Posts

Dilema Circle Pertemanan: Antara yang Menyenangkan dan yang Membangun

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Hei!” Elva berteriak pelan sambil menepuk kedua tangannya di depan wajahku. Aku yang sedang terkantuk-kantuk langsung terkejut setengah mati.

“Udah ngantuk aja, neng, pagi-pagi gini! Tadi datang hampir telat pula.”

Aku hanya menguap menanggapinya, kemudian kembali berusaha konsentrasi dengan layar laptopku.

Elva geleng-geleng lalu berjalan melewati meja kerjaku. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa dua gelas kopi dan meletakkan salah satunya di sebelah laptopku. Ia pun duduk di bangkunya. Tidak perlu waktu lama, aku langsung meraih gelas kopi itu.

“Aku cuma tidur dua jam tadi,” kataku dengan nada malas.

“Kok bisa? Emang semalam ngapain?”

“Ngerjain deadline.”

“Emang weekend ngapain? Kenapa baru kerjain tadi malam?”

Aku menghela napas. Enggan memberitahu, karena aku sudah tahu apa respons Elva nanti, namun akhirnya kujawab juga pertanyaannya.

“Sabtu kemarin aku staycation sama teman-teman. Baru pulang tadi malam.” Kujawab dengan nada yang kuusahakan santai.

“Sama circle-mu itu? Bukannya minggu lalu juga habis glamping bareng mereka?”

Aku tidak mengangguk atau menggeleng karena Elva pasti sudah tahu jelas jawabannya. Ya, aku memang pergi dengan mereka minggu lalu, dan minggu lalunya lagi. Namun aku memilih diam, enggan menjawab pertanyaannya.

“Bukannya kamu bilang ada jadwal pelayanan hari Minggu?” Elva menembakku pertanyaan lagi.

“Aku minta tolong tukeran sama yang lain.”

Elva diam mengamatiku yang menjawab pertanyaannya dengan santai. Sebenarnya, aku hanya berusaha untuk terlihat tidak terlalu merasa bersalah, sih. Namun, jawabanku itu malah membuat Elva tak berhenti menatapku. Lama-lama tak tahan juga aku dengan tatapannya.

Akhirnya kuhadapkan tubuhku ke depannya. “Ya gimana.. Kamu tahu aku segan banget buat nolak.” Elva masih dalam mode diamnya mengamatiku. “Mereka selalu pesan tempat duluan untuk aku, jadi nggak mungkin kan aku nggak ikutan?”

“Nad, seriously! Kamu benar-benar merasa tepat ada di circle itu?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari Elva. Pertanyaan yang entah sudah berapa kali kudengar darinya. Huft..

“Udahlah, Va. Kita udah berulang kali membahas hal ini.”

Absolutely! Kita udah berulang kali membahas hal ini, tapi kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku itu kan?”

Aku hanya diam. Entah harus menjawab apa.

“Nad, aku memang bukan orang yang punya hak untuk melarangmu bergaul dengan siapa atau melakukan apapun.” Sekarang Elva sudah terlihat lebih tenang. Dia mulai menasihatiku dengan nada lembut. “Tapi, sebagai orang yang bertemu kamu setiap hari selama 5 tahun ini, dan yang menganggapmu sebagai sahabat, aku cuma pengen kamu pikirin ulang circle pertemananmu itu. Tanpa sama sekali bermaksud negatif, aku melihat sendiri apa saja hal yang selama ini sudah kamu abaikan dan kamu kesampingkan untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Kita berdua tahu ini bukan soal pergi staycation atau pergi healing setiap Minggu atau bahkan setiap hari… Tapi Nad, kalau circle pertemananmu seperti itu dan malah membuatmu mengabaikan hal-hal penting lainnya, bahkan perasaanmu sendiri, bukankah seharusnya kita perlu memikirkan ulang tentang hal itu?”

Aku tercenung mencerna ucapan Elva. Samar-samar, kudengar seseorang memanggil Elva. Sebelum ia beranjak, ia menyempatkan diri berkata, “Aku tahu hal ini sudah sangat sering aku katakan, tapi tolong kamu pikirkan ulang ya..” Lalu Elva menyentuk bahuku dengan pelan dan memberi ucapan terakhir yang semakin menjadi perenunganku. “Apakah circle pertemananmu itu membuatmu merasa menjadi pribadi yang lebih baik, atau sebaliknya?”

Setelah kepergiannya, aku menghembuskan napas kasar. Pandanganku masih lurus ke layar laptop, tapi pikiranku bekerja keras. Ucapan Elva benar-benar membuatku tak bisa berkutik.

Sejujurnya, walau aku sering mengingkari ucapan Elva, aku tahu ucapannya benar. Elva berkali-kali memintaku untuk memikirkan ulang gaya pertemanan dalam circle itu, tapi aku selalu berusaha mencari pembenaran atau pembelaan karena aku suka berada di antara mereka. Menghabiskan waktu bersama mereka terasa menyenangkan, seolah hanya ada tawa dan kesenangan saat bersama mereka. Kami melakukan banyak hal seru, bahkan sampai sering menghabiskan uang dalam jumlah banyak. Ya, kami tidak memikirkan apa-apa, seolah-olah kami hidup hanya untuk hari ini.

Namun tidak kupungkiri, bersama mereka rasanya aku tidak melangkah kemana-mana. Aku sudah menyadari hal ini sejak beberapa waktu lalu, tapi rasanya sulit untuk keluar. Aku seperti terjebak dalam hubungan pertemanan kami yang terasa menyenangkan.

Kami saling menerima satu sama lain, namun kami tidak saling mendorong untuk maju. Kami saling mengabaikan kesalahan masing-masing, sehingga tidak berusaha memperbaiki kesalahan atau mengubah kebiasaan buruk kami. Kami juga jarang membicarakan masalah yang sedang dialami, sehingga kami tidak belajar untuk mencari jalan keluar.

Intinya, kami hanya fokus pada pertemuan dan obrolan yang menyenangkan, dan berusaha menjaga keutuhan kelompok ini dengan menghindari kemungkinan adanya konflik. Padahal aku tahu, konflik dalam hubungan pertemanan merupakan salah satu aspek yang dapat membangun satu dengan lainnya. Namun selama ini, aku dan circle pertemananku itu tidak pernah menyelesaikan konflik, justru cenderung menghindarinya. Dan aku sadar, selama 6 tahun berteman dengan mereka, ternyata kami tidak melangkah kemana-mana.

Sekali lagi aku menghela napas kasar. Kali ini sambil kupijat keningku.

“Keras amat helaan napasnya, kayak mau dipaksa nikah buat lunasin hutang aja.” Elva meledekku sambil terkekeh. Sejak kapan dia kembali ke mejanya?

Aku pura-pura melotot, namun hal itu membuat Elva semakin tertawa. Lalu kupasang wajah serius dan kutatap matanya, seolah dari sana aku bisa mendapatkan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan yang sekarang ada di benakku.

“Va, kamu bantu aku ya…” Aku memulai dengan penuh harap. Elva mulai memfokuskan dirinya padaku dengan serius. “Aku rasa ucapanmu benar. Aku tidak merasa menjadi lebih baik dalam circle pertemananku itu, justru aku merasa apa yang sudah baik dalam diriku menjadi kendor… Aku mau coba untuk menjaga batas pertemanan dengan mereka. Aku mau belajar lebih tegas terhadap diriku sendiri. Kamu mau kan bantu dan ingetin aku?”

Setelah beberapa detik hanya menatapku, Elva tersenyum. “Tentu, Nadya. Tentu. Pelan-pelan aja.. Toh kamu bukan menghilang dan memutuskan hubungan dengan mereka, kan.. Kamu tetap berteman, hanya saja kali ini kamu akan belajar tegas dalam hubungan itu.” Lalu Elva menepuk bahuku dengan lembut. “Aku bangga sama keputusanmu. Apa yang pengen kamu lakuin itu pasti nggak akan mudah, Nad. Tapi, aku akan mendukungmu.”

Aku tersenyum tulus. Sungguh bersyukur memiliki Elva sebagai teman yang peduli akan kebaikanku dan berani menegurku dengan kasih. Dan sekarang aku sadar, betapa besarnya pengaruh seorang teman dalam menentukan akan melangkah kemana aku nanti.

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang” (Amsal 13:20).