Posts

5 Tips Mengikuti Ibadah Online

Setahun setelah pandemi berlangsung, kita masih harus melakukan ibadah secara daring di rumah. Meskipun tidak hadir secara fisik di gedung gereja, ibadah daring tetaplah ibadah. Yuk simak tips-tips sederhana ini supaya ibadah kita tetap khusyuk.

Saat Ibadah Menjadi Online, Apakah Hati Kita Connect pada Tuhan?

Oleh Zefanya Christiady Nugroho, Yogyakarta

Minggu, 15 Maret 2020 adalah hari bersejarah bagi orang Kristen di Indonesia. Untuk mencegah penularan virus, peribadahan di gedung gereja ditiadakan. Sebagai gantinya, jemaat dipersilakan untuk beribadah sendiri di rumah bersama keluarga atau kelompok kecil. Beberapa gereja memfasilitasi peribadahan dengan menyediakan layanan streaming via kanal YouTube gereja.

Ibadah minggu yang menjadi online ini memicu pro dan kontra. Aku sendiri tidak mempermasalahkan. Gereja online bukanlah kemunduran spiritualitas jemaat dalam beriman, melainkan bisa jadi sarana baru bagi jemaat untuk menemukan spiritualitasnya kembali. Aku ingat, saat kita masih bebas beribadah di gedung gereja, pendeta atau pemimpin ibadah berkali-kali mengingatkan jemaat untuk tidak fokus ke HP. Silent HP-mu! Fokus pada ibadah, pada Allah! Eh, sekarang kita malah jadi “fokus” ke HP karena mau tidak mau ibadah via streaming harus melihat layar. Aku sempat berpikir, “Tuhan, apakah Engkau lagi bercanda?”

Kaum muda di gereja pun jadi terpanggil untuk berkarya lebih. Generasi yang familiar dengan teknologi bisa menolong generasi senior agar streaming bisa berlangsung. Hal positif lainnya adalah, masuknya peribadatan dalam dunia online bisa jadi menjangkau lebih banyak orang. Entah itu kelompok kecil, kebaktian, atau PA online. Mungkin jemaat yang sudah lama undur diri atau terpisah jarak bisa lebih mudah untuk terhubung kembali.

Masalah ketika ibadah menjadi online

Namun, gereja online juga bukan tanpa kelemahan. Pertama, tatap muka secara fisik di satu tempat tidak bisa tergantikan kualitasnya. Di ibadah online, tidak ada yang tahu apakah kita sudah mempersiapkan diri dan hati dengan baik. Apakah kita tetap mengenakan pakaian yang rapi sebagai sikap menghormati Tuhan? Apakah kita sungguh fokus pada ibadah di saat notifikasi-notifikasi lain dengan mudahnya masuk? Kemudian, jika ibadah online terus dilakukan setelah pandemi selesai, apakah kita tergerak kembali untuk membayar harga datang ke gedung ibadah, atau memilih ibadah streaming dengan alasan sibuk?

Kedua, apakah gereja-gereja lokal masih mendapat tempat, mengingat minimnya sarana dan prasarana yang mendukung untuk mengadakan ibadah online? Apakah ada akses yang cukup bagi jemaat yang ingin, tetapi tidak mampu terkoneksi? Lalu, bilamana kita sudah puas dengan beberapa pengkhotbah favorit di kanal tertentu yang telah kita subscribe, apakah kita menemukan kenikmatan kembali mendengar pendeta di gereja lokal kita memberitakan Firman? Ketiga, jika peribadatan online terus dilakukan adalah gereja berisiko menempatkan umat sebagai audiens dan konsumen murni. Jemaat bisa jadi pasif dan transaksional. Selama merasa firman Tuhan yang dibawakan bagus, kebutuhan emosional terpenuhi, memberi persembahan, lalu selesai. Sebaliknya, gereja beresiko fokus pada viewers dan persembahan sebagai indikator keterlibatan jemaat. Sementara pandemi virus COVID-19 berlangsung, peribadatan online adalah hal yang baik. Tetapi, saat pandemi ini usai, kita perlu memikirkan kembali bagaimana ibadah komunal yang seharusnya.

Meski demikian, masalah-masalah yang kusebutkan di atas tak murni terjadi di gereja online. Di gereja offline pun bisa saja terjadi. Kita bisa saja datang ke gereja hanya karena merasa lagu-lagu yang dinyanyikan enak, atau khotbahnya bagus. Pun saat datang ke gereja, bisa pula pikiran kita tak fokus. Ketika bicara soal pertumbuhan iman, gerejaku mungkin juga gereja kita mentok di program. Pertumbuhan iman identik dengan program yang berjalan baik dan diikuti banyak orang. Makin ramai makin bagus. Kesehatian diukur dari kekompakan dan manajemen yang rapi. Bahkan, konflik dan luka batin cenderung diabaikan, serta kualitas karakter seseorang dinilai dari kerajinannya di gereja atau persekutuan.

Memikirkan kembali esensi beribadah

Kita perlu melihat kembali bagaimana gereja pada masa Rasul Paulus dahulu. Dalam suratnya di 1 Korintus 3:11-13, Paulus menuliskan demikian:

“Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.”

Dasar kita bergereja adalah Kristus sendiri. Gereja seharusnya menjadi “bangunan” yang stabil, kuat, dan di dalamnya bangsa-bangsa masuk memuliakan Allah. Di atas dasar itu, kita semua disusun sebagai material bangunan yang secara komunal, memberikan kontribusi terhadap kokohnya bangunan itu. Paulus memberikan gambaran material itu bisa terdiri dari jerami, emas, dan sebagainya. Tetapi, semuanya itu akan diuji dengan api, misalnya situasi pandemi saat ini bagiku adalah ujian untuk kualitas persekutuan kita: apakah selama ini aku hanya sebatas ikut-ikutan, atau benar-benar ikut Kristus sebagai murid-Nya? Karena itu, semoga setelah pandemi ini selesai, kita bisa lanjut membangun gereja atau persekutuan kita dari sisi kualitas manusianya, bukan kualitas gedung fisik dan medsos atau kanal video gereja. Misalnya dengan menggerakkan ibadah keluarga dan kelompok kecil, seperti yang terjadi selama pandemi ini. Gereja adalah kita, “bangunan” yang terdiri dari manusia yang semakin hari semakin terkoneksi satu sama lain oleh kasih Tuhan. Gedung atau media sosial adalah sarana pertemuannya.

Hadirnya pandemi COVID-19 di satu sisi bisa jadi merupakan cara untuk menguji kesatuan kita sebagai orang Kristen. Dalam Yohanes 17:23, tertulis demikian: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Alih-alih berfokus pada perbedaan, pandemi ini bisa jadi cara untuk orang Kristen menunjukkan kasih. Di saat masker menjadi langka dan orang-orang membeli dalam jumlah banyak untuk kepentingan pribadi, apakah gereja mampu menyediakannya kepada mereka yang tak mampu mendapatkannya? Seraya kita membagikannya, kita bisa turut menceritakan kisah kasih Allah bagi tetangga maupun orang-orang lain seraya mengindahkan instruksi kesehatan yang berlaku. Saat ada lansia yang sakit, apakah gereja turut hadir menjadi penolong?

Kiranya kita bisa melihat hadirnya gereja online tak cuma sebatas boleh dan tidak, tetapi mengevaluasi diri kita sendiri. Sudahkah kita berusaha menjadi gereja yang terkoneksi dengan masyarakat dan menjadi berkat bagi sekitar kita?

Yuk gunakan masa-masa social distancing ini sebagai momen untuk beristirahat sejenak dari kesibukan pelayanan. Jika terdapat konflik dalam relasi kita di gereja, mungkin ini jugalah momen yang tepat untuk berdamai. Nikmatilah pemeliharaan Allah dalam hidup kita dan fokus pada doa, sesuatu yang mungkin juga kita lupakan selama ini karena disibukkan dalam banyak program atau acara gereja.

Baca Juga:

Refleksi Mazmur 91: Belajar Memahami Janji Tuhan dengan Benar

Belakangan ini Mazmur 91 menjadi diskusi hangat. Ada yang menafsirkan bahwa mazmur tersebut menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya. Namun, apakah benar begitu?

Untuk memahaminya, kita perlu belajar untuk mencerna teks Alkitab dan memahami janji Tuhan dengan benar.

Ibadah Online, Salah Satu Kontribusi Gereja Redakan Pandemi Covid-19

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Dampak virus corona Covid-19 semakin meluas. Hampir semua area merasakan dampaknya. Salah satunya adalah ibadah hari Minggu. Sebagian gereja, baik di Indonesia maupun luar negeri (Singapura, Hong Kong, dan lainnya) sudah tidak lagi mengadakan pertemuan bersama di gedung gereja. Mereka mulai melakukan ibadah secara online (live streaming atau recorded sermon). Beberapa menawarkan beberapa opsi ibadah yang beragam sekaligus, tergantung pada preferensi jemaat masing-masing.

Fenomena ini menimbulkan pro dan kontra. Sudah banyak jemaat, hamba Tuhan, gereja maupun sinode yang menanyakan pendapatku tentang hal ini. Gerejaku di Surabaya juga menggumulkan isu yang sama.

Apakah ibadah online boleh ditiadakan hanya gara-gara sebuah wabah? Perlukah ibadah konvensional (secara tatap muka) tetap dipertahankan? Bagaimana pandangan Alkitab tentang hal ini?

Untuk memahami isu ini dengan baik, kita perlu menegaskan terlebih dahulu alasan utama di balik wacana penghentian ibadah konvensional. Wacana ini seharusnya didorong oleh keinginan untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat, bukan ketakutan akan tertular virus ini. Seperti yang sudah diberitakan berkali-kali oleh instansi-instansi yang berwenang, menghindari pertemuan dalam skala besar merupakan salah satu langkah penting dan efektif untuk menekan persebaran Covid-19. Semakin sering pertemuan dilakukan dan semakin banyak orang yang terlibat, semakin besar pula risiko persebaran virusnya. Jika ini yang terjadi, gelombang pandemi ini tidak akan kunjung mereda. Jumlah korban jiwa akan terus bertambah. Rumah sakit di Indonesia tidak akan memiliki kapasitas ruangan dan tenaga perawatan yang memadai untuk menolong para korban. Berbagai estimasi ilmiah menunjukkan bahwa jika situasi tidak berubah, kekacauan akan muncul semakin besar.

Di tengah situasi seperti ini, gereja-gereja seharusnya terpanggil untuk memberikan kontribusi nyata. Bukan hanya slogan-slogan rohani yang menguatkan hati, tetapi sebuah langkah konkrit. Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh gereja. Salah satunya adalah mengkaji ulang pengadaan ibadah konvensional. Aku meyakini bahwa upaya ini tidak melanggar firman Tuhan.

Pertama, pembatasan sosial (social distancing) merupakan himabuan pemerintah yang baik. Sebagai warga negara yang baik, kita tidak memiliki alasan untuk tidak menaati himbauan yang baik seperti ini (Roma 13:1-7). Selain itu, Tuhan juga memerintahkan umat Allah untuk mengusahakan kesejahteraan kota di mana Tuhan membuang mereka (Yeremia 29:7). Mengurangi jumlah pertemuan dan jemaat yang hadir dalam ibadah-ibadah konvensional merupakan tanggung jawab sosial bagi semua masyarakat, termasuk orang-orang Kristen. Tidak menghiraukan himbauan ini akan memberikan pesan negatif kepada dunia bahwa orang-orang Kristen tidak memiliki kepekaan sosial. Sekali lagi, ini bukan tentang ketakutan atau kelemahan iman. Sama sekali tidak. Ini tentang kepedulian dan kontribusi bagi masyarakat.

Kedua, hari Sabat bukan alasan untuk tidak berbuat kebaikan. Tuhan Yesus sering berdebat dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat tentang pelaksanaan Sabat. Walaupun sama-sama menerima perintah untuk menghormati hari Sabat, mereka berbeda pendapat tentang aplikasi detailnya. Tradisi Farisi membuat pelaksanaan Sabat begitu rumit. Ada banyak aturan tambahan. Tuhan Yesus beberapa kali bersilang pendapat dengan mereka tentang aturan-aturan itu. Suatu kali mereka memersoalkan murid-murid yang memetik bulir gandum untuk dimakan pada hari Sabat (Matius 12:1-8). Yesus membenarkan tindakan murid-murid sambil memberikan contoh bagaimana Daud dan para pengikutnya telah melanggar sebuah aturan ibadah demi mempertahankan jiwa mereka (Markus 2:25-26). Yesus bahkan menegaskan bahwa hari Sabat diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya (Markus 2:27). Maksudnya, jangan sampai “ketaatan” pada aturan relijius atau ritual tertentu justru mengabaikan yang terpenting, yaitu nyawa manusia. Poin ini juga diajarkan oleh Yesus ketika Dia menyembuhkan orang atau melakukan kebaikan lain pada hari Sabat (Matius 12:10-13). Intinya, sekali lagi, jangan sampai perayaan Sabat menghalangi kita untuk berbuat kebaikan.

Ketiga, pertimbangan historis tentang esensi ibadah memberi ruang bagi ibadah yang tidak konvensional. Ada banyak contoh historis yang relevan dan bisa dipaparkan di sini. Cukuplah untuk melihat beberapa saja. Yang pertama adalah kehancuran bait Allah Salomo oleh tentara Babel. Selama berabad-abad umat Allah (terutama kerajaan Yehuda di selatan) menjadikan bait Allah di Yerusalem sebagia kebanggaan dan pusat ibadah. Elemen-elemen ibadah penting dilakukan di sana: persembahan kurban, hari raya pendamaian, dan sebagainya. Dengan kehancuran bait Allah, bangsa Yehuda dipaksa untuk memikirkan ulang esensi ibadah mereka. Yang terpenting dalam ibadah bukanlah persembahan, tetapi ketaatan (1 Samuel 15:22). Pembuangan ke Babel menghadirkan pergeseran besar yang lebih baik dalam ibadah umat Tuhan: fokus pada ritual (persembahan kurban) bergeser pada ketaatan (pengajaran firman). Ibadah bersama dalam skala besar sekarang menjadi ibadah dalam skala yang lebih kecil. Para ahli bahkan menduga pembuangan ke Babel ini menjadi cikal-bakal berdirinya rumah ibadat Yahudi (sinagoge) yang lebih berfokus pada pengajaran hukum Taurat.

Contoh historis lainnya adalah sebuah isu peperangan dalam pemberontakan Makabe melawan penguasa Siria (dinasti Seleukus). Perjuangan bangsa Yahudi di bawah kepemimpinan keluarga imam Matatias (terutama di bawah pimpinan Yudas Makabe) terus meraih kesuksesan. Mereka menjadi ancaman serius bagi penguasa asing. Nah, salah satu strategi musuh untuk melemahkan perjuangan ini adalah dengan menyerang pasukan Makabe pada hari Sabat. Awalnya, bangsa Yahudi menolak untuk melawan, sehingga banyak korban berjatuhan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memberikan perlawanan, sekalipun hal itu tergolong pelanggaran Sabat menurut tradisi populer pada waktu itu. Mereka menyadari bahwa ada hal-hal lain yang lebih penting daripada ketaatan kaku terhadap hari Sabat.

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana umat Allah bersikap pada saat situasi khusus yang buruk. Mereka dipaksa untuk memikirkan ualng esensi dari segala sesuatu. Mereka menggumulkan kembali apa yang penting dan apa yang lebih penting.

Keempat, konsep teologis tentang gereja dan tradisi gereja mula-mula juga memberi tuntunan yang cukup jelas. Gereja adalah orang, bukan bangunan (1 Korintus 1:2). Di mana umat Tuhan berkumpul, di situ ada gereja. Yang penting adalah kehadiran Allah, bukan rumah Allah secara fisik. Tidak heran, tempat ibadah jemaat mula-mula cukup variatif. Kadang di bait Allah, di rumah ibadat Yahudi mapun di rumah-rumah jemaat (Kisah Para Rasul 2:42-47). Jumlah kehadiran di setiap ibadah terbatas.

Praktik seperti ini terus dipertahankan di periode berikutnya, terutama pada saat penganiayaan terhadap orang-orang Kristen semakin meningkat dan meluas. Mereka harus berkumpul dalam skala kecil dan sembunyi-sembunyi supaya tidak ketahuan. Mereka menggunakan gaya ibadah dan liturgi yang beragam, sesuai dengan keadaan. Yang terpenting bagi mereka adalah persekutuan dengan orang percaya yang lain, tidak peduli berapa pun jumlahnya, tidak peduli bagaimana suasana ibadahnya, tidak peduli di mana tempatnya.

Kelima, persekutuan orang Kristen tidak dibatasi oleh lokasi. Yang disebut gereja adalah semua orang di segala tempat yang memanggil nama Yesus sebagai Tuhan (1 Korintus 1:2). Ini disebut gereja universal. Kristus sebagai Gembala Agung. Yang dipentingkan dalam persekutuan ini adalah kesehatian. Lokasi bukanlah halangan. Sebagai contoh, Paulus mengajak jemaat di Korintus untuk bersatu dengan dia dalam roh dan mengambil keputusan bersama tentang suatu kasus di jemaat (1 Korintus 5:3-5). Perbedaan lokasi tidak menghalangi Paulus untuk hadir secara rohani atau berkumpul di dalam roh. Dengan cara yang sama, ibadah online, terutama dalam kondisi khusus, tetap bisa mengakomodasi persekutuan.

Berdasarkan semua pertimbangan di atas, aku mengsulkan gereja-gereja untuk secara serius menjauhi pertemuan ibadah dalam jumlah besar. Ini adalah tanggung jawab sosial kita. Dunia sedang mengawasi kita. Jangan sampai kita menjadi syak atau batu sandungan bagi orang lain.

Secara lebih spesifik dan praktis, aku mengusulkan agar gereja-gereja menawarkan beragam opsi ibadah sekaligus supaya dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi jemaat. Berikut ini beberapa tips praktis yang bisa dilakukan:

Yang pertama tentu saja adalah menyediakan ibadah online. Jika peralatan memadai dan kecepatan internet kencang serta sudah terbiasa, gereja bisa mengadakan ibadah live streaming. Pastikan saja bahwa proses mengunggah berkas dan mengunduhnya berjalan dengan cepat dan mulus. Jangan sampai terjadi masalah teknis (jaringan lambat atau crash). Jika live streaming tidak memungkinkan, ibadah yang sudah direkam terlebih dahulu bisa menjadi pilihan. Rekaman ini lalu diunggah ke internet (ada banyak pilihan), dan tautan diinfokan ke jemaat pada Hari Minggu pagi (atau sesuai jam ibadah).

Gereja juga perlu memikirkan sejumlah lokasi berbeda bagi jemaat yang ingin bersekutu dalam skala kecil. Semakin banyak pilihan lokasi semakin sedikit jumlah jemaat yang akan berkumpul di tempat yang sama. Ini sangat baik untuk mengurangi resiko persebaran. Gedung gereja tetap bisa dijadikan sebagai salah satu pilihan lokasi. Jika pimpinan gereja tetap mengadakan ibadah seperti biasa di gereja, hal itu tidak masalah, karena jumlah jemaat yang hadir juga tidak akan banyak. Mereka sudah tersebar ke berbagai lokasi. Jangan lupa untuk melakukan pembersihan ruangan dan peralatan secara maksimal, baik di gereja atau setiap lokasi persekutuan yang lain.

Jika sebuah gereja memiliki pemimpin awam yang banyak, mereka bisa diminta untuk menyampaikan firman Tuhan di persekutuan kecil sesuai lokasi masing-masing. Jika tidak memungkinkan, setiap persekutuan bisa menonton ibadah streaming/rekaman bersama-sama.

Opsi terakhir yang perlu dipikirkan adalah ibadah keluarga. Setiap keluarga didorong untuk mengadakan ibadah Minggu sendiri-sendiri. Para rohaniwan bisa menyediakan liturgi dan ringkasan khotbah yang dapat dijadikan patokan bagi setiap keluarga. Jika kepala keluarga tidak pandai berkhotbah, dia bisa membacakan saja ringkasan yang ada. Bila perlu, ajak semua anggota keluarga untuk mengikuti ibadah online bersama-sama.

Kiranya artikel ini bisa memberikan sepercik pencerahan bagi banyak orang yang mengalami kebingungan dan keresahan. Aku meyakini bahwa situasi khusus yang terlihat buruk ini justru merupakan ajakan yang baik dari TUHAN kepada gereja-gereja untuk merenungkan kembali hakikat gereja dan ibadah. Apakah selama ini kita terlalu asyik dengan tradisi dan kenyamanan beribadah sehingga sukar untuk memikirkan sesuatu yang baru? Apakah kita selama ini telah mengabaikan bahwa gereja adalah orang, bukan bangunan? Persekutuan, bukan sekadar perkumpulan? Apakah kita serius menghidupi slogan “gereja adalah keluarga besar dan keluarga adalah gereja kecil”?

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang penulis:

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini

Baca Juga:

Mengapa Kita Perlu Menunda Pertemuan Fisik?

Mengapa orang-orang Kristen perlu menunda aktivitas pertemuan selama masa-masa pandemi virus Covid-19? Apakah karena kita kekurangan iman bahwa Tuhan akan melindungi kita?