Posts

Mengapa Aku Masih Single?

mengapa-aku-masih-single

Oleh Krysti Wilkinson, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Am I Still Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

Aku mengenal perempuan itu. Setahuku, dia tidak sedang dalam situasi yang terbaik untuk memulai sebuah hubungan. Namun kini, dia ada di sini dan bermesraan dengan pacar barunya.

Aku menghela nafas, menggeser posisi dudukku, dan melirik barisan bangku tempatku duduk. Ada tujuh atau delapan orang gadis dengan buku catatan dan pulpen di tangan mereka. Beberapa dari kami bahkan membawa Alkitab (betapa rohaninya!). Kami Kristen, cantik-cantik, tapi sama-sama belum punya pacar.

Aku pernah berpikir, “Kami melakukan segala sesuatu dengan benar. Kami mematuhi setiap peraturan. Kami melakukan segala yang terbaik—mengapa kami belum punya pacar?”

Jawaban Tuhan seakan menampar wajahku, “Kapan Aku pernah menjanjikan kamu akan punya pacar kalau kamu melakukan semua itu?”

Hari itu aku menyadari kalau selama ini aku memiliki pemikiran yang salah. Sebelumnya, aku memandang hubungan yang kumiliki dengan lawan jenis adalah upah yang diberikan Tuhan kalau aku menjadi seorang Kristen yang baik. Aku pikir jika aku pergi ke gereja setiap minggu, mungkin akan ada seseorang yang mendekatiku. Jika aku ikut pendalaman Alkitab setiap minggu, mungkin aku akan mendapat pacar. Jika aku berhasil mencapai level kesucian tertentu, aku mendapat cukup banyak poin untuk dapat menikah. Jadi mungkin aku tidak cukup suci, karena itulah aku masih single.

Aku tahu betapa bodohnya pemikiranku itu. Tapi bertahun-tahun aku hidup mempercayai kebohongan-kebohongan ini. Ketika sebuah hubungan terasa seperti sesuatu yang perlu kamu kejar, kamu akan merasa gagal ketika kamu menemukan dirimu masih tetap single.

Ini pesan yang ingin kusampaikan: berpacaran bukanlah sebuah prestasi, dan pernikahan bukanlah sebuah hadiah juara. Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberi kita seorang pasangan dan dua anak yang sempurna dan kehidupan yang bahagia selamanya di dalam rumah yang nyaman. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa kesetiaan akan selalu menghasilkan kebahagiaan, kemakmuran, atau kehidupan yang menyenangkan (seringkali yang terjadi malah kebalikannya). Namun, ketika kita melihat teman-teman kita seolah memiliki hidup yang sempurna, kita mungkin bertanya: Mengapa bukan aku? Mengapa hidupku tidak seperti itu? Mengapa aku masih single?

Menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah salah. Menjadi jujur tidaklah salah. Merasakan apa pun yang kamu rasakan tidaklah salah. Yang menjadi salah adalah jika kita terus-menerus terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu.

Ketika kamu bertanya “mengapa kamu masih single”, itu memang bisa membuatmu melakukan refleksi diri dan bertanya pertanyaan-pertanyaan lain yang baik, seperti: Apakah kamu sudah siap untuk memulai hubungan yang baru? Apakah kamu ada di lingkungan yang baik? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang mempengaruhi hubunganmu dengan sesama? Tapi, pertanyaan “mengapa kamu masih single” juga dapat membuatmu jatuh semakin dalam, terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat dalam hubunganmu yang sebelumnya, menjadi terobsesi akan interaksi dengan lawan jenis, atau menghabiskan tenagamu untuk menarik perhatian seseorang.

Saranku, daripada terus bertanya kepada dirimu “mengapa kamu masih single”, bertanyalah kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk kamu kerjakan selagi kamu single.

Kamu tidak harus menyukai status single-mu—tetapi kamu bisa mengundang Tuhan untuk hadir dalam setiap detik hidupmu. Tanyakanlah Dia apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu, ke mana Dia memimpinmu, dan apa yang Dia kehendaki bagimu selanjutnya. Bisa jadi Dia menghendakimu menjalin sebuah hubungan, atau malah sebaliknya. Aku tidak tahu apa kehendak-Nya bagimu, tapi aku tahu bahwa Tuhan itu baik, begitu pula rencana-Nya.

Hari itu, beberapa tahun yang lalu, Tuhan mengingatkanku akan pemikiranku yang salah tentang imanku. Ini menolongku untuk memeriksa apa yang menjadi motivasiku dalam melakukan segala kegiatan gereja—apakah aku melakukannya agar aku mendapat pacar, ataukah aku melakukannya karena kasihku bagi Bapaku?

Ketika aku juga bertanya kepada Tuhan tentang apa yang Dia ingin aku kerjakan selagi aku single, aku menjadi sadar akan banyak hal di sekitarku: kesempatan-kesempatan pelayanan, hal-hal yang dapat aku kembangkan, persahabatan-persahabatan yang perlu kubangun, dan bahkan beberapa laki-laki yang sebelumnya tak pernah terpikirkan untuk menjadi dekat denganku.

Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengejutkan kita. Kadang yang perlu kita lakukan hanyalah bertanya kepada-Nya.

Baca Juga:

Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan

Keputusan sulit harus kuambil ketika suamiku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Dalam pergumulanku, aku ingin taat pada Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.

Dipulihkan Karena Doa

Dipulihkan-karena-doa

Oleh Katarina Tathya Ratri, Jakarta

Hari itu adalah hari terakhir di tahun 2011 ketika aku berjalan menyusuri jalanan di kota kecil tempat kelahiranku. Berbeda dari malam tahun baru sebelumnya yang aku lewati dengan berhura-hura, hari itu aku berjalan sendirian tanpa tujuan yang jelas. Aku tak peduli dengan orang-orang yang memadati jalanan untuk melihat kembang api, aku hanya ingin sesuatu yang berbeda untuk melewatkan tahun baru.

Langkah kakiku terhenti di depan sebuah jalan kecil yang menuju sebuah gereja. Hati kecilku bicara supaya aku melangkah ke dalam gereja itu. Tapi, aku merasa enggan karena itu bukan gereja yang pernah kusinggahi sebelumnya. Lagipula sejak duduk di bangku SMP, aku jarang pergi beribadah ke gereja. Namun, suara hatiku semakin keras dan aku memutuskan masuk ke dalam gereja itu.

Ketika aku tiba di dalam gereja, satu hal yang kuingat adalah berdoa. Sudah lama aku tidak berdoa, dan malam itu aku mau kembali berdoa. Kupejamkan mata dan mengarahkan hati kepada hadirat-Nya. Aku merasakan damai yang melingkupi hatiku dan tak mampu kujelaskan dengan kata-kata. Malam itu aku berdoa dengan khusyuk karena aku begitu rindu untuk bertemu Sang Pencipta.

Aku percaya bahwa rasa damai yang melingkupiku waktu itu mengingatkanku kalau Tuhan ingin aku kembali pada-Nya. Dalam keheningan itu aku menyadari kalau selama ini aku menganggap doa hanya sebagai kewajiban saja sehingga aku tidak memiliki kerinduan untuk melakukannya.

Doa yang kunaikkan malam itu mengubahkan hidupku. Selama ini aku mencari pelarian dari situasi rumah yang membuatku muak. Aku pergi bersama teman-teman untuk merokok, menonton video porno, hingga pulang larut malam. Hari itu Tuhan menegurku untuk kembali pada-Nya. Lewat doa, aku mengucap janji untuk berbalik pada-Nya dan meninggalkan cara hidupku yang lama.

Aku berusaha menjaga komitmenku untuk setia pada Tuhan walaupun godaan untuk kembali ke kehidupan yang lama terus datang. Setiap hari aku terus berdoa pada-Nya memohon kekuatan, dan seiring berjalannya waktu aku menjadi semakin senang berdoa. Doa adalah nafas hidupku sehingga aku akan merasa sesak jika aku melewatkannya.

Setiap kali aku berdoa, aku tidak hanya melaporkan pada-Nya masalah-masalah yang kualami, tapi lebih dari sekadar melapor, aku mendiskusikan masalahku dengan Tuhan, mengucap syukur atas pemeliharaan-Nya, dan berdoa juga untuk orang-orang lain. Aku percaya kalau Tuhan maha mengetahui, tapi aku merasa perlu untuk mengungkapkan isi hatiku kepada-Nya supaya hati dan cara pikirku berubah sesuai dengan kehendak Tuhan.

Komitmenku untuk meninggalkan cara hidup yang lama seringkali membuatku khawatir. Aku takut jika harus kehilangan teman-teman sepermainan, tapi firman Tuhan dalam Filipi 4:6-7 mengingatkanku, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.”

Aku mengalami sendiri bagaimana damai sejahtera Tuhan turun atas diriku. Ketika aku harus menghadapi ujian sidang skripsi, aku sangat takut karena ada mahasiswa sebelumku yang dinyatakan gagal. Aku khawatir kalau-kalau aku akan dinyatakan gagal juga. Alih-alih rasa khawatir semakin menguasai diriku, aku berdoa dan mengucap syukur atas proses yang bisa kulalui. Damai sejahtera Tuhan memenuhiku, dan aku yakin kalau Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk studiku.

Sejatinya, bukan Tuhanlah yang membutuhkan doa kita, tetapi kita yang butuh berdoa kepada Tuhan. Apapun kekhawatiranmu, ungkapkanlah kepada-Nya, sebab ada tertulis, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Baca Juga:

Ketika Membaca Alkitab Terasa Membosankan

“Sebenarnya membaca Alkitab itu hanya persoalan waktu. Kalau aku bisa membaca tiga atau empat pasal dalam sehari, aku dapat membaca seluruh Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu dalam waktu setahun. Sederhana, bukan? Tapi tidak sesederhana itu. Sudah 14 bulan melakukannya, dan aku bahkan belum menyelesaikan setengahnya. Apa yang salah?”

Aku Tidak Puas dengan Gerejaku, Haruskah Aku Bertahan?

Aku-Tidak-Puas-dengan-Gerejaku-Haruskah-Aku-Bertahan

Oleh Dorothy Norberg, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Should I Stay If My Church Doesn’t Satisfy Me?

Aku berjemaat di sebuah gereja kecil yang dulu begitu aku sukai.

Tapi sekarang, setelah 5 tahun dan begitu banyak perubahan yang tak diduga sebelumnya, jumlah jemaat kami semakin berkurang. Tak ada lagi jemaat lain yang seusiaku saat ini, dan aku tidak lagi merasa nyaman berjemaat di gereja itu.

Jika kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan pindah ke gereja lain yang musik, khotbah, dan acara-acaranya lebih baik supaya kamu mendapatkan pengalaman bergereja yang “lebih”?

Beberapa orang mungkin menganggap itu seperti pergi ke berbagai pasar yang berbeda untuk mencari bahan-bahan yang kita perlukan untuk memasak makanan yang lezat. Mereka juga mungkin akan mengatakan bahwa kita perlu memilih gereja di mana kita dapat merasa puas dan merasakan kehadiran Tuhan di dalamnya.

Namun aku menyadari bahwa ketika kita hanya melihat pengalaman-pengalaman yang tampak di permukaan dan memutuskan untuk berpindah-pindah gereja, kita sedang menjauhkan diri kita dari sukacita akan rasa memiliki. Pertumbuhan terjadi ketika kita mau berakar dan berkomitmen.

Dari pendalaman Alkitab yang kulakukan, aku menjadi semakin yakin bahwa keanggotaan gereja adalah sebuah fondasi spiritual yang penting dan tidak dapat kita abaikan.

Di musim panas kali ini, teman baikku mengobrol denganku tentang mengunjungi berbagai gereja bersama di musim gugur nanti. Dia sedang bersiap-siap untuk masuk kuliah dan membutuhkan gereja yang lebih dekat dengan kampusnya. Dia mendorongku untuk pindah gereja dan mencari gereja yang usia jemaatnya sepantaran denganku. Tapi aku merasa belum siap mengambil keputusan itu. Di samping karena aku menghargai keanggotaan gereja, aku juga tidak mau berpindah gereja hanya karena mengikuti teman. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan mencari kesempatan pelayanan di dalam gerejaku, dan berdoa tentang kehendak Tuhan bagi masa depanku.

Proses ini memaksaku untuk memeriksa apa yang sebenarnya menjadi motivasiku datang ke gereja. Apakah kriteria gereja yang utama bagiku adalah gereja yang memenuhi kebutuhan emosional dan sosialku? Atau aku datang ke gereja karena sebuah tujuan yang lebih besar? Seringkali aku merasa tidak termotivasi untuk datang ke gerejaku dan aku berharap aku pergi ke tempat lain, tapi aku peduli dengan jemaat-jemaat yang lain di sekitarku. Aku tahu bahwa peranku dalam gereja semakin dibutuhkan seiring dengan jumlah jemaat yang berkurang. Meskipun aku merasa peranku begitu terbatas dan tidak memuaskan, aku tahu bahwa inilah gereja di mana Tuhan menginginkanku berada di dalamnya saat ini.

Keadaanku saat ini tidaklah ideal atau memuaskan, tetapi aku tahu apa hal yang penting. Aku mendengar firman Tuhan dengan setia disampaikan, memuji Tuhan bersama orang-orang percaya, mengikuti perjamuan kudus, dan berbagi hidup dengan orang-orang yang aku pernah berjanji untuk saling berbagi, mengasihi, dan melindungi.

Ketika aku berjemaat di sebuah gereja, itu memungkinkanku untuk melakukan apa yang firman Tuhan perintahkan—agar kita saling mengasihi, saling mengampuni, saling menguatkan, dan saling menolong dalam menanggung beban. Ketika aku memutuskan untuk membagikan hidupku pada mereka, mereka juga membagikan hidup mereka padaku, dan kami memiliki kesempatan untuk dikenal dan dikasihi oleh sebuah komunitas yang kita pilih bukan karena kesamaan minat, tapi karena Kristus.

Tanpa komitmen pada sebuah gereja, memang kita masih bisa mendengar khotbah, menyanyikan lagu pujian, dan bertumbuh dalam iman lewat saat teduh pribadi. Tetapi, Tuhan tidak membentuk kita untuk menghidupi iman kita sendirian. Perjanjian Baru memberikan banyak contoh tentang kehidupan gereja dan mendeskripsikan gereja sebagai mempelai Kristus, tubuh Kristus di dunia, dan tempat di mana pertumbuhan rohani dan komunitas rohani terbentuk. Pergi ke gereja bukanlah tentang mencari sebuah pengalaman semata, tetapi tentang berkumpul bersama saudara seiman kita. Itu adalah sebuah disiplin rohani yang baik yang perlu kita bangun.

Aku tidak bisa menghidupi kehidupan Kristen seorang diri saja. Aku butuh masukan dari orang-orang percaya lainnya untuk melengkapi pemikiranku, mendorongku untuk melayani, menegurku untuk meninggalkan dosa-dosaku, dan mendukungku.

Aku tahu kalau aku berhenti pergi ke gereja, jemaat yang lain akan mencariku; dan jika aku bergumul dengan keputusanku atau tidak yakin dengan kehendak Tuhan bagiku, mereka yang mengenal dan mengasihiku dapat memberikan masukan. Aku juga akan melakukan hal serupa untuk mereka, dan aku tidak mau memutus hubungan yang erat ini hanya karena perasaan ketidakpuasanku yang sementara.

Berada di gereja bukanlah tentang kenyamananku, rasa pemenuhanku, atau tentang mudahnya membangun relasi dengan orang lain. Tapi, menjadi jemaat gereja adalah suatu hubungan yang diikat berdasarkan perjanjian, dan tak peduli apa pun perasaanku, aku tahu kalau aku dan jemaat gerejaku saling memperhatikan; ada rasa tanggung jawab di dalamnya. Sekalipun tanggung jawab ini mungkin terlihat seperti sebuah beban, aku tahu bahwa semua itu setimpal dengan apa yang kita dapatkan nantinya.

Bahkan ketika aku merasa terabaikan, aku tahu bahwa aku diperhatikan, dikasihi, dan dihargai, dan bahwa Tuhan menempatkanku di gerejaku ini untuk suatu alasan. Aku tidak mau menjadi apatis atau keras kepala, tapi aku beriman bahwa Tuhan bekerja melalui hal-hal kecil yang kita temui sehari-hari. Dia menggenapi tujuan-Nya melalui mereka yang mau berkomitmen dan rindu dipakai oleh-Nya.

Baca Juga:

Aku Gak Pintar Berdoa

Seringkali, kita sebagai orang Kristen enggan berdoa karena merasa tidak pandai berkata-kata, atau menganggap doa kita terlalu sederhana. Tapi, sesulit itukah berdoa? Setelah aku memahami apa esensi dari sebuah doa, kurasa doa bukanlah hal yang sulit.

Marilah Kita

Minggu, 21 Agustus 2016

Marilah Kita

Baca: Ibrani 10:19-25

10:19 Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus,

10:20 karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri,

10:21 dan kita mempunyai seorang Imam Besar sebagai kepala Rumah Allah.

10:22 Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.

10:23 Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia.

10:24 Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.

10:25 Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.

Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. —Ibrani 10:24

Marilah Kita

Ketika sedang mengantre di salah satu wahana yang populer di Disneyland, saya mengamati kebanyakan orang sedang mengobrol dan tersenyum. Mereka sama sekali tidak mengeluhkan antrean yang panjang. Saya jadi berpikir mengapa mereka bisa menikmati antrean panjang seperti itu. Saya rasa jawabannya adalah sangat sedikit dari mereka yang mengantre seorang diri. Sebaliknya, banyak dari mereka datang bersama teman, keluarga, kelompok, dan pasangan, sehingga mereka menikmati pengalaman itu bersama-sama. Tentu itu rasanya jauh berbeda jika dibandingkan dengan mengantre sendirian.

Kehidupan Kristen dimaksudkan untuk dijalani bersama, bukan seorang diri. Ibrani 10:19-25 mendorong kita untuk hidup dalam komunitas bersama dengan para pengikut Yesus lainnya. “Marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh. . . . Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia. Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita” (ay. 22-25). Dalam komunitas itu, kita meneguhkan dan menguatkan satu sama lain, dan “saling menasihati” (ay.25).

Ketika orang lain mendampingi kita menjalani masa-masa yang sangat sulit dalam hidup ini, pengalaman tersebut dapat menjadi bagian yang berharga dari perjalanan iman kita. Jangan menghadapi hidup ini sendirian. Marilah kita menjalaninya bersama. —David McCasland

Tuhan, kiranya kami memenuhi panggilan-Mu hari ini untuk bersama menapaki perjalanan iman dengan saling menguatkan.

Hidup dalam Kristus dimaksudkan untuk dijalani bersama.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 107-109; 1 Korintus 4

Artikel Terkait:

Mengasihi Itu Tidak Mudah

Sulit untuk mengasihi ketika kita sendiri tidak pernah mengalami apa artinya dikasihi. Syukur kepada Allah yang telah lebih dulu mengasihi kita dalam Kristus Yesus.

4 Pergumulan yang Kita Hadapi dalam Pelayanan

4-pergumulan-yang-kita-hadapi-dalam-pelayanan

Oleh Abigail L.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Struggles We Face In Ministry

Melayani orang lain bisa menjadi pekerjaan yang berat, baik di dalam maupun di luar gereja.

Dalam gereja, aku bersyukur atas dukungan yang aku peroleh dari keluarga dan teman-temanku selama aku melayani. Namun ada saat-saat di mana aku merasa tidak mampu untuk melanjutkan pelayananku—dan hal ini kebanyakan disebabkan karena orang lain. Dalam saat-saat demikian, aku berusaha menghibur diriku dengan berkata: “Kalau tidak sulit, bukan pelayanan namanya.”

Tetapi, aku juga percaya bahwa Allah mau mengajarkan sesuatu melalui pergumulanku.

1. Orang-orang yang tidak tertarik

Apakah kamu sedang memimpin sebuah kelompok sel, membuat sebuah acara dan merencanakan kegiatan penjangkauan, dan menemukan bahwa anggota kelompokmu atau para pemimpin lain dalam kelompokmu tidak menunjukkan ketertarikan? Kadang, aku merasa paling tidak dihargai dan jengkel saat orang lain tidak bekerja dan tidak mendukungku sebanyak yang menurutku seharusnya mereka lakukan.

Namun Allah mengingatkanku untuk berhenti sejenak agar aku tidak melupakan tujuan dari pelayanan—pelayanan adalah tentang orang-orang, bukan tentang program-program dan rencana-rencanaku. Pelayanan adalah tentang menolong orang lain bertumbuh dalam iman dan kasih kepada Kristus, dan tentang mempedulikan kebutuhan mereka.

Jadi, aku pun belajar untuk memperhatikan orang-orang daripada program-program, dengan menunjukkan ketertarikan pada hidup mereka dan masalah yang sedang mereka hadapi. Aku juga belajar untuk terbuka terhadap masukan, dan belajar untuk membuat acara dan pertemuan kelompok sel yang dapat menjawab kebutuhan mereka.

2. Orang-orang yang mematahkan semangat

Kadang kita mendapatkan tanggapan yang mengecewakan atas pelayanan yang kita lakukan, atau masukan dari para pemimpin yang terkesan keras dan tidak adil. Terkadang pula, teman-teman kita bisa menjadi sangat mengkritik atau bahkan tidak membantu sama sekali. Ketika hal itu terjadi, aku dapat merasakan benih ketidakpuasan bertumbuh menjadi kepahitan dan membuat aku menyimpan dendam kepada mereka.

Namun Allah mengajarkanku untuk menunjukkan kasih—kepada para pemimpin, teman-teman, dan junior-juniorku. Aku menemukan bahwa orang-orang yang telah mengecewakanku ini ternyata memiliki kisah di balik layar yang menjelaskan tindakan mereka. Suatu kali, aku merasa amat malu terhadap diriku sendiri ketika seorang rekan kerjaku—yang aku kira bermalas-malasan—mengatakan bahwa orang tuanya yang belum percaya melarang dia terlibat aktif di gereja. Aku sadar bahwa aku sudah bersikap tidak adil dan menghakimi dia berdasarkan sikapnya, dan bahwa sikapku terhadapnya mungkin saja telah membuatnya semakin patah semangat.

Selama aku belum pernah menempatkan posisiku di sepatu orang lain, aku takkan pernah tahu seberapa berat pergumulan, perjuangan, dan usaha mereka untuk mengasihi Allah. Jadi, aku belajar untuk menunjukkan kasih karunia kepada orang lain, sama seperti Kristus telah menunjukkan kasih karunia-Nya kepadaku.

3. Orang-orang yang berbeda

Apakah kamu menghadapi perbedaan dalam doktrin, kepercayaan, atau fokus pelayanan dengan sesama orang percaya? Apakah perbedaan ini menyebabkan perselisihan dan kesalahpahaman yang menghambat kemajuan pelayananmu dan mempengaruhi “efisiensi”-mu?

Mungkin ini adalah cara berpikir yang salah. Aku belajar bahwa perbedaan pendapat dapat memperluas dan memperkaya perspektifku—jika saja aku menyingkirkan kesombonganku. Aku adalah orang yang cenderung tidak sabar dengan orang-orang yang terlalu bersemangat tentang hal-hal yang berkaitan dengan karunia rohani, tetapi suatu hari salah seorang temanku berkata, “Kamu tidak akan pernah memahami mereka kalau kamu selalu lebih dulu menghakimi mereka!”

Kata-katanya menempelakku: dia mengingatkanku mengenai sikapku yang menghakimi orang-orang yang tidak memiliki ide yang sama dengan aku. Aku bersyukur atas teman-teman dan rekan-rekan kerja yang selalu ada untuk menolongku melihat suatu hal dari sisi yang berbeda.

4. Orang-orang yang menghakimi kita berdasarkan pelayanan kita

Apakah aku melayani terlalu banyak atau terlalu sedikit? Apakah aku orang yang suka mendominasi atau orang yang terlalu gampang dipengaruhi? Hal-hal demikian melintas dalam pikiranku setiap kali aku berusaha melakukan sesuatu. Aku tahu bahwa menjaga fokusku pada Kristus itu lebih penting, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal ini dan melihat kekuranganku.

Dulu aku biasa menilai keefektifan pelayananku dari jumlah orang yang datang dalam persekutuan, acara, atau apapun yang aku rencanakan, dan merasa kecewa setiap kali jumlah tersebut tidak mencapai target atau ketika orang-orang datang terlambat. Namun, aku belajar untuk mengingatkan diriku bahwa penilaian orang lain terhadap acara yang kubuat bukanlah merupakan penilaian terhadap karakter atau kepribadianku, dan bahwa tanggapan yang buruk terhadap acara yang kubuat bukanlah karena kurangnya iman atau keefektifanku. Setelah Allah mengubah diriku, aku dapat bersukacita melayani sekalipun ketika jumlah orang-orang yang hadir tidak banyak. Melayani menjadi jauh lebih mudah dan menyenangkan ketika aku berhenti mengkhawatirkan apa yang orang-orang pikirkan tentang aku.

 

Merasa kecewa dalam pelayanan merupakan hal yang normal; tidak ada seorang pun yang kebal terhadapnya. Namun, melalui kekecewaan-kekecewaan inilah Allah mendorong kita untuk lebih bergantung pada-Nya. Allah tidak butuh kita membantu Dia melakukan pekerjaan-Nya, tetapi Ia disukakan ketika kita bergantung kepada-Nya ketika kita melayani orang lain. Allah lebih tertarik pada siapa kita, daripada apa yang dapat kita lakukan untuk-Nya.

Baca Juga:

Ketika Saudara Seiman Mengganggumu

Di mana terdapat relasi, di sana selalu ada gesekan—bahkan juga relasi di dalam gereja. Satu alasan mengapa kita merasa terganggu oleh saudara seiman kita sebenarnya sederhana: kita mempunyai cara yang berbeda dalam melakukan sesuatu. Joshua pernah mengalami gesekan ini. Bagaimana respons yang dia berikan? Temukan dalam artikel ini.

Ketika Pemimpin Gereja Kita Jatuh, Inilah yang Dapat Kita Lakukan

ketika-pemimpin-gereja-kita-jatuh

Oleh Kezia Lewis, Thailand
Artikel Asli dalam Bahasa Inggris: When Our Church Leaders Fail

Akhir-akhir ini, berita tentang kegagalan moral para pemimpin gereja semakin banyak terdengar. Kita mendengar para pendeta yang melakukan penipuan, menggelapkan uang gereja, atau terlibat di dalam skandal seputar pornografi atau hubungan tidak sehat di luar pernikahan.

Ketika kita mendengar berita-berita seperti itu, seringkali kita “menyalibkan” para pemimpin ini. Kalau kita ada di dalam gereja-gereja tempat mereka melayani, kita mungkin menyangkal mereka, atau mengkritik mereka di depan seluruh dunia. Kita terluka, dan reaksi alami kita adalah membalas luka tersebut. Seperti seorang teman pernah berkata, “Orang yang terluka akan melukai orang lain.” Karena para pemimpin ini telah jatuh dan mengecewakan kita, kita merasa benar untuk menghukum mereka atas rasa sakit yang telah mereka perbuat kepada kita.

Namun mungkin, ada cara-cara yang lebih baik untuk meresponi kekecewaan kita.

Tunjukkan Kasih kepada Mereka

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35)

Ketika para pemimpin gereja jatuh, kita seharusnya menunjukkan kasih kepada mereka. Kita tidak membenarkan dosa-dosa mereka; kita juga tidak melindungi mereka dari konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka. Tapi kita tidak perlu menginjak-injak mereka, atau membuat mereka terlihat lebih buruk.

Bagaimana kita dapat mengaplikasikan hal ini? Dengan tidak menggosipi mereka. Kita dapat mulai dari rumah, dengan menunjukkan kasih persaudaraan kepada keluarga kita. Ketika hal-hal yang buruk seperti ini terjadi, kita cenderung untuk bergunjing dan ingin tahu lebih jauh tentang “kekurangan” para pemimpin gereja ini. Atau, mungkin kita berkumpul di dalam sebuah kelompok di dalam gereja atau komsel dan mengatakan bahwa kita ingin mendoakan mereka, namun akhirnya malah mengatakan hal-hal yang buruk tentang mereka.

Ketika kita melakukan hal buruk tersebut di depan anak-anak, sebenarnya kita seperti memberitahu mereka bahwa kita boleh-boleh saja menjelek-jelekkan saudara-saudara seiman kita. Kita menggambarkan mereka seperti penjahat yang selalu merencanakan malapetaka bagi gereja kita, seolah-olah mereka adalah monster. Kita melupakan hal-hal baik yang telah mereka lakukan dan hanya mengingat kesalahan-kesalahan mereka. Kita mengubur mereka hidup-hidup di dalam dosa-dosa mereka—dan lupa siapa diri mereka di dalam Tuhan.

Berdoa untuk Mereka

Para pemimpin gereja lebih mudah diserang secara spiritual karena mereka ada di garis depan. Sang musuh akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan mereka, karena dia tahu bahwa ketika dia dapat menghancurkan seorang pemimpin di dalam gereja Tuhan, dia dapat melemahkan orang-orang yang dipimpin sang pemimpin tersebut. Ketika seorang pemimpin gereja jatuh, kita bahkan dapat kehilangan saudara-saudari kita di dalam Kristus, yang meninggalkan Tuhan dan gereja-Nya secara total.

Jadi kita harus mendoakan para pemimpin gereja kita—selalu. Dan ketika mereka jatuh, kita seharusnya mendoakan mereka lebih lagi. Jangan biarkan sang musuh menang dan jangan masuk ke dalam taktiknya; jangan kita serahkan para pemimpin kita kepada sang musuh ketika mereka tersandung. Sebaliknya, kita dapat mengangkat mereka kembali kepada Yesus.

Para pendeta dan pemimpin gereja adalah sesama manusia sama seperti kita: mereka juga memiliki pergumulan-pergumulan di dalam hidup mereka, dan mereka juga menghadapi berbagai pencobaan sama seperti kita. Sama seperti keputusan-keputusan kita tidak menunjukkan siapa diri kita sesungguhnya, keputusan-keputusan yang buruk tidaklah menjadi identitas para pemimpin gereja kita—indetitas sejati kita ada di dalam Yesus. Benar, kita dapat membuat kesalahan dan dapat membuat keputusan-keputusan yang buruk, tapi kesalahan-kesalahan bisa jadi sebuah awal dari hubungan yang lebih erat dengan Yesus. Marilah berdoa agar kiranya hal itu yang terjadi bagi para pemimpin kita juga.

Ada di Samping Mereka

Ketika para pemimpin gereja kita jatuh, kita perlu hadir bagi mereka sebagai saudara-saudari yang juga pernah terjatuh. Ini adalah sebuah cara menunjukkan kasih bagi mereka. Kita dapat mendatangi mereka, berdoa bersama mereka, dan menolong mereka untuk pulih dari segala kekacauan sehingga mereka dapat bangkit kembali. Jangan menyingkirkan mereka dari hidup kita atau gereja kita, karena di saat-saat seperti ini, mereka membutuhkan Yesus lebih daripada segalanya.

Seorang teman pernah berkata kepadaku: “Suamimu bukanlah Tuhan. Dia akan membuat kekacauan dan dia akan menyakitimu, sama seperti kamu juga akan membuat kekacauan dan menyakitinya juga. Bagaimanapun juga, dia adalah manusia.” Nasihat ini telah memberikanku kekuatan untuk lebih berbelas kasih kepada suamiku, sama seperti dia yang juga telah berbelas kasih kepadaku. Hubungan kami bersama dengan Yesus membuat kami dan hubungan kami menjadi kuat; Yesus adalah satu-satunya Pribadi yang sempurna dan tidak bercela.

Aku percaya kita juga dapat mengaplikasikan hal ini bagi para pemimpin gereja kita. Mudah bagi kita untuk melihat mereka sebagai orang-orang yang tidak dapat jatuh dan orang-orang yang sempurna—kita tidak menyangka mereka dapat membuat kesalahan, dan kita lupa bahwa mereka bukan Tuhan. Kita lupa bahwa mereka adalah orang-orang yang cacat dan mereka akan membuat kesalahan, bagaimanapun juga mereka adalah manusia.

Maka ketika mereka membuat kesalahan, janganlah terkejut dan menahan-nahan kasih kita. Daripada lari dari mereka seakan mereka terlalu kotor, hampirilah mereka dan angkatlah mereka kepada Yesus. Lihatlah diri kita sendiri dan ingatlah bahwa kita juga tidak lebih bersih, namun Yesus mau berkorban bagi kita.

Yesus mengasihi para pemimpin gereja kita bahkan ketika mereka jatuh; Dia akan mengampuni mereka dan ada untuk mereka di masa-masa tergelap dalam hidup mereka. Kita juga dapat melakukan hal yang sama.

Baca Juga:

Karena Perubahan Ini, Doa-Doaku Begitu Cepat Dijawab Tuhan

“Dalam berdoa tidak jarang kita menyatakan undangan kepada Tuhan untuk datang dan berkarya dalam hidup kita. … Belakangan sebuah kesadaran menyentakku. Di balik kalimat yang tampaknya penuh kerendahan hati dan penyerahan diri itu, aku sedang menempatkan Tuhan pada posisi pembantu, bukan pemilik hidupku.”

Bagaimana Claudya mengubah doa-doanya? Temukan kesaksiannya di dalam artikel ini.

Aku Kecewa Dan Meninggalkan Gerejaku, Tapi Satu Hal Membuatku Kembali

aku-kecewa-dan-meninggalkan-gerejaku

Oleh Amy J.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I Hated The Youth Ministry

Setelah 6 tahun ada di Sekolah Minggu, aku merasa sudah tidak cocok lagi di sana. Menyanyi dengan bergaya yang aneh-aneh. Panggung boneka cerita Alkitab. Bahkan hadiah permen untuk menghafalkan ayat Alkitab mingguan sudah tidak menarik lagi buatku yang telah beranjak remaja.

Di sisi lain, komisi pemuda terlihat menarik. Beberapa kali, mereka datang untuk memimpin puji-pujian di kelas kami. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan sangat hidup dan bersemangat; mereka berpakaian rapi dan bernyanyi dengan penuh semangat. Singkat kata, aku menganggap mereka sangat keren.

Namun ketika akhirnya aku cukup dewasa untuk bergabung dengan mereka, aku hanya butuh waktu 3 minggu untuk sampai pada sebuah kesimpulan: Aku membenci komisi pemuda.

Di minggu pertama, gadis-gadis yang duduk di belakangku saling “membisikkan” komentar-komentar yang merendahkan tentang gaya berpakaian dan gaya rambutku yang tomboi. Di minggu kedua, teman baikku punya pacar dan mengabaikanku. Di minggu ketiga, aku tidak sengaja mendengar beberapa pembina pemuda berdiskusi tentang bagaimana “menghadapi” diriku yang “hiperaktif”. Menurut mereka, aku “tidak cocok” di komisi pemuda. Aku terlalu berisik dan mengganggu untuk mereka.

Jadi aku pergi meninggalkan mereka semua.

Beberapa bulan kemudian, aku kehabisan alasan untuk tidak datang ke kebaktian pemuda. Daripada mendengar ocehan ibuku, aku mulai mengunjungi kebaktian di gereja-gereja lain yang waktunya mirip-mirip dengan gerejaku. Setidaknya aku tidak berbohong ketika aku mengatakan kepadanya bahwa aku pergi ke gereja. Dan aku berharap bahwa pada akhirnya aku menemukan satu gereja yang cocok denganku—di mana aku akan dikasihi dan diterima sebagaimana adanya diriku.

Hal ini berlangsung selama sekitar satu setengah tahun. Mengunjungi gereja baru, menemukan teman-teman baru, menemukan masalah-masalah—siklus ini seakan terus berulang. Siklus ini tidak hanya membuat aku lelah, tapi juga mempengaruhi imanku kepada Tuhan. Apa yang tadinya terasa baru dan menarik kemudian menjadi melelahkan—sampai kepada sebuah titik di mana aku mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan imanku sepenuhnya.

Di saat inilah, ketika aku merasa ada di persimpangan, seorang pembina pemuda dari gereja asalku mengundangku untuk mengikuti sebuah kamp kepemimpinan Kristen. Dia telah mendengar dari seorang temanku tentang pergumulanku dalam perjalanan imanku dan penolakanku untuk kembali ke komunitas pemuda, maka dia tidak memaksaku. Yang dia lakukan adalah meyakinkanku bahwa kamp ini adalah kamp “eksternal” dan “interdenominasi”; hanya dua atau tiga orang lainnya dari gereja asalku yang mengikutinya. Awalnya aku menolak undangannya, namun kemudian aku memutuskan untuk mendaftarkan diriku setelah aku tahu bahwa beberapa teman-teman sekolahku juga mengikuti kamp itu.

Sejujurnya, aku tidak ingat lagi khotbah-khotbah yang disampaikan atau permainan-permainan yang dimainkan, namun ada satu sesi yang memberikan kesan yang begitu mendalam bagiku.

Pada malam kedua, ketika kami memasuki ruangan ibadah, kami terkejut ketika melihat panggung yang kosong dan banyak alat musik telah lenyap. Setelah menyanyi tiga lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar, kami diminta untuk tetap diam, dan membayangkan bahwa kami ada sendirian di dalam ruangan itu bersama dengan Tuhan, dan membaca apapun ayat Alkitab yang ada di pikiran.

Ini membuat banyak dari kami menjadi bingung. Pertama, menyanyikan lagu-lagu dengan hanya diiringi sebuah gitar adalah sebuah hal yang tidak biasa kami lakukan. Selain itu, karena kami ada di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan perkotaan, suasana menjadi sangat hening sampai-sampai kami dapat mendengar suara jarum yang jatuh. Keheningan ini membuatku tidak nyaman, dan setiap menit yang berlalu menjadi seakan satu jam.

Setelah sekitar setengah jam mencoba untuk tidak tertidur, angka “27” dan “4” tiba-tiba muncul di pikiranku. Aku tidak tahu kitab apa yang harus kubuka, jadi aku buka saja kitab Mazmur—tepat di tengah-tengah Alkitab.

Ini adalah ayat yang aku baca:

Satu hal telah kuminta kepada TUHAN,
itulah yang kuingini:
diam di rumah TUHAN seumur hidupku,
menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.
(Mazmur 27:4)

Ketika aku membaca kata-kata itu, aku langsung merasa tertegur. Apa sebenarnya yang menjadi alasanku pergi ke gereja? Siapa yang aku ingin lihat? Siapa yang aku sembah? Apa yang sebenarnya aku cari?

Tanpa kusadari, air mata mulai menggenangi mataku. Aku langsung berdiri dan menghampiri pintu. Di luar, aku duduk dan menangis dengan lepas.

Malam itu, melalui kata-kata di dalam Mazmur 27:4, Tuhan membukakan kepadaku bahwa apa yang menjadi alasanku dahulu untuk menghadiri kebaktian pemuda adalah salah. Tidak peduli berapa banyak kebaktian pemuda yang berbeda yang aku kunjungi dan tidak peduli berapa banyak gereja yang aku coba, aku tidak akan pernah menemukan komunitas pemuda yang “sempurna”.

Pada malam yang sama, aku mengakui keegoisanku dan kesombonganku kepada pembina grupku di kamp tersebut. Aku juga meminta pengampunan Tuhan—untuk kepahitan yang aku miliki terhadap mereka yang mengkritik atau mengabaikanku. Seketika itu juga, aku merasa tenang dan damai bersama dengan Tuhan; itu adalah rasa damai yang sudah lama sekali aku tidak rasakan.

Momen tersebut mengajarkanku bahwa gereja ada bukan untuk melayani apa yang menjadi keinginanku. Jemaat mula-mula berkumpul untuk berdoa, memuji Tuhan, dan belajar firman Tuhan. Kita juga dipanggil untuk melakukan hal yang sama, sehingga kita bisa mengenal Tuhan dengan lebih baik, menyembah Dia, dan memberitakan tentang Dia.

Seminggu kemudian, aku kembali ke gereja asalku dan mulai melayani sebagai seorang pemimpin kelompok kecil di komisi pemuda. Aku sudah melayani di sana selama 15 tahun hingga sekarang … dan masih terus kulakukan.

Artikel Lain:

Pergumulanku sebagai Seorang Kristen-Generasi-Kedua

Kesaksian dari seorang “Kristen-generasi-kedua” yang merasa semua hal yang berbau kekristenan sudah terlalu biasa dan membuatnya mati rasa. Namun sebuah lagu mengubahkan pandangannya dan membuatnya menyadari hak istimewa yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. Temukan kesaksian lengkapnya di dalam artikel ini.

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

4-Perbedaan-dari-Pendosa-di-Dalam-Gereja

Oleh Charles Christian

“No perfect people allowed.”
(“Orang sempurna dilarang masuk.”)

Ini adalah motto sebuah gereja yang aku rasa menarik. Motto ini mengingatkanku bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini—termasuk juga orang-orang yang ada di dalam gereja. Jika hanya orang-orang sempurna saja yang boleh masuk ke dalam gereja, gereja akan menjadi kosong, karena tidak ada seorangpun yang dapat memenuhi syarat itu.

Namun, banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja. Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

Ketika kita baru memasuki sebuah gereja, mudah bagi kita untuk berpikir bahwa gereja hanya berisi orang-orang baik yang mengasihi Tuhan, mengasihi sesama, dan membenci dosa. Namun, apakah mungkin itu karena kita melihat gereja itu dari jauh? Cobalah lihat lebih dekat, dan kita akan menyadari bahwa itu begitu berbeda dari yang kita pikirkan. Tidak ada gereja yang sempurna, karena Alkitab berkata bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Gereja berisi orang-orang yang berdosa. Ya, setiap dari kita adalah seorang berdosa.

Namun kalau begitu, mungkin kamu berpikir, kalau kita semua adalah orang-orang berdosa lalu apa bedanya mereka yang ada di dalam gereja dan mereka yang tidak ada di dalam gereja? Aku percaya para pendosa yang ada di dalam gereja menjadi berbeda karena 4 ciri berikut ini.

1. Para pendosa di dalam gereja mengakui bahwa mereka adalah pendosa

Di dalam Lukas 18:9-14, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang orang Farisi dan dengan pemungut cukai:

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:

“Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Di dalam cerita ini ada 2 orang—yang satu adalah seorang pengajar agama yang sangat dihormati, yang lain adalah seorang pemungut cukai yang dibenci banyak orang. Namun meskipun ada perbedaan status sosial yang begitu jelas di antara mereka, yang Yesus tekankan dalam perumpamaan tersebut adalah perbedaan respons mereka. Sang pemungut cukai mengetahui dan mengakui bahwa dia adalah seorang pendosa. Di sisi lain, sang Farisi berpikir bahwa dirinya begitu baik di hadapan Tuhan. Yesus membenarkan respons sang pemungut cukai, dan berkata bahwa dia “dibenarkan Allah”.

Orang-orang Farisi yang merasa diri mereka benar telah menjadi buta dan tidak menyadari bahwa mereka adalah “orang sakit” dan membutuhkan seorang tabib (Markus 2:17; Matius 9:12-13). Dan itu adalah sesuatu yang berbahaya yang beberapa dari kita—bahkan yang ada di dalam gereja—dapat jatuh jika kita tidak berhati-hati.

Apakah kita menyadari betapa dalamnya kita telah jatuh di dalam dosa dan maukah kita datang kepada Tuhan dengan pertobatan yang sepenuh hati?

2. Para pendosa di dalam gereja mengandalkan Tuhan

Para pendosa di dalam gereja percaya kepada Tuhan dan tahu bahwa mereka tidak dapat menyelamatkan diri mereka sendiri—hanya Tuhan satu-satunya yang dapat menyelamatkan mereka.

Kita hidup di dalam kebergantungan kepada Tuhan, yang juga berarti jujur dalam mengungkapkan pergumulan-pergumulan terdalam dan tergelap kita kepada-Nya dan senantiasa datang kepada Tuhan untuk memohon pertolongan dan pengampunan-Nya.

St. Teresa dari Avila, seorang biarawati Spanyol di abad ke-16, pernah berdoa kepada Tuhan dengan sebuah kejujuran yang luar biasa: “Oh Tuhan, aku tidak mengasihi-Mu, aku bahkan tidak ingin mengasihi-Mu, tapi aku ingin untuk punya keinginan untuk mengasihi-Mu!”

Apakah kita mengungkapkan isi hati kita dengan jujur kepada Tuhan dan mengandalkan Dia setiap hari?

3. Para pendosa di dalam gereja berjuang melawan dosa setiap hari

Kita tidak imun terhadap dosa. Kita masih dapat jatuh ke dalam dosa, namun kita terus kembali dan bertobat, dan terus berjuang melawan dosa. Ini bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Tuhan memperingatkan kita untuk berjaga-jaga, karena lawan kita, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya (1 Petrus 5:8).

Hanya ketika kita mengandalkan Tuhan dan terus dekat dengan-Nya, kita dapat mengalahkan godaan-godaan yang ada dalam hidup kita sehari-hari. Dan setiap kali kita jatuh, kita dapat—dengan anugerah Tuhan—bangkit kembali.

Apakah kita berjuang melawan dosa setiap hari dan meminta kekuatan daripada Tuhan untuk melepaskan dosa-dosa kita?

4. Para pendosa di dalam gereja mengasihi pendosa-pendosa lainnya

Para pendosa di dalam gereja tahu bahwa Tuhan mengasihi pendosa-pendosa lainnya sama seperti Dia mengasihi kita. Dan karena Tuhan mengasihi pendosa-pendosa lainnya, kita juga mengasihi mereka. Kita tidak menghakimi kesalahan mereka atau mengabaikan mereka. Namun, kita berdoa untuk mereka, mengingatkan mereka di dalam kasih, dan membantu mereka untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi orang yang lebih baik.

Apakah kita mengasihi sesama kita seperti Tuhan mengasihi kita?

Penulis Morton Kelsey berkata: “Gereja bukanlah museum untuk orang-orang kudus tapi rumah sakit untuk para pendosa.” Bukankah benar demikian? Tapi jangan berhenti sampai di sana. Karena apa yang telah Yesus lakukan, kita bukan hanya para pendosa di dalam gereja, kita adalah para pendosa yang telah diselamatkan di dalam gereja.

Sharing: Bagaimana Gereja Dapat Menjadi Garam dan Terang bagi Lingkungan Sekitarnya?

WarungSaTeKaMu-Sharing-201605

Menurutmu, bagaimana gereja dapat menjadi garam dan terang bagi lingkungan sekitarnya?  Yuk sharingkan dalam kolom komentar berikut ini…