Posts

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hurtful Words I Needed to Hear

Setiap Rabu, aku bertemu dengan pemimpin kelompokku dan rekan kerjaku, sebut saja namanya Abigail untuk persekutuan sambil makan siang bersama. Walaupun kami cuma bertiga, kami percaya apa yang Yesus katakan dalam Matius 18:20, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Dua minggu sebelumnya, pemimpin kelompok kami sakit dan dia tidak dapat hadir di pertemuan rutin kami bertiga. Dalam hatiku, aku tidak ingin bertemu Abigail kalau cuma berdua saja. Menurutku dia adalah seorang yang tidak mau mengalah dan egois. Namun, Abigail ingin agar kami tetap bertemu di hari Rabu, maka aku pun menurut.

Hari itu Abigail membawa makanan dari rumahnya, lalu menghangatkannnya di dapur kantor sebelum persekutuan. Ketika dia sedang ada di dapur, seorang rekan kerjaku yang lain, Jacqueline menghampiriku dan bertanya apakah aku mau ikut makan siang bersama teman-teman yang lain? Kujawab kalau aku akan persekutuan sambil makan siang dengan Abigail. Lalu Jacqueline membalasku, “Lebih baik kamu ikut makan siang sama kami saja. Tidak perlu persekutuan, kan pemimpin kelompokmu sedang sakit. Lagipula, kamu dengan Abigail kan tidak begitu akur dan kamu sering mengeluh tentang dia. Lebih baik makan siang dengan kami, belajar tentang tuhan-tuhan yang lain.”

Seperti pisau, kata-kata itu menyayatku. Namun, di sisi lain, aku tahu persis mengapa Jacqueline mengatakan hal itu. Beberapa minggu sebelumnya, aku terus mengeluh tentang Abigail di belakangnya, menceritakan kepada orang-orang tentang sikapnya yang egois dan kurangnya rasa solidaritas dalam dirinya. Perkataan Jacqueline itu membuatku merasa jadi seorang yang gagal. Aku mengakui diri sebagai pengikut Kristus, tapi aku mengalah pada kedaginganku dan mengabaikan Roh Kudus.

Beberapa hari kemudian, aku membaca Yohanes 13:34-35: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Ayat itu sangat mengena, dan aku mengingat kembali peristiwa dahulu. Aku tahu Tuhan sedang menggunakan ayat itu untuk berbicara kepadaku.

Aku perlu mengasihi dan menerima Abigail, tidak hanya dari luarnya saja, tapi seluruhnya. Aku harus berhenti berpura-pura baik kepadanya dan membicarakannya di belakang. Jika aku terus melakukannya, maka antara iman dan tindakanku tidaklah sejalan, dan bagaimana mungkin orang lain dapat melihatku sebagai murid Kristus?

Aku harus berubah. Alih-alih membicarakan kejelekan Abigail di belakangnya, aku perlu mengucapkan kata-kata berkat yang mencerminkan Kristus. Aku perlu melawan kedaginganku dan mengizinkan Roh Kudus untuk bekerja dalamku supaya aku bisa menghasilkan buah-buah kasih, kemurahan hati, dan pengendalian diri.

Hari itu aku memohon ampun kepada Tuhan dan berhenti mengeluh. Aku mengingat akan betapa baik dan sabarnya Tuhan padaku sejak dahulu, bagaimana Tuhan tidak menyerah terhadapku meskipun aku begitu egois dan jahat (Roma 8:1). Saat bertemu dengan pemimpin kelompokku, aku menceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu mengatur waktu untuk aku dan Abigail bertemu bersama dan menyelesaikan masalah ini.

Ketika Abigail tahu, awalnya dia marah padaku. Dia merasa aku salah mengerti tentang dirinya dan dia bilang kalau dia tidak dapat mempercayaiku lagi. Selama beberapa hari setelah itu kami tidak saling mengobrol. Melihat respons kami yang seperti itu, pemimpin kelompok kami pun khawatir. Dia mengajak kami bicara satu-satu secara terpisah dan puji Tuhan, pada akhirnya kami berdua mencapai pemahaman yang sama.

Dari kejadian ini, aku belajar bahwa aku pernah jadi seorang yang terlalu cepat menghakimi dan menyalahkan. Sekarang, aku mulai menyadari bahwa Abigail adalah teman yang baik. Dia tidak memelihara segala keluh kesahnya dan tidak menyimpan rasa marah untuk waktu yang lama. Sikapnya terhadap kami semua berubah, dia jadi orang yang suka menolong.

Menyalahkan dan mengeluh tentang orang lain telah menghalangiku dari anugerah Tuhan dan melihat sisi yang baik dari Abigail. Puji Tuhan aku telah diubahkan-Nya. Sekarang aku bersyukur bahwa aku dan Abigail telah lebih mengenal satu sama lain melalui pengalaman ini, dan sekarang kami bisa saling mengasihi adalah karena anugerah Kristus. Kami adalah saudara dalam Kristus, kami memiliki Bapa yang sama, dan kami pun memiliki rumah kekal yang sama.

Baca Juga:

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempatku Berproses

Aku baru bekerja selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang bekerja di sini. Namun, ketika pekerjaan itu rupanya tidak seperti yang kubayangkan, aku pun begitu kecewa dan terpuruk.

Bolehkah Orang Kristen Bergosip?

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Apa yang pertama kali muncul di pikiranmu ketika mendengar kata “gosip”?

Kalau kita melihat sejenak ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gosip diartikan sebagai: cerita negatif tentang seseorang. Tidak diwajibkan bahwa cerita itu benar atau tidak, selama bersifat negatif, maka hal itu sudah bisa disebut sebagai gosip. Gosip juga tidak melulu berita-berita tentang public figure, bisa juga tentang orang-orang di sekitar kita: teman kampus, kolega di kantor, atau juga sesama jemaat di gereja kita. Jadi, ketika kita membahas atau menceritakan kehidupan dengan orang lain dengan tujuan yang negatif, kita sudah bergosip.

Gosip bisa dengan mudah kita temukan. Di Instagram aku mendapati ada sebuah akun gosip yang followers-nya menyentuh angka 5,3 juta! Berbagai berita kabar burung seputar kehidupan public figure diunggah hampir tanpa sensor hingga menimbulkan banyak polemik. Di kolom komentar postingan-postingan di akun itu ada banyak tanggapan yang isinya menjelek-jelekkan orang lain, bahkan ada pula yang isinya ujaran kebencian. Namun demikian, akun ini tetap disukai dan diikuti oleh banyak orang. Aku pun merasa prihatin. Fenomena ini mungkin merupakan suatu indikasi bahwa ada beberapa warganet Indonesia yang memang kesukaannya adalah menjadi pengonsumsi gosip. Jika gosip sedemikian mudahnya kita jumpai, maka pertanyaannya adalah: bolehkah kita sebagai orang Kristen bergosip?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat fenomena gosip secara lebih dalam. John Piper menyebutkan, “Gossip can be true, but most always negative.” Cerita-cerita yang digosipkan bisa jadi adalah fakta, tetapi hampir selalu disampaikan dengan tujuan yang negatif. Dan, tujuan negatif inilah yang menjadi aspek terpenting dalam gosip, yaitu: menceritakan kejelekan orang lain dengan tujuan supaya diri sendiri tampak lebih baik.

Alkitab mungkin tidak secara eksplisit menyebutkan kapan dan bagaimana dosa gosip terjadi. Namun, kita dapat menilik bagian Alkitab ketika Tuhan Yesus sedang berkhotbah di bukit. Tuhan Yesus dengan tegas melarang para pengikutnya untuk menghakimi sesamanya.

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di matamu tidak engkau ketahui?” (Matius 7:1-3).

Dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa, tidak ada dosa atau kesalahan yang lebih buruk atau lebih baik. Dosa adalah dosa. Karena itu, seharusnya seseorang tidak menganggap dirinya lebih baik dari orang lain sehingga mereka merasa berhak untuk menceritakan atau bahkan menyebarkan keburukan orang lain (bergosip). Menceritakan keburukan orang lain adalah bentuk kesombongan dan Allah tidak berkenan akan orang yang meninggikan dirinya sendiri (Matius 23:12). Seorang pengkhotbah di kampusku pernah mencoba menjelaskan apa itu dosa secara sederhana. Dalam bahasa Inggris, dosa disebut “S-I-N”, di mana “I” (aku) berada di center (tengah). Semua tentang aku; akulah yang terbaik, akulah yang paling utama. Dengan demikian, tidak heran jika dosa gosip yang adalah menceritakan kejelekan orang lain dapat tumbuh dengan suburnya.

Selain itu, Allah mengaruniakan kepada kita kemampuan berbicara bukan untuk menjelek-jelekkan orang lain, sebagaimana tertulis dalam Yakobus 3:9-10:

“Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.”

Allah mengaruniakan kita kemampuan berbicara untuk menunjukkan kasih kita dalam hal saling membangun. Sebagaimana kesatuan anggota tubuh, demikian juga sesama umat percaya seharusnya bersatu. Masing-masing kita memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun, hal itu tidak berarti kalau kita dapat menghina kekurangan orang lain, melainkan seharusnya kita bersama-sama berusaha saling menguatkan dan membangun (1 Korintus 12:21-26).

Jika ada seseorang dalam lingkungan kita yang berbuat hal buruk dan perlu dikritik, hendaknya kita menyampaikan hal itu kepadanya dengan “selalu rendah hati, lembah lembut, dan sabar” (Efesus 4:2). Bukan untuk menjatuhkannya, melainkan untuk membangun dan menolongnya memperbaiki karakternya. Perkataan yang keluar dari mulut kita seharusnya adalah perkataan yang penuh kasih, bukan yang bisa menyulut kebencian.

Dengan demikian, jelaslah bahwa gosip bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan oleh orang Kristen. Selain menjadi bukti kesombongan pribadi, gosip bertentangan dengan panggilan umat percaya untuk saling mengasihi dan membangun. Karena itu, mari periksa percakapan kita dengan orang lain hari ini: sudahkah kita menunjukkan kasih kita?

Baca Juga:

Ketika Aku Mengalami Ketidakadilan di Tempat Kerjaku

Aku bekerja sebagai seorang sales yang dituntut untuk mencapai target dalam penjualan. Suatu ketika, rekan kerjaku berbuat curang. Segala usaha kerasku pun seolah sia-sia. Aku kecewa, namun melalui proses inilah Tuhan sedang membentukku.

5 Tips Menghentikan Kebiasaan Bergosip

5-tips-menghentikan-kebiasaan-bergosip

Oleh Gracea E. S. Sembiring

Siapa yang tidak suka bergosip? Mulai dari ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak di kedai kopi, orang-orang di kantor, guru-guru di sekolah, mahasiswa-mahasiswi di kampus, anak sekolahan, bahkan anak-anak TK pun sudah ada yang suka bergosip. Aku baru menyadari hal ini ketika keponakanku menceritakan tentang perilaku teman-temannya di sekolah. Bahkan, beberapa orang di gereja pun turut ambil bagian dalam aktivitas ini. Tidak heran jika program gosip dengan berbagai nama dipertontonkan di layar televisi mulai dari pagi sampai sore.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip adalah “obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan”. Orang yang suka menggosip disebut sebagai penggosip. Jadi, jika mengacu kepada definisi KBBI, mungkin kita dapat menemukan banyak penggosip yang ada di sekitar kita. Atau jangan-jangan kita juga adalah seorang di antaranya?

Bergosip mungkin adalah hal yang sangat menyenangkan bagi kita. Bahkan ada perkataan yang mengatakan, “makin digosok, makin sip!” Namun, tentunya kita tahu bahwa kebiasaan bergosip ini tidaklah baik. Masalahnya, meskipun kita tahu bahwa bergosip itu tidak baik, kadang kita sulit untuk melepaskan kebiasaan buruk ini. Oleh karena itu, saat ini aku ingin membagikan 5 tips yang menurutku efektif untuk membantuku menghentikan kebiasaan bergosip.

1. Berpikir sebelum berkata-kata

Kita dapat mulai belajar berhenti bergosip dengan belajar berpikir sebelum berkata-kata. Jangan terlalu cepat mengatakan sesuatu. Sebelum kita katakan, kita dapat pikirkan dulu baik-baik, apakah perkataan yang kita akan katakan ini adalah perkataan yang membangun.

Lidah kita yang kita gunakan untuk berbicara ini, meskipun kecil namun dapat mematikan. Tentang lidah, Tuhan telah memberi kita peringatan dalam Yakobus 3:5, “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.”

Ingatkah kamu dengan lagu sekolah minggu “Hati-Hati Gunakan Mulutmu”? Atau pernahkah kamu mendengar pepatah yang mengatakan bahwa “fitnah (gosip) lebih kejam dari pembunuhan”? Lidah yang tidak dikendalikan dengan baik adalah awal mula dari gosip. Jadi, yuk mulai sekarang kita lebih hati-hati menggunakan lidah kita.

2. Alihkan gosip ke percakapan positif

Ketika kita diajak bergosip, kita dapat mengalihkan pembicaraan ke percakapan yang positif. Memang tidak mudah, apalagi ketika berkumpul dengan teman-teman yang suka bergosip. Tapi ini tidak mustahil.

Ketika percakapan sudah mulai mengarah kepada gosip, kita bisa mengambil peran untuk mengalihkan perbincangan. Misalnya membahas tentang buku, film, destinasi wisata yang baru, atau topik-topik lain yang membuat percakapan menjadi lebih positif. Ingatlah apa yang Paulus katakan dalam Efesus 4:29, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

3. Menghindar dari percakapan gosip

Aku teringat ketika masih kuliah, setiap kali aku janjian kerja kelompok dengan teman-teman cewek akan berujung dengan “ngobrol”. Apapun dibicarakan, mulai dari menggosipkan teman-teman kampus sampai kepada artis-artis yang bahkan kami tidak kenal sedikitpun. Dalam situasi seperti itu, kita dapat menghindar agar tidak jatuh dalam pencobaan untuk ikut-ikutan bergosip. Ini menjadi kesempatan kita untuk bersaksi dan memancarkan terang kita. Jika memungkinkan, kita juga dapat menegur teman-teman kita yang bergosip. Tentunya menegurnya di dalam kasih, ya.

4. Belajar untuk mengasihi

Saat kita tidak mengasihi seseorang, sangatlah mudah bagi kita untuk melihat dan membicarakan kelemahannya. Namun, jika kita menyadari bahwa kita tidaklah sempurna (tidak ada manusia yang sempurna), namun kita begitu dikasihi Tuhan, kita akan lebih mudah mengasihi orang lain. Ketika kita mengasihi seseorang, tentunya kita tidak akan menggosipkannya. Jadi, kita dapat belajar berhenti bergosip dengan belajar mengasihi sesama kita, seperti apa yang diperintahkan Tuhan dalam Matius 22:39b, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

5. Menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan

Seberapa dekat hubungan pribadi kita dengan Allah akan memberikan kita kepekaan untuk berhenti bergosip. Setiap kali Iblis mencoba untuk menggoda kita bergosip dan berbuat dosa, Roh Kudus akan mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam godaan itu. Tetaplah jaga hubungan yang akrab dengan Allah agar kita dapat lebih peka akan suara Roh Kudus di dalam hati kita.

Yuk kita hentikan bergosip dan mulai mengasihi!

Baca Juga:

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

“Apakah aku seorang munafik?” Inilah pertanyaan yang ditanyakan oleh Kezia. Ternyata ia mendapati jawabannya adalah ya, dia adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Pada akhirnya, ia menemukan mengapa ia menjadi seorang yang munafik. Temukan kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.