Posts

Tuhan Utus, Tuhan Urus

Oleh Cristal Tarigan, NTT

Namaku Cristal Pagit Tarigan. Aku berasal dari Tigalingga, Dairi, Sumatera Utara. Sekarang aku adalah seorang guru pedalaman di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Kot’olin, Timor Tengah Selatan. Tidak pernah sedikit pun aku terpikir akan berada di pedalaman, bahkan menginjakkan kakiku di sini.

Tiga tahun lalu, tepatnya setelah aku wisuda, aku langsung bekerja di sebuah bimbel (bimbingan belajar) di kota Medan. Di sana aku mulai bertanya sungguh-sungguh kepada Tuhan tentang arti hidup yang lebih bermakna.

Awalnya ada ketidaknyamanan ketika merasa hari-hari berlalu begitu saja: aku mengajar tapi tak menikmatinya, karena merasa bimbel tempatku bekerja penuh dengan drama “ajang bisnis”. Selain itu, yang paling membuatku sedih adalah jam kerja dari sore sampai malam, membuatku tak bisa mengerjakan komitmen tanggung jawab pelayananku selama 1 tahun. Akhirnya, aku memutuskan keluar dari tempat kerja tersebut dan menjadi seorang freelancer yang mengajar privat dan bisnis online. Sejak saat itu aku lebih banyak merenungkan tujuan hidupku.

Sebagai freelancer, aku memiliki banyak waktu sela, sehingga aku bisa aktif dalam sebuah pelayanan penginjilan, pelayanan pemuridan, dan sebuah les gratis di sebuah desa di pinggiran Deli Serdang. Singkat cerita, pengalaman bertemu banyak orang dari berbagai lapisan sosial di sana membuatku semakin mengerti: apa tujuan Tuhan mengutusku di dunia ini dan melalui apa aku dapat berdampak untuk sekelilingku.

Sesungguhnya, tujuanku ke sini benar-benar ingin menjadi seseorang yang lebih berguna buat sesama, tapi rupanya itu tidak semudah yang aku bayangkan. Ada begitu banyak pergelutan pikiran dan hati yang kurasakan ketika sampai di sini. Di awal-awal, aku masih sering bertanya, Tuhan, benarkah aku di sini karena panggilanku? Begitu banyak hal yang terjadi di sini.

Awalnya mulai dari mengatasi kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan, khususnya makanan yang sangat berbeda dari kota, baik dari segi ketersediaan dan juga nilai gizinya. Bukan aku tidak mempersiapkan diri, tapi bagiku soal makanan ini lebih buruk dari yang aku bayangkan.

Minggu kedua berada di sini, aku jatuh sakit. Rasanya sedih sekali saat itu. Perasaan takut karena berada di pedalaman juga menambah kekhawatiran. Berat badan pun tiba-tiba turun. Tidak hanya fisikku yang sakit, tapi pikiranku juga. Aku menangis, berdoa, dan bergumul. Tiga hal itulah yang kulakukan berulang kali. Hingga seminggu lebih berlalu dengan kondisi seperti itu, membuatku menemukan sebuah kesimpulan yang sangat berharga. Ya, ada hal berharga yang aku petik dari kejadian tersebut, yang membuatku mengerti arti “Berserah Penuh”.

Selama ini arti berserah seakan hanya sebuah teori yang melekat di kepala dan selalu kuucapkan di saat pergumulanku kurasa tidak terlalu berat. Tapi saat itu aku benar-benar tidak punya pilihan, selain berdoa dan mengizinkan Tuhan yang ambil alih.

Dan saat itu yang terjadi adalah rumah sakit jauh, obat terbatas, dan kendaraan juga terbatas. Beberapa hari kemudian aku merasa jauh lebih baik dengan obat seadanya dan istirahat secukupnya.

Masih banyak hal lain yang aku alami di sini. Melewati masa-masa sulit sampai akhirnya beradaptasi, dan sekarang merasa seperti menemukan sebuah ladang emas yang sangat berharga, yang merupakan hal terutama bagiku, yaitu aku bisa mengeksplorasi banyak kualitas dalam diriku.

Aku belajar semakin dekat mengenal Tuhan, semakin berserah, dan semakin berbuat dengan hati. Hal itulah yang paling utama untuk bisa hidup di pedalaman. Selain hati, ada hal lain yang tidak kalah penting dan harus lahir dari hati serta melakukannya di sini, yaitu senyuman lebar dan sapaan. Itu adalah sebuah hal yang menjadi kebiasaanku di sini, karena itu adalah senjata ampuh untuk mereka yang masih merasa asing. Senyuman adalah awal untuk sebuah hubungan yang mampu menjadi sebuah obat bagi mereka, orang-orang yang bisa aku layani di sini.

Aku belajar bahwa ketika Tuhan berikan kita visi, Tuhan pasti kasih kita provision (bekal). Tuhan tidak pernah membiarkan kita begitu saja dan main-main dengan apa yang sedang Dia kerjakan. Dia peduli sekali, Dia tahu dan tidak akan pernah salah menempatkan kita, apalagi memberikan kesulitan di luar kemampuan kita. Sama seperti yang ditulis di 1 Korintus 10:13 :

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

So, jangan pernah mengeluh dengan berbagai kesulitan yang ada, karena mengeluh berarti tidak mensyukuri apa yang Tuhan berikan dan rencanakan.

Dimana pun dan apapun bagian kita, ingatlah bahwa dimana Tuhan mengutus kita, Dia pasti juga mengurus kita. Kita hanya perlu bersabar, belajar, dan semakin hari semakin rendah hati meminta hikmat tentang apa yang harus kita lakukan, serta menggunakan semua kesempatan yang ada.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11 ).

Tetaplah berpengharapan, teruslah berdoa, jadilah setia, dan mau dibentuk.

Cerpen: Bekerja Sama dalam Perbedaan

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Di hari-hari pengujung semester ini, aku sedikit lebih sibuk dari biasanya. Pembelajaran dan ujian sudah selesai, aku tinggal menyelesaikan penilaian dan hal-hal yang perlu untuk pembagian rapor peserta didik di minggu mendatang.

Tahun ini aku dipercaya menjadi wali kelas. Ada tiga puluhan rapor yang perlu kutuntaskan, tapi belum semua terisi karena beberapa guru pelajaran belum menyerahkan penilaian akhir mereka.

Pagi itu sekolah masih sepi meski arloji di tanganku sudah menunjukkan angka sembilan. Sejak pandemi, pembelajaran dilakukan dari rumah, namun kami guru diharuskan hadir di sekolah. Hal itu karena tidak seratus persen murid kami memiliki fasilitas untuk belajar daring. Biasanya dua sampai lima murid datang menemuiku untuk belajar tatap muka atau sekadar mengumpulkan tugas. Selain itu, kebijakan ini juga kurasa baik. Bertemu langsung dengan rekan guru membuatku lebih leluasa bertukar pikiran dengan mereka.

Kuteguk secangkir kopi di mejaku. Rekan guru yang kutunggu belum juga tiba. Aku memperhatikan kolom kosong di lembar penilaian kelasku yang artinya guru yang bersangkutan belum menyerahkan nilainya. Seminggu sudah berlalu dari tanggal pengumpulan yang sudah ditentukan. Aku sulit mentolerir hal-hal seperti ini. Aku lalu mengirim pesan pada mereka.

“Halo Bapak/Ibu. Saya Anggi, Wali Kelas 9-A. Mohon kerjasamanya untuk segera mengirimkan nilai dari pelajaran yang diampu ya. Saya membutuhkannya untuk pengisian rapor. Terima kasih.”

Sembari menunggu balasan, aku berjalan keluar menghirup udara sejuk. Kulayangkan pandang pada alam dari sekeliling sekolahku yang tidak berpagar. Hamparan rumput, sawah, pegunungan serta gembala yang menuntun kawanan kerbaunya terlihat jelas. Dari jauh tampak juga kepulan asap dari pondok petani yang mungkin sedang merebus air atau sekedar membakar ubi. Aku meyakini hal itu setelah beberapa kali menyaksikan tradisi “marsiadapari” yang masih lazim bagi petani di desa ini. Bentuk gotong-royong saat musim panen yang dilakukan secara bergantian dari sawah yang satu ke yang lain. Biasanya sekitar pukul 10 pemilik sawah akan menyajikan kopi atau ubi sebagai camilan yang disantap sembari istirahat sejenak. Pemandangan estetik yang jarang ditemui di tempat pengabdianku sebelumnya. Namun jika mengingat kendala yang kualami dalam pekerjaanku seperti hari ini, tidak jarang aku ingin kembali ke kota.

“Aku tidak suka memindahkan nilai-nilai itu mendekati deadline,” aku menghempaskan nafas, melangkah kembali ke ruangan.

Menjadi wali kelas sebenarnya bukan pengalaman pertama untukku. Sebelum menjadi guru Aparatur Sipil Negara di sekolah ini, aku sudah mengajar di sekolah dan beberapa kali menerima tanggung jawab yang sama. Di sekolah sebelumnya, setiap bulan para guru menginput nilai di lembaran excel pada laman penilaian yang disediakan sekolah. Dengan begitu, urusan penilaian tidak menumpuk di akhir semester, kami hanya perlu menambahkan nilai terakhir. Data-data itu juga bisa diakses kapanpun dengan mudah. Di sana, kami tidak hanya memiliki fasilitas yang memadai, namun ada rekan guru yang mumpuni sebagai pendidik dan mau beradaptasi dengan perubahan untuk perbaikan yang diperlukan.

Walau masih bekerja di bidang yang sama, namun aku menemukan banyak perbedaan di sekolahku sekarang. Tidak hanya dari fasilitas yang masih minim, aku juga kesulitan menyesuaikan diri dengan kemampuan, pola pikir dan ritme kerja rekan di sini. Aku pernah kesal dengan seorang rekan guru. Saat itu kami harus mengirimkan materi les sore tambahan. Sebelumnya pengumpulan dan proses evaluasi dilakukan secara manual. Aku melihat beberapa kendala dengan cara seperti itu, aku lantas mengusulkan penggunaan fitur kolaborasi yang disediakan Google. Dengan begitu, setiap guru tinggal mengunggah file yang dimaksud dan pengevaluasian juga bisa dilakukan di sana. Usulku sempat diterima, namun pelaksanaanya tidak lancar. Meski sudah diberitahu cara pengerjaanya, masih ada guru yang kesulitan hingga merepotkan operator sekolah kami untuk melakukannya. Menganggap pengerjaannya lebih rumit, akhirnya pengumpulan materi kembali dilakukan secara manual. Aku juga mendengar ada label “carmuk” yang disematkan padaku terkait dengan ide itu. Alih-alih mendapat respons yang baik, aku disebut sedang cari perhatian ingin dipuji. Aku kesal dan menaruh penggolongan tertentu tentang mereka dalam pikiranku.

Di waktu yang berbeda, aku pernah mengajukan kepada kepala sekolah agar diadakan pelatihan penggunaan laptop yang berkelanjutan bagi guru-guru. Selama bekerja di sekolah ini, aku melihat beberapa teman guru masih terkendala khususnya dalam menggunakan fitur aplikasi yang sering diperlukan. Sebut saja ketika harus menghitung nilai menggunakan rumus otomatis atau ketika harus melakukan pengaturan ukuran dokumen. Terkesan sepele, tapi aku sendiri menyaksikan bagaimana hal itu mempengaruhi kinerja kami. Aku yakin jika pelatihan diberikan secara rutin, guru-guru akan terbiasa juga semakin paham.

“Sebelumnya sudah pernah ada pelatihan seperti itu dari Dinas Pendidikan,” respon pak kepala sekolah saat itu.

“Pelatihan tentu tidak cukup sekali atau dua kali Pak. Kita bisa karena terbiasa,” ujarku meyakinkan. “Kita bisa memberdayakan guru-guru yang lebih paham untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan Pak” lanjutku sembari menyebutkan nama beberapa guru yang menurutku bisa dilibatkan.

“Ide dari Pak Anggi akan saya pertimbangkan, nanti saya kabari lagi.”

Hari-hari terus berlalu, tapi hingga kini aku belum juga menerima kelanjutan jawaban itu. Terakhir, aku membenarkan anggapanku. Mayoritas rekan kerja di sekolah ini anti perubahan, termasuk bapak kepala sekolah. Mereka enggan mengubah kebiasaan dengan dalih tidak tahu atau rumit. Belajar hal-hal baru tentu bukan perkara gampang bagi siapapun, tapi bukankah seyogyanya belajar merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat?

“Pagi Anggi, ngapain kamu?” Sabeth tetiba datang. Kehadirannya membuyarkan lamunanku.

“Eh Kakak. Tumben lama?”

“Iya, tadi ke rumah siswa dulu diskusi sama orang tuanya.”

Kak Sabeth mengajar IPS. Aku bersyukur memiliki dia menjadi salah satu rekan kerja di tempat ini. Usia kami hanya terpaut 2 tahun, tapi aku banyak belajar darinya. Kak Sabeth sering mengingatkanku untuk memandang persoalan dari sudut berbeda. Ia juga yang mengajakku mengumpulkan buku-buku bekas dari teman-teman di kota untuk menambah koleksi di kontrakannya yang diubah mirip perpustakaan terbuka bagi anak-anak desa.

Desa tempat sekolahku sekarang berada di ujung Kabupaten Tapanuli bagian Tengah. Dengan kondisi jalan bebatuan belum beraspal, truk bak terbuka adalah satu-satunya angkutan keluar masuk desa, maka tidak heran akses yang sulit ini juga mempengaruhi tersedianya variasi koleksi bacaan yang ada. Perpustakaan hanya tersedia di sekolah dan itu pun masih terbatas.

“Aku lagi mengisi rapor kak tapi belum semua guru menyerahkan nilainya,” keluhku menunjukkan daftar nilai yang kosong.

“Sudah hubungi guru-gurunya?”

“Tidak ada respon kak.”

“Belum merespon mungkin. Coba tunggu, sebentar lagi mereka juga datang.”

“Iya datang tapi entah jam berapa. Kira-kira mereka sadar nggak ya kak sudah mengganggu pekerjaan rekannya?” Aku membela diri. “Seandainya setiap bulan nilai itu langsung dikumpulkan dalam satu sistem pasti hal-hal seperti ini tidak terjadi. Malas berubah ya begini. Diingatkan nggak mau terima,” aku mengoceh kesal

Kak Sabeth tidak menanggapiku. Aku kembali bekerja dengan laptop sembari berharap agar nilai yang kuperlukan segera diserahkan.

“Siang Pak Anggi, Bu Sabeth,” sapa Ibu Dina berjalan menuju meja kerjaku.

“Pak Anggi. Ini nilai yang diminta, maaf melewati waktu pengumpulannya. Rumus di lembar kerja excel-nya error entah apa sebabnya. Jadi saya hitung manual pakai kalkulator.” Terangnya menyerahkan dokumen yang membuatku kesal sedari pagi.

“Bah, kok bisa begitu bu?” tanya kak Sabeth mengambil jeda dari kegiatannya.

“Semua nilai Ibu kalkulasi manual?” Aku mengernyitkan kening membayangkan waktu yang dihabiskan untuk menghitungnya.

“Iya Pak. Saya kurang mengerti masalahnya. Selesai memasukkan semua nilai, saya coba gunakan rumusnya tapi tidak berhasil, daripada bengong ya saya hitung pakai kalkulator saja.”

Kami bertiga memeriksa permasalahannya. Ternyata Bu Dina menginput beberapa tanda baca yang tidak diperlukan jadi rumus yang dimaksud tidak bekerja semestinya.

“Wah, hanya perlu diganti yang itu ya,” Bu Dina mengangguk, menyadari kesalahannya ternyata sangat sepele.

Darahku berdesir cepat mengingat isi pikiranku sebelumnya. Beberapa kali aku kesal dengan teman-teman guru yang kurang mahir menggunakan laptop. Tidak jarang aku menganggap mereka enggan atau malas mempelajarinya. Pikiranku yang lebih sering terfokus pada kekurangan mereka, membuatku lupa kalau aku punya kesempatan untuk membantu mereka secara langsung. Meski beberapa usulku ditolak, aku merasa justru dengan begini, aku lebih leluasa membagikan hal-hal yang belum mereka ketahui.

“Ah, andai aku menyadari lebih awal,” gumamku.

Aku tersenyum menyadari kekeliruanku. Situasi dan rekan kerja yang kumiliki sekarang memang berbeda. Tapi tidak seharusnya hal itu menjadi pembenaran untuk bertindak laksana hakim dengan pikiran-pikiranku yang jahat (Yakobus 2:4). Mereka mungkin tidak mahir menggunakan beberapa fitur di laptop, namun membuat penggolongan tertentu dalam pikiranku bukanlah hal yang benar. Sama seperti mereka, aku juga pasti memiliki keterbatasan dalam bidang lain. Aku hanya perlu menyampingkan ego agar perbedaan yang ada tidak berujung konflik. Menggunakan sudut pandang yang benar memberi kita kesempatan untuk menjadi rekan kerja yang mau menolong kesukaran mereka (Amsal 17:17). Kita mungkin berbeda dalam banyak hal, tapi bekerja sama tidak selalu harus sama. Meski masih harus terus belajar, biarlah kiranya ini menjadi komitmen untuk kita. Terkhusus sebagai pendidik, hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral untuk menjadi teladan, mengikut Bapa yang mengasihi semua orang—tanpa pilih kasih ( Yakobus 2:1-10, 14-17).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Duta Pengampunan di Tengah Budaya Pengenyahan

Belakangan ini kita tidak asing dengan fenomena para pelanggar yang viral, lalu diangkat menjadi duta. Ada hal menarik yang bisa kita jelajahi dari fenomena ini.

Teruntuk Semua Guru

Oleh Chia Poh Fang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Teachers and School Staff, We Appreciate You Too!

Sejak pandemi merebak, ada satu kelompok pekerja yang bekerja keras tanpa pamrih, seolah kehidupan tetap berjalan normal seperti sedianya. Mereka adalah para pendidik.

Seperti halnya para petugas medis dan pekerja lainnya di sektor esensial yang harus tetap beroperasi, para pendidik mengalami kesibukan yang luar biasa, khususnya sejak akhir Maret.

Mengelola sistem pembelajaran secara daring membuat mereka kewalahan. Istri dari temanku bercerita padaku kalau guru-guru harus bekerja lebih keras dalam mengemban tanggung jawab mereka di masa-masa krisis ini. Mereka tak cuma harus mengajar kelas-kelas seperti biasanya, tapi juga harus menyiapkan modul pelajaran yang baru untuk siswa-siswi di rumah, lalu memantau satu per satu siswa untuk memastikan apakah mereka bisa mengikuti pelajarannya atau tidak.

Ketika beberapa pekerja lain jam kerjanya berkurang karena pembatasan sosial, para guru malah sebaliknya.

Apakah kamu melayani sebagai guru yang berjuang keras agar proses pendidikan tetap dapat berlangsung di tengah masa-masa sulit ini? Aku ingin mengatakan ini kepadamu: kamu tidak dilupakan. Terima kasih telah menanggung beban kerja yang bertambah. Terima kasih telah memberikan hidupmu kepada generasi masa depan. Kami mengapresiasimu atas perjuanganmu yang melelahkan.

Tak ada yang tahu berapa lama situasi ini akan berlangsung. Kami berdoa kiranya kamu tetap bersukacita serta menemukan kekuatan dan pengharapanmu di dalam Tuhan yang mengetahui setiap jerih lelah anak-anak-Nya. Jika kita menantikan pertolongan dari-Nya, Dia berjanji untuk membaharui kekuatan kita.

Nabi Yesaya menulis, “Orang-orang muda menjadi lelah dan lesu dan teruna-teruna jatuh tersandung, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yesaya 40:30-31).

Tuhan mengerti bahwa kita membutuhkan kekuatan rohani, sebagaimana tubuh kita membutuhkan asupan nutrisi dari makanan yang kita makan setiap hari. Tuhan berjanji menguatkan kita senantiasa.

Yesaya mengingatkan kita bahwa Tuhan memilih, memanggil, dan beserta kita. Bapa di surga pun berkata demikian: “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

Di dalam kelelahan kita, kita memperoleh kekuatan dari dua kebenaran dalam ayat di atas: “Aku menyertai engkau” dan “Aku ini Allahmu”. Dialah Allah yang kebenaran-Nya, serta tujuan-Nya bagi kita tidak berubah.

Ilustrasi dalam artikel ini dibuat oleh Yohanes Tenggara dan Grace Tjahyadi ( @dreamslandia )

Bekerja Layaknya Seorang Atlet

Oleh Dian, Surabaya

Aku bekerja sebagai guru. Di bulan April 2019, aku mendapatkan keputusan dari atasanku bahwa kontrak kerjaku tidak dilanjutkan lagi. Berita yang membuatku hopeless dan cukup gelisah. Teman-temanku yang mengetahui kabar ini pun sempat tidak percaya dan menyarankanku untuk bertanya lagi. Tetapi, nyatanya memang keputusan itu tidak bisa dibatalkan. Ada teman juga yang memberikan beberapa informasi lowongan pekerjaan untukku. Beberapa lowongan sudah aku daftarkan dan tak kunjung dapat balasan juga.

Hari demi hari, beberapa teman bersimpati atas kejadian ini. Tapi tak jarang, aku bilang ke teman-temanku, “Tidak apa-apa, aku bisa cari pekerjaan lain”. Tapi itu hanya ketenangan semu untuk menutupi kekecewaanku. Apalagi, kondisiku bukanlah seorang bujang, yang bekerja untuk diri sendiri. Aku punya istri yang sedang mengandung. Tentu masalah finansial memenuhi pemikiranku. Meskipun aku hafal ayat 1 Petrus 5:7 “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia memelihara yang kamu”, namun tetap saja itu tidak mampu membuat tidurku nyenyak. Apakah aku tidak bisa mengimani ayat ini? Aku juga tidak bisa menjawabnya, karena kenyataannya aku susah untuk tidur atas kekhawatiranku ini. Di sisi lain ayat ini mengatakan Tuhan akan memelihara hidupku.

Selama bekerja memang aku nampak cuek di sekitarku, aku hanya berpikir apa yang bisa kukerjakan dan tidak memikirkan yang lain. Aku juga tidak berpikir terhadap penilaian orang terhadap pekerjaanku dan apa yang kulakukan. Selama siswaku mengerti dan memahami tujuanku mengajar, itu sudah cukup. Tapi bagi atasanku itu tidak cukup untuk melanjutkan karierku bekerja di situ. Di sisi lain, beliau mungkin memiliki pertimbangan yang tidak bisa aku prediksi. Aku menghargai itu, tetapi aku cukup sulit menerima konsekuensi dari keputusannya, karena penghasilanku akan berkurang. Dengan kondisiku sekarang, aku sudah menghitung detail bahwa kemampuan finansialku tidak mampu memenuhi kebutuhan persalinan istriku dan biaya setelahnya.

Lantas apa solusinya? Utang.

Aku memikirkan kata itu untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku, tetapi istriku menolaknya. Ia mengingatkan bahwa kami harus menghindari utang, karena itu akan memberatkan kami dalam melunasinya. Ia selalu memintaku untuk apply pekerjaan. Aku bilang kepadanya, “mending aku kerja jadi marketing aja ya? Gak apa-apa tekanan tinggi, tetapi setidaknya bisa mengejar target finansial kita.”

Ia pun tidak mengizinkan, karena itu bukan background-ku dan kesenanganku. “Percuma kalau kamu bekerja cuma targetnya finansial”, katanya.

“Coba dulu kamu masukkan lamaran di beberapa sekolah,” tambahnya.

Bulan Juli 2019

Bulan ini ada sebuah kelegaan bagiku karena aku mendapatkan pekerjaan baru. Aku bekerja di salah satu sekolah swasta di Surabaya, meskipun sekolah ini hanya memberikan masa orientasi kerja selama 3 bulan. Ini pun membuatku berpikir, “Ternyata Tuhan masih memperhatikanku, meskipun aku sulit menaruhkan kekhawatiranku kepada-Nya”.

Apakah kekhawatiranku sudah hilang? Tidak. Aku masih khawatir apakah aku mendapatkan kesempatan bekerja setelah masa orientasi. Kekhawatiran ini membuatku sangat berhati-hati dalam bekerja. Aku mengusahakan tidak cuek terhadap orang lain, mencoba mencari tahu penilaian orang terhadapku itu seperti apa. Sehingga, secara tidak sadar aku membuat image sesuai apa yang diinginkan oleh rekan kerja, terutama atasan. Berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya, yang tidak memedulikan omongan orang lain.

Aku bertanya kepada partner kerjaku, “Apa kriteria atau syarat supaya kontrak kerjanya lanjut di sini?”

“Ngapain dipikirkan, Pak. Yang penting kerja bener, untuk urusan dilanjut atau enggak. Itu gak usah dipikir. Aku dulu seperti itu,” Jawabnya.

Jawabannya menamparku sejenak. Jawabannya mengingatkanku bahwa aku bekerja bukan untuk dilihat oleh orang lain baik, tapi bagaimana memberi pengaruh baik. Jelas, aku sudah kehilangan esensi dan visi dalam bekerja. Aku sudah takut kehilangan pekerjaanku, bahkan hidup matiku seakan-akan hanya bergantung kepada pekerjaanku itu. Meskipun aku bisa beralasan bahwa itu untuk memenuhi kebutuhan istriku dan kelahiran anakku. Itu nampaknya bukan diinginkan Tuhan yang telah memberikan dan mempercayakan pekerjaan itu kepadaku. Pikiranku melintir menjadi 180 derajat, dari “apa yang bisa kuberikan dari pekerjaan” menjadi “apa yang bisa kudapatkan dari pekerjaanku”.

Ternyata orang bekerja itu ibarat seorang atlet yang bertanding. Meskipun ribuan penonton memberikan ejekan, hinaan, pujian, semangat atau komentar lain terhadap atlet yang bertanding, atlet yang baik pasti tidak terpengaruh oleh seluruh komentar penonton melainkan fokus pada tujuan dalam pertandingan, yaitu menang dengan sportif, respect dan penuh semangat. Walapun atlet itu mengalami kekalahan, ia pasti akan berlatih lebih keras lagi untuk mencapai tujuan kemenangan tersebut. Begitu juga pekerja yang baik adalah pekerja yang tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain, melainkan menjaga fokus terhadap tujuan dalam pekerjaan. Apalagi tujuan yang ia bawa sejalan dengan tujuan Tuhan. Aku pun masih mengusahakannya, meskipun jatuh bangun dan rasa kecewa serta was-was masih aku rasakan. Tapi setidaknya aku mencoba belajar menjadi atlet yang baik. Jika masih kalah aku untuk melatihnya lagi.

Baca Juga:

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Data WHO menunjukkan ada 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri. Kita tidak bisa diam saja menanggapi isu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah.