Posts

Lebih Berharga daripada Emas dan Permata

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Salah satu tema yang sangat mendesak untuk dibahas kita semua adalah tentang “nilai” manusia. Seberapa berharga manusia? Pertanyaan ini dapat menimbulkan beragam jawaban tergantung wawasan dunia yang dimiliki oleh penjawabnya. Jika disandingkan antara Bunda Teresa dengan pelaku human trafficking, aku yakin keduanya akan melontarkan jawaban yang berbeda, atau bahkan bertentangan.

Pada berbagai kesempatan ketika aku diminta untuk berbicara, aku berulang kali mengajukan pertanyaan ini dalam beberapa forum yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang berbeda. Beberapa dari mereka adalah mahasiswa, dosen, dokter, ibu rumah tangga, pengusaha, pekerja kantoran, bahkan pengangguran. Tentu saja, meskipun sulit sekali untuk menemukan keseragaman jawaban dari mereka terkait pertanyaan itu, namun mudah sekali ditebak, semuanya bersepakat bahwa manusia memang “bernilai tinggi”.

Tetapi masih dalam kesempatan-kesempatan yang sama itu, aku selalu memberikan pertanyaan lanjutan yang aku kira sangat tidak mungkin untuk kita abaikan, yaitu “mengapa manusia bernilai?” atau setidak-tidaknya mengapa banyak sekali orang bersepakat bahwa nilai manusia jauh lebih tinggi dari binatang? Dari atau di mana nilai itu didasarkan? Dan lagi-lagi, mereka bersepakat bahwa “pikiran” atau apa yang Alkitab sebut sebagai akal budi yang menjadi dasarnya. Jadi, manusia dianggap bernilai tinggi karena manusia mempunyai pikiran (yang tidak dimiliki oleh binatang). Setidaknya seingatku, itulah jawaban yang paling banyak aku temui, bahkan dari orang-orang Kristen.

Tetapi aku rasa, jika hanya pikiran yang menjadi jawaban kita terhadap dasar dari nilai manusia, kita masih punya pertanyaan-pertanyan pelik lain yang mesti diselesaikan. Bagaimana dengan mereka yang mempunyai masalah mental? Apakah nilai mereka sama dengan yang tidak punya masalah serupa?

Seperti yang kita ketahui bersama, masalah ini merupakan sesuatu yang sangat menyita perhatian kita dan menuntut keseriusan penanganan. Karena untuk penyebab dan jenisnya saja, kita dapat menemukan keberagaman. Juga untuk korbannya, semua dari kita bisa saja mengalaminya. Bahkan Alkitab dengan jujur mencatat Elia pernah mengalami tekanan mental yang begitu hebat hingga ia ingin segera mati saja (1 Raja-raja 19:4). Masalah mental adalah masalah universal yang membutuhkan perhatian yang tidak main-main. Terus terang saja, ketika aku menghadapi orang-orang dengan masalah seperti ini, aku membutuhkan pertolongan dari teman-teman yang berkutat di bidang kejiwaan (secara khusus mereka yang telah dihujani jutaan pengalaman). Itu sebabnya kita sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan Tuhan agar Ia membangkitkan para psikolog dan psikiater berkualitas yang mau bekerja dengan tulus hati dan penuh kesabaran untuk kemuliaan-Nya.

Meskipun pembahasan kita ini terkait masalah mental, aku tidak akan menggeser sorotan utamaku yang tertuju pada nilai manusia. Apakah nilai kita berbeda-beda karena pikiran kita berbeda-beda? Bukankah bisa terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat, ada satu orang yang hidup tenang dengan pikiran yang jarang ditimpa masalah, sedangkan satu yang lain terus-menerus mencari kesempatan untuk mengakhiri hidupnya karena tekanan yang begitu berat? Bukankah dalam satu keluarga, ada satu anak yang dilahirkan autis sedangkan satu yang lainnya tidak?

Ini merupakan bukti yang amat jelas (dan mungkin todongan serius kepada para penganut naturalisme dan materialisme) bahwa betapa rapuhnya jika nilai manusia disandarkan atau didasarkan pada pikiran semata. Secara esensial, pertanyaan-pertanyaannya masih sama. Jika hanya pikiran yang menjadi dasar nilai seseorang, siapakah yang lebih bernilai antara seorang Cendekiawan yang memperoleh gelar doktoral di usia yang masih belia dengan seorang pasien yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa sejak remaja? Jika hanya pikiran yang menjadi dasar nilai seseorang, kita mau pilih yang mana, yang Jenius atau yang Idiot? Jika hanya pikiran yang menjadi dasar nilai seseorang, kita lebih menghormati siapa, yang punya IQ di atas 140 atau dia yang sejak kecil sampai dewasa masih harus dibantu orang tuanya saat makan dan saat pergi ke kamar kecil?

Aku percaya, untuk menjawab pertanyaan ini dengan “utuh”, baik sains maupun filsafat harus mengaku berutang kepada Alkitab. Bahkan aku terlalu yakin kalau utang itu tidak akan mungkin dapat dilunasi. Selain penegasan penting tentang identitas manusia dalam kitab Kejadian, yakni bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah Sang Pencipta (Kejadian 1:27), Kekristenan dengan sangat jelas percaya bahwa engkau, aku, dan dia, si pintar dan si bodoh, si jenius dan si idiot, presiden dan pengemis, cendekiawan dan autis, yang bermental baja dan si tukang menangis, semuanya, semua kita bernilai karena kita dicintai sedemikian dalam oleh-Nya.

Memang pada saat dosa masuk ke dalam dunia, pikiran manusia telah tercemar (Roma 3:10-18). Ada anak yang dilahirkan dengan kemampuan berpikir yang kurang baik, ada orang yang mudah mengalami depresi, dan berbagai bentuk masalah mental lainnya. Tetapi salib di atas Kalvari menjadi saksi tentang harga mahal yang dibayar oleh Anak Allah yang mau datang dan mati bagi dunia ini (Yohanes 3:16). Sang Pemilik Semesta mau mati bagi dunia yang penuh dengan para pemilik masalah mental.

Sehingga secara sederhana aku dapat berkata dengan berani bahwa engkau, aku, dan dia berharga bukan hanya karena kita memiliki pikiran, melainkan karena kita dibayar dengan darah Kristus. Pikiran kita dan orang-orang yang kita sayangi sangat terbatas, bahkan mungkin beberapa di antaranya amat memprihatinkan dan membutuhkan pertolongan medis yang ketat. Tetapi jangan pernah lupa, kita Dia yang mulia rela terhina dan mau memberikan nyawa-Nya bagi kita. Jemaat Korintus yang hidupnya begitu amburadul pernah diingatkan oleh Paulus, bahwa mereka telah lunas dibeli (1 Korintus 6:20).

Seberharga itulah kita. Jauh lebih mahal dari permata dan emas.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Hidup Ditilik oleh Firman: Perenunganku tentang Reformasi Gereja

Hari ini 503 tahun silam terjadi peristiwa Reformasi. Bagi kita yang hidup di abad ke-21, pencapaian tokoh-tokoh Reformasi yang mengguncangkan dunia merupakan sesuatu yang hebat dan kelihatannya berada di luar jangkauan kita.

“Mungkinkah Allah bekerja melalui diriku di masa sekarang?”