Alkitabku, aku membuka Mazmur 51. Pasal ini bercerita tentang mazmur pertobatan Daud setelah dia berbuat zinah dan membunuh (2 Samuel 11-12). Ada satu ayat yang menyentakku:

“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12).

Apa yang menegurku adalah ketika menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri, Daud tidak fokus kepada bagaimana memperbaiki dirinya sendiri yang berdosa. Dia tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Daud berbalik kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, dan meminta Tuhan untuk memperbarui hatinya.

Dalam perjuanganku mengatur manajemen waktu yang baik, aku telah menuliskan tujuan-tujuan dan langkah-langkah yang bisa kulakukan—mempercayai kekuatanku sendiri untuk membuat perubahan dan menjadikan pekerjaanku berhasil. Tapi, tak ada satupun yang berhasil! Aku melupakan apa yang Daud ketahui dengan sangat baik—Tuhan tidak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mampu untuk menjadikan hati kita murni dan memperbaruinya dengan roh yang teguh!

Siang itu, aku menempelkan sticky notes yang baru di depan komputerku. Bukan catatan tentang langkah-langkah praktis yang kupikir sendiri, aku hanya menuliskan ayat Mazmur 51:12, dan menjadikan ayat itu sebagai doa pribadiku. Ketika aku duduk untuk bekerja, ketika aku menikmati waktu jeda, dan bahkan ketika aku tergoda untuk terlarut dalam Internet, aku memandang kepada catatan kecil itu dan berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Kamu tahu bagaimana dampaknya? Siang itu pun terasa luar biasa. Aku bisa bekerja dengan fokus, sesuatu yang jarang terjadi di tahun-tahun belakangan. Dan, bukan hanya aku bisa mengerjakan pekerjaanku secara cepat, tapi juga dengan baik. Aku bahkan punya waktu lebih untuk mencuci baju, merapikan rumah lebih rapi daripada biasanya, dan mengajak anakku bermain—semua itu kulakukan sebelum aku memasak makan malam untuk keluargaku.

Dua minggu pun berlalu setelah hari itu. Ada hari-hari di mana aku merasa kurang fokus dan bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kadang pula makan malam kusajikan sedikit terlambat. Tapi, secara keseluruhan, aku merasa punya waktu lebih dan pekerjaan yang kulakukan hasilnya jauh lebih baik.

Yang menjadi inti adalah, aku telah mencoba mengatur waktuku dengan kekuatanku sendiri, dan aku gagal. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku memohon pertolongan Tuhan. Aku berdoa agar Dia mengubah hatiku supaya aku tidak dengan mudah terdistraksi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaanku. Aku memohon Tuhan untuk memampukanku melakukan apa yang kuanggap sebagai kemustahilan untuk kucapai.

Dan, Tuhan dengan murah hati menjawab doaku. Dengan anugerah-Nya saja, aku dimampukan-Nya untuk bekerja dengan baik dan bertanggung jawab atas waktu-waktuku.

Pengalamanku ini adalah sebuah pengingat bahwa Tuhan mampu mengubah hati. Dia menciptakan hati yang murni untuk Daud. Dia telah memperbarui hatiku di masa lalu, dan melakukannya kembali secara ajaib di dalam dua minggu yang lalu. Dan aku tahu, Tuhan akan terus memperbarui hatiku di masa depan, menolongku untuk mengalahkan dosa-dosa dan kesalahanku ketika aku tak dapat melakukannya. Hingga suatu hari, aku kelak akan menghadap-Nya dengan penuh kegembiraan dan tak bernoda di hadapan kemuliaan-Nya (Yudas 1:24).

Temanku, saat ini adakah suatu hal yang sedang kamu gumulkan dalam hidupmu? Adakah tujuanmu yang ingin kamu capai namun kamu belum mampu mewujudkannya? Mohonlah supaya Tuhan memberimu hati yang baru.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Beberapa doaku ada yang dijawab Tuhan setelah bertahun-tahun. Tapi, meskipun di dalam masa kita menanti, ktia dapat memohon Tuhan untuk menolong kita mempercayai-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya. Bahkan ketika kita tersandung dan jatuh lagi, kita tahu bahwa Tuhan terus membentuk dan menguduskan kita. Ketika kita terus berdoa dan percaya, Tuhan memperbarui kita dari hari ke hari. Tuhan sedang bekerja untuk mengubah hati. Tuhan ingin memberikan kita hati yang baru dan Dia pun memperbarui roh kita; yang perlu kita lakukan adalah meminta kepada-Nya.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Aku melamar kerja ke banyak perusahaan, menanti, dan berharap hingga akhirna mendapatkan pekerjaan. Mungkin kisah seperti ini terdengar klise, tapi ada pelajaran berharga yang Tuhan ajarkan kepadaku.

Aku Gak Pintar Berdoa

Doa-bukanlah-tentang-3-hal-ini

Oleh Aryanto Wijaya

Sewaktu aku tergabung dalam sebuah persekutuan remaja di gereja, seringkali MC menunjuk salah seorang peserta untuk memimpin doa. Tak semua orang yang ditunjuk mau menerima tawaran itu. Kadang, aku juga menolak ketika ditunjuk. “Jangan aku, aku gak pintar berdoa,” ucapku. Tak hanya aku yang menolak, teman-temanku pun ikut menolak dengan alasan serupa.

Seringkali, kita sebagai orang Kristen enggan berdoa karena merasa tidak pandai berkata-kata, atau menganggap doa kita terlalu sederhana. Tapi, sesulit itukah berdoa? Setelah aku memahami apa esensi dari sebuah doa, kurasa doa bukanlah hal yang sulit.

Doa adalah bentuk komunikasi antara kita dengan Sang Pencipta. Sebagai manusia ciptaan-Nya, kita beroleh kesempatan untuk dapat berkomunikasi secara langsung kepada-Nya melalui doa. Yeremia 33:3 mengatakan suatu jaminan kalau Tuhan mendengar doa anak-anak-Nya: “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui.”

Dulu, aku pernah beranggapan kalau doa yang baik ditentukan dari kata-kata yang aku gunakan. Tapi, apakah kata-kata puitis nan indah menjadi syarat agar Tuhan mendengar doa kita? Jawabannya adalah tidak. Aku menyadari kekeliruan itu ketika membaca pengajaran Yesus tentang berdoa dalam Matius 6:5-8.

Ketika kita berdoa, kata-kata bukanlah hal utama yang dilihat Tuhan. Dia melihat jauh lebih dari sekadar kata-kata. Dia melihat ketulusan hati kita. Sekalipun kata-kata yang kita naikkan begitu indah dan puitis, tetapi jika hati kita tidak tulus di hadapan-Nya, maka doa yang kita naikkan bukanlah doa yang berkenan kepada-Nya.

Tuhan tidak menjadikan kata-kata yang kita ucapkan sebagai tolok ukur doa yang berkenan kepada-Nya. Beberapa orang menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan. Namun kenyataannya, Yesus justru menentang doa yang bertele-tele (Matius 6:7).

Doa bertele-tele tidaklah sama dengan berdoa lama. Yesus pernah pergi berdoa kepada Allah semalaman (Lukas 6:12). Sejatinya, bukan durasi waktu berdoa yang dipermasalahkan oleh Tuhan, tetapi motivasi kita dalam berdoa. Doa menjadi bertele-tele ketika kita hanya mengucapkannya di bibir tetapi tidak dengan hati.

Selain itu, janganlah juga kita berdoa agar terlihat saleh oleh orang lain. Dalam Matius 6, Yesus menegur orang-orang munafik yang suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Yesus mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya,” (Matius 6:2,5,16). Maksud dari kalimat Yesus itu adalah ketika kita berdoa supaya terlihat saleh oleh orang-orang, sesungguhnya pujian dari orang yang kita terima itulah yang menjadi upah kita. Ketika kita hanya berfokus mengejar pujian sebagai upah duniawi, sesungguhnya kita kehilangan upah surgawi yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan sendiri (Matius 6:4,6,18).

Apa yang Yesus ajarkan dalam Matius 6 menyadarkanku kalau berdoa adalah tentang Tuhan, bukan tentang seberapa pandai aku merangkai kata-kata. Doa kita mungkin tidak sempurna, tetapi ketika kita menaikkannya dengan hati yang tulus, Roh Kudus akan membantu kita dalam kelemahan kita dan akan berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan oleh kita (Roma 8:26).

Jadi, kita tidak perlu khawatir karena merasa kita tidak pintar berdoa. Berdoalah dengan hati yang tulus kepada Tuhan, selayaknya kita berkomunikasi dengan orang yang kita kasihi.

Baca Juga:

4 Tips untuk Bersaat Teduh dengan Konsisten

Menjalankan komitmen bersaat teduh itu tidak mudah. Kesibukanku di ekstrakurikuler sekolah seringkali membuatku lupa bersaat teduh. Namun aku bersyukur karena Tuhan menolongku untuk terus belajar memiliki saat teduh yang berkualitas.

Wallpaper “Skateboard”