Posts

Membuka Luka Lama untuk Menerima Pemulihan

Oleh Aurora*, Jakarta

Suatu malam, aku mengendarai motorku dengan kencang di sebuah flyover di Jakarta sambil menutup mata. Pikiranku kalut. Saat itu, aku hanya ingin mati. Tiga kali aku mengitari flyover yang sama dengan kecepatan tinggi, dan ternyata aku masih hidup.

Aku ingat dengan jelas, malam itu aku mencoba bunuh diri. Setelah merantau beberapa tahun di Jakarta, aku merasa begitu depresi karena semua tekanan. Jakarta bukanlah kota yang mudah ditaklukkan. Kehidupannya begitu keras. Mulai dari tuntutan pekerjaan hingga persoalan relasi dengan teman-teman. Aku tidak bisa menemukan seorang sahabat yang bersamanya aku bisa menuangkan semua isi perasaanku seperti yang aku lakukan pada sahabatku di kota yang lama.

Perasaan sepi dan sendiri itu membuatku ingin menyakiti diriku sendiri karena ketika aku berelasi dengan orang lain, dan merasa tertolak, aku akan berpikir bahwa akulah sumber masalah. Aku tidak layak dan tidak pantas. Aku mencoba untuk memenuhi semua kriteria pertemanan di sekitarku, agar aku mudah diterima. Hingga akhirnya aku lelah menjadi “orang lain”dan aku pun terjebak dalam depresi.

Aku menyadari kondisi psikisku yang tidak beres sehingga dengan sadar aku pun memutuskan untuk menemui psikolog. Dengan gemetar aku datang ke sebuah ruangan konseling. Aku berpikir ruangan itu sangat menyeramkan. Namun, ternyata sebaliknya. Ruangan itu menjadi ruangan ternyaman bagiku untuk menjadi diriku apa adanya.

Aku berpikir sang psikolog akan memberikanku segudang solusi untuk masalah yang aku hadapi. Namun, ternyata tidak. Setelah melalui beberapa tes, dia malah membuatku untuk menyelidiki diriku sendiri. Aku ingat, aku diberi tugas untuk menuliskan tentang masa laluku, apa yang kusuka dan kubenci. Setelah melakukan beberapa kali konseling, aku memahami bahwa aku bukanlah orang yang bisa mengontrol emosiku. Aku cenderung meluangkan emosiku dengan marah yang tidak terkendali. Tanpa sadar, aku dibesarkan menjadi orang yang begitu membenci penolakan. Aku benci jika aku tidak dianggap atau aku gagal. Kecenderunganku adalah menyalahkan dan menyakiti diri sendiri.

Di ruangan berukuran 4×5 meter itu, aku menangis. Konseling ini seperti membuka semua luka lamaku dan menyiramnya dengan alkohol. Sakit dan perih, namun aku tahu, aku bisa sembuh suatu saat.
Konselorku membuatku menyadari bahwa aku masih menyimpan “dendam” pada masa laluku—ketika aku jauh dari orang tua, dan itu membuatku sulit menjalani relasi sosial dengan orang lain. Beberapa kali setelah selesai konseling, dia memelukku erat dan berucap “Well Done. You did a great job. Be patient with yourself. And remember that God loves you no matter what.”

Setelah dari konseling, aku merasa semakin membaik (seharusnya). Tapi ternyata, menyembuhkan luka itu tidaklah instan.

Suatu sore, aku dan temanku bertengkar hebat. Aku merasa tidak diterima dengan baik dan merasa tidak lagi berharga. Temanku mengeluarkan kalimat-kalimat kasar dan yang menciutkan semangatku. Sepulang dari pertemuan dengan temanku itu, aku menyetir motor untuk kembali ke kos. Pikiranku kalut. Aku menangis dan ingin menyudahi hidupku. “Aku ingin mati”, begitulah pikiranku saat itu. Lalu aku menutup mata, memutar gas motor dengan kencang melewati sebuah flyover. Satu kali putaran, tapi aku tidak kecelakaan. Lalu kuulang lagi hingga yang ketiga kalinya.

Saat menutup mata dan menangis, aku seolah mendengar suara yang berbisik di telingaku “Akulah Tuhan, Aku menyayangimu. Aku selalu bersamamu. Aku mengasihimu. You are precious.” Mendengar itu, aku membuka mata dan berhenti di atas flyover. Setelah cukup tenang, aku kembali mengendarai motorku pelan-pelan pelan hingga tiba di kos. Dalam perjalanan pulang, kata-kata konselorku kembali terngiang di kepalaku.

Aku tahu bahwa perjalanan ini tidaklah mudah. Seringkali aku lupa kalau aku tidak berjalan sendirian. Ada Tuhan Yesus yang selalu memegang erat tanganku dan berjalan bersamaku. Hari itu, aku ingin mengakhiri hidupku. Namun, di saat yang sama, Tuhan mengingatkanku lagi bahwa aku berharga dan Dia mengasihiku. Jika Tuhan sudah menolong dan menyertai perjalanan hidupku selama 25 tahun, bukankah Dia juga Tuhan yang sama yang akan menolongku di tahun-tahun yang akan datang?

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku kembali ke konselorku. Aku menceritakan semua hal yang terjadi padaku malam itu, dan dia cuma berkata, “Be patient. Setiap orang punya waktu yang berbeda untuk pulih. Ada yang cepat, dan ada yang lambat. Tidak masalah selama proses itu “tidak diam di tempat”. Dan yang terpenting, Tuhan Yesus menemanimu di masa-masa terkelam kamu. Dia, Tuhan yang tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Hingga hari ini, aku masih rutin melakukan konseling. Semakin hari semakin membaik walau prosesnya mungkin lambat. Aku tidak pernah terlintas untuk menyakiti diriku sendiri lagi. Walau dalam masa pandemi seperti ini, Tuhan masih tetap menyertaiku.

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” (Yesaya 41:10)

Aku tahu bahwa keputusanku pergi ke konselor tidaklah pernah salah. Bagi kamu yang sedang membaca ini dan menemui kesulitan bahkan depresi, aku menyarankan kamu untuk menemui konselor profesional maupun juga orang yang kamu percaya di komunitas Kristiani kamu. Terlebih lagi, ceritakanlah itu melalui Doa pada Tuhan. Dia mendengar doamu dan akan menjawab seturut waktu-Nya.

*Bukan nama sebenarnya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Meruntuhkan Rasa Egois untuk Menjadi Seorang Pemimpin

Memimpin. Satu kata yang sederhana namun sulit dilakukan. Banyak orang ingin menjadi pemimpin dan punya otoritas. Namun, tak semua paham bahwa arti memimpin yang sesungguhnya adalah melayani.

Refleksi Mazmur 91: Belajar Memahami Janji Tuhan dengan Benar

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Merebaknya pandemi virus COVID-19 di seluruh dunia telah menghadirkan kecemasan dan ketakutan. Ketika jumlah pasien di Nusantara semakin meningkat dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia tidak lagi bisa menganggap sepi ancaman pandemi ini. Semua orang, termasuk orang-orang Kristen, berusaha untuk menyikapi situasi ini sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Seperti yang bisa diduga, tidak semua orang Kristen berbagi keyakinan yang sama. Sebagian mengalami ketakutan yang berlebihan. Sebagian yang lain tampak tenang. Kelompok yang terakhir ini meyakini bahwa wabah dan tulah tidak akan menimpa orang yang beriman. Banyak ayat dimunculkan sebagai dukungan. Salah satunya adalah Mazmur 91.

Penafsiran historis terhadap teks ini menunjukkan bahwa Mazmur 91 memang telah menjadi penghiburan dan pengharapan bagi bangsa Yahudi maupun umat Kristen di sepanjang zaman. Sebagian orang bahkan menjadikan teks ini sebagai mantera maupun bacaan wajib tiap malam, terutama ketika bencana datang menghadang. Beberapa misionaris yang menghadapi tantangan besar di ladang juga menjadikan teks ini sebagai ayat favorit mereka.

Menjadikan Mazmur 91 sebagai penghiburan di tengah bahaya yang datang memang wajar. Beragam kata yang berkaitan dengan perlindungan muncul berkali-kali dalam teks ini: lindungan (ayat 1), naungan (ayat 1), perlindungan (ayat 2, 9), pertahanan (ayat 2), perisai dan pagar tembok (ayat 4), perteduhan (ayat 9), keselamatan (ayat 16). Begitu pula pelbagai kata kerja yang mengarah pada ide yang sama: melepaskan (ayat 3), menudungi (ayat 4), menjaga (ayat 11), menatang (ayat 12), meluputkan dan membentengi (ayat 14). Sehubungan dengan kasus virus Corona Covid-19, mazmur ini menjanjikan bahwa penyakit sampar dan menular tidak akan menakutkan bagi orang yang beriman (ayat 5-6). Walaupun ribuan orang akan rebah, kita hanya akan menonton saja (ayat 7-8).

Benarkah mazmur ini menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya? Benarkah orang Kristen tidak mungkin tertular suatu wabah? Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah peristiwa buruk sama sekali tidak akan menimpa orang percaya.

Pertama, fungsi awal mazmur ini dalam konteks ibadah. Jika kita memerhatikan dengan cermat, mazmur ini menggunakan kata ganti orang yang berlainan. Di ayat 1-2 pemazmur berbicara tentang “orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa”. Mulai ayat 3-13 pemazmur menggunakan sapaan “engkau”. Ayat 14-16 menampilkan Allah sebagai pembicara. Perbedaan kata ganti ini diyakini oleh banyak penafsir sebagai petunjuk ke arah penggunaan mazmur ini dalam konteks ibadah (liturgi). Ada kemungkinan mazmur ini dinyanyikan secara bersahut-sahutan selama ibadah.

Jika benar demikian, semua janji dalam mazmur ini hanya berlaku secara umum bagi umat Allah. Keadaan spesifik masing-masing orang mungkin akan berbeda. Allah mungkin memiliki rencana tertentu bagi individu tertentu. Walaupun demikian, mazmur ini secara umum bisa dijadikan penghiburan di tengah ketakutan.

Kedua, jenis bahaya yang dimaksud. Semua bahaya yang disebutkan dalam mazmur ini—peperangan (ayat 5), penyakit (ayat 6), malapetaka dan tulah (ayat 10)—sebaiknya dipahami sebagai hukuman dari Allah kepada orang-orang fasik. Dugaan ini didukung secara eksplisit oleh ayat 8: “Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orang fasik”. Selain itu, penggunaan istilah “jerat penangkap burung” (ayat 3) dan “tulah” (ayat 10) mengarah pada maksud jahat dari orang-orang fasik yang mencoba menciderai orang percaya, tetapi Allah merespons itu dengan hukuman. Dalam situasi seperti ini, kita bisa meyakinkan diri kita bahwa semua upaya jahat itu tidak akan berhasil. Kalau pun berhasil, hal itu justru akan mengerjakan kebaikan bagi kita (lihat Kejadian 50:20).

Jika maksud pemazmur memang seperti itu, Mazmur 91 tidak boleh diterapkan secara mutlak dalam konteks persebaran virus COVID-19. Tidak ada tanda-tanda bahwa wabah ini merupakan hukuman Allah bagi orang fasik. Ini adalah persoalan biasa. Siapa saja bisa terpapar. Beberapa pasien adalah orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.

Ketiga, jenis sastra teks ini yang puitis. Untuk memahami maksud suatu teks, pembaca perlu mengetahui jenis sastra (genre) dari teks tersebut. Kita tidak akan membaca buku sejarah layaknya membaca sebuah puisi, begitu pula sebaliknya. Masing-masing jenis sastra memiliki karakteristik dan aturan penafsiran sendiri-sendiri. Hal yang sama berlaku pada Mazmur 91.

Teks ini ditulis dalam bahasa puisi: beragam metafora, permainan kata, pengulangan ide, dan ungkapan-ungkapan figuratif. Sebagai contoh, marilah kita melihat ayat 13: “Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga”. Apakah kita seharusnya menafsirkan bagian ini secara harfiah? Tentu saja tidak! Akan sangat konyol dan memalukan kalau ada orang Kristen yang secara gegabah melangkahi dan menginjak binatang-binatang buas sambil berharap dia akan baik-baik saja. Teks ini tidak untuk diterapkan secara harfiah.

Keempat, cakupan penerima janji. Semua janji di mazmur ini bersifat bersyarat (kondisional). Janji-janji itu tidak berlaku untuk semua orang atau siapa saja. Di awal mazmur ini sudah diajarkan bahwa kebaikan Allah di sini hanya ditujukan kepada mereka yang “duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa” (ayat 1). Kata “duduk” (Ibrani yāshab) seharusnya diterjemahkan “berdiam”. Bukan sekadar duduk, tetapi memang tinggal di sana (lihat semua versi Inggris). Terjemahan “bermalam” (lûn) menyiratkan istirahat atau ketenangan setelah bepergian jauh (LAI:TB “bermalam”). Dengan kata lain, orang yang berdiam dan bermalam dalam TUHAN adalah mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan kubu pertahanan (ayat 2). Metafora di ayat 1-2 ini selanjutnya diulang lagi di ayat 9. Jadi, sekali lagi, janji ini hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan.

Apakah yang dimaksud dengan “menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan”? Pemazmur menjelaskan itu di ayat 14-15. Berlindung dan berteduh pada TUHAN berarti memiliki relasi personal dengan Allah yang intim (ayat 14). Keintiman ini diungkapkan melalui frasa “hatinya melekat kepada-Ku” (LAI:TB). Kata Ibrani di balik terjemahan ini bisa berarti “mengasihi” atau “menempel pada sesuatu”. Beberapa versi Inggris menggabungkan dua makna ini sekaligus (ESV “he holds fast to me in love”; RSV “he cleaves to me in love”). Ungkapan lain yang menggambarkan keintiman tersebut adalah “mengenal nama-Ku”. Kata kerja “mengenal” di sini tentu saja bukan sekadar tahu, tetapi benar-benar dekat. Istilah “nama” di sini pun bukan sekadar sebutan atau panggilan. Nama berbicara tentang Pribadi. Dengan kata lain, mengenal nama berarti mengenal secara dekat.

Menjadikan TUHAN sebagai perlindungan dan perteduhan juga berarti menyandarkan diri pada Allah melalui doa (ayat 15). Yang mendapatkan janji TUHAN adalah mereka yang “berseru kepada-Ku”. Doa ini lahir dari kelemahan, keterbatasan, dan ketidakberdayaan (“dalam kesesakan”). Di samping itu, doa ini juga muncul dari iman, dari hati yang berani berkata: “Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai” (ayat 2).

Kelima, pemahaman Tuhan Yesus tentang mazmur ini. Pada momen pencobaan di padang gurun, Iblis mengutip salah satu ayat dari mazmur ini (ayat 11-12). Yang dikutip tentu saja yang berisi janji ilahi bahwa TUHAN akan menyuruh para malaikat untuk menopang orang benar sehingga kakinya tidak akan terantuk (Matius 4:6). Bukankah Yesus orang yang benar? Bukankah para malaikat pasti akan menatang Dia? Lalu apakah Yesus akhirnya benar-benar melompat dari bubungan bait Allah? Tentu saja tidak! Tuhan Yesus memahami bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan dan diterapkan secara sembarangan. Menggunakan ayat ini secara sembrono berarti mencobai TUHAN (Matius 4:7).

Dengan memahami 5 (poin) di atas, kita tidak akan kaget ketika melihat seorang yang sungguh-sungguh beriman ternyata terkena suatu wabah atau bencana. Janji-janji di Mazmur 91 memang berlaku secara umum. TUHAN pasti memiliki rencana yang lebih baik bagi orang tersebut. Sikap Tuhan Yesus ketika dicobai oleh Iblis dengan menggunakan ayat ini memberikan pencerahan penting untuk memandang janji-janji ilahi ini dengan benar. Bagi Yesus Kristus, yang terpenting bukan perlindungan bagi diri sendiri, melainkan penggenapan rencana Allah. Untuk apa memperoleh perlindungan tetapi gagal memenuhi panggilan Allah? Bukankah perlindungan dari Allah seharusnya ditujukan untuk penggenapan rencana-Nya? Jika Allah memandang bahwa kematian seseorang lebih memuliakan Dia, untuk apa Dia memberikan kelepasan dari kematian? Namun, jika kelepasan memang lebih bermanfaat bagi penggenapan rencana-Nya, Allah pasti akan campur tangan. Intinya, baik hidup atau mati, semua untuk kepentingan Allah. Mana saja yang lebih memuliakan TUHAN, itu yang kita jadikan pilihan.

Pemahaman di atas juga menghindarkan kita dari gaya hidup yang sembrono. Semua upaya untuk menghindarkan diri dari pandemi virus ini harus dilakukan: sering mencuci tangan dengan benar, menjaga pola makan yang sehat, beristirahat dengan cukup, tidak stres, rajin berolah raga dan menghindari kerumunan orang. Kita juga berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadi penyebar atau perantara virus. Hindari aktivitas yang bisa membuat kita terpapar. Sama seperti Kristus yang tidak mau sembarangan menerapkan janji-janji Allah di mazmur ini, demikian pula dengan kita. Bagian kita adalah menjaga diri sebaik mungkin sambil terus mendekat kepada Allah. Jika sesuatu yang buruk tetap terjadi, hal itu berarti Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik daripada sekadar perlindungan. Allah sedang menyertakan kita dalam rencana-Nya.

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang penulis:

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Andra Tutto Bene, Semua Akan Baik-baik Saja

Ketika keadaan tampak kelam, jalan keluar tak terlihat, harapan tetaplah ada. Tuhan kita setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya.

Andra Tutto Bene, Semua Akan Baik-baik Saja

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Di Hong Kong, seorang pria merampok supermarket demi mendapatkan tisu toilet. Juga di Australia, seorang perempuan bertengkar hebat karena berebut barang di supermarket.

Jika kamu pernah membaca dua berita di atas dari portal berita internasional, mungkin terdengar menggelikan. Kok bisa orang-orang merampok dan bertengkar untuk hal-hal yang sepele?

Namun, inilah realitas dunia yang kita hadapi belakangan ini. Kala pandemi virus Covid-19 menjangkiti berbagai belahan dunia, masing-masing orang mencari cara untuk bertahan dan menyelamatkan dirinya. Di beberapa negara, benda yang paling langka adalah tisu toilet. Orang-orang memborong tisu dalam jumlah besar karena takut kehabisan, dan takut apabila kotanya dikarantina dan mereka tak bisa ke mana-mana.

Setiap hari kita disuguhkan berita dan informasi di media sosial mengenai dampak virus ini. Kita setuju virus ini berbahaya, tapi yang tak kalah berbahayanya adalah bagaimana manusia meresponsnya. Di tengah krisis dan ancaman, manusia menunjukkan sifat “buas”nya—keinginan untuk menyelamatkan diri sendiri tanpa berpikir tentang orang lain.

Sebagai orang Kristen, kita tidak dipanggil untuk hidup bagi diri diri sendiri. Kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi dunia (Matius 5:16). Oleh karena itu, hadirnya pandemi ini adalah momen yang amat baik kita untuk:

1. Mengembangkan rasa solidaritas

Solidaritas adalah kemampuan untuk merasakan satu rasa penderitaan orang lain, merasa senasib, dan perasaan setia kawan. Solidaritas sebenarnya adalah sifat alami yang muncul dalam diri manusia, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian dari Lembaga Penelitian Bencana, Universitas Delaware. Lembaga ini telah melakukan 700 penelitian terkait bencana dan krisis sejak 1963 secara detail. Kesimpulannya, di saat bencana datang orang dapat tetap tenang dan saling membantu, walau memang ada orang-orang yang ketakutan dan melakukan kekerasan. Yang selalu terjadi saat dan pasca bencana adalah orang-orang saling berbagi dan menguatkan satu sama lain.

Rutger Bregman, seorang filsuf muda Belanda mengamati sebuah tulisan di dinding rumah yang berbunyi demikian:

“Hai tetangga, jika kamu berusia lebih dari 65 tahun dan kekebalan tubuhmu lemah, aku ingin membantumu. Beberapa pekan ke depan, aku bisa membantumu berbelanja di luar. Jika kamu perlu bantuan, tinggalkan pesanmu di pintu rumahmu dengan nomor teleponmu. Bersama, kita bisa menjalani semuanya. Kamu tidak sendirian!”

Bencana bisa menyerang siapa saja, dan tentunya yang paling rentan adalah mereka yang berusia lanjut dan kekuatan fisiknya lemah. Namun, kita melihat dalam beberapa berita internasional bahwa krisis karena pandemi corona ini tak cuma memunculkan kisah-kisah seram, tetapi juga kisah yang memantik kembali harapan kita. Di Tiongkok, ketika warga Wuhan diisolasi, mereka saling menyemangati dengan berteriak “Jiayou!”. Di Italia, terutama di Napoli dan Siena, orang-orang menyanyi dari jendela rumah mereka, saling memberi semangat, terkhusus bagi mereka yang terinfeksi.

Solidaritas seperti inilah yang selayaknya kita kembangkan dalam keseharian kita. Kita bisa mengesampingkan dulu perbedaan-perbedaan: agama, preferensi politik, dan lain-lain. Fokuslah kepada satu tujuan: menolong mereka yang rentan agar krisis ini dapat segera berlalu.

2. Menebarkan harapan dan belas kasih

Seorang ibu di Puglia, Italia, mengatakan kalimat yang menjadi viral di media sosial. Andra tutto bene!

Andra tutto bene (semua akan baik-baik saja). Perkataan ini meneduhkan, memberi semangat, mengobarkan kembali harapan, dan menunjukkan belas kasih. Semua akan baik-baik saja bukan berarti mengingkari peristiwa buruk yang tengah terjadi, tetapi perkataan ini mengajak kita untuk melihat jauh melampaui hari ini: bahwasannya harapan akan hari depan yang baik tetap ada. Pesan dari ibu itu tak cuma untaian kata, tetapi mereka yang membacanya seolah diajak berdoa dan yakin bahwa ada Tuhan yang memelihara.

Di tengah kondisi krisis dan ketidakpastian, kita tidak dipanggil untuk bersikap takut dan lemah, tetapi kita dipanggil untuk melangkah dengan harapan. Ibrani 6:19 berkata, “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir.”

Sewaktu Perang Dunia II meletus, Prof. Viktor Frankl mengobsevasi para tahanan yang mendekam di kamp konsentrasi Nazi. Dari pengamatannya, dia mendapati bahwa hanya orang-orang yang punya harapan yang bertahan hidup. Mereka mampu bertahan meskipun penderitaan yang mereka terima amat besar.

Kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar kita, tapi kita bisa menentukan seperti apa kita ingin merespons: dengan takut dan panik, atau dengan iman dan pengharapan?

Jika kita memilih merespons dengan iman dan pengharapan, kita bisa mewujudkannya dengan menaati aturan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial, tidak menyebarkan berita yang tak teruji kebenarannya, serta tidak serakah menimbun barang-barang pokok demi kepentingan pribadi kita.

Kiranya masa-masa ini menjadi momen pengingat bagi kita bahwa dalam masa terkelam sekalipun, harapan tetap ada. Tuhan kita adalah setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya.

Kyrie Elesion, Tuhan kasihanilah kami dan sembuhkanlah dunia ini.

Baca Juga:

Jangan Hidup dalam Kekhawatiran

Tuhan senantiasa mencukupiku, tapi kok aku khawatir terus? Khawatir adalah pergumulan manusia sepanjang segala zaman, tapi kabar baiknya: Allah selalu setia dan dapat diandalkan.

Yuk baca artikel Yulinar berikut ini.

Wabah Virus Corona: Dari Ancaman, Terbit Harapan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: klik di sini

*Kim Cheung tinggal di Tiongkok. Sejak virus corona merebak, kota tempat tinggalnya diisolasi. Artikel Kim sebelumnya dapat dibaca di sini.

Hingga 2 Maret 2020, sudah 89,081 kasus terkonfirmasi, 3.057 orang meninggal dunia dan 45,156 pulih. (Data dari Worldometers).

Sudah dua bulan berlalu sejak Novel Corona Virus (Covid-19) pertama kali mewabah pada 31 Desember 2019 dan sebulan berlalu sejak kota-kota di sekitar Wuhan (termasuk kota di mana aku tinggal) diisolasi.

Banyak orang sepertiku dilarang meninggalkan rumah. Tak jelas kapan kami bisa kembali bekerja atau harus tetap bekerja dari rumah.

Apakah wabah ini akan semakin memburuk? Sampai kapan hidup kami akan dipengaruhi oleh kondisi ini? Tak ada yang tahu jawabannya.

Dalam minggu-minggu belakangan ini, aku telah menyaksikan banyak orang Tiongkok membagikan pengalaman terisolasi di kota mereka sendiri melalui media sosial. Beberapa meratapi kebosanan mereka. Yang lain bercanda karena akhirnya mereka tahu seperti apa rasanya “hidup di penjara”. Beberapa lagi mengatakan bahwa sekarang mereka mengerti mengapa para ibu yang baru melahirkan dan harus tinggal di rumah seringkali merasa depresi. Akan tetapi, seiring dengan semakin tingginya kasus diagnosa dan kematian karena virus corona, tidak ada satupun yang berani bertindak gegabah.

Sebulan terakhir ini terasa seperti seabad bagiku. Ini bukan hanya tentang berapa lama aku terjebak di rumah. Setiap harinya, aku diperhadapkan dengan apa yang seringkali aku saksikan dalam film Contagion. Kondisi ini membuatku semakin merefleksikan kehidupan lebih mendalam.

Kita melihat kebenaran dengan lebih jelas di saat-saat yang sulit. Seperti dikatakan melalui Pengkhotbah 7: 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Dalam menghadapi bencana dan kematian, kita dipaksa untuk memperhitungkan satu realita kehidupan: kita semua kelak akan mati.

Rasa Takut dalam Ketiadaan Harapan

Selama sebulan belakangan, tidak ada di antara kami yang menganggap enteng masalah ini. Kami menghadapi sebuah wabah epidemik, rasa takut kami semakin menggema. Orang-orang sulit untuk berpikir jernih. Kepanikan menguasai. Mereka memborong barang-barang penting seperti makanan dan obat-obatan, plus percaya kepada berita-berita bohong yang merebak.

Aku tidak memikirkan berita-berita tersebut sampai aku masuk ke supermarket terdekat dan melihat orang-orang belanja dengan rakusnya di sekitarku. Itulah saat di mana ketakutan menyelimutiku. Dua bungkus biskuit yang ingin kubeli berubah jadi satu kardus. Aku juga langsung membeli sekarton susu dan makanan lain. Bagaimana jika aku tidak punya kesempatan untuk membeli semuanya ini di kemudian hari? Bagaimana jika aku kehabisan makanan di rumahku sendiri? Selain kebutuhan sehari-hari, semua orang juga menambah stok obat demam dan obat batuk, sembari berharap bahwa semua ini akan memberikan rasa aman yang sangat kami butuhkan dalam menghadapi keputusasaan.

Rumor-rumor semakin berkembang dan justru makin menggelikan dari hari ke hari. Dalam satu kesempatan di malam hari, sebuah pernyataan resmi dirilis. Katanya ada satu obat Tiongkok bernama Shuang Huang Lian yang bisa menghentikan virus corona. Banyak orang yang salah paham dan mengira itu adalah pasta teratai kuning telur yang seringkali digunakan sebagai isi kue bulan, kue tradisional Tiongkok. Salah paham ini terjadi karena ada kata-kata bahasa Mandarin yang bunyinya mirip satu sama lain. Ketika besoknya aku bangun, bukan hanya obat-obatan yang ludes terjual melainkan kue bulan juga.

Ketakutan menyetir orang untuk melakukan berbagai macam tindakan tak masuk akal. Ketika kita kekurangan rasa damai yang berasal dari pengetahuan akan kebenaran, sangat mudah bagi kita untuk mempercayai kebohongan serta terperangkap dalam rasa takut dan kekhawatiran.

Namun, sebagai orang yang menjadi milik Kristus, kami memegang kebenaran, kedamaian, dan harapan yang telah dianugerahkan-Nya kepada kami (Roma 15:13). Oleh karenanya, kami tidak perlu takut atau khawatir akan apa yang akan terjadi, tapi kami bisa terus menaruh harapan kepada-Nya seiring dengan perjuangan kami melawan ketidakpastian.

Penyakit yang Memperbudak Kami

Selain rasa takut, kami juga merasa terjebak. Namun, sebuah percakapan antara aku dengan seorang teman dari luar negeri membantuku melihat sudut pandang lain dari krisis yang terjadi di negaraku, bahkan juga di dunia. Ketika aku bercerita bahwa sebulan terakhir di rumahku terasa menyesakkan seperti di penjara, dia memberitahuku bahwa hidup memang selalu seperti ini—hanya saja dalam cara yang berbeda.

Sebelum wabah virus corona merebak, kami terbelenggu dengan jadwal rutinitas kami yang super sibuk. Sebaris dialog dari film The Shawshank Redemption merangkum itu semua: “Kita sibuk menghidupi diri sendiri.”

Saat itu, kita sebenarnya telah diperbudak. Namun, pengejaran kita akan kesenangan duniawi menjebak kita untuk berpikir bahwa kita ini bebas. Dunia di mana kita hidup sebenarnya tak lebih dari sebuah penjara yang besar. Meskipun terlihat seakan kita bisa bebas memilih apa yang kita inginkan, kita tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab kita untuk belajar, bekerja dan terhadap keluarga kita. Begitu pula mereka yang tampaknya bebas dan bisa traveling ke mana saja.

Itulah mengapa banyak orang khawatir dan depresi. Dan meskipun kita berfantasi tentang pindah ke luar negeri dan memulai hidup yang baru, kita tidak menyadari bahwa kita mengulang hidup yang sama di mana saja.

Kebebasan sejati hanya bisa ditemukan di dalam Kristus (Yohanes 14: 6). Ketika kita datang kepada-Nya, Dia membebaskan kita dari pencarian kita akan tujuan dan kepuasan hidup yang tanpa akhir.

Wabah ini juga telah memperlihatkan belenggu-belenggu lain yang tak tampak dari permukaan. Kami melihat sisi gelap dari manusia. Oleh karena makin sedikitnya stok masker, beberapa penjual menaikkan harga (satu masker bisa dihargai 4.30 dolar AS atau setara dengan Rp 58 ribu). Begitu juga dengan masker bekas yang dijual kembali.

Supermarket juga menaikkan harga kebutuhan sehari-hari. Sebuah kubis kini dijual seharga 8.60 dolar AS atau setara dengan Rp 116 ribu! Bahkan ada laporan bahwa Persatuan Palang Merah Wuhan secara diam-diam menahan semua masker donasi dan baju pelindung. Alhasil, barang-barang ini tidak bisa sampai ke garda depan staf medis.

Dan ada pula berita tentang geng bersenjata di Hong Kong yang mencuri tisu toilet senilai 206 dolar AS (Rp 2,8 juta) dari supermarket karena takut akan kekurangan tisu toilet.

Membaca berita-berita seperti ini semakin membuat kami kehilangan harapan. Aksi-aksi manusia itu rasanya lebih menakutkan daripada melihat statistik virus corona yang terus meningkat. Aku percaya bahwa dengan usaha para ahli kesehatan dunia, kelak kita akan menemukan vaksin untuk melawan wabah ini.

Namun rasa sakit yang ada di dalam diri kita—dosa—akan tetap ada. Meskipun kita akan menemukan obat untuk berbagai penyakit fisik dan kembali ke kehidupan kita yang penuh “damai”, namun mereka yang korup akan tetap korup.

Jiwa kita sakit dan kesakitan ini jauh lebih menakutkan daripada virus corona. Tak ada obat, praktik-praktik spiritual maupun agama yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Hanya satu Pribadi yang bisa:

“Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Markus 2:17).

Yesus adalah penyembuh kita yang luar biasa. Dia sendiri menanggung rasa sakit dan membayar harga mahal untuk menebus dosa kita dengan kematian-Nya. Dan penyembuhan ini cuma-cuma. Dia memberikannya kepada kita dengan penuh cinta.

Di saat-saat seperti ini, kita tidak perlu takut atau merasa bahwa kebebasan kita direnggut. Sebagai gantinya, semoga krisis yang kita alami ini mengarahkan kita kepada Kristus, memimpin kita untuk percaya kepada-Nya dan menerima berkat yang terbesar—kesembuhan sejati yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Semenjak virus Corona mewabah, negeriku diliputi kepanikan dan ketakutan. Kami hanya bisa terduduk di rumah, bahkan hanya turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Hidup untuk Rumah Kita yang Sejati

Hari ke-19 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 3:20–4:1

3:20 Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat,

3:21 yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.

4:1 Karena itu, saudara-saudara yang kukasihi dan yang kurindukan, sukacitaku dan mahkotaku, berdirilah juga dengan teguh dalam Tuhan, hai saudara-saudaraku yang kekasih!

Beberapa bulan lalu, aku membaca surat Filipi sampai selesai beberapa kali. Ada sebuah pesan yang menarik perhatianku. Paulus berulang kali mengingatkan bahwa kita diciptakan untuk kehidupan yang lain dan jangan sampai kita terperangkap dalam cara hidup dunia ini. Pesan tersebut tampak jelas dalam nas hari ini.

Lalu, bila kita ditentukan untuk sebuah kehidupan yang lain, bagaimana kita harus menjalani hidup? Paulus memberikan gambaran menarik.

Pertama, Paulus mengingatkan bahwa karena kewarganegaraan kita berada di surga, kita harus menganut nilai hidup yang berbeda. Sebelumnya, ia telah mengatakan bahwa kita tidak dihakimi berdasarkan perbuatan manusia, melainkan hanya berdasarkan Kristus dan karya-Nya di kayu salib bagi kita (3:3-9). Karena itu, kita tak lagi terbeban oleh masa lalu, tetapi mampu meraih apa yang ada di depan—garis akhir setelah menyelesaikan pertandingan iman dengan baik, dan bersatu dengan Dia suatu hari nanti (ayat 13-14).

Selanjutnya, Paulus juga mengatakan bahwa tubuh kita saat ini akan diubahkan menjadi tubuh kebangkitan yang mulia seperti Yesus (ayat 21). Tubuh duniawi kita bisa terserang penyakit, nyeri, dan terluka. Namun, mengingat bahwa Yesus telah mengalahkan maut, kita memiliki pengharapan bahwa kelak tubuh kita akan dikuduskan dan tak lagi menanggung dampak dosa (Filipi 3:18-29). Seperti Yesus mengalahkan kejahatan dan kerusakan dunia ini, demikian pula Dia akan memusnahkan segala yang buruk dalam diri kita.

Bagaimana kita bisa yakin akan hal itu? Paulus mengatakan bahwa Kristus akan mengubah tubuh jasmani kita menjadi tubuh kemuliaan dengan kuasa yang sama yang dipakai-Nya untuk menaklukkan segala sesuatu. Hidup dengan pola pikir surgawi berarti kita tidak membiarkan diri kita dikendalikan oleh cara pandang dan hawa nafsu dunia yang bobrok dan penuh keegoisan ini (Filipi 3:19). Sebaliknya, kita dapat berdiri dengan teguh dalam Tuhan (4:1) karena tahu bahwa Dia mengaruniakan kehendak untuk hidup kudus dan berkenan kepada-Nya (2:13).

Pesan itu tentu sangat menguatkan bagi jemaat Filipi yang tahu persis seperti apa rasanya hidup di dunia yang berdosa. Bagiku, sulit sekali menjaga fokus yang benar setiap saat. Sering kali, setelah makan malam aku bekerja sampai larut. Produktivitas memang baik, tetapi hal itu telah menjadi berhala bagiku. Aku pun sadar bahwa pikiranku terarah pada “perkara duniawi” (3:19), bukannya menerapkan cara pandang surgawi dalam setiap perbuatan. Jadi, pada minggu-minggu ini, aku akan mengganti kerja malam dengan lebih banyak berdoa.

Dengan berdoa tanpa terburu-buru dan ala kadarnya di tengah kesibukan, aku merasakan suasana doa baru yang sabar, tenang, dan “produktif”! Gaya doa seperti ini memengaruhi cara hidupku. Kalau sebelumnya aku lebih banyak dikendalikan oleh pencapaian, sekarang aku belajar untuk tinggal dalam hadirat-Nya dan mengizinkan firman-Nya berbicara serta mengarahkan hidupku. Mungkin itu hanya satu langkah kecil, tetapi perlahan aku mulai hidup dengan kewargaan surga.

Bila kamu juga merasa kesulitan melepaskan diri dari cara hidup dunia dan berfokus pada rumah yang sejati, pandanglah pengharapan surgawi yang telah Yesus janjikan. Saat kita menatap Dia, Dia akan menolong kita mengarahkan pandangan dan hidup untuk rumah kita yang sejati, selangkah demi selangkah.—Ross Boone, Amerika Serikat

Handlettering oleh Tora Tobing

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Ambillah waktu untuk memeriksa kehidupanmu. Sudahkah tindakan dan perilakumu membuktikan kewargaan surgawi?

2. Kristus akan menaklukkan segala sesuatu kelak. Bagaimana hal itu menguatkanmu untuk berdiri teguh dalam Tuhan (Filipi 4:1) dan mengharapkan-Nya mengubah tindakan dan perilakumu?

3. Dalam hal apa saja kamu bisa mewujudkan pengharapan surgawi dalam kehidupan sehari-hari?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Ross Boone, Amerika Serikat | Ross Boone menolong orang-orang Kristen yang sedang bergumul melalui kata-kata dan seni. Ross telah menulis 5 buku dan menjual hasil karya seninya secara online. Temukan Ross di RawSpoon.com

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Dalam Yesus, Ada Harapan bagi Keluargaku

Oleh Judah Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Do You Need Hope For Your Family?

Sudah 11 tahun aku menjadi orang Kristen, dan aku adalah orang pertama di keluargaku yang datang pada Kristus. Oleh anugerah-Nya, ibu dan kakak perempuanku menerima Tuhan setahun setelahnya, diikuti oleh kakak lelakiku yang dimenangkan lewat upaya dan doa-doa dari rekan sekerjanya. Sungguh mukjizat keluargaku bisa menerima penebusan dari Tuhan Yesus.

Namun, masih tersisa ayahku. Aku tumbuh jadi seorang anak yang takut padanya karena ibuku sering menceritakan hal-hal buruk tentang ayahku. Teriakan, umpatan, dan gertakan adalah hal biasa di rumah kami, dan di suatu hari, ayahku pernah memberiku sebilah pisau dan menantangku untuk berkelahi dengannya. Buatku, dia adalah pria pemarah yang jauh dariku dan tak segan melakukan kekerasan. Meskipun akhirnya aku bisa menyingkirkan rasa takutku terhadapnya, takut itu telah melenyapkan semua rasa kasih yang seharusnya ada di antara ayah dan anak.

Kira-kira lima tahun yang lalu, di hari-hari yang biasa saja, aku melihat ayahku telah bertambah tua. Tak hanya tua, dia pun renta. Dia jadi pendiam. Dia tak lagi mengumpat sumpah serapah. Dia tampak tenang. Dan, dia pun terasing dari kehidupan sosialnya.

Meskipun kami sekeluarga tinggal di rumah yang sama, tidak ada seorang pun yang mau berhubungan dengannya. Dia kesepian, dan aku merasa Tuhan memberiku rasa sakit dalam hatiku—rasa sakit yang bermula dari simpati, bertumbuh menjadi kasih, pengampunan, dan kerinduan agar ayahku diselamatkan.

Di dalam budaya kami, banyak hal tidak kami bicarakan. Tapi entah mengapa, relasiku dengan ayahku mulai membaik. Kami hampir tidak pernah bertengkar lagi, tetapi semakin ramah satu sama lain. Seiring relasi kami yang mulai pulih, aku lebih dan lebih ingin lagi membagikan imanku pada ayahku.

Adalah perjalanan yang panjang sampai ayahku mau menerima Tuhan. Seorang teman dari luar negeri pernah mengunjungi kami dan kami mulai berbicara tentang iman. Obrolan itu berubah menjadi debat yang memantik emosi. Tiba-tiba aku sadar, kami terlalu memaksa meyakinkan ayah. Aku harus menyudahi obrolan itu sebelum berubah jadi pertengkaran. Di saat aku merindukan keselamatan buat ayah, aku sadar seharusnya aku tidak mengandalkan usahaku sendiri (Efesus 2:8-9).

2018 adalah tahun terakhir aku menerima angpao. Aku dan ayahku, bersama tunanganku merayakan Tahun Baru Imlek bersama. Meski ayahku sangat totok akan tradisi Tionghoanya, dia bersemangat menceritakan tentang pernikahanku nanti—pernikahan yang akan diberkati di gereja.

Rasanya menyenangkan melihat ayahku, yang bukan seorang percaya, menjelaskan dan mengerti tentang pernikahan gerejawi. Seiring obrolan berlanjut, aku mendengar ayahku berkata “Allah” dan “10 Perintah Allah”. Ternyata, ayahku pernah ke gereja waktu dia masih kecil, meskipun itu cuma saat Natal demi mendapatkan hadiah dan makanan. Dia tidak pernah tertantang untuk mengambil keputusan percaya. Tapi, Tuhan menyimpan kenangan masa kecilnya itu dalam hatinya, hingga setengah abad kemudian, ayahku masih bisa mengingat detail-detailnya.

Sebagai orang percaya yang pertama di keluargaku, aku merasa punya tanggung jawab untuk membawa Kabar Baik itu kepada keluargaku. Tetapi, aku perlu ingat bahwa Tuhan mengasihi ayahku lebih daripada apa yang bisa kulakukan, dan Tuhan punya rencana untuk menjangkau ayahku, bahkan sebelum aku dilahirkan. Tuhan bekerja dalam rancangan keselamatan buah ayahku. Tugasku adalah percaya, berdoa, dan tetap setia (Amsal 3:5-6).

Tapi, proses selanjutnya tidak selancar yang dikira. Setelah aku menikah, aku berdiskusi untuk membawa ayahku ke gereja istriku. Kebaktian di sana menggunakan dua bahasa, dan ada banyak lansia juga. Ayahku tidak terlalu menolak seperti biasanya, dan dia lebih tenang. Inilah kali pertama kami membawa ayahku ke gereja, dan aku berharap kalau ayahku menunjukkan semangatnya, atau mungkin memutuskan jadi orang percaya. Harapan itu tidak terjadi dan aku kecewa, tapi istriku mengingatkanku untuk tidak tawar hati, Tuhan sedang melembutkan hati ayah.

Di awal tahun ini, aku dan istriku mengajak ayahku untuk ikut kebaktian antar-denominasi di kota kami. Ayahku sudah 71 tahun, dan dia perlu segera mendengar Injil dan mengertinya. Kami mengajaknya, dan setelah banyak pertanyaan diajukannya, dia bersedia ikut. Di sana kami mendengar kesaksian, dan khotbah tentang kebenaran; ayahku duduk di sepanjang acara, kadang berkomentar tentang bahasa yang salah. Tapi, dia mendengarkan apa yang dia perlu dengar. Ketika panggilan altar dilangsungkan, aku dan istriku meyakinkannya.

Dia mengakui kalau dia sudah mengerti, segera atau nanti dia akan percaya pada Yesus karena semua keluarganya sudah percaya lebih dulu. Tapi, ayahku masih ragu akan beberapa hal yang kupikir keraguan itu bisa dijawab nanti setelah dia dimuridkan lebih jauh. Akhirnya, ayahku bersedia untuk maju ke depan, dan kami menemaninya menjawab panggilan altar.

Aku begitu bersemangat dan senang, akhirnya ayahku percaya pada Kristus. Tapi, dalam diskusinya dengan pejabat gereja, dia mengakui belum percaya. Aku merasa ini adalah kegagalan, tapi kemudian aku melihatnya sebagai kemenangan ketika dia berdoa dan bersedia untuk menggali lebih dalam tentang iman yang dibawa oleh “misionaris-misionaris dari Barat” ini. Pejabat gereja itu lalu memberinya Alkitab Perjanjian Baru. Keselamatan pada ayahku semakin dekat!

Di minggu-minggu selanjutnya, ayahku datang ke gereja dengan keinginannya sendiri. Dia ditemani oleh ayah mertuaku, dan inilah momen yang spesial. Ayahku mungkin cuma pernah ke gereja sebanyak enam atau tujuh kali di masa mudahnya, dan lima kali dalam satu bulan belakangan.

Aku ingin mendengar dari ayah mertuaku tentang apa yang terjadi. Ayah mertuaku bercerita kalau ayahku menangis dan hatinya tergerak oleh iman yang dibagikan oleh aku, istriku, dan ibuku.

30 Juni 2019, aku, istriku, dan para pemimpin di gereja kami menerima sebuah video yang direkam oleh ayah mertuaku. Ayahku sedang berdoa dan mengakui imannya kepada Tuhan Yesus.

Tuhan bekerja. Tuhan mengasihi. Tuhan menyelesaikan.

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).

Baca Juga:

Divonis Tumor Payudara, Pertolongan Tuhan Nyata Bagiku

Divonis menderita tumor payudara di usia muda membuatku kalut dan sedih. Aku pun harus dioperasi dan sempat mencari alternatif lain. Namun, ketika akhirnya aku harus tetap dioperasi, aku mengalami penyertaan Tuhan yang nyata bagiku.

Ketika Hidup Tidak Berjalan Sesuai Harapan Kita

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Pernahkah kamu menemukan dirimu kecewa dengan kenyataan hidup yang tidak sesuai rencanamu? Mungkin ketika pengumuman penerimaan mahasiswa diumumkan, dan namamu tidak ada di daftar calon mahasiswa yang diterima di kampus impianmu. Mungkin ketika kamu sudah belajar dengan giat dan tekun, namun nilai yang keluar jauh di bawah harapanmu. Mungkin ketika kamu lulus kuliah dan siap memulai profesi yang kamu inginkan, namun akhirnya terpaksa bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan bidangmu karena sudah terlalu lama menganggur. Atau mungkin ketika kamu berpikir bahwa kamu sudah menemukan si dia yang tepat untukmu, namun ternyata dia tidak berpikir hal yang sama.

Aku juga pernah. Dan, aku pikir kita semua pasti setidaknya pernah sekali menemukan diri kita dalam salah satu kondisi di mana hidup berjalan di luar kendali kita. Ini bukan hidup yang kita pikirkan, ini bukan jalan yang kita inginkan. Ketika saat-saat seperti itu tiba, seringkali kita bertanya kepada Tuhan: “Mengapa?”

Tentang Ekspektasi

Sebagai manusia, kebanyakan kita lahir dalam ekspektasi orang tua dan lingkungan sekitar. Pertanyaan yang lazim ditanyakan kepada anak-anak kecil adalah cita-cita mereka; apa yang ingin mereka lakukan ketika mereka dewasa. Kita bertumbuh dalam ekspektasi, hingga kita pun belajar berekspektasi, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain. Ekspektasi, yang dalam KBBI diartikan sebagai harapan, tentu bukan hal yang buruk atau jahat. Bukanlah hal yang salah jika kita mengharapkan sesuatu yang baik terjadi pada diri kita sendiri atau orang lain.

Sebagai makhluk yang berekspektasi, kita tentu membuat rencana untuk bisa mencapai ekspektasi kita sedemikian rupa. Jika kita ingin masuk ke sekolah atau kampus tertentu, maka kita akan belajar, mendaftarkan diri ke sekolah atau kampus tersebut, mengikuti prosedur penerimaan peserta didik, dan seterusnya. Kita ingin bekerja pada profesi tertentu, maka kita akan memilih program studi yang sesuai, berusaha memenuhi kriteria yang dibutuhkan, melamar ke profesi tersebut, dan seterusnya. Namun, hidup terkadang tidak sesuai dengan apa yang sudah kita rencanakan. Ada kalanya, ketika kita sudah berusaha menjalankan seluruh upaya yang bisa kita lakukan untuk mendapatkan apa yang kita harapkan, namun kenyataan berkata sebaliknya. Kita gagal mendapatkan hasil yang sesuai dengan ekspektasi kita.

Ketika hal itu terjadi, sebagai manusia biasa, kita pasti merasa sedih dan terpukul. Apalagi jika hal itu adalah hal yang sudah kita nanti-nantikan sejak lama. Ada harapan yang dipupuk, ada upaya yang diperjuangkan. Namun, semuanya seperti sia-sia. Kita sedih, bahkan marah. Kita pikir ini adalah hal yang baik bagi kita, tapi mengapa Tuhan tidak memberikannya?

Hal pertama yang harus kita renungkan bersama adalah hati kita dapat menipu diri kita sendiri. Dalam Yeremia 17:9 tertulis demikian:

“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Sebagaimana seluruh manusia di dunia, kita sudah jatuh dalam dosa. Dosa juga mencemari pikiran, ekspektasi, dan ambisi kita; membuat kita kerap berpikir bahwa rencana kita adalah rencana terbaik, dan Tuhan sebaiknya mengikuti rencana yang kita buat. Padahal, seringkali hal yang kita inginkan bukanlah suatu hal yang benar-benar terbaik bagi kita.

Kebenaran inilah yang seharusnya menjadi kesadaran awal kita ketika kita tidak mendapatkan segala sesuatu yang kita harapkan. Hati dan pikiran manusia terbatas, kita hanya bisa melihat hal-hal yang ada di depan kita. Namun Allah, Pencipta Semesta dan Pemilik Hidup kita, melihat segala sesuatu dengan jelas dari “atas sana”. Mungkin pekerjaan-Nya dalam hidup kita saat ini sulit untuk kita pahami. Tapi satu hal yang pasti, Dia memiliki rancangan besar (Master’s Plan) bagi kita.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9).

Mempercayai janji Tuhan memang tidak membuat segalanya menjadi lebih mudah. Keadaan tidak berubah: kita masih tidak masuk ke kampus impian, atau nilai kita masih tidak sesuai harapan kita, atau kita masih bekerja di tempat yang tidak kita inginkan, atau kita pun masih hidup sendiri. Namun, kita bisa mempercayai bahwa Allah adalah Penulis yang Agung, menuliskan detail-detail terkecil dalam hidup kita untuk akhir yang indah. Kita mungkin tidak memahami mengapa hal-hal ini terjadi, namun kita dapat percaya bahwa Tuhan memiliki tujuan yang mulia terhadap kekecewaan yang kita alami.

Ketika Tuhan berkata tidak

Walau demikian, kita tidak perlu menahan kesedihan dan kekecewaan ketika menemukan kegagalan atau hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Dalam artikel berjudul “When God Says “No”: Dealing with Disappointment”, MarryLynn Johnson menulis:

“It’s not wrong to experience disappointment when life does not unfold the way we hope. If we do not give ourselves permission to grieve, we inadvertently believe that God is more concerned with us immediately feeling better, rather than working through the hurt to bring real transformation to our heart. We lose sight of the invitation he has given us to place our struggles at his feet.

Bukan hal yang salah untuk kecewa ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Jika kita tidak memberikan diri kita izin untuk berduka, secara tidak sengaja kita percaya bahwa Tuhan lebih menginginkan kita sesegera mungkin merasa lebih baik, daripada bekerja melalui rasa kecewa kita untuk membawa transformasi ke dalam hati kita. Kita tidak dapat melihat undangan yang diberikan oleh-Nya untuk meletakkan segala pergumulan kita di bawah kaki-Nya.

Kecewa dan sedih adalah reaksi yang manusiawi, dan adalah hal yang baik untuk menerima perasaan tersebut dengan jujur di hadapan Tuhan. Menerima kesedihan, kemarahan, dan ketakutan adalah langkah yang penting untuk menjaga emosi kita tetap sehat. Dalam buku berjudul Emotionally Healthy Woman, Geri Scazzero dan Peter Scazzero, menuliskan langkah-langkah yang dapat kita ambil ketika menghadapi kesedihan, kemarahan, dan ketakutan. Pertama-tama, kita harus menantang atau confront apa yang kita rasakan. Resapi dan dalami perasaan tersebut, terima dan akui bahwa kita memang merasa sedih, marah, atau takut. Kemudian, ambillah waktu untuk merenung dan membedah perasaan sedih atau marah kita, tanyakan kepada diri kita sendiri: “Mengapa aku merasa sedih atau marah?” Terus dalami perasaan kita hingga kita menemukan akar dari kesedihan atau kemarahan kita. Jujurlah kepada diri kita sendiri di hadapan Tuhan. Dalam artikel berjudul “When the Future You Planned for Never Comes”, Bryan Stoudt menulis:

When we’re struggling with the rocky path God has placed before us, we don’t need to pretend we don’t struggle. God invites us to bring our sorrows and confusion to our Father. As Paul Miller puts it, “The only way to come to God is by taking off any spiritual mask. The real you has to meet the real God.”

Ketika kita bergumul dengan jalan berbatu yang Tuhan tempatkan di hadapan kita, kita tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. Tuhan mengundang kita untuk membawa kesedihan dan kebingungan kita kepada Bapa. Seperti yang ditulis oleh Paul Miller, “Satu-satunya jalan untuk datang kepada Tuhan adalah dengan melepaskan topeng spiritual apapun. Dirimu yang sejati harus berjumpa dengan Tuhan yang sejati.”

Seperti kata-kata Paul Miller, jika kita ingin berjumpa dengan Allah yang sejati, maka kita harus menjadi diri kita yang paling sejati. Barulah dengan demikian pemulihan dapat terjadi. Terakhir, kita bisa membawa segala hasil perenungan kita keapda Allah dan mempercayai janji-Nya bagi kita. Firman Tuhan cukup untuk menjawab seluruh pergumulan kesedihan, kemarahan, dan ketakutan kita.

“Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya. TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mazmur 34:18-19).

Tiada kekuatan yang lebih menopang daripada kekuatan dari firman Allah, dan tiada penghiburan yang lebih menghibur daripada penghiburan dari janji Allah.

Jaminan akhir yang bahagia

Pada akhirnya, hidup memang tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan atau ekspektasi kita. Menerima kebenaran ini akan mengurangi beban hidup kita, karena terkadang yang menyakiti kita bukanlah kenyataan hidup, tetapi ekspektasi kita pribadi. Dalam hidup di dunia, kita akan senantiasa bergumul dengan ketidakpastian, impian-impian yang tidak terwujud, ataupun rencana-rencana yang tidak tercapai. Namun, satu hal yang pasti, kita memiliki akhir yang bahagia di kehidupan di Rumah Bapa.

I’m still in the middle of my story. So are you. While none of us know the joys and trials we have yet to encounter, we do know that Jesus will be with us through them all. And we can be confident that one day, after the last chapter is written, our story will be tied up with a bow in the most glorious way possible. [Dikutip dari tulisan Vanessa Rendall]

Kita memang masih berada di tengah-tengah cerita besar Allah bagi hidup kita. Tiada dari kita yang tahu sukacita dan ujian yang mungkin akan kita hadapi ke depannya, namun satu hal yang kita tahu pasti bahwa Yesus senantiasa bersama dengan kita melewati semuanya. Dan kita dapat dengan yakin percaya bahwa suatu hari nanti, setelah bagian terakhir ditulis, cerita kita akan terbungkus manis dengan pita yang cantik di dalam cara yang paling mulia.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Meneladani Sang Konselor Sejati

Sang Konselor Sejati terlebih dahulu memulihkan hidupku dengan berbicara lewat firman-Nya dalam Alkitab dan memberiku kekuatan lewat doa, sehingga aku dimampukan untuk menjadi konselor bagi orang lain.

Tuhan Merangkai Cerita yang Indah dalam Keluargaku

Oleh Gina*, Yogyakarta

Aku mempunyai keluarga yang utuh. Kami tinggal di bawah satu atap—ayah, ibu, dua kakak perempuan yang sudah berumah tangga, dan aku. Kami sering berkumpul dan makan bersama, bahkan saling bercerita satu sama lain. Melihat kebersamaan keluarga kami, aku berpikir bahwa ini adalah waktu di mana ayah dan ibuku dapat menikmati masa tua mereka bersama anak cucunya.

Namun, keluargaku mengalami pergumulan hebat di akhir tahun 2018. Ayah dan ibuku hampir setiap hari bertengkar. Hal kecil menjadi besar dan hal besar semakin menjadi-jadi. Aku seperti dibawa ke dalam ingatan masa lalu. Ketika aku duduk di bangku sekolah dasar, seringkali aku melihat orang tuaku bertengkar sampai ibuku menangis. Tidak ada yang bisa kulakukan, hingga aku harus kembali menyaksikan kejadian serupa setelah sekian waktu lamanya mereka tidak bertengkar. Aku mengira bahwa ketika usia mereka semakin tua, mereka akan semakin rukun. Nyatanya, bukan itu yang terjadi. Keadaan ini hampir membuatku membenci ayah dan ibuku.

Suatu hari, ayah dan ibuku kembali bertengkar. Meskipun aku termasuk anak yang cuek di mata mereka, namun percayalah, hatiku hancur melihatnya. Mereka bertengkar tentang hal yang sama, yang bagiku terkesan konyol. Ayahku menuduh Ibu berselingkuh, meski pada kenyataannya Ibu tidak berselingkuh. Ketika mereka bertengkar, aku berdiam diri dan memilih masuk ke dalam kamar sambil mencoba mendengarkan perdebatan mereka. Pertengkaran itu berlangsung cukup lama, sampai ayahku jatuh sakit karena memikirkan hal tersebut. Aku juga sering melihat raut wajah Ibu yang sedih dan enggan untuk makan.

Awalnya aku berpikir bahwa ini hanyalah pertengkaran biasa. Namun, perkiraanku salah. Ayah mengumpulkan kami, ketiga anaknya, lalu bercerita tentang kegelisahan hatinya—demikian juga Ibu. Mereka menyalahkan satu sama lain, bahkan sampai menggunakan ayat Alkitab dalam perdebatannya.

Tibalah di satu titik di mana Ayah mengatakan bahwa ia ingin berpisah dengan Ibu. Seketika itu juga, aku ingin menangis dan marah karena aku tidak menyangka Ayah akan memikirkan dan mengatakan hal itu. Namun, aku menahan tangisku dan memilih untuk memberanikan diri berbicara dengan mereka. Hati kecilku tidak tahan memendam perasaan kecewa hingga aku berkata kepada Ayah, “Jika Ayah mengenal soal kasih, seharusnya Ayah tidak melakukan perpisahan. Kasih itu tidak pendendam, tidak pencemburu, tidak egois. Sama seperti yang Tuhan Yesus katakan.”

Setelah itu, aku pergi dan masuk ke dalam kamar. Aku menangis dan berbicara kepada Tuhan, “Mengapa hal ini terjadi dengan keluargaku? Padahal, Tuhan sedang menempatkan aku di pelayanan keluarga, dimana aku harus melayani keluarga lain. Bagaimana bisa aku melayani keluarga lain jika keluargaku saja hancur? Apa yang Tuhan mau?”

Mungkin aku terdengar seperti sedang marah. Tetapi, di saat aku hancur dan sedih, aku merasa Tuhan mengingatkanku akan suatu hal. Tuhan mengizinkan hal ini terjadi dalam keluargaku bukan sekedar untuk pertumbuhan keluargaku, tetapi Ia juga memiliki tujuan besar untuk memulihkan keluarga lain melalui apa yang keluargaku alami. Saat itu juga hati kecilku tahu, bahwa Tuhan berjanji ayah dan ibuku tidak akan berpisah. Keyakinanku diperkuat melalui firman Tuhan dalam Roma 8:28 yang berkata:

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah”.

Saat mendapatkan ayat tersebut, Tuhan mengingatkanku bahwa melalui setiap badai kehidupan yang datang, Tuhan tidak hanya ingin membuat kita belajar untuk mengenal kasih Allah. Lebih dari itu, Tuhan memiliki tujuan besar, yaitu untuk keselamatan orang banyak. Tuhan dapat memakai masalah yang kita alami untuk memberkati orang lain yang mengalami pergumulan yang sama. Nyatanya, melalui kejadian ini aku semakin mengerti tentang pergumulan dalam keluarga yang memampukanku untuk melayani keluarga lain sesuai yang Tuhan inginkan.

Ketika mendapatkan jawaban itu, aku berdoa pada Tuhan dan berserah sepenuhnya pada rencana Tuhan. Aku selalu percaya pada janji-Nya, walaupun aku harus terlebih dahulu mengalami musim yang menyakitkan. Ketika aku terus bergumul, Tuhan melepaskan kedamaian bagi keluargaku. Kata “pisah” yang pernah dikatakan Ayah tidak pernah terdengar lagi. Lebih dari itu, kedua orang tuaku saling meminta maaf satu dengan yang lain.

Tuhan Yesus hebat! Pesanku untuk teman-teman semua adalah, biarkan Tuhan merangkai cerita melalui setiap musim kehidupan yang ada. Ketika kita mengalami pergumulan, saat itulah Tuhan sedang mempersiapkan kita untuk dipakai dalam pelayanan bagi-Nya. Tuhan rindu untuk memakai kita menjadi saluran berkat-Nya bagi orang lain yang butuh lawatan kasih-Nya. Tuhan memampukan kita untuk melakukan panggilan-Nya. Amin.

“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” Ayub 42:2.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Ayah, Terima Kasih untuk Teladanmu

“Bapak”, demikian aku memanggilnya. Dia adalah sesosok istimewa di hidupku, yang melalui kehadirannya aku dapat melihat pantulan kasih Bapa Surgawi.

Tuhan Membentukku Lewat Pekerjaan yang Tak Sesuai dengan Passionku

Oleh Gracea Elyda Safaret Sembiring, Yogyakarta

Bulan Mei 2017, aku menulis sharing mengenai panggilan dan pekerjaanku di WarungSaTeKaMu dengan judul “Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku”. Tidak pernah terpikir olehku bahwa cerita tersebut akan bersambung, karena awalnya aku berencana untuk resign dari kantorku. Ternyata, aku masih bertahan hingga sekarang. Aku membuka lembaran baru di kantor ini pada 11 April 2016, bertahan hingga 11 April 2019, dan kini melanjutkan perjalananku. Artikel ini kutulis dalam rangka 3 tahun aku bekerja di kantor ini.

Selayang pandang, tiga tahun yang lalu aku masuk ke kantor ini—sebuah perusahaan desain interior—sebagai staf bagian keuangan. Beberapa kali aku bergumul antara bertahan atau resign karena merasa tidak bekerja sesuai passion. Pernah mencoba untuk setia, namun goyah juga. Akhirnya, aku memutuskan untuk resign setelah 1,5 tahun bekerja.

Aku masih ingat persis kapan aku mengajukan resign kepada atasanku, yaitu akhir November 2017. Permohonanku saat itu diterima. Namun, di awal Desember salah seorang rekan kerjaku tertangkap melakukan kecurangan dan dipecat di minggu yang sama. Dengan begitu, proyek yang seharusnya ia tangani menjadi sangat terbengkalai dan kacau. Saat itu pula atasanku memintaku untuk menunda resign untuk ikut membantu proyek yang ditinggalkan itu terlebih dahulu. Melihat situasi yang ada, aku pun menyetujui permintaan atasanku. Ini adalah pengalaman pertamaku terjun ke dalam sebuah proyek dengan porsi yang sebanyak ini. Sesuai permintaan, aku terlibat dalam proyek tersebut hingga akhir, yaitu di bulan Februari.

Terlibat dalam proyek tersebut selama 3 bulan membuatku belajar banyak hal dan memberiku kesempatan untuk menggali potensi diriku lebih lagi. Bahkan, aku merasa lebih menyukai dunia proyek daripada dunia finance. Menjelang akhir proyek, aku pun memberanikan diri untuk berbicara dengan manajer proyek tersebut. Aku mengatakan bahwa aku merasa tertantang untuk pindah divisi, dari finance ke proyek. Sang manajer pun menantangku kembali untuk bertahan di perusahaan ini dan pindah ke divisi yang kuinginkan, serta memberiku waktu untuk berpikir selama beberapa hari.

Setelah mendoakan pertimbangan ini dengan sungguh-sungguh dan memikirkannya matang-matang, akhirnya aku memutuskan untuk bertahan di kantorku dan mengajukan pindah divisi. Permintaanku diterima! Selama kurang lebih 4 bulan, aku masih tetap bekerja sebagai staf keuangan sambil mengerjakan proyek sampai ada yang menggantikanku di posisi ini. Setelah itu, barulah aku sepenuhnya pindah ke divisi proyek.

Pekerjaanku di divisi project tidaklah semudah menjadi staf bagian keuangan. Aku berada di posisi tengah antara klien dan supplier. Posisi ini menuntutku untuk dapat berkomunikasi dengan supplier yang karakternya berbeda-beda. Aku juga harus menguasai segala hal tentang furnitur—dari jenis-jenis kayu, jenis-jenis kain, jenis-jenis foam, jenis-jenis finishing yang digunakan, dan lain sebagainya. Hal ini tidaklah mudah, terutama ketika deadline yang diberikan klien seringkali tidak masuk akal. Secara bertahap aku belajar untuk menjalani pekerjaanku di divisi yang dinamis ini. Demi mendapatkan ilmu, aku tidak malu-malu bertanya dari supplier dan rekan kerja yang sudah lebih berpengalaman. Bahkan sampai saat ini, masih banyak yang harus aku pelajari.

Bulan ke-4, aku benar-benar lepas dari pekerjaanku di divisi keuangan. Pemilik perusahaan memberikan aku kepercayaan untuk memegang proyek all furniture sebuah vila 5 lantai di Bali. Ini adalah proyek pertamaku yang kujalani sebagai project leader. Aku sangat bersemangat sekaligus bersyukur. Aku sadar betul semua itu terjadi karena kasih karunia Tuhan. Tetapi, aku juga sadar bahwa dengan menjadi project leader, beban yang kutanggung akan lebih berat. Benar saja, proses mengerjakan proyek ini sungguh menyita pikiran dan waktu, bahkan sampai terbawa mimpi!

Dalam keadaan yang terasa sulit, untuk kesekian kalinya aku melihat bagaimana Allah menolongku. Allah mampu mengubah hal-hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Ketika ada kesalahan, ada kalanya atasanku bersungut-sungut kepadaku. Tetapi, Allah menghiburku dan menolongku untuk tidak merasa sakit hati. Lebih dari itu, Roh Kudus bahkan memberikan aku dorongan untuk belajar lebih lagi di bidang ini. Yang selalu menjadi peganganku adalah firman Tuhan—setia dalam perkara kecil, bertekun, dan berpengharapan hanya kepada Allah.

Tuhan sungguh baik. Di luar dugaanku, saat evaluasi di akhir tahun 2018 aku mendapatkan masukan positif dan pujian dari atasanku. Tak ada satu pun hal negatif yang beliau katakan. Setelah itu, aku dipercayakan untuk terlibat dalam proyek hotel dan resort di luar negeri. Semua ini terjadi bukan karena hasil usahaku, tetapi karena kasih karunia Tuhan semata.

Dalam tulisanku sebelumnya, aku bercerita bahwa panggilanku cenderung mengarah pada mengajar di pedalaman. Namun, kini aku menyadari bahwa bagian itu belum waktunya untuk kujalani. Bagian yang Tuhan percayakan padaku sekarang adalah pekerjaan yang kujalani saat ini.

Dalam buku Visioneering, Andy Stanley mengatakan bahwa untuk sampai di sebuah tujuan (visi), kita akan melewati beberapa tujuan (visi kecil). Visi kecil diibaratkan sebagai potongan-potongan puzzle kecil yang dikumpulkan dan disusun, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah gambaran besar yang nyata dan utuh. Andy memberi contoh tokoh Alkitab, yaitu Nehemia. Nehemia tidak pernah tahu bahwa Allah memanggilnya untuk membangun kembali tembok Yerusalem (Nehemia 1). Yang ia tahu saat itu adalah pekerjaannya sebagai juru minuman raja, dan dia bekerja dengan sebaik-baiknya. Integritasnya sebagai juru minuman raja membawanya kembali ke Yerusalem dengan bantuan raja (Nehemia 2).

Sekalipun kita memiliki profesi yang berbeda-beda, sebagai pengikut Kristus kita memiliki visi yang sama, yakni menyatakan Injil di manapun kita berada dan menjadi rekan sekerja Allah di dunia ini. Sebagai penutup, aku ingin membagikan dua ayat Alkitab yang dapat menguatkan kita dalam bekerja:

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10)

“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hambaNya.” (Kolose 3:23-24)

Selamat bermisi di profesi kita masing-masing, kawan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Tetap Mengasihi Sahabat, Meskipun Dia Berlaku Buruk Padaku

Sahabat yang awalnya begitu karib denganku berubah jadi seseorang yang menyakiti hatiku. Meski aku kecewa, tapi aku belajar untuk tetap mengasihi sahabatku.