Posts

Hai Si Overthinking, Belajarlah dari Burung-Burung di Langit

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“Lu kerjaannya overthinking mulu.”

Kata-kata seperti itu cukup sering diberikan kepadaku. Entah mengapa, namun aku memang suka memikirkan banyak hal yang padahal belum tentu terjadi. Kadang aku bertanya-tanya, apakah salah kalau aku suka memikirkan hal yang jauh di masa mendatang? Bukannya lebih baik kita memikirkan hal-hal tersebut sekarang supaya kita punya lebih banyak waktu untuk mempersiapkannya? Aku bukannya takut tetapi merasa harus lebih waspada saja, pikirku.

Pemikiran itu mendorongku untuk mengisi hari-hariku sebagai mahasiswa dengan belajar keras, maksudku supaya aku bisa mempersiapkan masa depan sebaik mungkin. Tapi, usaha yang didorong oleh rasa takut itu rasanya memang tidak enak. Bukannya puas karena sudah mempersiapkan sesuatu, aku malah masih saja berpikir kalau aku tertinggal jauh dari orang lain. Melihat orang lain yang mampu memperoleh segudang prestasi membuat aku lagi-lagi rendah diri dan merasa belum berusaha lebih keras. Aku mencoba mengikuti berbagai perlombaan, berharap bisa seperti temanku yang mampu berprestasi. Namun, tetap saja aku tidak bisa seperti dia. Lagi-lagi pikiran tentang masa depan menghantuiku. Kalau begini, aku mau jadi apa nantinya?

Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya belum pasti jawabannya membuat kepalaku pusing tiap malam. Kekhawatiran, kecemasan, benarkah aku mengalaminya? Atau seperti yang aku katakan, aku hanya sedang waspada dan mempersiapkan masa depan?

Suatu pagi, ketika aku hendak menuju kampus, di balik pepohonan rindang aku melihat beberapa ekor burung berkicauan. Aku mengamatinya sejenak, lalu burung-burung itu pergi bersamaan, membentuk suatu formasi di langit pagi, kemudian terbang melesat. Sejenak aku kagum, namun aku pun bergegas pergi agar tidak terlambat masuk kelas. Di sore harinya, aku hendak pulang dari kampus dan melewati tempat yang sama yang kulewati di pagi hari. Kemudian aku mendengar kicauan burung, lalu aku melihat di langit formasi yang sama seperti yang tadi pagi burung-burung itu lakukan. Aku memperhatikan bagaimana sekawanan burung terbang dengan formasi yang indah di langit, kemudian hinggap di antara pepohonan rindang dan masuk ke dalam sarangnya. Entah mengapa, pemandangan itu membuat hatiku menghangat dan rasanya tenang.

Pengalaman sederhana ini meneguhkanku bahwa Tuhan sedang berbicara. Melihat bagaimana burung-burung tersebut pergi dari sarangnya untuk mencari makanan di pagi hari, kemudian pulang kembali ke sarangnya di sore hari setelah mendapatkan makanan, dan begitu setiap harinya. Burung-burung tersebut memang tidak memiliki otak secerdas manusia, namun mereka tidak pernah khawatir tentang apa yang akan terjadi di esok hari, tentang apakah makanan mereka tersedia di esok hari. Yang mereka tahu di pagi hari mereka akan terbang ke tempat di mana mereka menemukan makanan, kemudian pulang kembali ke sarangnya. Jika makanan tidak ada di satu tempat, masih banyak tempat yang dapat mereka datangi, jadi mengapa harus khawatir?

Sejenak itu membuatku menyadari betapa pikiranku begitu sempit daripada burung-burung tersebut yang bahkan tidak lebih pintar dari manusia.

Cerita tentang aktivitas burung-burung juga mengingatkan kita pada firman Tuhan di Matius 6:26, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukanlah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”

Kita memang perlu memikirkan masa depan, namun hendaknya kita tidak menjadikan pemikiran itu sebagai alasan untuk memaksakan diri, bahkan tidur pun menjadi tidak tenang. Amsal 23:18 berkata, “Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.”

Jika Tuhan sendiri sudah berjanji demikian, mengapa kita masih saja khawatir akan masa depan? Hidup itu bukan perlombaan di mana kita harus berlari secepat mungkin untuk meraih masa depan yang indah. Tuhan sudah menetapkan anak-anak-Nya sebagai pemenang. Pemenang bukan tentang siapa yang paling cepat mencapai garis finish, namun tentang siapa yang mampu melewati segala rintangan dan bertahan hingga pada akhirnya ia berhasil mencapai tujuan hidupnya. Seperti bunga di taman yang mekar pada waktunya, demikian pula kita akan memperoleh sesuatu yang indah itu pada waktunya. Tidak masalah jika prosesnya lama, toh semua bunga juga memiliki waktu yang berbeda untuk memperlihatkan mahkotanya. Bukan tentang seberapa cepat waktu mekarnya, namun tentang keindahan yang ditunjukkannya ketika waktunya tiba.

Semua hal di dunia ini ada waktunya. Apakah dengan overthinking akan membuat hari esok jadi lebih baik atau membuat kita mengetahui bagaimana masa depan kita?

Aku akhirnya menyadari, overthinking tidak akan membantu kita untuk mempersiapkan segala hal dan mencapai masa depan yang indah. Overthinking justru menjadi penghambat untuk kita menjalani hidup dan malah menyakiti diri kita dengan pikiran-pikiran tentang hal yang belum tentu terjadi. Tuhan sendiri sudah meyakinkan kita untuk tidak perlu khawatir akan apa pun yang akan terjadi di masa depan.

Bukankah sudah seharusnya kita percaya pada-Nya?

Mengatasi Kegelisahan

Hari ke-23 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:6

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Bagiku, kedamaian adalah hal yang amat sulit dicerna pikiran. Aku mengerti konsepnya, tetapi aku belum pernah benar-benar merasakannya.

Lulus dari politeknik dengan nilai pas-pasan, aku takut tidak dapat diterima di universitas manapun. Aku menuliskan kata demi kata dalam esai sebagai syarat pendaftaran universitas dengan diiringi perasaan khawatir akan ketidakpastian. Air mata membasahi wajahku saat menyadari betapa kurangnya aku dibandingkan dengan teman-temanku yang berhasil meraih nilai memuaskan, ditambah lagi dengan pencapaian gemilang dalam ekstrakulikuler.

Aku tahu Tuhan itu baik dan setia. Namun tetap saja, rasanya tidak ada harapan bagi situasi yang sedang kualami. Jangankan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, menenangkan diriku sendiri untuk berdoa saja aku tidak bisa.

Aku duduk di sofa hitam yang dingin, menunggu dipanggil untuk diwawancarai oleh pihak dari salah satu universitas yang kudaftarkan. Aku sangat takut. Aku merasa sulit bernapas. Sebuah ayat yang pernah kuhafalkan ketika masih anak-anak, Filipi 4:6-7, muncul di pikiranku. Kurenungkan ayat itu dan kuucapkan dalam hati. Lama kelamaan, pernapasanku menjadi lebih stabil dan aku pun berdoa. Saat aku menumpahkan semua perasaanku kepada Tuhan, damai sejahtera-Nya membasuhku. Ketenangan yang seperti itu belum pernah kurasakan lagi semenjak lima bulan yang lalu, ketika aku mulai mendaftarkan diri ke universitas.

Rasul Paulus menyatakan perintah yang absolut kepada jemaat Filipi, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga”. Tidak ada kata “tetapi”, “jikalau”, atau pengecualian apapun. Meskipun Paulus sempat dipenjara (Filipi 1:13) sampai jemaat Filipi diterpa ajaran-ajaran sesat (3:2), Paulus tetap mendorong mereka untuk tidak mengizinkan hal-hal tersebut mengalihkan atau menjauhkan mereka dari sukacita kekal di dalam Kristus.

Apakah yang memberikan Paulus keberanian untuk mengatakan hal itu dengan segenap keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi? Yesus sendiri yang memerintahkan kita tiga kali dalam Matius 6 untuk tidak menyerah pada kekhawatiran dan kegelisahan (ayat 25, 31, dan 34). Kita tidak perlu khawatir karena sebuah kebenaran: Tuhan memedulikan kita dan Ia akan memenuhi semua kebutuhan kita.

Memerangi kegelisahan jauh lebih mudah untuk dikatakan daripada dilakukan. Namun, Paulus memiliki satu anjuran yang sederhana untuk kita lakukan: berdoa. Apabila kita percaya sepenuhnya akan kedaulatan Tuhan dalam segala situasi, kita dapat menyerahkan keadaan kita kepada-Nya. Percayalah bahwa Ia akan “bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28).

Paulus mendorong kita untuk berdoa dengan “ucapan syukur” bukan hanya ketika kita membutuhkan sesuatu dari Tuhan, tetapi “dalam segala hal”. Memiliki sikap bersyukur sangatlah penting. Dengan bersyukur, kita diingatkan bahwa Tuhan sudah mengaruniakan kepada kita hadiah terindah yang akan memberikan kita kepuasan sejati: Yesus, putra tunggal-Nya. Apapun selain daripada-Nya, tidak lagi kita butuhkan dan tidak layak kita dapatkan. Ungkapan syukur datang dari sebuah kesadaran bahwa semua yang kita miliki dari Tuhan murni karena kasih karunia-Nya. Kita pun akan dimampukan untuk melihat dengan penuh kerendahan hati bahwa Tuhan tidak berkewajiban untuk memberikan kita segala hal yang kita minta, Ia justru telah menyediakan semua yang kita butuhkan dalam kelimpahan. Dengan pemahaman itulah kita dapat benar-benar bersukacita (ayat 4).

Ketika aku menghadap Tuhan dengan sikap bersyukur dan menyatakan keinginanku kepada-Nya, aku merasa lebih mudah untuk melepaskan kegelisahan. Doa harus menggantikan posisi kekhawatiran dalam hidup kita. Doa meluruskan kembali pikiran dan perilaku kita, lalu mengembalikan hadiah berharga yaitu kedamaian sejati yang datangnya hanya dari Tuhan.

Pada akhirnya, aku tidak berhasil lolos seleksi di jurusan yang kuinginkan. Tetapi, aku menerima hal lain yang jauh lebih berharga dari hal yang sebelumnya kuinginkan. Aku memperoleh pembelajaran bahwa ketika aku menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan, Ia akan menjaga hati dan pikiranku dengan damai yang memberi ketenteraman. Tuhan sungguh-sungguh memegang kendali. Ia menggenggam kita erat-erat dengan tangan-Nya, dan Ia takkan pernah meninggalkan kita. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Aku harap kamu dapat merasakan hal yang sama.—Constance Goh, Singapura

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang kamu lakukan ketika kamu sedang gelisah? Apakah kamu menyerahkan segala kekhawatiranmu kepada Tuhan, “dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”?

2. Bagaimanakah sikap penuh syukur dapat mengubah perspektif kita terhadap situasi yang kita hadapi?

3. Catatlah hal-hal yang membuatmu gelisah belakangan ini. Dengan tuntutan dari Paulus dalam ayat hari ini, tuliskanlah dengan sepenuh hati doamu secara pribadi kepada Tuhan.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Constance Goh, Singapura | Constance merasa amat senang ketika dia bisa bekerja bersama anak-anak dan menikmati segelas bubble tea. Firman Tuhan itu manis, menjadi pengingatnya setiap hari akan kasih setia Tuhan bagi anak-anak-Nya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi