Tak Cuma Sungai, Hati Kita Pun Perlu Dinormalisasi
Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta
Hari pertama tahun 2020 dibuka dengan bencana banjir yang menimpa kawasan di Jabodetabek. Dampaknya, aktivitas warga jadi terbatas, pun ada korban jiwa melayang. Namun, yang menarik adalah tindakan yang dilakukan pasca banjir untuk mencegah bencana serupa terulang di kemudian hari.
Para pakar dari banyak universitas bilang salah satu upaya penting mencegah banjir adalah dengan normalisasi sungai. Frasa “normalisasi” ini adalah istilah hidrolik yang merujuk kepada upaya meningkatkan kemampuan sungai agar kembali normal, termasuk mengendalikan debit sungai. Jika kita pernah singgah ke Jabodetabek atau kota besar lainnya di Indonesia, kita mungkin melihat bagaimana tepian sungai dipenuhi dengan aneka macam bangunan yang membuat lebar sungai jadi menyempit. Kala hujan turun dan debit air melonjak, sungai tak lagi mampu menampung limpahan air. Tak ayal, banjir pun terjadi.
Dari kondisi ini, kita mendapati: jika kondisi sungai tidak normal, maka banjir bisa terjadi. Demikian juga dengan kondisi hati manusia. Jika kondisi hati tidak normal, maka itu bisa membenamkan manusia ke dalam bencana banjir perbuatan dosa dan lumpur perilaku jahat.
Pentingnya hati manusia
Kenapa sih “hati” yang dibahas?
Pertanyaan ini lumrah. Kita sering mendengar kata “hati” dalam khotbah-khotbah di mimbar gereja. Kita juga tak asing dengan pernyataan, “Tuhan Yesus ada di hatiku.” Saking seringnya kita mendengar kalimat itu, mungkin kita pun mengira bahwa di Alkitab ada banyak ayat yang berkata, “Tuhan Yesus ada di hatiku.”
Padahal, jika dicermati, hanya ada satu bagian dalam Alkitab yang secara khusus merujuk pada kalimat Yesus hidup dalam hati seseorang.
Paulus yang mengucapkannya, “Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih” (Efesus 3:16-17).
Pesan Paulus dan khotbah-khotbah Kristen sepanjang segala masa memberi kita peneguhan bahwa hati memiliki peran yang begitu penting dalam hidup manusia.
Hati adalah pusat kehidupan
Ada yang bilang pusat kehidupan manusia itu pikiran. Mereka menganggap manusia melakukan sesuatu karena pikirannya. Pendapat itu tampaknya tidaklah salah, tetapi dalam perspektif iman Kristen, pendapat itu kurang tepat. Sebab, Alkitab menyatakan manusia mendasari motif semua tindakannya sehari-hari karena hatinya.
Tuhan Yesus mengatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Orang bijak juga menyatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Amsal 4:23). Dua nats ini menunjukkan betapa hati memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia.
Hati adalah pusat intelektual, seperti yang Alkitab katakan, manusia itu “berpikir di dalam hati” (Mazmur 2:8), “merencanakan sesuatu di dalam hati” (Mazmur 140:3), dan “berdoa di dalam hati” (1 Samuel 1:12-13). Hati adalah perasaan. Alkitab mengatakan bahwa ada “hati yang gembira” (Keluaran 4:14), “hati yang mengasihi” (Ulangan 6:5), dan “hati yang berduka” (Ratapan 2:18).
Hati adalah pusat kehendak. Alkitab mengatakan, “hati yang berniat lakukan sesuatu” (2 Tawarikh 6:7, Roma 10:1), dan “hati yang mau tunduk pada Allah” (Yosua 24:23).
Dari pemahaman di atas, maka kita bisa mengerti bahwa hati adalah pusat kehidupan dan jati diri manusia. Pusat penggerak laku-hidup manusia. Tetapi, peristiwa kejatuhan manusia dalam dosa membuat hati manusia tidak normal lagi. Hati manusia tidak semurni ketika Adam dan hawa belum jatuh dalam dosa.
Hati manusia itu abnormal
Meski demikian, sejak manusia jatuh dalam dosa, hati manusia menjadi tercemar. Artinya, hati memiliki kecondongan maupun karakter yang melekat kejahatan dan melawan Allah. Jika hati tercemar oleh dosa, maka seluruh aspek hidup manusia pun turut dicemari oleh dosa, sebab hati adalah pusat keberadaan manusia. Hati manusia menjadi abnormal.
Dosa telah mencemari tubuh, pikiran, perasaan, dan kehendak setiap manusia. Jadi, dalam diri seorang manusia tidak ada satu bagian pun yang tidak dirusak oleh dosa. Sabda Tuhan berulang kali menunjukkan kepada kita tentang ketidaknormalan hati manusia, “Ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kejadian 6:5).
“Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya” (Kejadian 8:21b); “Sejak lahir orang-orang fasik telah menyimpang, sejak dari kandungan pendusta-pendusta telah sesat” (Mazmur 58:4); “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor” (Yesaya 64:6a).
“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9). Versi NIV mengatakan, “The heart is deceitful above all things and beyond cure. Who can understand it?” (Hati itu bersifat menipu daripada segala sesuatu dan tidak bisa diobati. Siapa yang bisa mengertinya?). Nats ini jelas menunjukkan bahwa hati manusia sudah sangat rusak.
Tuhan Yesus mengatakan, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, dan hujat” (Matius 15:19).
Momen untuk normalisasi hati
Sama seperti sungai di Jakarta perlu dinormalisasi, demikian juga hati manusia. Langkah pertama yang perlu diambil untuk menormalisasi hati kita adalah menerima Yesus Kristus menjadi Juruselamat dan Tuhan kita secara pribadi. Tuhan Yesus mengatakan, “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya” (Wahyu 3:20).
Kedua, bersedia diproses dalam pengudusan (sanctification) oleh Roh Kudus. Istilah “kudus” secara harafiah artinya “dikhususkan”. Semua orang yang dipanggil oleh Allah juga dijadikan-Nya kudus. Melalui proses pengudusan ini, Roh Kudus berkarya untuk memulihkan dan memperbarui manusia sesuai dengan gambar dan rupa Allah, menjadi seseorang yang sepenuhnya mempercayakan dirinya kepada Tuhan Yesus Kristus dan anugerah Allah, seorang yang percaya kepada Kristus dan taat kepada-Nya.
Proses pengudusan punya peranan yang penting dalam karya keselamatan yang dikerjakan Allah Tritunggal. Pengudusan adalah cara agar kita melatih diri menyangkal segala nafsu kedagingan dan kebiasaan buruk kita (Kisah Para Rasul 15:9; 1 Korintus 6:11; Efesus 2:10; Titus 2:14; 1 Tesalonika 4:3)
Teolog Louis Berkhof mengatakan, pengudusan adalah tindakan Roh Kudus yang secara terus-menerus dalam diri orang percaya demi membebaskannya dari kecemaran, dan memperbarui keseluruhan dirinya dalam gambar dan rupa Allah, sehingga memampukannya melakukan perbuatan baik.
Ketiga, menyadari segala kelemahan dan dosa kita di hadapan Tuhan. Tentu menormalisasi hati bukanlah perkara yang selalu mudah. Bisa saja kita jatuh bangun. Namun, ketika kita terjatuh, mari memohon pengampunan Tuhan dan segera bangkit kembali (1 Yohanes 1:9).
Normalisasi hati tidak dilakukan dalam waktu sekejap, tetapi membutuhkan waktu setiap hari di sepanjang usia kita. Normalisasi hati kita lakukan sebagai ucapan syukur kita kepada Allah yang telah menyelamatkan kita oleh kasih karunia-Nya di dalam Yesus Kristus.
Tahun 2020 ini adalah momen bagi kita untuk menormalisasi hati, layaknya sungai-sungai di Jakarta yang perlu dinormalisasi agar banjir tak lagi menerjang tiap kali hujan lebat mengguyur. Jika hati kita tidak normal, maka hati kita akan membenamkan kita dalam banjir perbuatan dosa dan lumpur perilaku jahat.
Sesegera Mungkin, Buatlah Rencana Keuanganmu!
Bicara soal uang, apakah kamu sudah melakukan perencanaan finansialmu sepanjang tahun ini?