Posts

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Oleh Glori Ayuni, Jakarta

Yang terkasih, sahabatku,

Tahun telah berganti, tetapi kamu tidak ingin melangkah sebab orang yang paling kamu kasihi, telah meninggalkanmu di tahun sebelumnya. Semarak pesta pergantian tahun tidak membuatmu terpesona. Kamu mungkin merasa lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar. Dan, mungkin pula kamu berharap ada mesin waktu yang dapat membawamu kembali ke masa-masa dulu.

Berita mengenai gulungan ombak, gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor, dan sederet bencana lainnya, mengingatkanmu pada sosok orang-orang terkasihmu. Bencana itu telah merenggut mereka darimu. Mereka pergi dengan cara yang tidak kamu sangka. Kini, hanya ada dua hal yang tersisa padamu: kenangan dan kepedihan hati.

Sahabatku, aku tak sanggup membayangkannya. Kurasa, itu semua terasa berat buatmu. Aku tak bisa menyemangatimu dengan cara apapun. Mungkin kamu pun sudah bosan dengan berbagai penghiburan yang orang-orang coba berikan. Atau, mungkin juga kamu sudah muak dengan kalimat, “Tuhan tetap baik. Ia punya rencana indah bagimu.”

Mungkin, dalam hatimu, kamu bertanya, “Kalau Tuhan memang baik, lalu mengapa Ia membiarkanku bersedih?” Mungkin kamu juga merasa terhakimi dengan pertanyaan itu, seakan-akan kamu tidak cukup beriman ketika kamu mempertanyakan Tuhan dan keberadaan-Nya dalam kesedihanmu.

Tenagamu mungkin juga telah habis untuk melangkah ke tahun yang baru karena tekanan kesedihan yang begitu kerasnya dalam hatimu. Hal itu bertambah parah karena kamu takut dianggap kurang beriman karena bersedih terlalu lama dan mempertanyakan Tuhan.

Sahabatku, aku memang belum pernah merasakan kesedihan karena kehilangan orang yang kukasihi. Akan tetapi, aku pernah bersedih karena hal lain yang juga membuatku bertanya di manakah keberadaan Tuhan di tengah dukacitaku. Namun, Tuhan menguatkanku melalui ucapan seorang kakak yang kutemui di suatu acara, dan kuharap ini juga dapat menguatkanmu:

“Kesedihan yang membuat kita bertanya di mana keberadaan Tuhan adalah bentuk nyata dari iman. Kita sadar bahwa kehidupan kita seutuhnya, baik suka maupun duka, adalah milik Tuhan. Ketika ada suatu hal yang membuat kita bersedih, sudah sewajarnya seorang ciptaan menanyakan kepada Penciptanya tentang apa yang terjadi padanya. Karena ciptaan itu menyadari bahwa yang paling tahu tentang dirinya adalah hanya Penciptanya sendiri. Dan, itulah iman.”

Sahabat, aku mengajakmu untuk mengambil waktu sejenak, untuk membawa segala kesedihanmu ke hadapan Tuhan di awal tahun ini. Tanyakan dan luapkankanlah seluruh isi hatimu kepada-Nya. Aku percaya, Roh Kudus akan menguatkanmu melangkah di tahun yang baru ini, meskipun tanpa keberadaan orang yang paling kamu kasihi.

Sahabat, meskipun mungkin ada luka dalam hatimu yang belum mengering, namun aku percaya, bersama Tuhan kamu mampu melangkah di tahun ini. Untuk itu, aku ingin mengajakmu bersama memuji Tuhan:

Pujilah Tuhan, hai jiwaku yang sedih!
Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku yang terluka.

Memuji Allah di masa yang sulit bukanlah hal yang mudah. Apalagi setelah mengalami kehilangan yang menyakitkan. Tetapi biarlah kita menyadari bahwa memang keberadaan manusia di dunia ini begitu fana, seperti yang dinyatakan Daud dalam Mazmur 103:15-16, “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.” Meskipun begitu, Tuhan menjanjikan kesetiaan-Nya apada kita di ayat 17: “Kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia.”

Meskipun mungkin sulit buatmu melihat kasih setia Tuhan dalam tahun yang baru ini setelah peristiwa berat yang kamu jalani sebelumnya, aku berdoa kiranya aku dan kamu tidak melupakan segala kebaikan-Nya. Aku ingin kita dapat bersama-sama memuji-Nya kembali.

Selamat memulai lembaran yang baru, sahabatku. Selamat berjalan bersama Allah! Tuhan menyertai kita semua.

*Surat ini ditulis teristimewa untuk rekan satu gereja denganku yang kehilangan orang tuanya dalam bencana tsunami di akhir Desember 2018.

Baca Juga:

Marvelle Kecil yang Mengajariku Tentang Ketaatan

Marvelle dilarang oleh mamanya berbuat sesuatu. Ia pun lalu menangis keras. Sebagai gurunya, tangisan itu membuat perasaanku campur aduk. Namun, aku jadi terpikir akan suatu hal.

Ketika Sahabatku Mengecewakanku, 3 Perenungan Ini Menolongku untuk Mengampuninya

Oleh Glori Ayuni, Tangerang

Aku memiliki sahabat di kampus, namanya Dewi*. Persahabatan kami dimulai sejak semester pertama perkuliahan dimulai. Kami duduk di fakultas, program studi, dan kelas yang sama. Bahkan, kami pun tinggal di rumah kos yang sama.

Sebagai seorang dengan kepribadian plegmatis dominan, aku begitu bersyukur bisa bersahabat dengan Dewi yang tipe kepribadiannya sanguine. Jika sehari-harinya aku adalah orang yang cukup pendiam dan cuek, Dewi adalah orang yang selalu ceria dan juga peka terhadap keadaan sekitarnya. Dua kepribadian yang berbeda ini ternyata saling melengkapi dan membuat kami bersahabat erat.

Tapi, suatu hari Dewi menyakiti hatiku, dan sangat sulit buatku untuk memaafkannya.

Kisah ini bermula ketika charger ponselnya tertinggal di kelas. Saat itu, ponsel Dewi sedang dalam keadaan di-charge. Tapi, karena aku membutuhkan ponselnya untuk merekam sesuatu, aku pun mencabutnya dari charger. Setelah proses perekaman itu usai, kami pun pulang. Aku sama sekali tidak ingat dengan charger tersebut. Jika biasanya Dewi selalu mengecek kembali barang bawaannya, hari itu dia tidak melakukannya. Pada malam hari, dia mencari charger-nya dan bertanya padaku. Barulah saat itu aku sadar bahwa charger Dewi tertinggal di kelas.

Aku merasa bersalah, karena bagaimanapun juga, aku telah lalai dengan tidak memasukkan kembali charger Dewi ke dalam tasnya setelah selesai kugunakan. Aku langsung meminta maaf padanya, tapi dia tidak merespons permintaan maafku. Kemudian, ketika dia keluar kamar, aku melihat bahwa baterai ponselnya sudah habis. Jadi, aku berinisiatif untuk men-charge ponselnya. Tapi, alangkah terkejutnya aku karena ternyata dia melepaskan charger ponsel itu. Lalu, keesokan paginya dia memilih meminjam charger dari teman kos kami yang lain. Padahal, aku yang tinggal sekamar dengannya juga memiliki charger dengan merek ponsel yang sama. Hari itu perasaanku jadi campur aduk. Jika awalnya aku diliputi rasa bersalah, sekarang aku jadi marah, sedih, juga sakit hati karena merasa niat baikku ditolak. Aku tidak terima dengan sikapnya. Jadi, aku pun tidak menegurnya selama satu minggu.

Saat itu, aku masih merasa bahwa dirikulah yang benar. Jadi, aku sungguh tidak mau menegur Dewi terlebih dulu sampai dia sendiri yang memulainya duluan. Tapi, saling berdiam diri ini malah membuatku makin merasa tidak nyaman dan jadi membenci Dewi. Aku bertanya dalam hati: apakah caraku merespons masalah ini adalah cara yang berkenan kepada Allah? Sebagai orang Kristen, aku tahu betul bahwa Alkitab mengatakan kepadaku untuk mengampuni orang yang bersalah kepadaku. Tapi, sulit bagiku untuk melakukannya di kala aku masih memelihara rasa egois dalam diriku.

Saat itu aku pun merenung, mencoba merefleksikan kembali apakah cara-cara yang kulakukan dalam menyikapi masalah ini berkenan kepada Allah atau tidak. Dalam perenungan itu ada tiga hal yang sangat menegurku.

1. Aku merenungkan bahwa Allah mengampuni kita terlebih dahulu, bahkan ketika kita tidak sadar akan dosa-dosa yang kita lakukan

Aku memiliki kebiasaan mencatat isi khotbah yang kudengar saat ibadah. Isi khotbah itu kutulis di sebuah catatan khusus dan aku terbiasa untuk selalu membacanya kembali. Saat aku masih bergumul dengan rasa sakit hatiku kepada Dewi, kubuka catatanku dan di sana aku menemukan sebuah catatan tentang kasih Allah kepada manusia.

Di dalam Roma 8:32, Rasul Paulus menuliskan demikian: “Ia yang tidak menyayangkan anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua…” Ayat ini menyentakku. Alih-alih membenci dan mengganjar hukuman kepada manusia yang memberontak kepada-Nya, sebaliknya Allah malah memilih untuk mengasihi manusia. Allah telah memberikan yang terbaik untuk mengasihi manusia, yaitu dengan kelahiran dan kematian Yesus Kristus di kayu salib.

Allah tidak melakukan kesalahan apapun, tapi alih-alih membiarkan para manusia binasa dalam dosa, Allah sendirilah yang memulai pengampunan itu, bahkan ketika kita masih terbuai di dalam dosa-dosa yang kita lakukan.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).

Melalui kebenaran ini, Tuhan menegurku. “Kalau Allah saja memilih untuk mengasihi manusia, lalu mengapa aku yang sudah diselamatkan oleh Yesus malah memilih untuk tidak mengasihi sesamaku?”

2. Aku merenungkan bahwa ketika Yesus dihina dan dianiaya, Dia tidak membalasnya dengan sesuatu yang jahat

Ketika Yesus lahir dan melayani di dunia, kehidupan-Nya tidak terluput dari berbagai penderitaan. Sebagai bayi mungil, Dia dan keluarga-Nya harus melarikan diri untuk menghindari pembunuhan yang dilakukan oleh raja Herodes. Tak berhenti sampai di situ, sepanjang pelayanan Yesus di dunia, Dia banyak sekali dihina dan diejek. Orang-orang Farisi dan ahli Taurat tidak suka kepada Yesus dan terus mencari-cari kesalahan-Nya hingga akhirnya Yesus pun dijatuhi hukuman mati dengan cara disiksa dan disalib.

Tapi, dari seluruh perlakuan jahat yang diterima-Nya, adakah kita menemukan Yesus membalasnya dengan sesuatu yang jahat? Tidak sama sekali. Alih-alih membalas setiap ejekan dan hinaan yang diterima-Nya dengan kata-kata kasar, atau bahkan membela diri, Yesus malah melepaskan pengampunan untuk mereka:

“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Jika Yesus yang mendapatkan perlakuan sangat buruk pun mampu mengampuni, lantas mengapa begitu sulit buatku untuk mengampuni orang lain?

3. Aku merenungkan bahwa panggilan hidup orang Kristen adalah menjadi sempurna seperti Bapa di surga

Sebagai makhluk yang tidak sempurna, kita sering menemui kesulitan dalam berhubungan dengan sesama. Ada kalanya kesalahpahaman terjadi. Ada kalanya konflik pun tak terhindarkan. Namun, Tuhan Yesus telah menunjukkan teladan yang sempurna kepada kita. Dan, sebagai murid-murid-Nya, kita pun diminta untuk menjadi sempurna, seperti apa yang Yesus sendiri katakan:

“Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Matius 5:48).

Teladan kasih yang Yesus berikan itu dilakukan demi kita. Karena kasih-Nya, Yesus datang ke dunia dan lahir sebagai seorang bayi mungil. Karena kasih, Dia rela dicecar dan diperlakukan dengan hina oleh para ahli Taurat, prajurit, dan orang banyak. Karena kasih-Nya pula, Dia menderita dan mati untuk menjadi korban yang sempurna, memulihkan relasi kita dengan Bapa. Karena kasih-Nya, kita pun beroleh hidup.

Ketika aku mengingat tentang apa yang sudah Yesus lakukan untukku, akhirnya aku pun menjadi malu dengan diriku sendiri. Aku tahu bahwa Yesus telah mengajariku untuk mengampuni, tapi karena rasa egoisku, aku malah tidak mau mengampuni orang lain, bahkan menuntut orang lain dululah yang harus berdamai denganku. Di akhir perenungan ini, aku bertanya pada diriku sendiri: “Untuk apa selama ini aku tahu kebenaran bahwa menjadi seorang Kristen berarti adalah menjadi murid Kristus, tetapi aku sendiri tidak hidup sebagai murid?

Akhirnya, dengan pertolongan Roh Kudus, aku dimampukan untuk mengampuni Dewi. Di dalam doaku, aku berkomitmen untuk tidak lagi membenci Dewi. Aku ingin mengikis rasa egois dalam diriku. Dan, seperti Yesus yang telah mengasihiku, aku mau kembali belajar untuk mengasihi orang lain.

Setelah berdoa, aku pun memberanikan diri untuk memulai rekonsiliasi dengan Dewi. Karena saat itu Dewi sedang tidak berada di kos, dan keesokan harinya pun aku tidak yakin apabila dia akan datang ke kampus, jadi aku mengiriminya sebuah chat. Di dalam chat itu, aku menuturkan alasan di balik aku tidak menyapanya selama satu minggu. Puji Tuhan, Dewi menerima permintaan maafku. Bahkan, dia juga turut meminta maaf atas perlakuannya yang membuatku salah paham dan sakit hati.

Hari itu, kami pun berdamai dan hatiku merasa tenang. Sekarang, kami bisa saling menyapa kembali dan bersahabat seperti biasanya.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Saat Tuhan Berkata Wanita Itu Bukan Untukku

Apa yang aku anggap terbaik bagiku, belum tentu memang yang terbaik dari Tuhan. Selama 5 tahun lebih aku yakin bahwa dia adalah orang yang paling tepat untuk jadi pasanganku. Tapi, Tuhan berkata lain. Ketika dia yang kuperjuangkan akhirnya memilih meninggalkanku, di sinilah Tuhan mengajarku untuk memaknai hidupku dari perspektif yang berbeda.