Posts

Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.

Dalam Rasa Kesalmu, Janganlah Terbit Penghakiman

Sebuah cerpen oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Guys! Vika keterlaluan banget! Pasti dia lagi pergi ke Jakarta buat nonton konser oppa kesayangannya. Parah! Masa dia lebih milih oppa daripada Tuhan sih?” ucap Cika dengan tatapan tajam. Ia adalah pengurus di persekutuan pemuda gereja.  

Bukan tanpa alasan Cika kesal dengan Vika. Hari ini ada event spesial di persekutuan pemuda. Segala hal sudah disiapkan dengan matang dan persiapan-persiapan di awal pun berjalan lancar. Tapi, Vika—seorang yang harusnya punya peran penting—mendadak tidak hadir dan tidak memberikan alasan jelas. Akibatnya, event yang diharapkan berjalan sempurna pun jadi tidak berjalan maksimal. 

Mendengar luapan emosi Cika, teman-teman lain yang hadir saat itu pun ikut tersulut. Mendadak dan tanpa alasan jelas, dua poin ini yang menjadi bara panas di hati teman-teman persekutuan. “Iya betul!” tanggap Ape. “Dia mah bukan cuma suka doang sama K-pop, tapi udah kecanduan. Ini bukan sekali dua kali loh dia lebih bela oppa-nya itu daripada Tuhan!”

Sebenarnya semua orang di gereja tahu bahwa Vika memang pecinta segala hal yang berbau Korea. Dia mengoleksi souvenir, mulai dari poster, majalah, sampai sederet film-film dan lagu yang dia simpan di folder khusus di drive. Tak ada yang mempermasalahkan kesukaannya ini. Namun, ketika beberapa bulan terakhir dia mulai kurang aktif di persekutuan, teman-temannya pun berspekulasi apa gerangan yang menjauhkan Vika dari mereka. Mau dicari tahu sebabnya, tapi mereka memang jarang terlibat deep-talk dengannya. Dimulai dengan perasaan tidak tahu yang berevolusi menjadi kepo tapi tak menemukan fakta apa pun, terbitlah tudingan bahwa kesukaan Vika akan K-pop yang jadi biang keladinya. 

“Emang dia pernah berbuat apa aja sih sampai kalian bisa bilang kecanduan?” Uma berusaha menenangkan. Sebagai salah satu senior, dia peka menangkap bahwa diskusi ini tak lagi kondusif. Dia kesal juga dengan Vika, tapi tak ingin menyalahkannya sebelum tahu sebab yang benar.

“Dia pernah beli satu album lagu tuh. Kalau belinya satu sih ya gapapa. Tapi masalahnya, dia beli sampe satu dus! Alasannya? Supaya dia bisa menang undian tiket fan sign sama itu oppanya,” jawab Ape sambil pandangannya menatap satu per satu orang yang hadir, membuat mereka kaget mengetahui kalau Vika se-”addict” itu sama idolanya.

“Gak cuma itu!” Cika ikut menambahi. “Dia juga pernah datang ke persekutuan sambil matanya bengkak. Waktu aku tanya, dia bilangnya abis nangis semaleman gara-gara oppa-nya kalah di acara penghargaan.” 

Bagaikan api tersiram minyak, emosi kekesalan teman-teman terasa panas membara. Sebelum yang lain menimpali dengan rumor atau spekulasi yang mereka anggap fakta, Hela yang dari tadi diam mengangkat suaranya. “Kalian sudah coba bicara ke Kak Efa belum sih soal ini? Dia kan pembina pemuda, harusnya kalau kita share ini ke dia, dia bisa bantu tegur Vika.” 

“Sudah, Hel. Tapi ya gitu. Si Vika masih aja kecanduan. Gak berubah sama sekali,” jawab Cika. 

Diskusi evaluasi hari itu berjalan tanpa solusi selain menuding Vika sebagai penyebab tunggal tidak sempurnanya acara. Semenit dua menit ruangan menjadi hening. Rasa lelah ditambah kesal mau tak mau menguras energi semua orang  yang hadir. Tak lama kemudian, Kak Efa pun datang. Dia melihat suasana dan raut wajah adik-adik rohaninya yang muram. 

Kak Efa menorehkan segaris senyum di wajahnya, kemudian dia berdiri di sebelah Cika dan berkata, “Guys, good job buat hari ini. It’s okay kalau acaranya tidak 100% berhasil, yang penting pesan firman Tuhan yang mau kita sampaikan ke peserta yang hadir bisa mereka terima.”

Namun bukannya jadi lebih cair, suasana malah makin muram. Kak Efa tahu Vika tidak hadir, tapi belum ngeh kalau semua orang dongkol karena absennya dia. 

“Gara-gara Vika pokoknya kak!” celetuk Ape. 

“Loh…” Kak Efa mengernyitkan dahi. “Kenapa kalian jadi kesel banget sama Vika?” 

Pertanyaan ini ramai-ramai dijawab dengan segudang spekulasi dan tudingan tentang Vika. Kak Efa meminta mereka semua tenang dan cukup satu orang saja yang bicara. Cika pun ditunjuk untuk menjadi juru bicara.

“Vika gak berubah kak, malah tambah parah. Kalau pun kami yang tegur, pasti dia gak mau denger, malah bisa-bisa kami yang kena marah balik sama dia.” 

“Iyalah, namanya juga itu K-popnya udah jadi candu,” timpal Ape. “Pantesan aja dia sampe sekarang gak punya pacar. Gimana mau punya? Standarnya aja halu!” 

“Stop ya teman-teman…” Kak Efa menghela nafas. “Kalian ini kan lagi evaluasi pasca event, kenapa jadi gosipin orang ya?”

Semua yang hadir terdiam. “Vika yang hari ini gak hadir pasti membuat kita kesal, kakak paham. Dan kalau kalian bilang Vika tidak bisa dinasehati dan sebagainya, itu bukan artinya kita bebas menebar spekulasi tentang dia loh. Sekarang kakak tanya, ada gak dari antara kalian yang pernah sungguh-sungguh duduk dan dengerin cerita dari Vika?” 

Semuanya menggelengkan kepala. Di balik hobinya mengoleksi beragam album K-Pop, Kak Efa tahu Vika adalah sosok pemudi yang hangat. Dalam beberapa kesempatan setelah ibadah pemuda, Kak Efa pernah mengobrol dengan Vika, bahkan ada satu waktu ketika mereka akhirnya pergi makan malam berdua. Di situ Vika bercerita bahwa mengidolakan K-Pop hanyalah sekadar hiburan buatnya. Vika anak tunggal dalam keluarga. Ibunya telah tiada dan sehari-hari dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Menonton drama, mendengarkan lagu, dan kumpul dengan sesama fans adalah hal-hal yang membuat Vika tidak lagi merasa sepi. Di gereja Vika belum bisa terlalu dekat dengan yang lain karena dia merasa tak punya hobi yang sama. Hanya dia seorang yang begitu menyenangi Korea-koreaan.

Tak cuma di persekutuan pemuda, ketika orang-orang tergabung dalam satu komunitas, tumbuh pula rasa kebersamaan dan kesepakatan-kesepakatan tak tertulis. Semisal, ada agenda untuk pergi bersama, muncul julukan-julukan khusus buat seseorang, atau sesederhana muncul ikatan untuk selalu melakukan suatu acara bersama-sama. Ketika salah seorang anggota tiba-tiba mundur, atau tak sepakat dengan kebanyakan orang yang ada di sana, kecenderungan yang muncul ialah orang tersebut dianggap berbeda. Bahkan, pada beberapa kasus, bisa jadi dia dijadikan bahan omongan.

Jika sudah tiba pada tahapan itu, komunitas tak lagi jadi tempat yang aman untuk anggotanya menjadi diri sendiri. Membiarkan omongan negatif hingga spekulasi bertebaran akan menggerus kasih persaudaraan di dalamnya. 

Kak Efa pun melanjutkan narasinya. “Teman-teman semua, kakak tahu kita kesal. Tapi sekali lagi, kakak mohon kita ingat kalau kita adalah persekutuan anak-anak muda, orang-orang percaya. Membicarakan keburukan Vika gak akan membuat kita menemukan solusi untuk membuat teamwork kita lebih baik, ataupun membuat Vika jadi sadar. Yang ada malah membuat kita makin berjarak dengan dia.”

Statement Kak Efa rupanya ampuh memutus spekulasi panjang di ruangan itu. Mungkin mereka pun sudah kelelahan juga. “Malam ini kalian pulang, doakan Vika. Minta juga hikmat dari Tuhan untuk mengarahkan kita bagaimana nanti bisa menasihati Vika. Entah nanti Vika akan berubah atau tidak setelah mendengar nasihat kita, yang penting adalah kita menyampaikannya dengan baik dan tidak membicarakan keburukannya.” 

Ape, Cika, dan dua orang yang sedari tadi vokal membicarakan Vika pun mengangguk-ngangguk. “Iya kak, terima kasih sarannya. Kami akan ikuti,” jawab mereka kompak. 

Dalam hati Kak Efa bersyukur karena Roh Kudus memberkati ucapannya. Dalam perasaan kesal mudah sekali untuk berspekulasi dan berbicara keburukan orang lain, tetapi Alkitab mengingatkan kita agar janganlah kita buru-buru menghakimi (Matius 7:1).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jangan Ada Dosa di Balik Obrolan Serumu!

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Kalau dulu ada ungkapan yang bilang, suka ngomongin orang, kayak perempuan aja sih!” Sekarang agaknya itu tidak lagi berlaku. Gosip alias ngomongin orang sejatinya tidak melekat hanya kepada kaum perempuan saja. Manusia dengan natur kedagingannya mudah tergoda pada gosip.

Secara sederhana gosip bisa kudefinisikan sebagai kita membicarakan orang yang sama-sama kita kenal, tapi orangnya tidak di situ dan tidak tahu juga kalau sedang diomongin. Ketika menuliskan artikel ini aku pun bukan orang yang telah merdeka sempurna dari bergosip karena jelas-jelas ada salah satu grup WA-ku yang judulnya “Gossip Girls”. Parahnya, akulah yang memberi nama grup itu! Memang itu cuma sekadar nama karena intensi utama grup itu bukanlah menggosip, melainkan untuk mempererat relasi kami. Grup itu pun tidak terlalu aktif karena kami lebih sering bertemu langsung.

Para sosiolog mengakui bahwa gosip menjadi mekanisme terbentuknya kontrol sosial dalam bermasyarakat. Tentunya kita sering mendengar kalimat seperti ini, “Hati-hati lu, nanti malah digosipin!” Dengan adanya konsep “gosip”, kita diingatkan adanya konsekuensi sosial untuk setiap perbuatan kita, sehingga secara tidak langsung konsep “gosip menggosip” ini mendorong manusia agar bermoral baik, atau jaim (jaga image) supaya tidak dijadikan bahan pembicaraan orang lain. Pada sisi negatifnya, gosip dapat menimbulkan perpecahan dan ketegangan sosial. Alkitab sendiri menentang gosip (Roma 1:29), namun memuji diskusi yang sifatnya membangun. 

Nah, jadi pertanyaannya: apakah mungkin kita sharing tanpa harus ngejulid? Bagaimana agar pembicaraan kita tidak menjadi dosa dalam keseharian kita?

Gosip atau diskusi?

Gosip atau diskusi? Rumitnya di sini. 

Namanya mengobrol, pasti ada kalanya membicarakan orang-orang yang kita kenal. Karena standar gosip itu bervariasi, mari kita sepakati dahulu konsep gosip yang kumaksud di sini, yaitu membicarakan orang lain di mana aku dan lawan bicaraku sama-sama kenal namun orang yang kita bicarakan tidak hadir dalam pembicaraan. Dan, umumnya isu-isu yang dibahas bersifat negatif. 

Pada kebanyakan kasusnya, gosip sering diawali dengan kongko bareng tapi malah akhirnya menambahkan asumsi-asumsi kosong yang belum benar faktanya. Supaya terhindar dari jeratan ini, saat kita masuk ke dalam circle yang agendanya sedang membedah perilaku buruk orang lain, kita bisa tanyakan ke diri sendiri dulu: apa motivasiku ikut pembicaraan ini? Apa tujuanku? Apakah karena aku peduli terhadap orang lain? Atau hanya karena kepo?

Dari sini kita dapat melihat perbedaan yang jelas. Jika tujuan pembicaraannya didasari oleh kepedulian dan kasih kita terhadap si orang yang kita bicarakan, kita pasti berusaha untuk mengerti alasan di balik perilakunya, dan yang terpenting adalah kita mau menjangkau mereka, bukan malah mengucilkan mereka dengan asumsi-asumsi yang negatif. Yang diutamakan oleh tim yang menjunjung sharing atau diskusi produktif adalah mencari solusi untuk membantu si dia yang jadi topik pembicaraan.

Saat kita ikut-ikutan bergosip, ada kalanya kita jadi pendengar pasif, bukan si sumber berita ataupun pembawa acara. Namun, Alkitab tetap menyatakan bahwa kita juga sama berdosanya karena ikut mendengar walau tidak berpartisipasi (Amsal 17:4). Jika ini situasi yang kita hadapi, maka mungkin yang kita dapat lakukan adalah mengalihkan arah pembicaraan menjadi lebih positif dan konstruktif. Misalnya dengan bertanya, “Apakah kamu sudah berdiskusi dengan dia mengenai masalah ini?” Kita juga bisa memberikan rasa simpati terhadap mereka yang sedang dibicarakan. Anggaplah kita sedang membela teman baik atau saudara kita sendiri, kita pasti akan berusaha mendorong orang lain untuk berpikir objektif. 

Rasul Paulus mendefinisikan gosip sebagai dosa yang serius, dan mengaitkannya sebagai perbuatan dosa yang dilakukan dengan maksud jahat, rasa dengki/iri hati, berbohong (Roma 1:29; 2 Korintus 12:19). Tapi… ada tapinya nih man-teman… Tapi di sisi lain, Alkitab sendiri mendorong adanya diskusi yang terbuka (Kis 4: 14-15) atau community openness (1 Yoh 1:7 ; Gal 6:2). 

Apa itu community openness? Community openness depart diartikan sebagai komunitas yang saling terbuka. Terbuka di sini mengartikan sebuah kejujuran ya, bukan kebocoran. Menjaga kerahasiaan di antara anggota sebuah komunitas itu sangat penting, karena di situlah kita sebagai satu tubuh Kristus membangun kepercayaan dan keterbukaan. Sebagai orang Kristen, kita diajarkan untuk terbuka terhadap sesama kita, dan membudidayakan kepercayaaan terhadap saudara kita dalam Kristus. Di dalam komunitas inilah, kita dan anggota kita seharusnya merasa aman bercerita dan saling memberikan masukan yang positif tanpa menghakimi. Kalau gosip menciptakan lingkungan yang membuat anggotanya khawatir akan menjadi topik gosip berikutnya, community openness sebaliknya mewadahi kita sebuah komunitas yang anggotanya nyaman dan aman membagikan bebannya dan mendapatkan input yang membangun serta saling membantu. Kalau dipikir-pikir penerapan community openness ini memang jauh lebih sehat, karena meminimalisir yang namanya asumsi kosong atau negatif karena kita dapat mendengar dari berbagai belah pihak dan mungkin dari orangnya langsung.

Nah! Jadi good news-nya, buat kita yang super kepo ini, kita boleh lanjut kepo guys, asalkan penerapannya adalah community openness yang Alkitab sudah ajarkan ya gengs. Keponya tahu batas juga ya, dan harus didasari ketulusan hati. Mantap kan?!

Mungkin, nantinya akan ada kasus khusus di mana kita perlu menentukan seberapa besar anggota yang perlu mengetahui permasalahannya dan apa perlu mengikutsertakan seorang yang lebih senior dan bijak, itu semua tergantung pada isu dan permasalahanya. Apa yang aku sampaikan hanyalah ajaran secara garis besar dari para tokoh Alkitab.

Nah, sudah jelas dong bedanya gosip dan diskusi. Kalau sudah tahu, tinggal pilihannya di tangan kita; apakah kita mau membudidayakan komunikasi yang sifatnya membangun atau malah menjatuhkan orang lain? 

Sebagai orang Kristen, perbuatan yang paling benar jika kita masuk ke dalam aktivitas menggosip, kita membawa pembicaraan yang hawanya gosip menjadi obrolan yang membuahkan solusi bagaimana kita dapat merangkul sesama kita. Dan tentunya, seluruh pertanyaan dan pernyataan yang telah kutuliskan di atas juga berlaku untukku sendiri, si kepo yang juga member dari grup WA berjudul gossip girls, hahaha!

Julid vs Peduli (?)

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Oke, latihan hari ini kita selesaikan di sini ya!” seru kak Ary, pelatih koor kami.

Hampir semua dari kami berseru kegirangan, jarang-jarang jadwal latihan koor kami singkat begini. Biasanya malam Sabtu kami benar-benar kami habiskan di gereja, belum lagi kalau kedapatan jadwal jadi pemandu lagu di ibadah Minggunya. 

Jadi tentu saja kami senang, walau sedikit bertanya-tanya juga.

“Tumben banget ya, bisa selesai jam segini.” Keyla berjalan mendekat ke arahku, melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu gereja. Belum tepat pukul 8.

Aku mengedikkan bahu, “Iya ya, padahal Kak Ary si paling ketat soal jadwal latihan, hujan badai latihan tetap jalan.” Kami berjalan menuju pintu keluar.

“Hei, langsung pulang?” seseorang tiba-tiba menghampiri kami. “Makan es krim dulu yuk di depan.” Lanjutnya, lalu menyeret kami ke gerai es krim yang malam itu cukup sepi.

“Eh, pada tahu nggak, kenapa hari ini kita latihannya cuma sebentar?” tanya Eva ketika kami duduk menunggu pesanan. Dia memang selalu si paling tahu soal isu-isu yang berkembang. Aku dan Keyla hanya mengangkat bahu.

“Itu karena kak Ary harus buru-buru pulang, soalnya di rumahnya lagi ada keluarga dari calon istrinya.” Katanya memulai.

“Ooh, pernikahannya 2 minggu lagi kan ya!” sahutku.

“Iya, tapi kayaknya ada masalah deh,” kata Eva dengan yakin. Aku dan Keyla sontak menoleh.

Eva mengangguk lagi dengan yakin.

“Aku dengar-dengar, kayaknya orangtuanya kak Ary itu nggak setuju. Soalnya belakangan baru tahu kalo calon istrinya itu pernah punya masa lalu yang nggak baik gitu. Makanya keluarganya bertemu lagi untuk membicarakan soal ini.”

“Masa sih gitu, kayaknya orangtuanya kak Ary bukan tipe yang gitu deh.” Kata Keyla menanggapi, aku mengangguk menyetujui. 

“Lha kita manatahu. Orangtua kalo menyangkut anak bisa berubah kali, demi kebaikan anak sendiri.” Pesanan kami datang, tapi Eva tampak lebih bersemangat melanjutkan ceritanya daripada menikmati es krim kacang merah di hadapannya.

“Aku bukan julid nih ya, tapi aku juga kurang setuju sih sama calon istrinya kak Ary itu. Ingat nggak waktu pertama kali kak Ary kenalin dia di ibadah bulan lalu, cuek banget, nggak mau berbaur. Padahal kita udah ajakin foto juga. Tapi dia tetap aja cuma duduk di sebelah Kak Ary.” 

“Namanya juga masih baru kenal, ya wajarlah kalo dia masih segan. Justru aneh kali kalo baru pertama ketemu udah heboh foto-foto sama kita,” jawabku menanggapi.

“Ah kamu aja yang terlalu berpikir positif, Rib. Aku udah paham nih ya, kalo cewek kayak gitu nanti pasti posesif banget sama suaminya, entah nanti setelah menikah kak Ary nggak akan jadi pelatih kita lagi. Sekali lagi, aku bukan mau julid, aku ngomongin fakta,” lanjut Eva masih dengan berapi-api.

“Kamu ini udah kayak netizen di kolom komentar akun gosip tau nggak, Va!” kata Keyla sambil tertawa kecil. “Atau peramal. Nggak kenal, tapi bisa tau gimana orangnya hanya dengan sekali melihat.” Aku ikut tertawa kecil.

Eva menghembuskan napas keras. Lalu beberapa detik kemudian melanjutkan.

“Aku itu cuma peduli aja sama kak Ary, aku udah anggap dia kayak kakak aku banget, aku nggak mau kak Ary menikahi orang yang salah! Aku nggak mau kak Ary menikah dengan orang yang akan membuat dia jauh dari pelayanannya saat ini, jauh dari kita,” katanya dengan nada yang bercampur antara kesal, sedih, kecewa dan.. cemburu? Entahlah.

Aku dan Keyla bertatapan, saling mengerti. Kami memang cukup dekat dengan kak Ary, dia pelatih koor kami sejak lima tahun lalu, saat kami masih di awal masa kuliah. Aku akui banyak yang kagum dengan sosok kak Ary yang bukan hanya pelatih yang kompeten, tapi juga seorang yang peduli, pendengar yang baik, juga solutif. Yahh… Walaupun dia sangat strict soal jadwal latihan. Aku yakin di antara anggota koor, banyak yang menyukainya, sebagai laki-laki.

Dia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun, sehingga kami cukup shock ketika di suatu waktu latihan dia bilang akan menikah. Dan di ibadah minggu itu, kak Ary membawa calonnya itu dan mengenalkannya pada kami. Mungkin saja memang ada sedikit rasa kecewa di antara kami, karena kak Ary—yang sudah kami anggap seperti kakak sendiri itu—akan menikah dengan seseorang yang kami tidak kenal. Tapi, secara pribadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya sih. Mungkin itu yang dialami Eva.

Jadi aku mendekat, memegang bahu Eva dan berusaha memahaminya.

“Va, tapi itu bukan peduli namanya. Itu sudah mengarah ke membicarakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, yang bahkan kita tidak kenal dan tidak tahu kebenarannya. Bahkan sekalipun itu benar, kayaknya nggak tepat deh kalo kita menjadikannya sebagai bahan omongan,” kataku berusaha dengan suara selembut yang aku bisa. 

Eva terdiam sejenak, muncul kerutan kecil di keningnya.

“Lha, aku nggak ada maksud kayak gitu. Aku beneran cuma menunjukkan rasa peduli aja. Masa aku nggak boleh peduli sama kakak sendiri!” jawabnya defensif, sedikit tersinggung juga tampaknya.

“Iya, kita ngerti kok kalo kamu peduli. Tapi kayaknya ada cara lain yang lebih baik deh, Va, tanpa berpikiran negatif begitu,” tanggapku lembut.

“Aku bukan berpikiran negatif, aku hanya mengutarakan sesuai dengan apa yang aku lihat sendiri. Apa yang aku rasakan,” katanya lagi, tampak belum menerima sikapku dan Keyla.

“Va, tapi Ribka benar. Kayaknya itu bukan kepedulian kalau justru menimbulkan buruk sangka. Apalagi kita hanya berasumsi. Lagian kalo kita memang se-peduli itu sama kak Ary, justru kita akan doakan yang terbaik untuk pilihan yang ia sudah buat kan, bukannya membangun prasangka yang tidak baik tentang mereka. Walaupun mungkin saja memang ada perasaan kehilangan sosok kakak di hati kita.” Keyla ikut menambahkan.

Eva terdiam lagi. Tampak merenung. Semoga dia memang merenungi apa yang aku dan Keyla sampaikan, tanpa berpikir kalau kami sedang menyudutkannya.

Kami bertiga terdiam beberapa saat, aku dan Keyla menunggu responnya. Lalu kemudian Eva tersenyum, senyum mengerti. “Iya ya, itu bukan peduli ya namanya. Padahal aku memang benar-benar mempedulikannya.” 

Respons Eva di luar dugaan kami, tetapi kami percaya Roh Kudus ikut berperan melembutkan hatinya untuk bisa mencerna masukan kami tanpa berprasangka kalau kami sedang melawannya. 

Kali ini giliran Keyla yang menepuk pundaknya pelan, “Iya Va, kita paham kok perasaan kamu. Kadang-kadang perasaan tertentu memang bisa membuat kita memikirkan hal yang tidak seharusnya kita pikirkan, bersikap yang tidak seharusnya, pun mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan.”

Eva tersenyum lagi, kali ini tampaknya ia benar sudah menyadari dan memahaminya.

“Ternyata aku sudah salah memahami situasi ini ya. Padahal aktif melayani, rajin ikut persekutuan, tapi malah bisa punya pemikiran seperti itu. Julid sama kakak sendiri,” katanya pelan. Aku kembali mengusap bahunya lembut. 

“Udah udah… Kita belajar lagi supaya lebih bijak dalam berpikir dan berkata-kata ya, kan!” kata Keyla sambil tersenyum. Eva Kembali tersenyum.

“Sekarang habisin tuh es krim kamu yang udah jadi bubur kacang merah.” Kami pun tertawa menyadarinya.

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” (Efesus 4:29).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Membuka “Tabir” Bernama Gosip demi Bersamamu

Sebuah cerpen oleh Tabita Davinia Utomo

Cerpen ini merupakan sekuel dari kisah “Sebuah Pelajaran dari Galon Air”.
Kamu bisa membaca kisahnya di sini.

“Dan terjadi lagi…”

Cukilan lirik dari lagu band Peterpan itu sudah cukup menggambarkan kisah cintaku yang kandas bahkan sebelum dimulai. Bagaimana tidak? Baru saja aku membulatkan tekad untuk membuka hatiku pada seseorang, yang bersangkutan justru digosipkan sudah punya orang lain yang tertambat di hatinya.

“Masa’, sih, Alex udah ada pacar!?” tanya Deanna tak percaya.

“Sumpah, aku lihat sendiri dia lagi ngobrol sama cewek di telepon!” Jennifer mengeraskan suaranya sambil mengangkat kedua jarinya membentuk huruf “V”.

“Ah, paling-paling itu adiknya, kalii,” sanggah Deanna.

Jennifer malah menggeleng. “Dia enggak punya saudara perempuan, De. Siapa lagi coba, cewek yang bisa diajak ngobrol dengan nada lembut kalau bukan ibu, saudara perempuan, atau pacarnya sendiri? Aih, kecewa lah aku ini…”

“Duh, diam-diam menghanyutkan, ya, ternyata… Sekali ada kabar, malah bikin heboh,” Deanna mendesah. “Apa dia jadian sama sesama anak asrama, ya? Gimana, nih, Bi? Kamu suka sama dia, kan?”

“Eh?” aku gelagapan untuk memilih kata, tetapi kemudian menjawab, “Enggak lah. Ya kali suka sama sahabat sendiri…”

Padahal dalam hati, aku mencoba mati-matian untuk menekan kekecewaanku. Aku kira, bersahabat dengan Alex akan menolong kami punya satu batu pijakan untuk relasi yang lebih serius. Plus, pengalaman dan nilai hidup kami juga sebanding: Sama-sama merantau pertama kali, punya pengalaman 11:12 dengan keluarga, nilai kehidupan yang sejalan, ngobrol juga nyambung. Kukira, itu cukup untuk mengenal Alex dan melihatnya sebagai salah satu orang yang potensial menjadi (calon) pasanganku, sekaligus berharap dia juga punya pikiran yang sama.

Ternyata ekspektasiku terlalu tinggi, dan aku kecewa berat.

“Yang bener? Mukamu kek kecewa gitu abisnya,” kata Jennifer sambil mengerutkan dahi.

“Sumpah, aku enggak suka dia, Jen.” Aku tersenyum masam, berharap momen menyakitkan ini cepat berlalu agar bisa membenamkan diri di kasur.

“Yah, ya sudahlah. Semoga dia pun jadian sama orang yang bener, ya.” Jennifer menghembuskan napas dengan keras. “Soalnya aku temen dari zaman SMA-nya, jadi tahu gimana pergumulannya buat cari jodoh.”

“Wah, apa kamu berharap kamu yang jadian sama Alex, ya?” goda Deanna.

“Ishh. Ya kalii… Aku udah punya pacar, jangan ditambah-tambah. Hahahaha…” Tawa Jennifer pun sedikit menular padaku, meskipun aku belum bisa menghilangkan kegelisahanku sepenuhnya.

***

Kata orang, cinta butuh perasaan dan logika. Namun, bagaimana kalau cinta justru jadi terbutakan oleh perasaan, hingga mau berpikir pun tak berdaya?

“Hahhh…” aku mendesah keras di lab komputer, lalu mengerucutkan bibir. “Kenapa, sih, mau jadian sama orang yang disukai ada aja dramanya? Udah move on, siap buka hati, eh malah luput. Maunya Tuhan apa, sih?” keluhku seorang diri. Oh, ya. Aku batal ke kamarku karena ada renovasi di sana.

“Eh, Bianca!”

Jantungku hampir lepas saat melihat Alex sedang nyengir di sampingku. Sambil setengah membungkukkan badannya, dia bertanya, “Boleh ngobrol sebentar, enggak?”

“Uhmm…” Aku menggigit bibir sesaat, tetapi segera tersenyum untuk menutupi kegelisahanku.

“Boleh. Satu menitnya lima ribu, ya. Hehehe…” jawabku.

“Yeeee… pejuang cuan emang, ya. Eh, di luar aja, deh, biar enggak ganggu yang lagi kerjain tugas,” ajak Alex di sela-sela tawanya.

Kami menuju ruang makan dan duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di dekat taman kampus. Duh, badanku langsung panas-dingin karena ini pertama kalinya kami bisa ngobrol seperti ini setelah sekian lama. Hatiku senang, sekaligus bingung. Kalau Alex sudah punya pacar, kenapa dia masih mengajakku mengobrol, sih? Atau ini karena dia ingin minta pendapat dariku sebagai wanita? Hehe. Sok ide, dah.

“Bi, kamu enggak apa-apa, kan?” tanya Alex dengan suara cemas.

Jawab kalau kamu kenapa-napa, Bi! Enak kali dia bisa nanya gitu setelah Jennifer bikin kamu hampir pingsan!

Iya, perasaanku jahat kalau aku sudah overthinking, tetapi untunglah otakku masih bisa berpikir sedikit lebih logis. “Aman, amann… Kenapa, nih?” balasku sambil tersenyum paksa.

“Aku mau konsultasi soal cewek, nih.”

DUAR!

“Oh… jadi udah jadian sama siapa, Lex?”

Detik berikutnya, aku langsung menutup mulut, sementara Alex mengerutkan dahi lalu terdiam cukup lama. Duh, mulutku kenapa, sih!? batinku heran sekaligus kesal pada diri sendiri karena sudah mengiyakan ajakan Alex untuk mengobrol.

“Gosip dari mana kalau aku jadian?” akhirnya Alex kembali bersuara, tetapi nadanya terdengar kesal. “Aku enggak ngerti… Orang-orang di sini kenapa, sih, kalau ada sedikit gosip langsung cepat menyebar? Kayak enggak ada kerjaan lain aja.”

“Sorry…” kataku pelan.

Mendengarku meminta maaf, Alex tersentak. “Eh, aku yang minta maaf karena bikin kamu kaget, Bi. Jujur, aku kesal sama gosip yang bilang kalau aku udah punya pacar. Gimana mau pacaran, kalau nembak aja belum?”

“HAH?” Aku terperangah tak percaya.

“Makanya aku konsultasi dulu sama kamu, Bi. Kamu, kan, anak psikologi. Bisa, dong, tolongin aku biar enggak salah pilih… Apalagi… tahu lah, ya, aku kadang-kadang suka minder.”

“Oh… aku tolongin sebisaku aja, ya,” balasku, sementara mempersiapkan hati untuk mendengar nama orang yang berhasil memikat hati Alex.

“Thank you, Bi.” Alex tersenyum, lalu bertanya, “Menurutmu, apa, ya, yang bikin cewek sulit buat jujur sama perasaannya sendiri?”

“Waduh, langsung ke inti permasalahan, ya, Lex? Hahahahaha…”

“Iya, karena kalau dari cerita temen-temenku, cowok, tuh, enggak berani maju kalau ceweknya enggak kasih sinyal kalau juga suka sama dia. Nah, aku mau tahu dari sisi cewek, nih.”

“Hmmm… ini dari pengalamanku aja kali, ya, Lex,” kataku, dan disetujui Alex melalui anggukannya. Yah, kalau bukan dari pengalaman sendiri, mau cerita dari mana lagi? Hehe…

“Dulu kalau aku suka sama cowok, dianya enggak suka balik. Udah berkali-kali abisnya kayak gitu, jadi malas kalau polanya keulang lagi. Kayak buang-buang waktu aja mikirin cowok yang perasaannya enggak berbalas sama aku. Tapi kalau ada cowok yang suka sama aku, akunya yang enggak suka karena bukan tipeku. Sedih banget, ya, jadi orang. Hahahaha…” aku bercerita sambil menertawakan “penderitaan” diri sendiri.

“Ah, iya… Itu menyakitkan, sih,” Alex menanggapi ceritaku. “Kalau boleh tahu, akhir-akhir ini kamu udah coba mulai buka hati lagikah?”

“Udah, tapi kayaknya kunci buat ke hatiku udah beku.” Aku nyengir.

“Kenapa gitu?”

“Yah, malas aja kalau kejadiannya sama lagi kayak sebelum-sebelumnya. Apalagi kalau udah jadian lalu ternyata ceritanya enggak seindah ekspektasiku. Aih, malas.”

“Hmmm… Oh, ya. Emang tipemu yang kayak gimana, sih, Bi?”

Yang kayak kamu, batinku, tetapi mulutku berkata, “Yang cinta Tuhan, seiman, cinta aku…”

Di luar dugaan, Alex tertawa. “Iyaa, itu mah udah harus, ya. Tapi maksudku kriteria spesifiknya. Ada enggak, nih?” tanyanya lagi.

“Hmmm… kalau aku bilang “satu frekuensi sama aku”, nanti kamu bilang itu juga harus.” Aku tersenyum masam, lalu melanjutkan, “Jadi… dia harus adalah orang—yang kalau aku sama dia—yang bisa merasa nyaman dan aman dalam relasi kami. Ngobrol juga nyambung. Bukan berarti harus saling nyambung kalau bahas tentang filsafat atau apa aja yang biasa bikin overthinking, tapi bisa aja hal-hal yang receh kayak video meme dan kegiatan sehari-hari. Kalau ada pergumulan di tempat kerja nanti, aku dan dia bisa saling bercerita tanpa takut dihakimi.”

I see… Lalu, kamu ada preferensi khusus enggak buat latar belakang pendidikan dan suku? Atau preferensi keluargamu?”

“Minimal dia lulus sarjana, sih, dan paham sama apa yang dia pelajari. Asal sukunya—kalau bisa—yang sama kayak aku. Tahu sendiri, kan, keluargaku cukup tegas soal itu.”

“Oke, paham.” Alex mengangguk.

Aku mengerutkan dahi. “Emangnya kenapa, Lex? Kamu mau bantuin aku cari cowoknyakah? Hahahaha…”

“Yahh… Cuma memastikan aja, sih, Bi.”

“Memastikan apanya?”

“Siapa tahu yang di depanmu ini bisa “fit in” sama kriteriamu.”

“HAH!?”

Kali ini aku benar-benar kehilangan kata-kata. Ini Alex mau nembak aku atau cuma main-main aja!? Tapi karena tidak berani berharap banyak, aku memilih diam dan mendengarkan penjelasan Alex.

“Ehm, aku mau berelasi lebih serius denganmu. Tapi…” Suara Alex mulai terdengar grogi.

Kemudian, dia melanjutkan, “Bi, aku tadi enggak sengaja lihat kamu lagi ngobrol sama Jennifer dan Deanna. Aku kesal waktu tahu ada gosip yang bilang kalau aku udah pacaran karena telepon dari adik sepupuku itu…”

“Beneran adik sepupu?” selidikku curiga.

Alex mengangguk. “Dia telepon aku karena orang tuanya bertengkar dan dia butuh teman cerita yang bisa dipercaya. Akhirnya dia meneleponku. Ternyata itu yang dilihat beberapa orang di sini, dan mereka mengira aku sudah punya pacar karena—eh, jangan ketawa, ya—nada bicaraku yang lebih lembut daripada biasanya. Kamu tahulah, aku kalau ngomong kadang-kadang suka ceplas-ceplos.”

“Oh…” Tanpa sadar, aku menghela napas lega.

“Sejujurnya, Bi…” Tiba-tiba Alex kembali berbicara, “aku kaget waktu kamu bersumpah kayak tadi, padahal kalau dari gelagatmu, aku bisa lihat kalau kamu ada perasaan sama sepertiku. Ah, tapi mungkin aku salah karena banyak berharap. Hehe…”

Lagi-lagi aku terdiam. Berarti Alex melihatku menyangkali perasaan di depan Jennifer dan Deanna. Duh, apakah setelah ini Alex membatalkan perasaannya terhadapku? Kok, konyol.

“Aku bingung,” akhirnya aku membalas, “tapi aku juga butuh waktu buat mikirin ini kalau kamu memang benar-benar suka padaku.”

“Aku mengerti.” Alex tersenyum. “Dengan ceritamu tadi, aku bisa maklum kalau kamu butuh waktu memikirkan ini, Bi. Terima kasih udah mau jujur, ya…”

“Maaf, ya, kalau tadi aku kelepasan bersumpah konyol tanpa aku sadari,” kataku.

“Enggak masalah.” Dia tertawa kecil. “Malu, ya, kalau ketahuan suka sama sahabat sendiri yang dikira udah punya pacar?”

“Iyaaaa. Apalagi kalau jadi canggung.” Aku mengangguk. “Terima kasih, ya, Lex, karena kamu juga udah klarifikasi gosip tadi. Kayaknya PR banget kalau di sini semuanya tahunya kamu udah punya pacar dari tempat lain, lalu ada yang lihat kamu ngobrol sama aku.”

“Wah, iya. Gosipnya berlipat ganda itu.” Alex menggaruk-garuk kepalanya dengan salah tingkah. “Tapi tolong jangan sangkali perasaanmu sendiri, ya, Bi. Apa pun itu yang jadi keputusanmu, tetaplah selaraskan hati dan pikiranmu. Kalau iya, katakan iya. Kalau enggak, katakan enggak. Apa yang lebih dari itu…”

“… asalnya dari si jahat,” sambungku.

“Berarti sumpah konyol gitu juga dari si jahat, dong?” Alex nyengir.

Kami tertawa karena sama-sama teringat Matius 5:37. Namun, di dalam tawa, aku bersyukur karena mungkin ini akan jadi pembuka cerita yang baru untuk kami. Sebuah cerita yang di dalamnya kami akan belajar bersama untuk jujur pada perasaan sendiri di hadapan satu sama lain, dan berani mengakuinya walaupun risikonya tidak mudah untuk ditanggung.

Eh, yah, semoga demikian. Kiranya Tuhan, Sang “Ya dan Amin”, memampukan kami.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hurtful Words I Needed to Hear

Setiap Rabu, aku bertemu dengan pemimpin kelompokku dan rekan kerjaku, sebut saja namanya Abigail untuk persekutuan sambil makan siang bersama. Walaupun kami cuma bertiga, kami percaya apa yang Yesus katakan dalam Matius 18:20, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Dua minggu sebelumnya, pemimpin kelompok kami sakit dan dia tidak dapat hadir di pertemuan rutin kami bertiga. Dalam hatiku, aku tidak ingin bertemu Abigail kalau cuma berdua saja. Menurutku dia adalah seorang yang tidak mau mengalah dan egois. Namun, Abigail ingin agar kami tetap bertemu di hari Rabu, maka aku pun menurut.

Hari itu Abigail membawa makanan dari rumahnya, lalu menghangatkannnya di dapur kantor sebelum persekutuan. Ketika dia sedang ada di dapur, seorang rekan kerjaku yang lain, Jacqueline menghampiriku dan bertanya apakah aku mau ikut makan siang bersama teman-teman yang lain? Kujawab kalau aku akan persekutuan sambil makan siang dengan Abigail. Lalu Jacqueline membalasku, “Lebih baik kamu ikut makan siang sama kami saja. Tidak perlu persekutuan, kan pemimpin kelompokmu sedang sakit. Lagipula, kamu dengan Abigail kan tidak begitu akur dan kamu sering mengeluh tentang dia. Lebih baik makan siang dengan kami, belajar tentang tuhan-tuhan yang lain.”

Seperti pisau, kata-kata itu menyayatku. Namun, di sisi lain, aku tahu persis mengapa Jacqueline mengatakan hal itu. Beberapa minggu sebelumnya, aku terus mengeluh tentang Abigail di belakangnya, menceritakan kepada orang-orang tentang sikapnya yang egois dan kurangnya rasa solidaritas dalam dirinya. Perkataan Jacqueline itu membuatku merasa jadi seorang yang gagal. Aku mengakui diri sebagai pengikut Kristus, tapi aku mengalah pada kedaginganku dan mengabaikan Roh Kudus.

Beberapa hari kemudian, aku membaca Yohanes 13:34-35: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Ayat itu sangat mengena, dan aku mengingat kembali peristiwa dahulu. Aku tahu Tuhan sedang menggunakan ayat itu untuk berbicara kepadaku.

Aku perlu mengasihi dan menerima Abigail, tidak hanya dari luarnya saja, tapi seluruhnya. Aku harus berhenti berpura-pura baik kepadanya dan membicarakannya di belakang. Jika aku terus melakukannya, maka antara iman dan tindakanku tidaklah sejalan, dan bagaimana mungkin orang lain dapat melihatku sebagai murid Kristus?

Aku harus berubah. Alih-alih membicarakan kejelekan Abigail di belakangnya, aku perlu mengucapkan kata-kata berkat yang mencerminkan Kristus. Aku perlu melawan kedaginganku dan mengizinkan Roh Kudus untuk bekerja dalamku supaya aku bisa menghasilkan buah-buah kasih, kemurahan hati, dan pengendalian diri.

Hari itu aku memohon ampun kepada Tuhan dan berhenti mengeluh. Aku mengingat akan betapa baik dan sabarnya Tuhan padaku sejak dahulu, bagaimana Tuhan tidak menyerah terhadapku meskipun aku begitu egois dan jahat (Roma 8:1). Saat bertemu dengan pemimpin kelompokku, aku menceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu mengatur waktu untuk aku dan Abigail bertemu bersama dan menyelesaikan masalah ini.

Ketika Abigail tahu, awalnya dia marah padaku. Dia merasa aku salah mengerti tentang dirinya dan dia bilang kalau dia tidak dapat mempercayaiku lagi. Selama beberapa hari setelah itu kami tidak saling mengobrol. Melihat respons kami yang seperti itu, pemimpin kelompok kami pun khawatir. Dia mengajak kami bicara satu-satu secara terpisah dan puji Tuhan, pada akhirnya kami berdua mencapai pemahaman yang sama.

Dari kejadian ini, aku belajar bahwa aku pernah jadi seorang yang terlalu cepat menghakimi dan menyalahkan. Sekarang, aku mulai menyadari bahwa Abigail adalah teman yang baik. Dia tidak memelihara segala keluh kesahnya dan tidak menyimpan rasa marah untuk waktu yang lama. Sikapnya terhadap kami semua berubah, dia jadi orang yang suka menolong.

Menyalahkan dan mengeluh tentang orang lain telah menghalangiku dari anugerah Tuhan dan melihat sisi yang baik dari Abigail. Puji Tuhan aku telah diubahkan-Nya. Sekarang aku bersyukur bahwa aku dan Abigail telah lebih mengenal satu sama lain melalui pengalaman ini, dan sekarang kami bisa saling mengasihi adalah karena anugerah Kristus. Kami adalah saudara dalam Kristus, kami memiliki Bapa yang sama, dan kami pun memiliki rumah kekal yang sama.

Baca Juga:

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempatku Berproses

Aku baru bekerja selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang bekerja di sini. Namun, ketika pekerjaan itu rupanya tidak seperti yang kubayangkan, aku pun begitu kecewa dan terpuruk.

Bolehkah Orang Kristen Bergosip?

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Apa yang pertama kali muncul di pikiranmu ketika mendengar kata “gosip”?

Kalau kita melihat sejenak ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gosip diartikan sebagai: cerita negatif tentang seseorang. Tidak diwajibkan bahwa cerita itu benar atau tidak, selama bersifat negatif, maka hal itu sudah bisa disebut sebagai gosip. Gosip juga tidak melulu berita-berita tentang public figure, bisa juga tentang orang-orang di sekitar kita: teman kampus, kolega di kantor, atau juga sesama jemaat di gereja kita. Jadi, ketika kita membahas atau menceritakan kehidupan dengan orang lain dengan tujuan yang negatif, kita sudah bergosip.

Gosip bisa dengan mudah kita temukan. Di Instagram aku mendapati ada sebuah akun gosip yang followers-nya menyentuh angka 5,3 juta! Berbagai berita kabar burung seputar kehidupan public figure diunggah hampir tanpa sensor hingga menimbulkan banyak polemik. Di kolom komentar postingan-postingan di akun itu ada banyak tanggapan yang isinya menjelek-jelekkan orang lain, bahkan ada pula yang isinya ujaran kebencian. Namun demikian, akun ini tetap disukai dan diikuti oleh banyak orang. Aku pun merasa prihatin. Fenomena ini mungkin merupakan suatu indikasi bahwa ada beberapa warganet Indonesia yang memang kesukaannya adalah menjadi pengonsumsi gosip. Jika gosip sedemikian mudahnya kita jumpai, maka pertanyaannya adalah: bolehkah kita sebagai orang Kristen bergosip?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat fenomena gosip secara lebih dalam. John Piper menyebutkan, “Gossip can be true, but most always negative.” Cerita-cerita yang digosipkan bisa jadi adalah fakta, tetapi hampir selalu disampaikan dengan tujuan yang negatif. Dan, tujuan negatif inilah yang menjadi aspek terpenting dalam gosip, yaitu: menceritakan kejelekan orang lain dengan tujuan supaya diri sendiri tampak lebih baik.

Alkitab mungkin tidak secara eksplisit menyebutkan kapan dan bagaimana dosa gosip terjadi. Namun, kita dapat menilik bagian Alkitab ketika Tuhan Yesus sedang berkhotbah di bukit. Tuhan Yesus dengan tegas melarang para pengikutnya untuk menghakimi sesamanya.

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:1-3).

Dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, tidak ada dosa atau kesalahan yang lebih buruk atau lebih baik. Dosa adalah dosa. Karena itu, seharusnya seseorang tidak menganggap dirinya lebih baik dari orang lain sehingga mereka merasa berhak untuk menceritakan atau bahkan menyebarkan keburukan orang lain (bergosip). Menceritakan keburukan orang lain adalah bentuk kesombongan dan Allah tidak berkenan akan orang yang meninggikan dirinya sendiri (Matius 23:12). Seorang pengkhotbah di kampusku pernah mencoba menjelaskan apa itu dosa secara sederhana. Dalam bahasa Inggris, dosa disebut “S-I-N”, di mana “I” (aku) berada di center (tengah). Semua tentang aku; akulah yang terbaik, akulah yang paling utama. Dengan demikian, tidak heran jika dosa gosip yang adalah menceritakan kejelekan orang lain dapat tumbuh dengan suburnya.

Selain itu, Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara bukan untuk menjelek-jelekkan orang lain, sebagaimana tertulis dalam Yakobus 3:9-10:

“Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.”

Allah mengaruniakan kita kemampuan berbicara untuk menunjukkan kasih kita dalam hal saling membangun. Sebagaimana kesatuan anggota tubuh, demikian juga sesama umat percaya seharusnya bersatu. Masing-masing kita memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, hal itu tidak berarti kalau kita dapat menghina kekurangan orang lain, melainkan seharusnya kita bersama-sama berusaha saling menguatkan dan membangun (1 Korintus 12:21-26).

Jika ada seseorang dalam lingkungan kita yang berbuat hal buruk dan perlu dikritik, hendaknya kita menyampaikan hal itu kepadanya dengan “selalu rendah hati, lembah lembut, dan sabar” (Efesus 4:2). Bukan untuk menjatuhkannya, melainkan untuk membangun dan menolongnya memperbaiki karakternya. Perkataan yang keluar dari mulut kita seharusnya adalah perkataan yang penuh kasih, bukan yang bisa menyulut kebencian.

Dengan demikian, jelaslah bahwa gosip bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan oleh orang Kristen. Selain menjadi bukti kesombongan pribadi, gosip bertentangan dengan panggilan umat percaya untuk saling mengasihi dan membangun. Karena itu, mari periksa percakapan kita dengan orang lain hari ini: sudahkah kita menunjukkan kasih kita?

Baca Juga:

Ketika Aku Mengalami Ketidakadilan di Tempat Kerjaku

Aku bekerja sebagai seorang sales yang dituntut untuk mencapai target dalam penjualan. Suatu ketika, rekan kerjaku berbuat curang. Segala usaha kerasku pun seolah sia-sia. Aku kecewa, namun melalui proses inilah Tuhan sedang membentukku.

5 Tips Menghentikan Kebiasaan Bergosip

5-tips-menghentikan-kebiasaan-bergosip

Oleh Gracea E. S. Sembiring

Siapa yang tidak suka bergosip? Mulai dari ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak di kedai kopi, orang-orang di kantor, guru-guru di sekolah, mahasiswa-mahasiswi di kampus, anak sekolahan, bahkan anak-anak TK pun sudah ada yang suka bergosip. Aku baru menyadari hal ini ketika keponakanku menceritakan tentang perilaku teman-temannya di sekolah. Bahkan, beberapa orang di gereja pun turut ambil bagian dalam aktivitas ini. Tidak heran jika program gosip dengan berbagai nama dipertontonkan di layar televisi mulai dari pagi sampai sore.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip adalah “obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan”. Orang yang suka menggosip disebut sebagai penggosip. Jadi, jika mengacu kepada definisi KBBI, mungkin kita dapat menemukan banyak penggosip yang ada di sekitar kita. Atau jangan-jangan kita juga adalah seorang di antaranya?

Bergosip mungkin adalah hal yang sangat menyenangkan bagi kita. Bahkan ada perkataan yang mengatakan, “makin digosok, makin sip!” Namun, tentunya kita tahu bahwa kebiasaan bergosip ini tidaklah baik. Masalahnya, meskipun kita tahu bahwa bergosip itu tidak baik, kadang kita sulit untuk melepaskan kebiasaan buruk ini. Oleh karena itu, saat ini aku ingin membagikan 5 tips yang menurutku efektif untuk membantuku menghentikan kebiasaan bergosip.

1. Berpikir sebelum berkata-kata

Kita dapat mulai belajar berhenti bergosip dengan belajar berpikir sebelum berkata-kata. Jangan terlalu cepat mengatakan sesuatu. Sebelum kita katakan, kita dapat pikirkan dulu baik-baik, apakah perkataan yang kita akan katakan ini adalah perkataan yang membangun.

Lidah kita yang kita gunakan untuk berbicara ini, meskipun kecil namun dapat mematikan. Tentang lidah, Tuhan telah memberi kita peringatan dalam Yakobus 3:5, “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.”

Ingatkah kamu dengan lagu sekolah minggu “Hati-Hati Gunakan Mulutmu”? Atau pernahkah kamu mendengar pepatah yang mengatakan bahwa “fitnah (gosip) lebih kejam dari pembunuhan”? Lidah yang tidak dikendalikan dengan baik adalah awal mula dari gosip. Jadi, yuk mulai sekarang kita lebih hati-hati menggunakan lidah kita.

2. Alihkan gosip ke percakapan positif

Ketika kita diajak bergosip, kita dapat mengalihkan pembicaraan ke percakapan yang positif. Memang tidak mudah, apalagi ketika berkumpul dengan teman-teman yang suka bergosip. Tapi ini tidak mustahil.

Ketika percakapan sudah mulai mengarah kepada gosip, kita bisa mengambil peran untuk mengalihkan perbincangan. Misalnya membahas tentang buku, film, destinasi wisata yang baru, atau topik-topik lain yang membuat percakapan menjadi lebih positif. Ingatlah apa yang Paulus katakan dalam Efesus 4:29, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

3. Menghindar dari percakapan gosip

Aku teringat ketika masih kuliah, setiap kali aku janjian kerja kelompok dengan teman-teman cewek akan berujung dengan “ngobrol”. Apapun dibicarakan, mulai dari menggosipkan teman-teman kampus sampai kepada artis-artis yang bahkan kami tidak kenal sedikitpun. Dalam situasi seperti itu, kita dapat menghindar agar tidak jatuh dalam pencobaan untuk ikut-ikutan bergosip. Ini menjadi kesempatan kita untuk bersaksi dan memancarkan terang kita. Jika memungkinkan, kita juga dapat menegur teman-teman kita yang bergosip. Tentunya menegurnya di dalam kasih, ya.

4. Belajar untuk mengasihi

Saat kita tidak mengasihi seseorang, sangatlah mudah bagi kita untuk melihat dan membicarakan kelemahannya. Namun, jika kita menyadari bahwa kita tidaklah sempurna (tidak ada manusia yang sempurna), namun kita begitu dikasihi Tuhan, kita akan lebih mudah mengasihi orang lain. Ketika kita mengasihi seseorang, tentunya kita tidak akan menggosipkannya. Jadi, kita dapat belajar berhenti bergosip dengan belajar mengasihi sesama kita, seperti apa yang diperintahkan Tuhan dalam Matius 22:39b, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

5. Menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan

Seberapa dekat hubungan pribadi kita dengan Allah akan memberikan kita kepekaan untuk berhenti bergosip. Setiap kali Iblis mencoba untuk menggoda kita bergosip dan berbuat dosa, Roh Kudus akan mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam godaan itu. Tetaplah jaga hubungan yang akrab dengan Allah agar kita dapat lebih peka akan suara Roh Kudus di dalam hati kita.

Yuk kita hentikan bergosip dan mulai mengasihi!

Baca Juga:

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

“Apakah aku seorang munafik?” Inilah pertanyaan yang ditanyakan oleh Kezia. Ternyata ia mendapati jawabannya adalah ya, dia adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Pada akhirnya, ia menemukan mengapa ia menjadi seorang yang munafik. Temukan kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.